2013/09/20

tugas cerpen lingkungan



CERPEN HUJAN DI MUSIM KEMARAU
(oleh : Marya Ulfa)

            Matahari merekah di ufuk timur, pertanda dia telah bangun dari tidurnya semalam. Sinarnya yang berwarna putih kemerah-merahan menembus celah-celah dedaunan, membangunkan para burung untuk segera berkicau. Warga lajikaum menyebar, menuai kehidupan di sawah dan ladangnya masing-masing. para pemuda dan orang tua seakan bertanding untuk memenangkan perjuangan hidup hari ini, dengan wajah cerah dan senyum yang cemerlang. Terik sang surya seakan membawa kebahagiaan tersendiri bagi para petani, karena hari ini mereka akan panen di sawahnya masing-masing.
            Sejak pukul 04.00 pagi, Bu Samroh sudah bangun dan memasak untuk acara panen. Dia begitu cekatan mempersiapkan keperluan panen hari ini. Tepat pukul 06.30 Ibu Samroh menyuruh suaminya untuk bersiap ke sawah.
“ pak nuju naon ? Enggal atuh siap-siap ka sawah, pan bade panen ” Bu Samroh mengingatkan.
“ Muhun ibu oge terang. Hayu atuh tos siap sadayana acan ” Ujarnya pelan.
            Tak lama kemudian Bu Samroh dan suaminya segera berangkat menuju sawahnya yang lumayan jauh dari rumahnya menggunakan sepeda motor. Bu Samroh sedikit kerepotan membawa bakul nasi dan ceret untuk acara panen nanti. Sesampainya di sawah Bu Samroh  langsung menyuruh para pekerjanya berkumpul untuk acara sedekahan dan berdoa bersama sebagai wujud syukur atas panen yang berlimpah tahun ini.
“ Ibu-ibu sareng bapak-bapak tos karumpul acan sadayana acan ? sateuacana mulai acara panen, mangga urang sadayana sedekahan sebagai wujud syukur urang ka Gusti Allah “ Pak Edi memberi penjelasan.
“ Muhun...” jawab para pekerja bersamaan.
            Tepat pukul 07.00 pagi, ketika semua pekerja sudah berkumpul di bawah pohon mangga, Pak Edi memulai acara sedekahannya. Sementara istrinya segera mengeluarkan beberapa makanan di dalam bakulnya. Disana sudah tersedia pepes ikan peda, sayur cabe, lepeut, ikan asin, kopi pahit, kopi manis, teh manis, teh pahit, segelas air putih, roko dua batang, nasi sebakul, ayam bakar, lalapan, sambel, dan telor asin.
            Setelah makanan sudah tersaji, Pak Edi langsung memulai acara sedekahannya. Pertama-tama tahlilan, lalu berdoa bersama. Baru kemudian acara dilanjutkan dengan makan bersama di sawah bareng para pekerja. Walaupun sederhana, acara ini sangat ditunggu-tunggu oleh para petani, belum lagi melihat kebahagiaan di wajah para petani lain yang juga panen hari ini. Pagi ini terasa sangat istimewa.

            Acara selanjutnya adalah memotong padi sesuai jatahnya masing-masing. Pagi petani yang panen berlimpah, maka pekerjanya pun mendapatkan padi lumayan banyak (10:1). Jika petani panen padi satu ton maka pekerjanya berhak mendapat padi satu kwintal. Pak edi dan Ibu samroh memperhatikan dari kejauhan, merasa puas karena tahun  ini padinya sangat bagus tanpa terkena hama sedikit pun.
            Tak lama kemudian, hamparan sawah yang menguning itu hanya menyisakan potongan-potongan jerami kecoklatan. Beberapa tumpukan jerami yang sudah dipotong siap dimasukan ke mesin giling. Sementara padi yang sudah digiling langsung dijemur, supaya ketika nanti dijual harganya tinggi.
            Matahari serasa di atas kepala, memberikan panas yang sangat menyengat membakar kulit. Para pekerja mulai beranjak dari sawah, berlindung di bawah pohon mangga. Berharap dedaunan itu bisa melindungi mereka dari sengatan sang surya. Perlahan sebagian pekerja membuka bekal makan siang yang mereka bawa dari rumah, segelas air es mampu membasahi tenggorokan mereka. Sementara beberapa pekerja lain ada yang duduk santai sambil minum kopi, ada juga yang tiduran di atas rumput, dan ada juga yang langsung makan siang.
“ Ngajabur Wa....! Ngajabur heula “ Teriak salah satu pekerja.
“ Muhun Bi ieu oge bade “ Jawabnya enteng.
“ Teu acan garoyang sugan di dinya mah ?” Tanyanya ingin tahu.
“ Teu acan Bi, sakeudap deui “.
            Canda dan tawa segera terdengar dimana-mana, karena pukul 11.30 adalah waktu istirahat para pekerja di ladang dan sawah. Mereka saling bercerita, dan tak jarang mereka saling berbagi makanan dengan pekerja lainnya. Suasana seperti inilah yang membuat para pekerja lebih bersemangat dan tidak mengantuk.
“ Sawah kaler kenging sabara ton wa ?”
“ Alhamdulillah,,sawah Pak edi tahun ayeuna untung ageung, sawahna sae pisan “.
“ Wah..enak atuh ! ari sawah Pak Ahmad mah tahun ayeuna mah teu sae jiga tahun kamar, nya lumayanlah nu penting aya lewihna “.
            Musim Panen tak ubahnya seperti Hari Raya kedua bagi para petani di desa. Masa panen adalah masa suka-cita, masa anak-anak kampung berlomba menaikan layang-layang terindah atau pun bermain perang-perangan di tumpukan jerami. Matahari kian meninggi memanjati langit, dari sinarnya yang terang terlihat pantulan kekuningan bulir-bulir padi. Puluhan pipit-pipit bandel tergoda amat sangat, berkali-kali tangan pekerja terangkat mengusir mereka, berkali-kali pula gerombolan nekat itu datang lagi.

            Di langit, matahari sudah mencapai singgasananya. Sementara angin bertiup lembut memberikan hawa kesejukan, para pekerja bersiap melanjutkan aktivitasnya kembali. Hanya tinggal setengahnya lagi, hamparan sawah itu akan menyisakan tumpukan jerami untuk tempat bermain baru bagi anak-anak desa. Rupanya cuaca tak bisa diajak kompromi, di tengah musim kemarau ini tiba-tiba saja langit berubah menjadi sangat gelap, gemuruh petir memecah kesunyian siang itu. Semua pekerja menjadi panik, acara panen kali ini benar-benar di luar dugaan. Baru kali ini ada petir di siang hari pada musim kemarau. Tak lama kemudian hujan pun turun dengan derasnya, merendam semua ladang dan sawah. Kini hamparan sawah yang luas itu berubah seperti danau dadakan. Para pekerja kebingungan antara rasa senang karena hujan turun dan rasa sedih karena hujan turun di saat mereka panen. Tanpa pikir panjang, para pekerja segera menyelamatkan tumpukan-tumpukan jerami yang belum digiling dan membawa padi yang sedang dijemur ke pinggir jalan.
            Para pekerja itu semakin terlihat panik tatkala petir terus-menerus menggelegar tanpa henti, menyambar apa saja tanpa pandang bulu. Beberapa pohon tumbang mengenai badan jalan, sementara jerami-jerami bekas panen langsung hanyut terbawa arus yang kian deras. Pak Edi dan Istrinya segera datang dan membantu pekerjanya menaikan padi ke atas truk. Bu Samroh hanya bisa menatapnya di atas truk dengan kesedihan mendalam. Meskipun begitu, Ia dan suaminya tak boleh berputus asa dan harus tetap bersyukur karena Ia masih bisa menikmati hasil panen dari setengah sawahnya..
            Kepanikan itu tak berhenti sampai di situ saja, kini jerit ketakutan semakin jelas terdengar bersama isak tangis kesedihan. Rupanya ketika petir menggelegar tadi ada salah satu pekerja dari sawah lain yang tersambar petir hingga tubuhnya kehitaman dan mengeras. Lengkap sudah acara panen hari ini, hujan itu membawa cerita tersendiri yang tak akan terlupakan sampai kapan pun, kini jasad pekerja itu dibawa pulang bersama tumpukan jerami dan karung padi di dalam truk, karena mustahil menunggu ambulance datang. Isak tangis kesedihan menghantar mereka menuju rumah duka.
            Pak Edi dan Istrinya sangat shock dengan peristiwa yang baru saja terjadi, benar-benar seperti mimpi saja. Tak ada yang mengira bakal separah ini kejadiannya, padahal masih segar dalam ingatan tadi siang para pekerja itu berkumpul menikmati waktu istirahat sambil bercanda tawa di bawah pohon mangga. Sekitar 16.30 wib hujan pun akhirnya reda, namun kepiluan itu masih membekas dan tak terlupakan. Setelah hujan benar-benar reda, perlahan air di pesawahan dan ladang pun surut. Kini jalan raya itu dipenuhi jerami-jerami yang berserakan dimana-mana. Ternyata hujan di musim kemarau itu adalah sebuah tanda untuk mengingatkan kita bahwa kematian dan musibah itu bisa terjadi kapan saja, dimana saja, dan kepada siapa saja. Dan kematian bukanlah akhir dari semuanya.


Selesai

Tidak ada komentar: