2013/06/21

Cerpen dengan gaya dialek


Kenapa Begini ?
Oleh: Novia Indriyani

“Neeeng ulah cicing di lawang panto, mantak hese jodoh”. Begitulah kata seorang ibu yang berada di suatu kampung yang mayoritas masyarakatnya juga sangat memegang luhur larangan-larangan yang ada dalam budaya sunda. Ucapan si ibu muncul ketika sedang melihat anaknya duduk di depan pintu. Kemudian anak yang berusia 12 tahun ini menuruti apa kata ibunya. Ibu ini sudah memiliki enam cucu dari kelima anaknya, dan semua anaknya penurut, selalu mendengarkan nasehat-nasehat ibunya.

Namun dari keenam anaknya hanya ada satu yang agak sedikit membangkang dan selalu mempertanyakan apa saja yang dilarang oleh ibunya. Dia adalah si bungsu yang bernama Euis. Ia sangat aktif sekali bertanya-tanya kenapa, mengapa, dan apa akibatnya. Ibu selalu melarang anak-anaknya untuk tidak duduk di depan pintu, karena menurut suku sunda itu dapat menjauhkan jodoh. Ibu sangat mempercayai semua larangan-larangan yang tidak boleh dilakukan dalam suku sunda atau yang biasa dikenal dengan sebutan pamali. Apa lagi soal duduk di depan pintu itu, karena kelima anaknya itu hidup di bawah aturan-aturan sunda yang ibu kuasai dan pegang secara turun temurun.

Sehingga anak-anaknya itu selalu cepat mendapatkan jodoh dan akhirnya menikah muda. Ibu juga sering berkata “ulah sakola luhur-luhur, toh pada akhirnya wanita itu hanya berada di dapur dan di ranjang untuk melayani suami, dan itu semua tidak butuh ilmu sampai harus sekolah tinggi-tinggi”. Begitulah cara ibu menasehati keenam anak perempuannya. Dan semua anaknya menuruti petuahnya. Waktu itu Euis masih balita. Sehingga dia tidak bertanya atau memberontak saat ibu berkata itu, dia hanya menangis dalam pangkuan ibunya dan minta disusui.

Namun kini usia Euis sudah 12 tahun dia semakin aneh soal larangan-larangan ibu yang dianggapnya itu semua hanyalah mitos. Dia pun selalu berpikir kenapa begini cara ibu mendidik anaknya, hanya dibekali kata-kata pamali itu. Pernah suatu malam kakak Euis yang kelima mengajak anaknya yang berumur 4 tahun untuk keluar rumah membeli makan. Tapi tiba-tiba ibu berkata “ulah mawa budak leutik kaluar imah tipeuting, sok dideketan makhluk halus”, begitu kata si ibu, yang katanya tidak boleh membawa anak kecil keluar malam karena di khawatirkan di dekati oleh makhluk halus.

Saat Euis mendengar hal itu, si bungsu ini hanya tertawa kecil dan berkata “aya-aya wae si ambu mah”. Tapi akhirnya si kakak pun tidak membawa anaknya keluar. Tidak lama anak kakak pertama Euis keluar dari kamar sambil menggaruk kepala, lalu kakak Euis bertanya “kunaon neng ?” dan anaknya menjawab “pala eneng gatel bu”. Dan kakak Euis pun langsung mendekati anaknya, maksudnya mau membantu menggaruk dan memeriksa ada apa di kepala anaknya itu, namun lagi-lagi ibu melarang katanya tidak boleh mencari kutu di malam hari suka di dekati makhluk alam lain. Dan untuk kesekian kalinya Euis hanya tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala.

Hari ini tepat tanggal 06 Nopember itu berarti usia Euis sudah 15 tahun. Dia mulai tumbuh sebagai gadis remaja. Juli kemarin dia baru saja lulus dari sekolah SMP Negeri. Banyak sekali perjuangan Euis untuk bisa bersekolah lagi karena ibu hanya menginginkan setamat SD anak-anaknya bekerja lalu menikah. Tapi Euis berbeda ia tidak mau seperti kakaknya yang setamat SD kerja serabutan lalu menikah, kemudian suaminya entah kemana perginya meninggalkan dua kakaknya itu. Akhirnya dengan perjuangan menjual dagangan tetangganya Euis berhasil membiayai sekolahnya sendiri walaupun ibu tetap pada pendiriannya, bahwa wanita tidak perlu sekolah tinggi-tinggi. Tapi hari ini ia bangga karena lulus dengan hasil yang baik dan dia juga mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan sekolah ke SMA Negeri.

Sifat Euis yang agak membangkang dan keras kepala itu sama seperti ayahnya. Namun ayahnya sudah meninggal ketika Euis berusia 5 tahun. Menurut cerita kakak-kakaknya ayah Euis itu sering sekali berbeda pendapat dengan ibu, apalagi soal pendidikan. Ayah masih bisa berpikiran modern, tapi ibu sangatlah kolot dengan pamali-pamalinya itu. Semua kakaknya tidak ada yang berani membantah perkataan ibu, karena memang sejak kecil mereka dilahirkan sebagai anak yang sangat penurut. Sedangkan Euis dilahirkan di zaman masa kini, sehingga ia sangat aneh mendengar larangan-larangan ibu yang kurang  masuk akal itu. Ayah juga selalu memimpikan agar salah satu dari anaknya ada yang menjadi sarjana.

Mendengar cerita dari kakaknya tentang ayah, Euis pun semakin bertekad untu membuktikan bahwa tidak semua larangan-larangan ibu benar. Apa lagi soal wanita yang tidak perlu sekolah tinggi-tinggi karena pada akhirya akan berada di dapur, “begitu kata ibu”. Dan akhirnya dengan setengah memohon dan mengemis kepada ibu agar Euis boleh melanjutkan sekolahnya dan mengambil beasiswa itu. Dengan rasa kasihan akhirnya ibu pun mengizinkannya. Dan ia pun kembali berdagang demi biaya sekolahnya itu.

Dagangannya pun selalu habis, dan Euis selalu mendapatkan upah dari hasil dagangannya itu. Hari demi hari bulan demi bulan dan tahun demi tahun ia lewati dengan seperti itu berdagang dan belajar juga membantu ibu. Sesekali ia mendengarkan petuah ibunya, seperti tidak menyisakan nasi sebutir pun di piring bila sedang makan, karena menurut ibu itu sebagai tanda menghormati dewi padi. Padahal saat itu Euis memang sedang kelaparan, makanya ia tidak menyisakan nasi sebutir pun di piringnya.

Hari kelulusan SMA pun tiba Euis pun senang tak tergambarkan, karena lagi-lagi ia mendapatkan hasil tertinggi di sekolahnya dan mendapatkan beasiswa lagi untuk melanjutkan sekolahnya ke Perguruan Tinggi. Seraya dengan itu Euis pun harus kembali bersih tegang dengan ibu. Tetangganya pun kini mulai ikut campur dengan urusan pendidikannya. Tetangga dan ibunya menyuruh Euis menikah saja dengan anak pak RW karena dikhawatirkan Euis sering melanggar larangan ibunya, sehingga ia sulit untuk mendapatkan jodoh. Padahal dalam hati Euis dia memang tidak mau berpacaran dulu sebelum ia masuk kuliah atau pun lulus kuliah.

Namun ibunya tetap saja memaksa Euis untuk menikah dengan anak pak RW yang menurut Euis anak pak RW itu sering gonta-ganti wanita, karena Euis sendiri pernah melihatnya. Namun ibunya dengan seribu alasan membela anak pak RW itu. Euis pun marah dengan nada agak membentak Euis berkata pada ibunya “ibu itu apa-apaan sih menyuruh Euis untuk menikah, Euis masih ingin sekolah, Euis tidak mau menikah muda. Banyak sekali larangan-larangan ibu yang Euis tidak mengerti, tidak boleh ini, tidak boleh itu, selama ini Euis kerja keras hanya untuk membiayai sekolah Euis, harusnya ibu bersyukur mempunyai anak yang ingin mengangkat derajat keluarga seperti Euis. Lihat kakak-kakak Euis kemana suami-suami mereka yang mau enaknya saja membuat anak lalu pergi entah kemana”.  Siang itu mereka habiskan dengan beradu pendapat. Dan akhirnya Euislah yang mengalah untuk diam dan pergi ke kamar.

Euis sangat emosi karena ibunya tidak mau mrndengarkan kata-katanya. Malam hari Euis pun memutuskan untuk kabur dari rumah. Ibu mengira Euis ada saja di dalam kamar, namun esok harinya saat ibu hendak membangunkan Euis untuk sholat subuh, ibu kaget melihat Euis tak ada di kamarnya. Kakak-kakanya pun sibuk mencari ke rumah tetangga, kesana kemari, namun Euis tidak ada. Lima hari berlalu dengan kesedihan ibu, tapi ada salah satu tetangga Euis yang kebetulan dia adalah paman teman Euis yang berada di kampung sebelah tempat Euis menginap. Paman itu pun memberi tahu Euis bahwa ibunya sudah lima hari ini terus menangis mencari-cari Euis. Mendengar hal itu Euis pun hanya bisa terdiam dan sedikit meneteskan air mata, dan siang harinya Euis memutuskan untuk kembali ke rumah dan benar ia melihat ibu sedang berbaring dengan mata yang sangat sembab. Melihat Euis pulang ibu pun langsung memeluknya. Dan Euis pun meminta maaf atas perkataan Euis semalam. Ibu pun dengan tiba-tiba memperbolehkan Euis untuk kuliah, Euis tak percaya mendengar hal itu, namun ibu meyakinkannya.

Kali ini Euis tak mau berpikir panjang lagi dia menggunakan beasiswanya untuk mendaftar di Universitas Negeri Bandung, dan akhirnya lolos. Seiring berjalannya waktu Euis tidak menyangka bahwa dia akan mendapatkan jodohnya di sini. Di kampus lah ia bertemu dengan seorang laki-laki yang kebetulan adalah senior Euis pada saat ospek dulu. Diam-diam seniornya itu menaruh hati pada Euis begitu pun sebaliknya. Akhirnya mereka pun berpacaran walau pun umur Euis tidak lagi belia kira-kira usianya saat itu sudah 28 tahun sedangkan laki-lakinya beusia 43 tahun dan sudah tamat kuliah. Sempat Euis berpikir apa ini yang dinamakan dengan pamali ibu, karena Euis suka sekali makan di atas cobek atau ulekan untuk membuat sambal. Ibu pernah bilang kalau makan di situ akan mendapatkan suami yang jauh lebih tua darinya, namun Euis kan tidak percaya pada mitos-mitos itu. Dan akhirnya ia memenangkan perasaannya sendiri bahwa semua ini hanyalah kebetulan dan memang sudah begini jalan-Nya. Lagian aku dulu memang tidak mau pacaran, lagi-lagi Euis memenangkan hatinya.

Tiga tahun sudah mereka berpacaran dan Euis pun sudah lulus kuliah, laki-laki itu pun datang ke rumah Euis untuk melamar Euis dengan tata cara adat sunda, konsep pernikahan mereka pun sunda. Kedua keluarga sudah meminta pada sang ulama kyai dan diputuskan bahwa pernikahan Euis jatuh pada tanggal 06 Nopember, bertepatan dengan hari ulang tahun Euis. Pada H-7 ibu melarangnya untuk tidak bertemu dengan mempelai laki-lakinya dan berpergian kemana-mana lagi, dalam bahasa sunda dikenal dengan pingitan. Tapi Euis menolaknya dengan alasan masih ada beberapa undangan yang harus disebar ke rumah temannya yang rumahnya cukup jauh. Karena ibu tidak mau kasus kabur itu terulang kembali, akhirnya dengan terpaksa ibu mengizinkannya.

Esok harinya mereka pun pergi untuk menyebar undangan, namun apa yang terjadi sebuah truk besar menabrak motor yang mereka kendarai, truk itu melaju dengan cepat kemudian menabrak mereka. Dan akhirnya sang laki-laki hanya luka-luka di bagian tangan dan kaki, sedangkan Euis kakinya terlindas oleh ban truk itu, kemudian langsung di bawa kerumah sakit dan di nyatakan kaki Euis harus di amputasi. Euis dan keluarganya amat sangat sedih terutama ibu, ingin sekali ibu memarahi Euis namun bukan saatnya. Akhirnya Euis pun menerimanya dengan lapang dada, pernikahan tetap berjalan dengan apa adanya. Namun Euis tetaplah Euis yang sangat anti sekali dengan mitos-mitos itu, lagi-lagi dia hanya berpikir dan berkata “ini hanyalah sebuah kebetulan, dan ini memamg sudah jalanNya”. Tapi dalam hati kecil ia menangis dan menyesal karena tidak menuruti perintah ibunya seraya berkata “kenapa aku yang harus begini ?”.


2 komentar:

wadahpenasatra mengatakan...

pala apa sirah yeuh ??????

hahha jadi lucu maca na

Ruang Kata-kata mengatakan...

Maksudnya "pernikahan tetap berjalan apa adanya" bagaimana ya? alur terlalu panjang. Ingat konsep cerpen 1fase saja, tapi warna lokal sudah tampak. Lanjutkan! :)