2014/05/05

REVIEW FILM DAN NOVEL


BAB I
PENDAHULUAN

1.    Pengarang Tidak Puas
Ernest Hemingway, pengarang Amerika sebagai orang yang sering kecewa jika novelnya diangkat ke layar putih. Motinggo Busye adalah orang yang terdorong untuk terjun ke dunia film karena merasa kecewa dengan scenario (malam jahanam).
Armijn Pane pun pernah mengalami kekecewaan serupa pada dramanya yuang berjudulantara bumi dan langit. Tidak saja nilai sastranya yang tidak terungkap bahkan jadi rusak sama sekali, Armijn pun tidak bersedia namanya dicantumkan sebagai penulis cerita.
Begitupun dengan Achdiat K. Mihardja, ia menganggap bahwa novel Atheis  belum sepenuhnya terungkap dalam film Atheis  yang di sutradarai oelh Sjuman Djaya(1975). Nama-nama pengarangyang sudah disebut tadi sudah menunjukan adanya persoalan jika sebuah novel di pindahkan ke film.

2.      Penonton Kecewa
Sesungguhnya ketidakpuasan dan kekecewaan tadi tidak hanya dating dari pihak pengarang. Penonton film juga sering kecewa menonton film yang didasarkan pada novel-novel tertentu.
Film Doctor Zhivago yang di sutradarai David Lean. Ketika penulis tanyakan ‘mengapa kecewa’ dan orang itu menjawab Filmnya tidak seindah Docter Zhivago-nya Boris Pasternak. Dalam novel kita temukan bagian-bagian yang halus tetapi dalam film tidak menemukanya.
Dalam film Lupus (karya Hilman Hariwijaya) difilmkan oleh Achiel Nasrun (1987). Sebagian penonton film Lupus kecewa karena tokoh Poppy menjadi agresif dalam film, sedangkan dalam aslinya tidak demikian.

3.      Tentang Buku Ini
Dalam hal ini kita dapat mengajukan dua pertanyaan. Yang pertama faktor-faktor apa saja yang menyebabkan banyak pengarang yang tidak puas bila Novelnya difilmkan?
Kedua, Mengapa penonton film sering kecewa menyaksikan film yang didasarkan pada Novel tertentu? 
Pada Bab II penulis membicarakan tentang cerita, alur, penokohan, latar, suasana, gaya dan tema/amanat. Dan kemudian unsur-unsur tersebut dibandingkan dengan unsure-unsur  Film. Dalam Bab III penulis membahas tentang Ekranisasi yaitu hal hal yang menyangkut pemindahan novel ke film. Perubahan apa sajakah yang nantinya terjadi apabila sebuah novel difilmkan .

4.      Istilah dan Ejaan
Istilah-istilah asing yang lazim dijumpai di dunia film sedapat mungkin penulis alihkan ke bahasa Indonesia. Bila sulit ditemukan padananya akan dipakai bentuk aslinya.
Kutipan-kutipan dari novel akan ditulis menurut ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (1972), termasuk dalam Novel yang terbit sebelum tahun 1972.



BAB II
NOVEL DAN FILM

1.             Cerita
Menurut Foster, cerita adalah pengisahan kejadian dalam waktu dan cerita adalah basis sebuah novel. Tanpa kehadiran cerita, sia-sialah usaha seorang pengarang untuk berkomunikasi dengan orang lain (pembaca), sebab orang tidak akan menemukan apa-apa dalam novel bersangkutan. Tugas pengaranglah merangkai-rangkainya menjadi saut kesatuan utuh yang kemudian bernama novel. Dalam novel merangkai-rangkaikan kejadian-kejadian, unsur waktu memgang peranan penting. Seorang novelis yang berhasil sudah barang tentu harus dapat membangkitkan rasa ingin tahu pembaca. “Apa yang terjadi sesudah itu ?” Pertanyaan ini lah yang harus dijawab dengan cerita. Dalam cerita-cerita lama, seperti Hikayat Bayan Budiman, Hikayat Bakhtiar dan sejenisnya, kerap kali rasa ingin tahu akan kelanjutan cerita mampu menyelamatkan pihak yang lemah. Lazimnya cerita dalam novel berkonotasi pada “kelampauan”. Artinya kejadian-kejadian yang dikisahkan biasanya sudah lewat di belakang pembaca. Dengan demikian, orang (pembaca) hanya bisa membayangkan apa yang dikisahkan pengarang, sebagai sesuatu yang terjadi pada masa lampau.
Tugas pengarang ialah membukakan atau mengungkapkan “masa lalu” itu kepada pembaca. Dengan kata lain kejadian-kejadian dalam novel tidak dapat dibayangkan pembaca sebagai “sedang”terjadi, melainkan sebagai sesuatu yang telah terjadi pada masa lalu. Seorang novelis hanya bisa menyampaikan cerita atau amanatnya dengan kata-kata. Seorang novelis membangun alur, penokohan, latar, dan suasana dengan bantuan kata-kata. Pada hakikatnya, film juga merupakan pengisahan kejadian dalam waktu. Tetapi kejadian dalam film tidak berkonotasi pada kemampuan, melainkan berkonotasi pada “kekinian”, pada sesuatu yang sedang terjadi.
Gambar-gambar dalam film bergerak berkelanjutan di layar putih, sehingga merupakan satu keutuhan cerita. Maka itu, gerak adalah salah satu esensi film. Baik gerak yang ditimbulkan kamera, gerak objek-objeknya, gerak yang ditimbulkan penyususnan gambar (editing), maupun pergerakan tokoh-tokoh yang ada dalam film. Film merupakan media audio-visual, suara pun ikut mengambil peranan di dalamnya. Suara manusia tentu karena pelaku film di dalamnya adalah manusia. Sedangkan musik dibutuhkan untuk memperkuat irama film. Film juga merupakan gabungan dari berbagai ragam kesenian: musik, seni rupa, drama, sastra ditambah dengan unsur fotografi. Itulah yang menyebabkan film menjadi kesenian yang kompleks.

2.      Alur
Cerita ialah pengisahan kejadian dalam waktu. Alurpun merupakan pengisahan kejadian dalam waktu, hanya saja pada yang belakangan ini harus ditambahkan unsure sebab dan akibat. Dengan demikian Alur adalah pengisahan kejadian dengan tekanan pada sebab musabab.
Dari segi kuantitatif alur dalam Novel dapat dibagi menjadi dua yakni alur tunggaldan alur ganda. Pada alur tunggal hanya terdapat satu jalinan cerita, sedangkan pada alur ganda terdapat lebih dari satu jalinan cerita.lazimnya alur mempunyai bagian bagian yang secara konvensional dikenal sebagai permulaan (begininning), pertikaian/perumitan (rising action), puncak (climax), pelarian (falling action), dan akhir (end).
Pada permulaan biasanya pengarang memperkenalkan tokoh tokohnya. Tokoh yang satu dihubungkan dengan tokoh lainnya. Dari perhubungan ini akan terjadi berbagai persoalan, yang makinlama makin memuncak.walau demikian seorang novelis tidak selamanya mengikuti urut-urutan permulaan, pertikaian, puncak, pelarian, dan akhir cerita. Novel Belenggu (Armijn Pane) misalnya justru dimulai dengan pertikaian, sedangkan novel Atheis justru dimulai dengan akhir cerita, yakni kematian Hasan.
Satu hal yang perlu diperhatikan seorang novelis adalah unsur tegangan (suspense). Unsur ini penting untuk memancing rasa ingin tahupembaca akan kejadian kejadian yang selanjutnya. Novelis yang baik tentu akan menyadari hal ini sebab kalau tidak, novelnya akan ditinggalkan orang (pembaca) sebelum habis dibaca.
Tidak demikian dengan Film. Film mempunyai keterbatasan ruang dan keterbatasan teknis. Jangka putar film biasanya berkisar antara satu setengah hingga dua jam. Oleh sebab itu film lebih sering memakai alur tunggal saja. Walau demikian bukan berarti film tidak bisa mengungkapkan persoalan persoalan yang kompleks.
Seperti seorang novelis seorang sutradara film pun harus memperhatikan unsur tegangan (suspense) sehingga bisa memancing rasa ingin tahu penonton untuk mengikuti cerita film secara keseluruhan. Seprti dalam novel, mengawali film dengan tegangan bukanlah jaminan berhasil tidaknya sebuah film. Keberhasilan film banyak tergantung pada keharmonisan berbagai unsur pendukung film, seperti pengambilan gambar, permainan, actor/artis, dan lain lain.

4.      Latar
Latar dalam film ditampilkan secara visual melalui gambar-gambar yang bergerak berkelanjutan, sehingga apa yang kelihatan di layar putih seolah-olah sedang terjadi dalam kehidupan sesungguhnya (kehidupan nyata). Apabila dalam novel orang (pembaca) hanya bisa membayangkan tempat tinggal seseorang, keadaan satu keluarga, keadaan masyarakat, dalam film orang ( penonton) menyaksikannya di depan mata.
Dari penampilan tokoh-tokoh film secara langsung (visual) itulah penonton mengetahui sifat (watak), sikap-sikap, dan kecendrungan-kecendrungan sang tokoh. Seperti dalam novel, sifat seorang tokoh dalam film juga dapat diungkapkan melalui benda-benda atau lingkungan sekitarnya. Orang menonton film tidaklah seperti membaca novel, bila ada hal kejadian yang terlupa, pembaca novel masih bisa kembali ke halaman-halaman yang terlupakan. Tidak demikian halnya menonton film. Orang menonton film hanya satu kali. Bila ada yang terlupa, orang tidak mungkin kembali ke bagian atau adegan yang terlupa itu.

4.   Latar
Sebuah kejadian tentu saja terdiri pada suatu ruang, tempat dan kurun waktu tertentu. Kapan dan dimana kejadian itu terjadi ? Inilah pertanyaan yang berkaitan dengan latar. Latar adalah tempat berpijak atau bertumpunya cerita, alur dan tokoh-tokoh novel. Latar dapat menunjang penokohan. Misalnya menerangkan di mana seorang tokoh berada, bagaimana keadaanya kini dan seterusnya.
Latar dalam film ditampilkan secara visual melalui gambar-gambar yang bergerak berkelanjutan, sehingga apa yang kelihatan di layar putih seolah-oleh sedang terjadi dalam kehidupan sesungguhnya (kehidupan nyata). Apabila dalam novel orang (pembaca) hanya bisa membayangkan tempat tinggal seseorang, keadaan satu keluarga, keadaan masyarakat, dalam film orang (penonton) meyaksikannya di depan mata. Seorang penulis skenario harus hati-hati dalam mencari dan memilih barang-barang atau benda-benda yang paling ekspresif, jelas, dan tepat diantara sekian banyak barang-barang atau benda-benda yang ada dalam kehidupan ini.

5.      Suasana 
Dalam membnagun suasana cerita, seorang pengarang perlu memperhatikan unsure situasi. Yaitu cocoknya situasi pada saat itu dengan suasana yang di ungkapkan. Dalam suasana pertemuan resmi tentu akan janggal bila ada peserta yang ber ‘gua’ dan ber ‘lu’. Sebaliknya bila ada tukang becak bergrombolan mereka menggunakan ‘bahasa melayu tinggi’ atau bahasa ‘baku’.
Suasana adalah jiwa sebuah Novel. Ia berfungsi menunjang cerita, alur, penokohan dan latar, sehingga novel terasa hidup. Dengan kata lain suasana adalah Roh, sebuah Novel. Tanpa Roh tersebut sebuah Novel; akan sangat kaku.
Suasana pun memegang peranan penting dalam film. Sauna dalam film juga berfungsi menunjang cerita, alur, penokohan, dan latar.

6.     Gaya
Ketika pada suatu kali membolak-balik naskah yang  hendak diterbitkan, Ajip Rosiditertarik pada sebuah naskah berjudul koong karya kebo kenanga (nama samaran). Dengan contoh ini hendak ditunjukkan, gaya seorang pengaranng bisa diketahui melalui karyanya. Karena seperti dikatakan Carlyle, “gaya bukan hanya baju, melainkan kulit pengarang itu sendiri. Gaya adalah orangnya sendiri. Sudah barang tentu gaya ini tak lepas dari pemakaian bahasa dan lebih khusus lagi menyangkut gaya bahasa dan cara pengisahan atau cara bercerita.
Cara pengisahan atau cara bercerita menyangkut cara apa yang dipakai pengarang untuk mengutarakan atau menyampaikan cerita atau maksudnya. Dibandingkan dengan novel, film relative lebih banyak memakai perlambang sebagai alat pengucapannya. Dalam novel, mungkin hal ini memerlukan penjelasan panjang lebar dan berhalaman-halaman. Dalam novel, dialog menduduki posisi penting. Tentu saja tidak semua informasi bisa divisualkan. Walau demikian, dialog dalam film juga mempunyai fungsi sendiri.

7. Tema / Amanat
Seorang pengarang (novelis) tentu saja mempunyai persoalan tertentu yang hendak dikemukakan atau diutarakan kepada pembaca. Ia mempunyai inti persoalan, inti inilah yang penulis maksud dengan tema. Amanat adalah sesuatu yang menjadi pendirian, sikap atau pendapat pengarang mengenai inti persoalan yang digagrapnya.
Walau begitu, besarnya tema bukanlah ukuran mutlak bagus tidaknya sebuah novel. Film pun mempunyai tema tertentu, yang inti nya persoalan yang hendak diuatarakan/disampaikan pembuat film kepada penontonnya. Keterbatasan tema (lebih tepat: tema, plot) dalam film dapat dipulangkan pada keterbatasan teknis film. Seperti halnya novel, kadang-kadang dalam film pun ditemui juga amanat pembuat film.



2014/05/04

Riview Sinopsis Film Mendadak Dangdut



SINOPSIS FILM MENDADAK DANGDUT
Mendadak Dangdut berkisah tentang Petris (Titi Kamal), seorang penyanyi pop yang sedang naik daun, bersama kakak sekaligus manajernya, Yulia (Kinaryosih). Suatu ketika mereka ditangkap polisi karena didalam mobil yang mereka tumpangi terdapat heroin seberat 5 Kg milik pacar Yulia. Takut akan ancaman hukuman mati membuat mereka akhirnya memutuskan untuk melarikan diri. Dalam pelarian tersebut tanpa sengaja mereka bertemu dengan Rizal, seorang pemain organ tunggal yang baru saja kehilangan penyanyi dangdutnya ketika akan melakukan show disebuah kampung. Petris akhirnya naik pentas untuk bisa mengelabui polisi yang mengejarnya. Dalam perkembangan selanjutnya mereka akhirnya terpaksa tinggal bersama Rizal untuk bersembunyi menghindari kejaran polisi. Selama persembunyian, Petris menjadi penyanyi dangdut dari kampung ke kampung untuk membiayai hidup mereka. Alur cerita serta konflik pun berkembang antara Petris, Yulia, dan orang-orang disekitar mereka. Peristiwa-peristiwa yang mereka lalui pada akhirnya membuat Petris sadar kalau selama ini ia tidak pernah menghargai orang lain.
Dangdut!. Hal pertama yang terlintas dibenak penulis ketika mendengar kata tersebut adalah jenis musik dengan penyanyi bersuara pas-pasan dengan goyang erotis dan kostum yang seksi. Yang kedua adalah ide-ide tentang kalangan masyarakat bawah, kemiskinan dan kesengsaraan. Walaupun saat ini dangdut telah menjelma menjadi musik populer dan tidak lagi selalu dikonotasikan dengan ide-ide tersebut, namun sang sutradara, Rudi Soedjarwo, tetap menggambarkan dangdut seperti kedua hal tersebut dengan cukup pas. Hal ini tampak dalam pemilihan setting, kostum, dan ilustrasi musik atau lagu yang digunakan.
Namun semua hal tersebut menjadi sia-sia ketika konflik serta plot yang dibangun terasa saling bertabrakan dan tumpang tindih. Alur cerita yang tidak logis dan pemaksaan adegan membuat adegan-adegan selanjutnya menjadi tidak berarti. Bila anda mencermati ringkasan cerita pada awal tulisan ini anda pun sudah dapat melihat ketidaklogisan alur cerita, yang dapat dikatakan merupakan kelemahan utama film ini. Selanjutnya, apakah hanya sesederhana itu perlakuan polisi kepada seseorang yang kedapatan membawa 5 Kg heroin? Kenapa Petris dan Yulia harus tinggal bersama Rizal? Apakah mereka tidak memiliki siapa-siapa lagi selain keluarga mereka di Manado? Apakah orang-orang disekitar mereka tidak ada yang mengenali Petris yang notabene adalah seorang penyanyi pop terkenal ? Dan yang paling fatal adalah kenapa pacar Yulia tidak membawa heroin miliknya ketika ia keluar dari mobil ?. Tidak ada penjelasan yang tuntas dari setiap adegan membuatnya seolah terpisah satu sama lain sehingga tidak mampu membangun keseluruhan cerita dengan baik. Seperti kebanyakan film-film kita, dialog serta akting yang lemah juga masih tampak dominan dalam film ini.
Terlepas dari semua kelemahan yang ada, usaha untuk mengangkat tema menyangkut budaya lokal yang sudah mengakar kuat di masyarakat perlu kita hargai. Dengan mengangkat tema lokal membuat beberapa unsur dalam film ini berhasil “masuk” serta “diterima” berbagai lapisan penonton. Keberhasilan tersebut dapat dilihat dari, sebagai contoh, dijadikannya mendadak dangdut menjadi tema party ditempat hiburan kelas atas dan juga menjadi salah satu judul dan tema program acara di salah satu stasiun televisi nasional. Ilustrasi musik atau lagu yang digunakan pun cukup pas sehingga dapat membuat penulis menjentikkan jari untuk mengikuti irama-iramanya. Jablai, salah satu lagu dalam film ini, bahkan hingga saat ini menjadi lebih populer dari filmnya sendiri. Mengutip salah satu lirik dalam lagu Jablai, “Lai lai lai lai lai lai, panggil aku si jablai…” Mendadak Dangdut, benar-benar dangdut! 
                                                                                                      
GEOGRAFI BUDAYA, REPRESENSI, DAN IDENTITAS
Elaine Baldwin et al. (2004:179) mengatakan bahwa geografi budaya bergelut dengan upaya untuk memahami keterkaitan antara manusia dan tempat, dan bahwa geografi budaya bukanlah sekedar upaya untuk menempatkan (locating)budaya pada tempatnya yang pas. Geografi budaya percaya bahwa tempat bukanlah sesuatu yang bersifat independen atau terpisah dari manusia. Justru, tempat tercipta sebagai produk dari kondisi-kondisi sosial tertentu yang menciptakan tempat tersebut (Giles dan Middleton 1999:105).
Selain interprestasi budaya, dalam memahami representasi dan identitas. Representasi, Kathryn Woodward (1997:14) membentuk individu serta menciptakan identitas kolektif suatu masyarakat karena di dalam repsentasi inilah makna diciptakan.
Identitas adalah murni produk dari konstruksi sosial. Identitas selayaknya tidak dipahami sebagai sesuatu yang bersifat tetap dan tidak berubah, namun sebagai “an emotionally charged description of ourselves”(Barker 2000:166).

IDENTITAS, REPSENTASI, DAN PEMAKNAAN DALAM MENDADAK DANGDUT
Film mendadak dangdut diawali dengan adegan patrice menyanyikan lagu pop, yang dikenal luas oleh publik. Dia percaya bahwa identitas dirinya sebagai penyanyi pop dan segala fasilitas dan kemudahan yang bisa ia nikmati merupakan dua hal yang tidak terpisahkan. Hal yang menarik terjadi dalam adegan selanjutnya. Patrice dan Yulia berusaha melarikan diri dari kejaran polisi. Mereka berdua berlari memasuki perkampungan padat penduduk sampai akhirnya tiba dan berhenti di sebuah pertigaan.
Bila kita amati lebih seksama, mereka berdua berlari memasuki perkampungan yang semakin ke dalam semakin buruk dan tidak teratur kondisinya. Hal ini seolah-olah memberi petunjuk pada kita bahwa kini patrice dan Yulia memasuki suatu wilayah baru yang akan menjurus ke hal-hal yang semakin negatif perkenaan dengan identitas mereka.
Hal yang sama terjadi dalam pemaknaan dangdut. Individu-individu yang menjadi para pelaku musik dangdut berada dalam konflik mengenai identitas musik dangdut itu sendiri. Identitas musik dangdut pun merupakan sesuatu yang terpecah, serta dimaknai secara berbeda oleh pelbagai individu yang berbeda-beda.

RIVIEW FILM MENDADAK DANGDUT ULFAH JULIANTI

ULFAH JULIANTI


SINOPSIS FILM MENDADAK DANGDUT

Dua tahanan wanita yang masih muda bergegas memasuki sebuah toko kecil yang menjual barang kebutuhan sehari-hari. Alih alih membeli barang yang diperlukan, mereka menuju kekamar kecil di bagian belakang toko. Di dalam kamar kecil ini mereka menemukan jendela terbuka yang hanya cukuo untuk di lewati tubuh manusia. Mereka melarikan diri dari kawalan polisi sangar yang niscaya akan membawa mereka ke penjara.
Rudi Soedjarwo sutradara film ini, adalah salah satu sutradara muda yang termasuk paling produktif akhir-akhir ini. Semenjak kemunculan film pertamanya, Bintang Jatuh, di tahun 2000, ia membuat semakin banyak film yang jarak penciptaannya tidak terlalu jauh. Mendadak dangdut adalah salah satu dari sepuluh film yang masuk seleksi penjurian Festival Film Indonesia (FFI)  pada tahun 2006, dan film ini juga masuk dalam seleksi yang dilakukan oleh MTV Movie Awards 2006.
Petris (Titi Kamal), seorang penyanyi pop terkenal. Ia dikagumi bukan hanya karena suara merdunya, tapi juga lirik-lirik penuh makna yang ia ciptakan. Kendati pintar, Petris sombong bukan main. Ia mempekerjakan kakaknya, Yulia (Kinaryosih), sebagai manajer. Petris memperlakukan kakaknya bak seorang babu yang bisa seenaknya disuruh-suruh.

Suatu kali, usai memperlihatkan sikap menyebalkan lewat sebuah wawancara radio, Yulia mengambil jalan pintas menuju rumahnya. Sial, rupanya polisi sedang merazia. Sialnya lagi, pacar Yulia, Gerry yang semobil bareng mereka, membawa narkoba. Sebelum disatroni polisi, Gerry kabur. Tak ayal lagi Petris dan Yulia jadi tersangka pemilik narkoba itu. Keduanya digiring ke kantor polisi.

Lantaran ngeri pada ancaman hukuman mati buat pemilik narkoba, Petris dan Yulia nekat kabur. Keduanya terdampar di sebuah perkampungan di pinggiran Jakarta. Tak ada yang mengenali Petris sebagai penyanyi pop ternama. Petris heran. Yulia cuma berujar pendek, “Nggak semua orang nonton MTV.”


Oke, nggak semua orang menonton MTV. Tapi, rasanya semua orang menonton infotainment. Walau tak pernah melihat video klip seorang artis, tak mungkin mereka tak pernah melihat seorang artis ternama muncul di infotainment.
Meski banyak dikenal oleh masyarakat Indonesia, tidak banyak ulasan atau analisis kritis yang dibuat mengenai film ini. Sebagian besar tulisan yang membahas film ini berwujud tulisan popular maupun ulasan informative dalam surat kabar dan majalah. Eric sasono menganggap bahwa ketiadaan erotisme dalam film ini adalah persoalan yang serius, karena “goyang para penyanyi organ tunggal sampai saat ini masih membuat goyang ngebor inul tampak seperti tarian qasidahan” (2007).
Konsentrasi pada erotisme akan menjungkirbalikan visi film ini untuk menjadikan dangdut sebagai arena negoisasi dan penciptaan pemaknaaan yang berbeda. Ruang perkampungan miskin akan kembali identic dengan hal-hal yang tidak pada tempatnya, seperti misalnya kekerasan dan pelecehan seksual.
Eric sasono gagal untuk melihat betapa kompleksnya factor ruang mempengaruhi pembentukan identitas dan representasi Patrice; ia tidak berhaisl menemukan betapa justru daktor ruang inilah yang mengubahsecara total konsep identitas yang di pegang oleh Patrice.  Pembahasan karakter tokoh Patrice tidak bias dipisahkan dari kompleksitas pengaruh ruang tersebut.
Film ini menarik untuk dikaji karena berhasil menggambarkan bagaimana pergeseran identitas individu dalam konteks perkotaan di satu pihak sulit terjadi dan di pihak lain pada saat yang sama bias terjadi dengan mudah. Disamping itu, kemamuan individu untuk berpindah dengan mudah dari satu konteks  yang lain dalam ruang lingkup perkotaan menjadi kekuatan positif bagi individu tersebut maupun masyarakat dimana ia berada.
GOEGRAFI BUDAYA, REPRESENTASI DAN IDENTITAS
Identitas dibentuk oleh konotasi-konotasi yang muncul ketika manusia hidup pada suatu tempat atau lokasi tertentu. Dengan demikian, geografi budaya membahas bagaimana ruang dan tempat dibentuk oleh- serta membentuh – kepercayaan beserta nilai-nilai yang dipegang oleh masyarakat yang menghuni suatu tempat tertentu, yang dengan sendirinya membentuk identitas masyarakat.
Geografi budaya percaya bahwa tempat bukanlah sesuatu yang bersifat independen atau terpisah dari manusia. Justru, tempat tercipta sebagai produk dari kondisi-kondisi sosial tertentu yang menciotakan tempat tersebut (Giles dan Middleton 1999 : 105). Selain iterprestasi budaya, perlulah memahami representasi dan identitas mengenai representasi.
Representasi membentuk individu serta menciptakan identitas kolektif suatu masyarakat karena didalam representasi inilah makna diciptakan. Dengan adanya system representasi, penciptaan makna dan pembentukan identitas menjadi semakin jalin menjalin karena salam system representasilah keterhubungan ini terjadi.
Identitas adalah mutni produk dari konstruksi sosial. Identitas selayanknya dipahami sebagai sesuatu yang bersifat tetap dan tidak berubah, namun sebagai “an emotionally charged description of ourselves” (Barker 2000:166). Dengan demikian identitas bersifat sementara karena identisas bias berubah bergantung pada konteks dimana individu berada. Dalam pembentukan identitas ada dua proses yang terjadi, yaitu penolakan dan penerimaan karena identitas berarti menolak hal-hal yang bertentangan dan merangkul hal-hal yang sesuai dengan identitas tersebut.
IDENTITAS, REPRESENTASI, DAN PEMAKNAAN DALAM MENDADAK DANGDUT
Film mendadak dangdut diawali dengan adegan Patrice menyanyikan lagu pop, yang dikenal luas oleh public. Dia percaya bahwa identitas dirinya sebagai penyanyi pop dan segala fasilitas dan kemudahan yang bias ia nikmati merupakan dua hal yang tidak terpisahkan.  Hal yang menarik terjadi dalam adegan berikutnya. Patrice dan Yulia berusaha melarikan diri dari kejaran polisi. Mereka berdua berlari memasuki perkampungan padat penduduk sampai akhirnya tiba dan berhenti di sebuah pertigaan.
Bila kita amati seksama, mereka berdua berlari memasuki perkampungan yang semakin ke dalam semakin buruk dan tidak teratur kondisinya. Hal ini seolah-olah memberi petunjuk pada kita bahwa kini Patrice dan Yulia memasuki suatu wilayah baru yang akan menjurus ke hal-hal yang semakin negative berkenaan dengan identitas mereka.
Identitas Patrice menjadi tidak berate diperkampungan dimana Patrice dan Yulia melarikan diri dari kejaran polisi. Hanya tinggal dirinya sendiri dan Yulia yang masih percaya akan identitas Patrice sebagai oenyanyi Pop. Bahkan Rizal pun sama sekali tidak mengenal Patrice sebagai penyanyi Pop terkenal.
Dalam fil ini, Rudi Soejarwo tidak memperlihatkan adanya tatapan laki-laki yang intens terhadap sosok Patrice. Bahkan tatapan laki-laki bias dikatakan absen dalam film ini. Ketika tatapan laki-laki ditempat-tempat elir justru seringkali menelan bulat-bulat tubuh perempuan dan bahkan digunakan sebagai sarana untuk mencari uang karena tatapan ini mampu menyuguhkan kenikmatan yang intensif bagi mereka yang memiliki uang. Rudi tidak memberi kesempatan pada laki-laki untuk meletakkan perempuan dalam posisi subordinat melalui tatapan mereka.

2014/05/03

Riview Film dan Novel

BAB I
PENDAHULUAN
1. Pengarang Tidak Puas
Ernest Hemingway, pengarang Amerika sebagai orang yang sering kecewa jika novelnya diangkat ke layar putih. Motinggo Busye adalah orang yang terdorong untuk terjun ke dunia film karena merasa kecewa dengan scenario (malam jahanam).
 Armijn Pane pun pernah mengalami kekecewaan serupa pada dramanya yuang berjudul antara bumi dan langit. Tidak saja nilai sastranya yang tidak terungkap bahkan jadi rusak sama sekali, Armijn pun tidak bersedia namanya dicantumkan sebagai penulis cerita.
Begitupun dengan Achdiat K. Mihardja, ia menganggap bahwa novel Atheis  belum sepenuhnya terungkap dalam film Atheis  yang di sutradarai oelh Sjuman Djaya(1975). Nama-nama pengarangyang sudah disebut tadi sudah menunjukan adanya persoalan jika sebuah novel di pindahkan ke fim.
2. Penonton kecewa
ketidakpuasan dan kekecewaan tadi tidak hanya datang dari pihak pengarang. Penonton film juga sering kecewa menonton film yang didasarkan pada novel-novel tertentu.
Film Doctor Zhivago yang di sutradarai David Lean. Ketika penulis tanyakan ‘mengapa kecewa’ dan orang itu menjawab Filmnya tidak seindah Docter Zhivago-nya Boris Pasternak. Dalam novel kita temukan bagian-bagian yang halus tetapi dalam film tidak menemukanya.
Begitu pula ketika cerita lupus (karya Hilman Hariwijaya) difilmkan oleh Achiel Nasrun  (1987), sebagian penonton film lupus kecewa karena tokoh poppi menjadi agresif dalam film, sedangkan dalam buku asli tidaklah demikian.
3. Tentang Buku Ini
unsur-unsur yang menjadi tulang punggung sebuah novel, seperti: cerita, alur, penokohan, latar, suasana, gaya, dan tema/amanat. bab III mencoba membicarakan hal-hal yang menyangkut pemindahan novel ke film, yang dalam buku ini disebut ekranisasi.
4. Istilah dan Ejaan
Istilah-istilah asing yang lazim dijumpai di dunia film sedapat mungkin penulis alihkan ke bahasa indonesia. Bila sulit ditemukan padanannya, akan dipakai bentuk aslinya.
Kutipan-kutipan dari novel akan ditulis menurut ejaan bahasa indonesia yang disempurnakan (1972), termasuk kutipan dan novel yang terbit sebelum tahun 1972.


BAB II
NOVEL DAN FILM
1.      Cerita
Menurut Forster, cerita adalah pengisahan kejadian dalam waktu dan cerita adalah basis sebuah novel. Tanpa kehadiran cerita, sia-sialah usaha seorang pengarang untuk berkomunikasi dengan orang lain (pembaca), sebab orang tidak akan menemukan apa-apa dalam novel bersangkutan. Lebih jauh lagi, seseorang tak mungkin menulis novel dengan mengabaikan unsur cerita.
Novel menyampaikan cerita, ide, amanat atau maksudnya dengan pertolongan kata-kata. Oleh sebab itu, kata-kata menempati kedudukan penting dalam novel.
Pada hakikatnya film juga merupakan pengisahan kejadian dalam waktu, tetapi kejadian dalam film tidak berkonotasi pada kelampauan melainkan berkonotasi pada kekinian, pada sesuatu yang sedang terjadi.
2.      Alur
Pada permulaan, biasanya pengarang memperkenalkan tokoh-tokohnya. Tokoh yang satu dihubungkan dengan tokoh lainnya, dari penghubungan ini akan terjadi perbagai persoalan, yang makin lama makin memuncak, kemudian cerita melaju pada peleraian, tokoh-tokoh dalam cerita menempuh jalan atau sikap sendiri-sendiri sampai pada suatu akhir cerita.
Satu hal yang perlu diperhatikan seorang penulis adalah unsur tegangan (suspense). Unsur ini penting untuk memancing rasa ingin tahu pembaca akan kejadian-kejadian selanjutnya.
Disamping itu, sebuah cerita beralur ganda juga mungkin difilmkan dengan catatan waktu putaran film itu akan bertambah panjang, meskipun begitu, hal ini tidak selalu bisa dilaksanakan, mengingat daya tahan mata penonton yang amat sangat terbatas pula.
3.      Penokohan
Menurut Rene Wellek dan Austin Warren, cara paling sederhana untuk mengenali tokoh-tokoh novel adalah dengan pemberian nama. Tidak semua tokoh-tokoh novel mempunyai nama. Misalnya tokoh-tokoh tidak memakai nama, tokoh utama sendiri hanya disebut tokoh kita. Penokohan berfungsi untuk menunjang cerita dan alur.
Film pun mempunyai tokoh-tokoh sebagai pelaku dalam sebuah film. Berlainan dengan cara penampilan tokoh-tokoh dalam novel, film menampilkan tokoh-tokohnya secara langsung dan secara visual. Dari penampilan tokoh-tokoh film secara langsung (visual) itulah penonton mengetahui sifat (watak), sikap-sikap dan kecenderungan-kecenderungan sang tokoh. Disamping itu, orang menonton film tidaklah seperti membaca novel.
4.      Latar
Latar dalam film ditampilkan secara visual melalui gambar-gambar yang bergerak berkelanjutan, sehingga apa yang kelihatan di layar putih seolah-olah sedang terjadi dalam kehidupan sesungguhnya (kehidupan nyata). Apa bila dalam novel orang (pembaca) hanya bisa membayangkan tempat tinggal seseorang, keadaan satu keluarga, keadaan masyarakat, dalam film orang ( penonton) menyaksikannya di depan mata.
5.      Suasana
Sebuah novel tentu mempunyai suasana tertentu. Tindakan tokoh-tokoh akan memberikan petunjuk bagaimana suasana pada saat itu. Latar pun dapat menunjukan suasana tertentu, sehingga cerita terasa lebih hidup.
Dalam membangun suasana cerita, seorang pengarang perlu memperhatikan unsur situasi yaitu cocoknya situasi pada saat itu dengan suasana yang diungkapkan. Sampai disini, suasana dapat disimpulkan, suasana adalah jiwa sebuah novel, ia berfungsi menunjang cerita, alur, penokohan dan latar. Sehingga novel terasa hidup. dalam novel suasana dalam film juga berfungsi menunjang cerita, alur, penokohan, dan latar.
6.      Gaya
Menurut Peter Wollen dalam bukunya signs and meaning in the cinema, gambar-gambar sebgai alat pengucapan film mempunyai tiga dimensi. Pertama, gambar sebgai indeks, kedua gambar sebagai ikon (icon), dan ketiga gambar sebagai simbol (bilangan).
Gambar-gambar sebagai indeks menunjukan masih adanya hubungan objek yang bersangkutan dengan gambar yang ditampilkan di layar putih. Gambar-gambar sebagai ikon menunjukan gambar yang kelihatan di layar putih adalah perwujudan dari objek yang bersangkutan.
7.      Tema/Amanat

Seorang pengarang (novelis) tentu saja mempunyai persoalan tertentu yang hendak dikemukakan atau diutarakan kepada pembaca. Berkaitan dengan tema adalah amanat atau pesan, amanat adalah sesuatu yang menjadi pendirian. Sikap atau pendapat pengarang mengenai inti persoalan yang digarapnya. Dengan kata lain, amanat adalah pesan pengarang atas persoalan yang dikemukakan.