CERPEN HUJAN DI MUSIM KEMARAU
(oleh : Marya Ulfa)
Matahari merekah di ufuk timur, pertanda dia telah bangun
dari tidurnya semalam. Sinarnya yang berwarna putih kemerah-merahan menembus
celah-celah dedaunan, membangunkan para burung untuk segera berkicau. Warga lajikaum
menyebar, menuai kehidupan di sawah dan ladangnya masing-masing. para pemuda
dan orang tua seakan bertanding untuk memenangkan perjuangan hidup hari ini,
dengan wajah cerah dan senyum yang cemerlang. Terik sang surya seakan membawa
kebahagiaan tersendiri bagi para petani, karena hari ini mereka akan panen di
sawahnya masing-masing.
Sejak pukul 04.00 pagi, Bu Samroh sudah bangun dan
memasak untuk acara panen. Dia begitu cekatan mempersiapkan keperluan panen
hari ini. Tepat pukul 06.30 Ibu Samroh menyuruh suaminya untuk bersiap ke sawah.
“
pak nuju naon ? Enggal atuh siap-siap ka sawah, pan bade panen ”
Bu Samroh mengingatkan.
“
Muhun ibu oge terang. Hayu atuh tos siap sadayana acan ”
Ujarnya pelan.
Tak lama kemudian Bu Samroh dan suaminya segera berangkat
menuju sawahnya yang lumayan jauh dari rumahnya menggunakan sepeda motor. Bu Samroh
sedikit kerepotan membawa bakul nasi dan ceret untuk acara panen nanti. Sesampainya
di sawah Bu Samroh langsung menyuruh
para pekerjanya berkumpul untuk acara sedekahan dan berdoa bersama sebagai
wujud syukur atas panen yang berlimpah tahun ini.
“
Ibu-ibu sareng bapak-bapak tos karumpul acan sadayana acan ? sateuacana mulai
acara panen, mangga urang sadayana sedekahan sebagai wujud syukur urang ka
Gusti Allah “ Pak Edi memberi penjelasan.
“
Muhun...” jawab para pekerja bersamaan.
Tepat pukul 07.00 pagi, ketika semua pekerja sudah berkumpul
di bawah pohon mangga, Pak Edi memulai acara sedekahannya. Sementara istrinya
segera mengeluarkan beberapa makanan di dalam bakulnya. Disana sudah tersedia
pepes ikan peda, sayur cabe, lepeut, ikan asin, kopi pahit, kopi manis, teh
manis, teh pahit, segelas air putih, roko dua batang, nasi sebakul, ayam bakar,
lalapan, sambel, dan telor asin.
Setelah makanan sudah tersaji, Pak Edi langsung memulai
acara sedekahannya. Pertama-tama tahlilan, lalu berdoa bersama. Baru kemudian
acara dilanjutkan dengan makan bersama di sawah bareng para pekerja. Walaupun sederhana,
acara ini sangat ditunggu-tunggu oleh para petani, belum lagi melihat
kebahagiaan di wajah para petani lain yang juga panen hari ini. Pagi ini terasa
sangat istimewa.
Acara selanjutnya adalah memotong padi sesuai jatahnya
masing-masing. Pagi petani yang panen berlimpah, maka pekerjanya pun
mendapatkan padi lumayan banyak (10:1). Jika petani panen padi satu ton maka
pekerjanya berhak mendapat padi satu kwintal. Pak edi dan Ibu samroh
memperhatikan dari kejauhan, merasa puas karena tahun ini padinya sangat bagus tanpa terkena hama
sedikit pun.
Tak lama kemudian, hamparan sawah yang menguning itu
hanya menyisakan potongan-potongan jerami kecoklatan. Beberapa tumpukan jerami
yang sudah dipotong siap dimasukan ke mesin giling. Sementara padi yang sudah
digiling langsung dijemur, supaya ketika nanti dijual harganya tinggi.
Matahari serasa di atas kepala, memberikan panas yang
sangat menyengat membakar kulit. Para pekerja mulai beranjak dari sawah,
berlindung di bawah pohon mangga. Berharap dedaunan itu bisa melindungi mereka
dari sengatan sang surya. Perlahan sebagian pekerja membuka bekal makan siang
yang mereka bawa dari rumah, segelas air es mampu membasahi tenggorokan mereka.
Sementara beberapa pekerja lain ada yang duduk santai sambil minum kopi, ada
juga yang tiduran di atas rumput, dan ada juga yang langsung makan siang.
“
Ngajabur Wa....! Ngajabur heula “ Teriak salah satu
pekerja.
“
Muhun Bi ieu oge bade “ Jawabnya enteng.
“
Teu acan garoyang sugan di dinya mah ?” Tanyanya ingin tahu.
“
Teu acan Bi, sakeudap deui “.
Canda dan tawa segera terdengar dimana-mana, karena pukul
11.30 adalah waktu istirahat para pekerja di ladang dan sawah. Mereka saling
bercerita, dan tak jarang mereka saling berbagi makanan dengan pekerja lainnya.
Suasana seperti inilah yang membuat para pekerja lebih bersemangat dan tidak
mengantuk.
“
Sawah kaler kenging sabara ton wa ?”
“
Alhamdulillah,,sawah Pak edi tahun ayeuna untung ageung, sawahna sae pisan “.
“
Wah..enak atuh ! ari sawah Pak Ahmad mah tahun ayeuna mah teu sae jiga tahun
kamar, nya lumayanlah nu penting aya lewihna “.
Musim Panen tak ubahnya seperti Hari Raya kedua bagi para
petani di desa. Masa panen adalah masa suka-cita, masa anak-anak kampung
berlomba menaikan layang-layang terindah atau pun bermain perang-perangan di
tumpukan jerami. Matahari kian meninggi memanjati langit, dari sinarnya yang
terang terlihat pantulan kekuningan bulir-bulir padi. Puluhan pipit-pipit
bandel tergoda amat sangat, berkali-kali tangan pekerja terangkat mengusir
mereka, berkali-kali pula gerombolan nekat itu datang lagi.
Di langit, matahari sudah mencapai singgasananya. Sementara
angin bertiup lembut memberikan hawa kesejukan, para pekerja bersiap
melanjutkan aktivitasnya kembali. Hanya tinggal setengahnya lagi, hamparan
sawah itu akan menyisakan tumpukan jerami untuk tempat bermain baru bagi
anak-anak desa. Rupanya cuaca tak bisa diajak kompromi, di tengah musim kemarau
ini tiba-tiba saja langit berubah menjadi sangat gelap, gemuruh petir memecah
kesunyian siang itu. Semua pekerja menjadi panik, acara panen kali ini benar-benar
di luar dugaan. Baru kali ini ada petir di siang hari pada musim kemarau. Tak lama
kemudian hujan pun turun dengan derasnya, merendam semua ladang dan sawah. Kini
hamparan sawah yang luas itu berubah seperti danau dadakan. Para pekerja
kebingungan antara rasa senang karena hujan turun dan rasa sedih karena hujan
turun di saat mereka panen. Tanpa pikir panjang, para pekerja segera
menyelamatkan tumpukan-tumpukan jerami yang belum digiling dan membawa padi
yang sedang dijemur ke pinggir jalan.
Para pekerja itu semakin terlihat panik tatkala petir
terus-menerus menggelegar tanpa henti, menyambar apa saja tanpa pandang bulu. Beberapa
pohon tumbang mengenai badan jalan, sementara jerami-jerami bekas panen
langsung hanyut terbawa arus yang kian deras. Pak Edi dan Istrinya segera
datang dan membantu pekerjanya menaikan padi ke atas truk. Bu Samroh hanya bisa
menatapnya di atas truk dengan kesedihan mendalam. Meskipun begitu, Ia dan
suaminya tak boleh berputus asa dan harus tetap bersyukur karena Ia masih bisa
menikmati hasil panen dari setengah sawahnya..
Kepanikan itu tak berhenti sampai di situ saja, kini
jerit ketakutan semakin jelas terdengar bersama isak tangis kesedihan. Rupanya ketika
petir menggelegar tadi ada salah satu pekerja dari sawah lain yang tersambar
petir hingga tubuhnya kehitaman dan mengeras. Lengkap sudah acara panen hari
ini, hujan itu membawa cerita tersendiri yang tak akan terlupakan sampai kapan
pun, kini jasad pekerja itu dibawa pulang bersama tumpukan jerami dan karung
padi di dalam truk, karena mustahil menunggu ambulance datang. Isak tangis
kesedihan menghantar mereka menuju rumah duka.
Pak Edi dan Istrinya sangat shock dengan peristiwa yang
baru saja terjadi, benar-benar seperti mimpi saja. Tak ada yang mengira bakal
separah ini kejadiannya, padahal masih segar dalam ingatan tadi siang para
pekerja itu berkumpul menikmati waktu istirahat sambil bercanda tawa di bawah
pohon mangga. Sekitar 16.30 wib hujan pun akhirnya reda, namun kepiluan itu
masih membekas dan tak terlupakan. Setelah hujan benar-benar reda, perlahan air
di pesawahan dan ladang pun surut. Kini jalan raya itu dipenuhi jerami-jerami
yang berserakan dimana-mana. Ternyata hujan di musim kemarau itu adalah sebuah
tanda untuk mengingatkan kita bahwa kematian dan musibah itu bisa terjadi kapan
saja, dimana saja, dan kepada siapa saja. Dan kematian bukanlah akhir dari
semuanya.
Selesai