Desa Berpenyakit
Dingin seperti menusuk tulang, begitu lah yang aku rasakan ketika menginjakkan kaki di kota Bandung. Sekitar pukul enam lewat sepuluh menit aku sampai di Bandung setelah melewati begitu banyak pemandangan yang sangat indah di kota ini, udaranya sungguh berbeda dengan di kota ku berasal, yaitu kota Tangerang.
“Sunguh sangat indah pemandangan di sini?”. Tanyaku kepada kelima teman-teman yang kebetulan satu rombongan dengan aku.
“Iya rin sungguh sangat indah pemandangan di sini begitu asri dan menenangkan jiwa!!”. Jawab temanku Santi.
Kami menginjakkan kota Bandung untuk melakukan praktik salah satu mata pelajaran yang ada di kampus kami, kebetulan kami ditempatkan di kota Bandung, kota sejuta kenangan.
Kami berlima langsung bergegas menghampiri para warga yang sedang menyambut kedatangan kami sejak tadi, maklum mungkin kami satu-satunya calon dokter yang masuk ke desa meraka yang sangat terpencil. Begitunya kami menghampiri mereka kami di sambut sangat baik dan kami disediakan tempat tinggal, walaupun tempat tinggal ini tidak cukup besar tapi tempat ini terlihat sangat rapi, mungkin para warga telah menyediakan serta membersihkan ini semua untuk menyambut kedatangan kami.
“Rasanya perjalanan kali ini sangat melelahkan tapi begitu mengasyikan, aku kira kedatangan kita ke sini akan menimbulkan polemik”. Kataku
“Pikirku juga seperti itu rin maklum di sini kan belum pernah ada dokter sebelumnya, yang ada hanya Mantri itupun letaknya di belakang gunung itu” . Timbal Yuni
Setelah kami menempati rumah yang sudah disediakan kami langsung membereskan barang-barang kami lalu kami mulai istirahat. Baru saja kami istirahat terdengar suara ketukan pintu. Tuk,,tuk, saya pun langsung membukakan pintu itu dan ternyata seorang anak kecil.
“Bu Dokter tolong ibu saya di rumah, ibu saya sedang sakit keras kalau ibu saya batuk keluar darah kental”. Kata anak perempuan itu dengan suara gemetar.
Aku pun langsung menjawabnya “iya dik kakak akan tolong ibu mu di rumah, sekarang kamu duduk dulu tenangkan diri mu kakak mau siap-siap dulu sebentar”.
Setelah aku siap-siap, aku pun langsung bergegas pergi ke rumah anak itu. Setelah sampai rumah anak itu sungguh iba hati ku melihat kondisi rumah yang begitu tidak layak huni serta letak rumah yang sangat jauh dari perkampungan serta lingkungan yang begitu sangat kotor seperti tidak terawat.
“Permisi bu??”. Sapa ku
“Terima kasih bu dokter sudah mau kerumah saya”. Jawab sang ibu dengan suara lemah.
Aku langsung memeriksa keadaan ibu tersebut, aku binggung penyakit apa yang ada di dalam tubuh ibu ini sungguh aku tidak pernah tahu penyakit apa ini. Karena aku panik aku menghubungi teman-teman ku agar mereka ikut memeriksa ibu ini.
Tak lama teman-teman ku pun datang dan langsung masuk ke dalam rumah lalu memeriksa kondisi ibu itu. Teman-teman ku pun binggung penyakit apa yang di derita ibu ini.
“Rin aku binggung penyakit apa ini, mengapa aku belum pernah menemukan penyakit seperti ini”. Tanya Susan kepadaku
“Aku juga sungguh gak ngerti penyakit apa ini, tapi menurut ku kita harus membawa ibu Hartati ke rumah sakit sebab kita harus menindak lanjuti masalah ini”. Jawab ku
“Tapi harus pakai kendaraan apa kita ke rumah sakit, sedangkan di sini tidak ada kendaraan yang memadai, lalu jarak dari sini ke rumah sakit memerlukan waktu 10 jam dan sedangkan kondisi ibu Hartati sudah tidak memungkinkan lagi untuk berpergian jauh. Bagaimana kalau kita rawat saja, kita kan lumayan banyak bawa obat-obatan serta alat medis”. Kata Susan
“Ya sudah kalu begitu kita rawat bu Hartati di rumah”. Jawab ku dengan nada lemas
Kami pun meminta batuan beberapa warga untuk membawakan alat medis yang ada di puskesmas dan di rumah singgah kami. Setlah peralat di rasa cukup kami langsung menangani bu Hartai.
Seminggu kemudian setelah kami merawat bu Hartati dengan kemampuan yang kami punya, kondisi bu Hartati tidak menunjukan perubahan, malah bisa dikatakan kondisinya semakin memburuk karena setiap kali kami beri obat tubuh bu Hartati selalu menolak. Kami pun menjadi sangat khawatir, karena belum sepuluh hari kami di sini kami sudah menangani penyakit yang aneh ini. Kami pun selalu memberikan yang terbaik untuk bu Hartati tapi keadaanya tidak juga kunjung baik.
Dari arah belakang terdengar suara tangisan anak kecil, suara tersebut adala suara anaknya bu Hartati.
“Kamu kenapa Sari, menangis seperti ini?”. Tanyaku dengan
“Aku takut bu dokter, takut kalau ibu Sari gak bisa disembuhin. Sari takut bu dokter, Sari sayang sama ibu, Sari mau ibu Sari sembuh seperti dulu”. Jawab Sari sambil menangis
Aku pun memeluk Sari lalu menjawab “Kamu sabar Sari kamu harus berdoa agar ibu kamu cepet sembuh, kakak akan bantu kamu sebisa kakak, kamu tenang yah”.
Waktu pun terasa begitu cepat, sudah satu bulan kami tinggal di desa ini dan menangani seorang ibu yang entah apa penyakitnya. Karena sudah hampir satu bulan kami merawat bu Hartati tapi tak kunjung sembuh. Kami pun berniat akan nekad membawa ibu Hartati ke rumah sakit walaupun kami tahu keputusan yang kami buat akan mencelakakan nyawa bu Hartati sendiri.
Kami pun meminta para warga untuk meminjam mobil dinas yang ada di kecamatan yang letaknya delapan jam dari sini. Setelah mobil sampai kami pun langsung membawa bu Hartati kerumah sakit dengan membawa beberapa obat-obatna untuk di jalan.
Kami pun langsung pergi ke rumah sakit. Ditengah-tengah perjalanan ternyata mobil yang kami kendarai ternyata mogok dan kondisi bu Hartati semakin parah dan detak jantungnya semakin menurun. kami pun panik lalu kami langsung melakukan pertolongan sebisa kami, tapi apa daya ternyata nyawa bu Hartati tidak tertolong. Kami pun membawa bu Hartai pulang ke rumah untuk menguburkannya.
Setelah penguburannya bu Hartati selesai waktu dinas kami pun berakhir dan kami langsung siap-siap pergi dan meninggalkan desa ini dan membawa sejuta cerita yang akan kami ceritakan kepada teman-teman di Tangerang. Kami pun berpamitan dengan para warga dengan hati sedih karena sudah gagal menolong warga.
Sesampainya kami di kampus, kami semua berniat akan menanyakan penyakit apa yang di derita bu Hartati kepada dosen kami yang kebetulan dosen kami adalah salah satu dokter di rumah sakit ternama di Jakarta.
Kami pun langsung bergegas bertemu dokter dan langsung menanyakan. Kami semua memberi ciri-ciri penyakit yang di derita bu Hartati. Setelah kami menceritakan semuanya kepada dosen kami dan dosen kami pun menjawab bahwa b Hartati mengalami penyakit yang langka, hanya ada 100 orang di dunia yang terserang penyaki ini dan bu Hartati salah satu korban dari keganasan penyakit iini. Penyakit ini bernama “Flu Burung”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar