Kenapa Begini ?
Oleh: Novia Indriyani
“Neeeng ulah cicing di lawang panto, mantak
hese jodoh”. Begitulah kata seorang ibu yang berada di suatu kampung yang
mayoritas masyarakatnya juga sangat memegang luhur larangan-larangan yang ada
dalam budaya sunda. Ucapan si ibu muncul ketika sedang melihat anaknya duduk di
depan pintu. Kemudian anak yang berusia 12 tahun ini menuruti apa kata ibunya.
Ibu ini sudah memiliki enam cucu dari kelima anaknya, dan semua anaknya
penurut, selalu mendengarkan nasehat-nasehat ibunya.
Namun
dari keenam anaknya hanya ada satu yang agak sedikit membangkang dan selalu
mempertanyakan apa saja yang dilarang oleh ibunya. Dia adalah si bungsu yang
bernama Euis. Ia sangat aktif sekali bertanya-tanya kenapa, mengapa, dan apa
akibatnya. Ibu selalu melarang anak-anaknya untuk tidak duduk di depan pintu,
karena menurut suku sunda itu dapat menjauhkan jodoh. Ibu sangat mempercayai
semua larangan-larangan yang tidak boleh dilakukan dalam suku sunda atau yang
biasa dikenal dengan sebutan pamali. Apa lagi soal duduk di depan pintu itu,
karena kelima anaknya itu hidup di bawah aturan-aturan sunda yang ibu kuasai
dan pegang secara turun temurun.
Sehingga
anak-anaknya itu selalu cepat mendapatkan jodoh dan akhirnya menikah muda. Ibu
juga sering berkata “ulah sakola luhur-luhur, toh pada akhirnya wanita itu
hanya berada di dapur dan di ranjang untuk melayani suami, dan itu semua tidak
butuh ilmu sampai harus sekolah tinggi-tinggi”. Begitulah cara ibu menasehati
keenam anak perempuannya. Dan semua anaknya menuruti petuahnya. Waktu itu Euis
masih balita. Sehingga dia tidak bertanya atau memberontak saat ibu berkata
itu, dia hanya menangis dalam pangkuan ibunya dan minta disusui.
Namun
kini usia Euis sudah 12 tahun dia semakin aneh soal larangan-larangan ibu yang
dianggapnya itu semua hanyalah mitos. Dia pun selalu berpikir kenapa begini
cara ibu mendidik anaknya, hanya dibekali kata-kata pamali itu. Pernah suatu
malam kakak Euis yang kelima mengajak anaknya yang berumur 4 tahun untuk keluar
rumah membeli makan. Tapi tiba-tiba ibu berkata “ulah mawa budak leutik kaluar
imah tipeuting, sok dideketan makhluk halus”, begitu kata si ibu, yang katanya
tidak boleh membawa anak kecil keluar malam karena di khawatirkan di dekati
oleh makhluk halus.
Saat
Euis mendengar hal itu, si bungsu ini hanya tertawa kecil dan berkata “aya-aya
wae si ambu mah”. Tapi akhirnya si kakak pun tidak membawa anaknya keluar.
Tidak lama anak kakak pertama Euis keluar dari kamar sambil menggaruk kepala,
lalu kakak Euis bertanya “kunaon neng ?” dan anaknya menjawab “pala eneng gatel
bu”. Dan kakak Euis pun langsung mendekati anaknya, maksudnya mau membantu
menggaruk dan memeriksa ada apa di kepala anaknya itu, namun lagi-lagi ibu
melarang katanya tidak boleh mencari kutu di malam hari suka di dekati makhluk
alam lain. Dan untuk kesekian kalinya Euis hanya tersenyum sambil
menggeleng-gelengkan kepala.
Hari
ini tepat tanggal 06 Nopember itu berarti usia Euis sudah 15 tahun. Dia mulai
tumbuh sebagai gadis remaja. Juli kemarin dia baru saja lulus dari sekolah SMP
Negeri. Banyak sekali perjuangan Euis untuk bisa bersekolah lagi karena ibu
hanya menginginkan setamat SD anak-anaknya bekerja lalu menikah. Tapi Euis
berbeda ia tidak mau seperti kakaknya yang setamat SD kerja serabutan lalu
menikah, kemudian suaminya entah kemana perginya meninggalkan dua kakaknya itu.
Akhirnya dengan perjuangan menjual dagangan tetangganya Euis berhasil membiayai
sekolahnya sendiri walaupun ibu tetap pada pendiriannya, bahwa wanita tidak
perlu sekolah tinggi-tinggi. Tapi hari ini ia bangga karena lulus dengan hasil
yang baik dan dia juga mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan sekolah ke SMA
Negeri.
Sifat
Euis yang agak membangkang dan keras kepala itu sama seperti ayahnya. Namun
ayahnya sudah meninggal ketika Euis berusia 5 tahun. Menurut cerita
kakak-kakaknya ayah Euis itu sering sekali berbeda pendapat dengan ibu, apalagi
soal pendidikan. Ayah masih bisa berpikiran modern, tapi ibu sangatlah kolot
dengan pamali-pamalinya itu. Semua kakaknya tidak ada yang berani membantah
perkataan ibu, karena memang sejak kecil mereka dilahirkan sebagai anak yang
sangat penurut. Sedangkan Euis dilahirkan di zaman masa kini, sehingga ia
sangat aneh mendengar larangan-larangan ibu yang kurang masuk akal itu. Ayah juga selalu memimpikan
agar salah satu dari anaknya ada yang menjadi sarjana.
Mendengar
cerita dari kakaknya tentang ayah, Euis pun semakin bertekad untu membuktikan
bahwa tidak semua larangan-larangan ibu benar. Apa lagi soal wanita yang tidak
perlu sekolah tinggi-tinggi karena pada akhirya akan berada di dapur, “begitu
kata ibu”. Dan akhirnya dengan setengah memohon dan mengemis kepada ibu agar
Euis boleh melanjutkan sekolahnya dan mengambil beasiswa itu. Dengan rasa
kasihan akhirnya ibu pun mengizinkannya. Dan ia pun kembali berdagang demi biaya
sekolahnya itu.
Dagangannya
pun selalu habis, dan Euis selalu mendapatkan upah dari hasil dagangannya itu.
Hari demi hari bulan demi bulan dan tahun demi tahun ia lewati dengan seperti
itu berdagang dan belajar juga membantu ibu. Sesekali ia mendengarkan petuah
ibunya, seperti tidak menyisakan nasi sebutir pun di piring bila sedang makan,
karena menurut ibu itu sebagai tanda menghormati dewi padi. Padahal saat itu
Euis memang sedang kelaparan, makanya ia tidak menyisakan nasi sebutir pun di
piringnya.
Hari
kelulusan SMA pun tiba Euis pun senang tak tergambarkan, karena lagi-lagi ia
mendapatkan hasil tertinggi di sekolahnya dan mendapatkan beasiswa lagi untuk
melanjutkan sekolahnya ke Perguruan Tinggi. Seraya dengan itu Euis pun harus
kembali bersih tegang dengan ibu. Tetangganya pun kini mulai ikut campur dengan
urusan pendidikannya. Tetangga dan ibunya menyuruh Euis menikah saja dengan
anak pak RW karena dikhawatirkan Euis sering melanggar larangan ibunya,
sehingga ia sulit untuk mendapatkan jodoh. Padahal dalam hati Euis dia memang
tidak mau berpacaran dulu sebelum ia masuk kuliah atau pun lulus kuliah.
Namun
ibunya tetap saja memaksa Euis untuk menikah dengan anak pak RW yang menurut
Euis anak pak RW itu sering gonta-ganti wanita, karena Euis sendiri pernah
melihatnya. Namun ibunya dengan seribu alasan membela anak pak RW itu. Euis pun
marah dengan nada agak membentak Euis berkata pada ibunya “ibu itu apa-apaan
sih menyuruh Euis untuk menikah, Euis masih ingin sekolah, Euis tidak mau
menikah muda. Banyak sekali larangan-larangan ibu yang Euis tidak mengerti,
tidak boleh ini, tidak boleh itu, selama ini Euis kerja keras hanya untuk
membiayai sekolah Euis, harusnya ibu bersyukur mempunyai anak yang ingin
mengangkat derajat keluarga seperti Euis. Lihat kakak-kakak Euis kemana
suami-suami mereka yang mau enaknya saja membuat anak lalu pergi entah kemana”. Siang itu mereka habiskan dengan beradu
pendapat. Dan akhirnya Euislah yang mengalah untuk diam dan pergi ke kamar.
Euis
sangat emosi karena ibunya tidak mau mrndengarkan kata-katanya. Malam hari Euis
pun memutuskan untuk kabur dari rumah. Ibu mengira Euis ada saja di dalam
kamar, namun esok harinya saat ibu hendak membangunkan Euis untuk sholat subuh,
ibu kaget melihat Euis tak ada di kamarnya. Kakak-kakanya pun sibuk mencari ke
rumah tetangga, kesana kemari, namun Euis tidak ada. Lima hari berlalu dengan
kesedihan ibu, tapi ada salah satu tetangga Euis yang kebetulan dia adalah paman
teman Euis yang berada di kampung sebelah tempat Euis menginap. Paman itu pun
memberi tahu Euis bahwa ibunya sudah lima hari ini terus menangis mencari-cari
Euis. Mendengar hal itu Euis pun hanya bisa terdiam dan sedikit meneteskan air
mata, dan siang harinya Euis memutuskan untuk kembali ke rumah dan benar ia
melihat ibu sedang berbaring dengan mata yang sangat sembab. Melihat Euis pulang
ibu pun langsung memeluknya. Dan Euis pun meminta maaf atas perkataan Euis
semalam. Ibu pun dengan tiba-tiba memperbolehkan Euis untuk kuliah, Euis tak
percaya mendengar hal itu, namun ibu meyakinkannya.
Kali
ini Euis tak mau berpikir panjang lagi dia menggunakan beasiswanya untuk
mendaftar di Universitas Negeri Bandung, dan akhirnya lolos. Seiring berjalannya
waktu Euis tidak menyangka bahwa dia akan mendapatkan jodohnya di sini. Di kampus
lah ia bertemu dengan seorang laki-laki yang kebetulan adalah senior Euis pada
saat ospek dulu. Diam-diam seniornya itu menaruh hati pada Euis begitu pun
sebaliknya. Akhirnya mereka pun berpacaran walau pun umur Euis tidak lagi belia
kira-kira usianya saat itu sudah 28 tahun sedangkan laki-lakinya beusia 43
tahun dan sudah tamat kuliah. Sempat Euis berpikir apa ini yang dinamakan dengan
pamali ibu, karena Euis suka sekali makan di atas cobek atau ulekan untuk
membuat sambal. Ibu pernah bilang kalau makan di situ akan mendapatkan suami
yang jauh lebih tua darinya, namun Euis kan tidak percaya pada mitos-mitos itu.
Dan akhirnya ia memenangkan perasaannya sendiri bahwa semua ini hanyalah
kebetulan dan memang sudah begini jalan-Nya. Lagian aku dulu memang tidak mau
pacaran, lagi-lagi Euis memenangkan hatinya.
Tiga
tahun sudah mereka berpacaran dan Euis pun sudah lulus kuliah, laki-laki itu
pun datang ke rumah Euis untuk melamar Euis dengan tata cara adat sunda, konsep
pernikahan mereka pun sunda. Kedua keluarga sudah meminta pada sang ulama kyai
dan diputuskan bahwa pernikahan Euis jatuh pada tanggal 06 Nopember, bertepatan
dengan hari ulang tahun Euis. Pada H-7 ibu melarangnya untuk tidak bertemu
dengan mempelai laki-lakinya dan berpergian kemana-mana lagi, dalam bahasa
sunda dikenal dengan pingitan. Tapi Euis menolaknya dengan alasan masih ada
beberapa undangan yang harus disebar ke rumah temannya yang rumahnya cukup
jauh. Karena ibu tidak mau kasus kabur itu terulang kembali, akhirnya dengan
terpaksa ibu mengizinkannya.
Esok
harinya mereka pun pergi untuk menyebar undangan, namun apa yang terjadi sebuah
truk besar menabrak motor yang mereka kendarai, truk itu melaju dengan cepat
kemudian menabrak mereka. Dan akhirnya sang laki-laki hanya luka-luka di bagian
tangan dan kaki, sedangkan Euis kakinya terlindas oleh ban truk itu, kemudian
langsung di bawa kerumah sakit dan di nyatakan kaki Euis harus di amputasi.
Euis dan keluarganya amat sangat sedih terutama ibu, ingin sekali ibu memarahi
Euis namun bukan saatnya. Akhirnya Euis pun menerimanya dengan lapang dada,
pernikahan tetap berjalan dengan apa adanya. Namun Euis tetaplah Euis yang
sangat anti sekali dengan mitos-mitos itu, lagi-lagi dia hanya berpikir dan
berkata “ini hanyalah sebuah kebetulan, dan ini memamg sudah jalanNya”. Tapi dalam
hati kecil ia menangis dan menyesal karena tidak menuruti perintah ibunya
seraya berkata “kenapa aku yang harus begini ?”.
2 komentar:
pala apa sirah yeuh ??????
hahha jadi lucu maca na
Maksudnya "pernikahan tetap berjalan apa adanya" bagaimana ya? alur terlalu panjang. Ingat konsep cerpen 1fase saja, tapi warna lokal sudah tampak. Lanjutkan! :)
Posting Komentar