Nama :
Ari Purwoko
NIM : 2011070054
Cinta
Tak Mengenal Berat Badan
Selalu
tujuh putaran. Setiap hari, hanya tujuh putaran berlari mengelilingi kampus
pada pukul enam lewat empat puluh lima pagi. Kalo kurang dari itu saya malu,
kalo lebih pun saya tak mampu. Terus terang aja, saya bukan tipikal pria yang
suka olahraga, tapi bukannya tidak suka. Saya juga suka main bola semasa sekolah,
dan sering mencoba voli dan juga basket.
Namun
saya hanya duduk dibangku cadangan dan hanya menonton aksi teman-teman sekelas
sambil memberi semangat bersama anak perempuan. Kala itu saya selalu mencoba,
namun saya selalu lebih rendah dari temen-teman saya yang lebih dari saya. Saya
pun sudah mulai kehilangan rasa percaya diri jika berada pada semua bidang yang
saya tidak kuasai.
Akan
tetapi saya selalu mencoba untuk berbaur dan menunjukan kemampuan diri, ya
walaupun selalu hasil yang saya dapat tidak sesuai dengan apa yang diharapkan.
Selalu tersingkir, tersisih ke belakang, dikarenakan ada yang lebih dari saya
atau pun saya yang menarik diri. Entahlaah, mungkin aja saya tidak berbakat
dibidang olahraga.
Saya
iri dengan mereka.
Saya
tidak merokok, saya juga benci asap rokok, tapi bukan saya tidak pernah
mencoba, saya juga pernah mencicipi yang namanya rokok pada saat kelas enam SD.
Waktu itu saya sedang bermain bersama di salah satu rumah teman. Total kami
berlima, dua orang kelas 2 SMP, 2 orang lainnya duduk dikelas 2 SMA. Orang tua
teman saya sedang pergi keluar kota, Lalu mulailah kami “berpesta”. Kami hanya
merokok saja. Hanya saya sendiri aja yang tidak ikut menghisap.
Mereka
tampak asik menghisap batang-batang tembakau itu, akan tetapi saya sama tidak
tertarik, walaupun agak sedikit penasaran bagaimana cara dan rasa dari rokok
itu. Tau sendiri kan rasa penasaran anak itu kaya apa ?? Lalu salah satu teman saya yang udah SMA
menawari saya untuk menghisap rokok, “eh sini, ayo ikut cobain, enak tau...”
ucapnya. Saya menggeleng dengan cepat. Saya takut, takut ketauan ayah. Tapi dia
terus membujuk dan merayu, lalu timbullah bisikan “ah, mungkin sedikit aja gak
apa-apa kali yaa..”. Saya pun menggapai salah satu rokok dari tangan teman saya
dan menghisapnya. Baru satu hisapan pendek aja dada saya langsung sesak dan
napas seakan tersangkut di leher. Saya batuk-batuk dan mau muntah.
Mulai
sejak saat itu saya semakin tidak suka rokok dan tidak pernah mau lagi mencoba
lagi. Meski saya tidak merokok, entah kenapa saya tidak kuat berlari. Kalo kata
orang yang tidak merokok itu lebih kuat daripada yang merokok. Tapi
kenyataannya itu tidak terbukti pada saya. Selam SD, SMP, bahkan sampai saya
lulus SMA saya selalu kalah berlari dengan teman-teman. Mulai dari stamina,
teknik saya kalah segalanya. Saya malu.
Beberapa
bulan lalu ketika saya masih tenggelam dalam ketegangan Ujian Nasional, pesan
singkat dari Ibu yang tinggal di kampungpun kembali menyadarkan saya akan hal
tersebut.
“Mamas
sehatkan ? jangan lupa shalat sama olahraga yaa.. jangan sampe gakk..”
Pesan itu sangat memukul hati saya, karena
syaya sadar akan pentingnya kesehatan dan memang berat badan saya semakin hari
makin bertambah. Pergerakan saya pun semakin lamban, saya juga jarang sekali
bergerak, ya walaupun itu untuk ke kamar mandi saja. Jika perut saya lapar
barulah saya keluar kamar. Pergi keluar rumah juga saya sellu menggunakan
sepeda motor, saya jarang sekali berjalan kaki, mungkin karena saya memiliki
motor, jadi buat apa saya harus berjalan kaki ???
Sebenarnya
isu kesehatan tidak akaan pernah membuat saya khawatir, karen saya tidak
gemuk-gemuk amat, tinggi saya seratus enam puluh tiga senti berat badan saya
enam puluh tujuh kilo. Memang stelah saya konsultasi dengan ahli gizi berat
badan saya lebih berat daripada orang normal seharusnya. Hal ini lah yang
memacu saya untuk berolahraga lagi, karena saya memiliki seorang teman yang
sangat gemuk, hingga dia tidak memiliki leher. Dia tampak bahagia dan sangat
baik keadaannya. Namun saat dia naik motor tak bisa berboncengan dengan orang
lain, karena jok sudah penuh dengan tubuhnya sendiri. Mungkin saat berbelanja
pakaian ia selalu kesulitan untuk mendapatkan pakaian yang sesuai dengan ukuran
tubuhnya. Saya sering melihat dia susah untuk bernapas. Mungkin menurut saya
lemak yang ada didalam tubuhnya berlebihan, sehingga menghambat jalur
pernapasannya.
Saya
tidak mau seperti dia...
Dan
disinilah saya mulai terengah-engah ditengah komplek perumahan disekitar
sekolah pada pukul enam lewat empat puluh lima pagi. Hanya mampu berlari tujuh
putaran. Selalu tujuh putaran, lebih dari itu saya tidak mapu, kurang dari itu
saya malu. Akan tetapi saya bertemu dengan seorang wanita. Dia menghampiri saya
sambil tersenyum, dia berkata
“Cuma
tujuh putaran ?”
“Aku
saja yang perempuan bisa berlari lebih jauh daripada pria manapun disekolah
ini”. Tidak pernah sampai tujuh putaran, itu merupakan suatu hal yang sangat
memalukan. Belakangan ini aku sering melihat pria itu berlari di area sekolah.
Pada awalnya sih aku tidak terlalu memperhatikan si dia, namun iseng-iseng aku
mengikuti jalur larinya, aku baru sadar ternyata dia hanya mampu berlari tujuh
putaran saja.
Selalu
tujuh putaran.
Aku
tidak suka berlari hanya tujuh putaran, karena tujuh putaran tidak cukup bagiku
untuk berlari dari apa yang ingin aku tinggalkan.
Masa
lalu...
“Pengkhianatan
adalah hal yang sangat menyakitkan daripada maraton bertelanjang kaki, kau tau
itu” ??
Aku
masih belum bisa percaya dengan apa yang aku lihat saat suatu pagi yang segar
aku menemukan dia yang sedang lari pagi santai di taman kota dengan seorang
perempuan. Aku pun mengikuti mereka dari belakang dan mereka tidak meyadari
kehadiranku. Mereka berhenti beberapa kali, lalu mereka lanjut berlari santai
sambil berpegangan tangan. Ketika aku memicingkan mata dan berusaha
menyingkirkan rasa curiga justru
mengejutkanku, ternyata perempuan yang sedang bersama sepatu kesayanganku itu
adalah sahabatku sendiri.. “Katakan padaku, apa yang lebih buruk dari seorang
sahabat yang merebut kekasihmu” ?? maka aku menghampiri mereka saat itu juga
dan menampar keras keduanya.
Sejak
saat itu, aku butuh lebih dari tujuh putaran di sekolah untuk berlari dari
sakit hati. Semakin hari aku berlari semakin jauh dan napasku semakin panjang.
Kedua kakiku seolah tidak pernah mengenal lelah. Jika setiap tujuh putaran aku
membutuhkan tujuh ptuaran lagi, begitu seterusnya. Jadwal sekolahku setiap pagi
yang mampu membantuku menahan diri.
Aku
belum pernah ngeliat pria yang cuma mampu berlari tujuh putaran , sepertinya
baru seminggu belakangan ini dia berlari disini. Ia payah, tubuhnya gemuk tapi
sebenarnya tidak begitu gemuk juga. Dari tampangnya sii dia bukan seorang
perokok, tapi bekas sepatu kesayanganku itu seorang perokok berat, tapi dia
bahkan bisa lari lebih lama dari pada pria tujuh putaran. Jadi kesimpulan yang
aku dapat adalah pria tujuh putaran ini memang jarang olahraga.
Pagi
hari ini dia sangat payah, pada putaran pertama aku melihat dia sudah
terengah-engah. Pada putaran ketujuh, dia tampak hampir pingsan, tapi entah
kenapa tiba-tiba aku khawatir makaa aku menghampirinya.
“Cuma
tujuh putaran ?” kataku
Tak
ada maksud untuk menyinggungnya, aku hanya bermaksud baik, aku ingin dia
berlari lebih jauh lagi. Lebih jauh dari yang aku tempuh, aku melihat ada
semangat yang besar dari matanya, aku tak pernah melihat mata seperti itu lagi
sejak aku patah hati. “itu dulu”
Dulu
sebelum sepatu kesayanganku direbut sama sahabatku, aku masih punya sorot mata
penuh semangat itu. Namun sekarang yang ku punya hanya sepasang kaki yang ingin
berlari lebih jauh dan napas yang membuang lebih banyak. Aku ingin meninggalkan
kenangan pait itu sejauh mungkinyang aku mampu.
Kujulurkan
tangan kepadanya dia menyambutku.
“Terima
kasih” katanya. “Iya, saya tidak bisa lari lebih jauh lagi, aku capek”. Aku
menepuk lengannya, “ayo dong, masa kalah sama cewek ?”
Dia
mengangkat pundaknya, seperti pasrah dan tidak mau melawan pernyataanku. Untung
dia tidak tersinggung. “Kamu sering lari pagi disini yaa ?”, btanyanya sembari
mengatur napas. “Kamu baru kali ini ya lari dsini ?” aku membalas
pertanyaannya.
Dia
hanya tersenyum mendengarku, ia mengusap muka dan lehernya yang basah. Baru
tujuh putaran, tapi keringatnya sudah seperti air bah, banyak sekali, sedangkan
aku butuh berbelas-belas putaran untuk mengeluarkan keringat, itu juga baru
sedikit.
Lalu
alih-alih menjawab pertanyaanku, dia malah memperkenalkan diri. Ia menyebutkan
namanya, aku jugu aku memperkenalkan diriku. Kalo ku perhatikan kok wajahnya
gak asing yaa, seakan-akan aku sudah mengenal dia bertahu-tahun. Raut wajahnya
begitu akrab dan membuat sesuatu yang ada didalam dadaku terasa nyaman,
kemudian setelah ia berhasil menguasai diri dan berhenti melamun dia menoleh
kearahku dan menatap mataku dengan tajam.
Mata
itu, seperti mataku yang dulu.
“Mulai
hari ini mau menemani saya berlari pagi ?”
Begitu
ucapnya, seperti permintaan saat melamar seorang perempuan saja, Cuma dia hanya
mengajak aku berlari saja. Tapi entah kenapa, aku ngerasa senang sekali.
“Kenapa
hanya tujuh putaran ?”tanyanya kepada saya, seperti orang yang penasaran. Ini
merupakan minggu keempat sejak kami berkenalan pertama. Saat itu saya mampu
berlari lebih jauh dari pada biasanya, mulai sejak itu saya menambah satu atau
dua putaran, bahkan dalam tiga minggu terakhir saya mampu berlari hingga dua
puluh putaran, sungguh mengejutkan untuk saya, mungkin akan masuk rekor
pribadi...
Saya
tidak percaya dengan kaki saya sendiri.
Kemudian
saya tersenyum, “saya bisa berlari lebih jauh dari ini, tapi tapi hanya butuh
tujuh putaran untuk membuat kamu tertarik dan terpesona kepada saya. Benar
bukan ?”. Lalu perempuan itu tersipu malu dan memukul bahu saya, saya nekat
untuk menggenggam dan meraih tangannya, untunglah dia tidak menghindar, malah
dia merespon dan mengggenggam tangan saya dengan erat. Setelah kejadian itu,
kami berdua hanya berjalan kaki dan tidak sampai satu putaran. Kami begitu
capek memikirkan dimana dan bagaimana setelah ini waktu hendak kami habiskan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar