2013/06/21

tangan lincah


KELINCAHAN JARI TANGAN SEORANG IBU SULAM
BOGOR
Di Tulis Oleh : Noerma Ningsih
Pagi hari yang cerah ini di puncak Bogor aku merasakan suasana yang sangat jauh berbeda dengan kota Jakarta. Udara yang sejuk sangat langka aku temui di kota Jakarta meskipun kota itu besar dan terkenal tapi udara dan lingkungannya tidak seramah ini. Ketika aku sedang asyik melihat pemandangan sekitar, aku dengar seorang ibu sedang menawarkan hasil sulamannya yang indah kepada para penduduk, aku pun merasa penasaran untuk melihatnya. Tapi ketika aku hendak menghampiri nya pedagang itu telah pergi. Aku hanya bisa melihat bayangan ia yang sudah berjalan jauh. Keesokan harinya, aku pun berjalan pagi lagi untu melihat keadaan sekitar, di tepi puncak Bogor, matahari bersinar cerah menimpa pohon-pohon cemara, cengkih, dan daun-daun teh yang tertanam di terassering puncak yang terlihat hijau berkilat. Tepi ujung puncak muncul di atas warna-warna hijau kebiruan alam di sekitar. Langit sangat bersih, biru cerah, suasana yang sejuk, menjadi latar belakang yang menonojolkan keindahan puncak Bogor.
Keindahan pagi itu aku lihat dari berbagai sudut. Selesai aku melihat keindahan sekitar, aku terpaku oleh satu rumah yang berada di sebelah kanan ku. Dimana rumah ini berbentuk sangat unik di depan rumah unik ini ada seorang ibu yang sedang asyik menyulam kain. Segera aku pun menghampiri ibu itu. Dengan berlari pikir ku, aku akan cepat sampai ke rumah itu dan ibu itu pun akan bersedia menjawab pertanyaan-pertanyaan ku. Ibu yang berpakaian sederhana ini terlihat sangat serius pada sulamannya itu. Ibu yang berpakaian kebaya model lama, dan memakai samping panjang yang ia lilit dipinggang agar berbentuk rok. Tangan yang indah dan lincah pun memenuhi kain-kain yang kosong menjadi bentuk sulaman yang indah, ibu lincah ini sedang menyulam gambar seorang anak kecil yang sedang bermain di taman yang tertawa lepas bersama dengan teman-teman bermainnya. Tidak terlihat kecerahan dan kesegaran di wajahnya yang Nampak masih muda itu. Ia bahkan tidak peduli, melihat keadaan sekitar dengan pandangan kosong. Tiga kali aku memanggil nya, tetapi ia nampak nya tidak menyadari apa yang aku ucapkan. Tiba-tiba terdengar suara gelas jatuh dengan keras di dalam rumahnya. Seekor kucing yang telah membuat ia spontan menjadi kaget yang menjatuhkan gelas yang berisi air, kini telah tumpah dan membasahi lantai yang berada di bawah meja makannya itu. Dia sangat tersentak, segera ia berlari ke dalam rumah dan melihat keadaan di atas meja makan. “dasar kamu kucing nakal mengagetkan saja, saya pikir apa ?” katanya, sambil membenahi gelas-gelas yang jatuh tadi menjadi serpihan beling-beling yang tajam. Sambil melamun ia merapihkan serpihan-serpihan gelas yang pecah itu, gelas cangkir yang berwarna putih susu ini yang merupakan gelas kesayangan almarhum anak kesayangan nya. Gelas yang cantik ini kini telah terpecah menjadi serpihan-serpihan beling tajam, yang akan melukai orang bila menyentuhnya tidak dengan hati-hati. Aku langsung saja masuk ke dalam rumah itu, untuk melihat keadaan di dalam karena sudah agak lama ibu itu tidak ada keluar. Aku takut terjadi apa-apa di dalam rumah itu, dengan spontan ibu maemunah pun terkejut melihat kedatangan ku yang kurang sopan, ibu maemunah pun memandang dan memperhatikan ku sejenak. Saat aku melihat ke arahnya, betul saja, dia memperhatikan ku. “siapa kamu ?” Tanya nya sambil menunjuk pandangan nya ke arahku dengan raut wajah yang bertanya-tanya. “maaf bu jika aku kurang sopan”, jawab ku dengan perasaan tidak karuan yang tercampur menjadi satu. “oh iya tidak apa, saya hanya kaget saja pagi-pagi gini kok sudah ada yang bertamu ke rumah saya?, kalau saya boleh tahu ada perlu apa ya?”. Ucap nya dengan penasaran seperti nya ia sedang ada masalah yang besar menimpa keluarga nya. Pelan-pelan aku pun mengajaknya untuk duduk sejenak sambil menjawab pertanyaan yang ia ucapkan kepadaku. “maaf ibu jika aku lancang, perkenalkan nama aku siska, aku dari Jakarta datang kesini dengan niat ingin melepas lelah dan merasakan kesejukan daerah Bogor, yang terbebas dari polusi dan ketika saya sedang asyik melihat pemandangan sekitar tidak sengaja pandangan ku tertuju pada ibu, yang sedang asyik menyulam, sepertinya tangan yang halus ini sudah sangat lincah menyulam. Membolak-balik kan jarum dan benang”. Jawabku padanya ibu maemunah pun terdiam sejenak sambil mengusap air matanya yang jatuh membasahi pipinya. Aku pun kaget melihatnya. “maaf bu jika aku telah membuat ibu sedih, bukan maksudku”. Ucap ku. “tidak nak, ini bukan salah mu, ibu hanya teringat dengan masa lalu ibu, sebenarnya ibu tidak bisa menyulam sedikit pun tapi berkat anak perempuan ibu yang bernama ai, yang sudah tenang berada di alam sana, dia anak yang baik dan patuh, sejak kejadian lima bulan yang lalu. Ketika itu ai baru pulang dari sekolah saat saya ajak ia untuk makan siang tiba-tiba badan nya menjadi panas, saya pun kaget segera saya membawa ai untuk berobat dan ternyata mengidap penyakit demam berdarah. Saya tidak sanggup untuk membawa ai ke rumah sakit karena biaya yang kurang. Hanya satu malam ai berada di puskesmas terdekat, ketika saya membangunkan ai untuk shalat subuh ia pun ternyata sudah tidak ada, saya dan suami pun terkejut dan tidak percaya dengan semua ini tapi mau bagaimana lagi ini adalah takdir untuk kami, sampai saat ini suami saya kadang suka mengamuk tidak jelas karena beban yang berat harus ia terima dengan ikhlas”. Ucap nya sambil menangis tersengguk-sengguk. Kami terdiam sejenak aku pun tidak tahu harus berkata apa kepadanya. Aku hanya bisa mengucapkan “sabar ya bu pasti sekarang ai sedang bahagia di alam sana”. “Ia neng terima kasih”. Ucapnya sambil mengusap air mata. Hari pun sudah semakin siang bu maemunah bergegas merapihkan alat-alat sulamnya itu, ia ingin segera pergi ke pasar untuk mendagangkan hasil sulaman nya itu. “Kebetulan hari ini hari minggu pasti pengunjung pasar pun ramai”. pikirnya dengan penuh semangat. Sambil berjalan aku pun membeli hasil sulaman yang tadi ia sulam yaitu gambar seorang anak kecil yang sedang bermain di taman bersama dengan teman-teman nya. “ini bu ambil dengan uang yang sedikit ini siapa tahu bisa sedikit membantu beban ibu”. “terima kasih banyak neng siska”. Katanya sambil memelukku. aku berkata “salam untuk bapak ya bu, nanti sore barang kali aku akan kembali ke Jakarta, jadi sampai bertemu lagi bu. “dia mengangguk sambil mencoba tersenyum. Kemudian mulai berjalan ke dalam rumah untuk meminta ijin kepada sang suami meninggalkan teras depan rumah, saya pun terus memandang nya sampai sosok tubuhnya hilang di pengkolan ruang kamarnya.
Aku pun masih belum percaya bahwa inilah hidup dan keindahan dalam keluarga. Matahari bersinar telah tinggi dan sangat cerah aku pun kembali ke villa. Hawa dingin terasa segar di badan. Puncak gunung Bogor menghilang tertutup kabut.  
Alam Bogor ciwedeuy memang indah. Tetapi nasib ibu maemunah dan bapak ujang terus membayangi perasaan ku. 

1 komentar:

Ruang Kata-kata mengatakan...

Coba buat hubungan antara menyulam dgn kepergian anaknya. Menari, bs ditambahkan kosa kata dlm bahasa sunda.