2014/05/05

REVIEW FILM DAN NOVEL


BAB I
PENDAHULUAN

1.    Pengarang Tidak Puas
Ernest Hemingway, pengarang Amerika sebagai orang yang sering kecewa jika novelnya diangkat ke layar putih. Motinggo Busye adalah orang yang terdorong untuk terjun ke dunia film karena merasa kecewa dengan scenario (malam jahanam).
Armijn Pane pun pernah mengalami kekecewaan serupa pada dramanya yuang berjudulantara bumi dan langit. Tidak saja nilai sastranya yang tidak terungkap bahkan jadi rusak sama sekali, Armijn pun tidak bersedia namanya dicantumkan sebagai penulis cerita.
Begitupun dengan Achdiat K. Mihardja, ia menganggap bahwa novel Atheis  belum sepenuhnya terungkap dalam film Atheis  yang di sutradarai oelh Sjuman Djaya(1975). Nama-nama pengarangyang sudah disebut tadi sudah menunjukan adanya persoalan jika sebuah novel di pindahkan ke film.

2.      Penonton Kecewa
Sesungguhnya ketidakpuasan dan kekecewaan tadi tidak hanya dating dari pihak pengarang. Penonton film juga sering kecewa menonton film yang didasarkan pada novel-novel tertentu.
Film Doctor Zhivago yang di sutradarai David Lean. Ketika penulis tanyakan ‘mengapa kecewa’ dan orang itu menjawab Filmnya tidak seindah Docter Zhivago-nya Boris Pasternak. Dalam novel kita temukan bagian-bagian yang halus tetapi dalam film tidak menemukanya.
Dalam film Lupus (karya Hilman Hariwijaya) difilmkan oleh Achiel Nasrun (1987). Sebagian penonton film Lupus kecewa karena tokoh Poppy menjadi agresif dalam film, sedangkan dalam aslinya tidak demikian.

3.      Tentang Buku Ini
Dalam hal ini kita dapat mengajukan dua pertanyaan. Yang pertama faktor-faktor apa saja yang menyebabkan banyak pengarang yang tidak puas bila Novelnya difilmkan?
Kedua, Mengapa penonton film sering kecewa menyaksikan film yang didasarkan pada Novel tertentu? 
Pada Bab II penulis membicarakan tentang cerita, alur, penokohan, latar, suasana, gaya dan tema/amanat. Dan kemudian unsur-unsur tersebut dibandingkan dengan unsure-unsur  Film. Dalam Bab III penulis membahas tentang Ekranisasi yaitu hal hal yang menyangkut pemindahan novel ke film. Perubahan apa sajakah yang nantinya terjadi apabila sebuah novel difilmkan .

4.      Istilah dan Ejaan
Istilah-istilah asing yang lazim dijumpai di dunia film sedapat mungkin penulis alihkan ke bahasa Indonesia. Bila sulit ditemukan padananya akan dipakai bentuk aslinya.
Kutipan-kutipan dari novel akan ditulis menurut ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (1972), termasuk dalam Novel yang terbit sebelum tahun 1972.



BAB II
NOVEL DAN FILM

1.             Cerita
Menurut Foster, cerita adalah pengisahan kejadian dalam waktu dan cerita adalah basis sebuah novel. Tanpa kehadiran cerita, sia-sialah usaha seorang pengarang untuk berkomunikasi dengan orang lain (pembaca), sebab orang tidak akan menemukan apa-apa dalam novel bersangkutan. Tugas pengaranglah merangkai-rangkainya menjadi saut kesatuan utuh yang kemudian bernama novel. Dalam novel merangkai-rangkaikan kejadian-kejadian, unsur waktu memgang peranan penting. Seorang novelis yang berhasil sudah barang tentu harus dapat membangkitkan rasa ingin tahu pembaca. “Apa yang terjadi sesudah itu ?” Pertanyaan ini lah yang harus dijawab dengan cerita. Dalam cerita-cerita lama, seperti Hikayat Bayan Budiman, Hikayat Bakhtiar dan sejenisnya, kerap kali rasa ingin tahu akan kelanjutan cerita mampu menyelamatkan pihak yang lemah. Lazimnya cerita dalam novel berkonotasi pada “kelampauan”. Artinya kejadian-kejadian yang dikisahkan biasanya sudah lewat di belakang pembaca. Dengan demikian, orang (pembaca) hanya bisa membayangkan apa yang dikisahkan pengarang, sebagai sesuatu yang terjadi pada masa lampau.
Tugas pengarang ialah membukakan atau mengungkapkan “masa lalu” itu kepada pembaca. Dengan kata lain kejadian-kejadian dalam novel tidak dapat dibayangkan pembaca sebagai “sedang”terjadi, melainkan sebagai sesuatu yang telah terjadi pada masa lalu. Seorang novelis hanya bisa menyampaikan cerita atau amanatnya dengan kata-kata. Seorang novelis membangun alur, penokohan, latar, dan suasana dengan bantuan kata-kata. Pada hakikatnya, film juga merupakan pengisahan kejadian dalam waktu. Tetapi kejadian dalam film tidak berkonotasi pada kemampuan, melainkan berkonotasi pada “kekinian”, pada sesuatu yang sedang terjadi.
Gambar-gambar dalam film bergerak berkelanjutan di layar putih, sehingga merupakan satu keutuhan cerita. Maka itu, gerak adalah salah satu esensi film. Baik gerak yang ditimbulkan kamera, gerak objek-objeknya, gerak yang ditimbulkan penyususnan gambar (editing), maupun pergerakan tokoh-tokoh yang ada dalam film. Film merupakan media audio-visual, suara pun ikut mengambil peranan di dalamnya. Suara manusia tentu karena pelaku film di dalamnya adalah manusia. Sedangkan musik dibutuhkan untuk memperkuat irama film. Film juga merupakan gabungan dari berbagai ragam kesenian: musik, seni rupa, drama, sastra ditambah dengan unsur fotografi. Itulah yang menyebabkan film menjadi kesenian yang kompleks.

2.      Alur
Cerita ialah pengisahan kejadian dalam waktu. Alurpun merupakan pengisahan kejadian dalam waktu, hanya saja pada yang belakangan ini harus ditambahkan unsure sebab dan akibat. Dengan demikian Alur adalah pengisahan kejadian dengan tekanan pada sebab musabab.
Dari segi kuantitatif alur dalam Novel dapat dibagi menjadi dua yakni alur tunggaldan alur ganda. Pada alur tunggal hanya terdapat satu jalinan cerita, sedangkan pada alur ganda terdapat lebih dari satu jalinan cerita.lazimnya alur mempunyai bagian bagian yang secara konvensional dikenal sebagai permulaan (begininning), pertikaian/perumitan (rising action), puncak (climax), pelarian (falling action), dan akhir (end).
Pada permulaan biasanya pengarang memperkenalkan tokoh tokohnya. Tokoh yang satu dihubungkan dengan tokoh lainnya. Dari perhubungan ini akan terjadi berbagai persoalan, yang makinlama makin memuncak.walau demikian seorang novelis tidak selamanya mengikuti urut-urutan permulaan, pertikaian, puncak, pelarian, dan akhir cerita. Novel Belenggu (Armijn Pane) misalnya justru dimulai dengan pertikaian, sedangkan novel Atheis justru dimulai dengan akhir cerita, yakni kematian Hasan.
Satu hal yang perlu diperhatikan seorang novelis adalah unsur tegangan (suspense). Unsur ini penting untuk memancing rasa ingin tahupembaca akan kejadian kejadian yang selanjutnya. Novelis yang baik tentu akan menyadari hal ini sebab kalau tidak, novelnya akan ditinggalkan orang (pembaca) sebelum habis dibaca.
Tidak demikian dengan Film. Film mempunyai keterbatasan ruang dan keterbatasan teknis. Jangka putar film biasanya berkisar antara satu setengah hingga dua jam. Oleh sebab itu film lebih sering memakai alur tunggal saja. Walau demikian bukan berarti film tidak bisa mengungkapkan persoalan persoalan yang kompleks.
Seperti seorang novelis seorang sutradara film pun harus memperhatikan unsur tegangan (suspense) sehingga bisa memancing rasa ingin tahu penonton untuk mengikuti cerita film secara keseluruhan. Seprti dalam novel, mengawali film dengan tegangan bukanlah jaminan berhasil tidaknya sebuah film. Keberhasilan film banyak tergantung pada keharmonisan berbagai unsur pendukung film, seperti pengambilan gambar, permainan, actor/artis, dan lain lain.

4.      Latar
Latar dalam film ditampilkan secara visual melalui gambar-gambar yang bergerak berkelanjutan, sehingga apa yang kelihatan di layar putih seolah-olah sedang terjadi dalam kehidupan sesungguhnya (kehidupan nyata). Apabila dalam novel orang (pembaca) hanya bisa membayangkan tempat tinggal seseorang, keadaan satu keluarga, keadaan masyarakat, dalam film orang ( penonton) menyaksikannya di depan mata.
Dari penampilan tokoh-tokoh film secara langsung (visual) itulah penonton mengetahui sifat (watak), sikap-sikap, dan kecendrungan-kecendrungan sang tokoh. Seperti dalam novel, sifat seorang tokoh dalam film juga dapat diungkapkan melalui benda-benda atau lingkungan sekitarnya. Orang menonton film tidaklah seperti membaca novel, bila ada hal kejadian yang terlupa, pembaca novel masih bisa kembali ke halaman-halaman yang terlupakan. Tidak demikian halnya menonton film. Orang menonton film hanya satu kali. Bila ada yang terlupa, orang tidak mungkin kembali ke bagian atau adegan yang terlupa itu.

4.   Latar
Sebuah kejadian tentu saja terdiri pada suatu ruang, tempat dan kurun waktu tertentu. Kapan dan dimana kejadian itu terjadi ? Inilah pertanyaan yang berkaitan dengan latar. Latar adalah tempat berpijak atau bertumpunya cerita, alur dan tokoh-tokoh novel. Latar dapat menunjang penokohan. Misalnya menerangkan di mana seorang tokoh berada, bagaimana keadaanya kini dan seterusnya.
Latar dalam film ditampilkan secara visual melalui gambar-gambar yang bergerak berkelanjutan, sehingga apa yang kelihatan di layar putih seolah-oleh sedang terjadi dalam kehidupan sesungguhnya (kehidupan nyata). Apabila dalam novel orang (pembaca) hanya bisa membayangkan tempat tinggal seseorang, keadaan satu keluarga, keadaan masyarakat, dalam film orang (penonton) meyaksikannya di depan mata. Seorang penulis skenario harus hati-hati dalam mencari dan memilih barang-barang atau benda-benda yang paling ekspresif, jelas, dan tepat diantara sekian banyak barang-barang atau benda-benda yang ada dalam kehidupan ini.

5.      Suasana 
Dalam membnagun suasana cerita, seorang pengarang perlu memperhatikan unsure situasi. Yaitu cocoknya situasi pada saat itu dengan suasana yang di ungkapkan. Dalam suasana pertemuan resmi tentu akan janggal bila ada peserta yang ber ‘gua’ dan ber ‘lu’. Sebaliknya bila ada tukang becak bergrombolan mereka menggunakan ‘bahasa melayu tinggi’ atau bahasa ‘baku’.
Suasana adalah jiwa sebuah Novel. Ia berfungsi menunjang cerita, alur, penokohan dan latar, sehingga novel terasa hidup. Dengan kata lain suasana adalah Roh, sebuah Novel. Tanpa Roh tersebut sebuah Novel; akan sangat kaku.
Suasana pun memegang peranan penting dalam film. Sauna dalam film juga berfungsi menunjang cerita, alur, penokohan, dan latar.

6.     Gaya
Ketika pada suatu kali membolak-balik naskah yang  hendak diterbitkan, Ajip Rosiditertarik pada sebuah naskah berjudul koong karya kebo kenanga (nama samaran). Dengan contoh ini hendak ditunjukkan, gaya seorang pengaranng bisa diketahui melalui karyanya. Karena seperti dikatakan Carlyle, “gaya bukan hanya baju, melainkan kulit pengarang itu sendiri. Gaya adalah orangnya sendiri. Sudah barang tentu gaya ini tak lepas dari pemakaian bahasa dan lebih khusus lagi menyangkut gaya bahasa dan cara pengisahan atau cara bercerita.
Cara pengisahan atau cara bercerita menyangkut cara apa yang dipakai pengarang untuk mengutarakan atau menyampaikan cerita atau maksudnya. Dibandingkan dengan novel, film relative lebih banyak memakai perlambang sebagai alat pengucapannya. Dalam novel, mungkin hal ini memerlukan penjelasan panjang lebar dan berhalaman-halaman. Dalam novel, dialog menduduki posisi penting. Tentu saja tidak semua informasi bisa divisualkan. Walau demikian, dialog dalam film juga mempunyai fungsi sendiri.

7. Tema / Amanat
Seorang pengarang (novelis) tentu saja mempunyai persoalan tertentu yang hendak dikemukakan atau diutarakan kepada pembaca. Ia mempunyai inti persoalan, inti inilah yang penulis maksud dengan tema. Amanat adalah sesuatu yang menjadi pendirian, sikap atau pendapat pengarang mengenai inti persoalan yang digagrapnya.
Walau begitu, besarnya tema bukanlah ukuran mutlak bagus tidaknya sebuah novel. Film pun mempunyai tema tertentu, yang inti nya persoalan yang hendak diuatarakan/disampaikan pembuat film kepada penontonnya. Keterbatasan tema (lebih tepat: tema, plot) dalam film dapat dipulangkan pada keterbatasan teknis film. Seperti halnya novel, kadang-kadang dalam film pun ditemui juga amanat pembuat film.



Tidak ada komentar: