2013/06/29

cerpen cinta (gaya kilas balik)



Pasir Di Pucuk Ilalang
(oleh Marya Ulfa)

          Gelap malam yang begitu menyelimuti bumi kecil dengan warna hitamnya yang menggugah kalbu, untuk terus menyebut asma-NYA seiring deras hujan bak air terjun dari pegunungan dan kilatan petir yang menyambar-nyambar dengan suaranya yang menggelegar seperti raksasa alam yang sedang murka. Bulan dan bintang malam pun tak kuasa menahan kemarahan alam, sehingga bersembunyi di balik atap bumi yang menghitam.
            Angin malam berhembus menusuk sukma, menggetarkan raga,dan membuat suasana kian mencekam. Pepohonan yang bergoyang pun ikut menari terkena semilirnya angin yang dingin seolah-olah berkata bahwa dirinya ingin sekali dipeluk dengan kehangatan yang tulus.
            Kolaborasi antara gelap, malam, hujan, petir, dingin, angin, dan sunyi pun membuat suasana bumi semakin tak bergravitasi, dunia tak menyapa, jangkrik tak mengkerik, kelelawar tak keluar, bintang tak gemilang, dan burung hantu enggan menampakkan dirinya di pohon jambu.
            Tiba-tiba terdengar suara rintihan dalam balutan doa dari sebuah gubug kecil.
“Ya Allah...kuatkan hati hamba, semoga bisa melewati semua cobaan ini”
            Suasana kamar itu begitu hening, ditambah redup lampu yang tak begitu terang. Membuat suasana semakin syahdu. Wanita itu segera mengusap pipinya yang basah oleh air mata, pelan-pelan dia beranjak pergi meninggalkan ruangan itu.
Nduk[1]...kamu belum tidur to rupanya ? habis nangis lagi ya ?” tanya seorang wanita tua
“boten[2] umi...aku hanya kelilipan saja” jawabnya bohong.
Tiba-tiba wanita tua itu menghampiri anaknya.
“Nduk...tak pantas kamu mengeluarkan air mata untuk seorang lelaki seperti dia, umi gak ridho”
Boten umi...Meyda tak pernah mengingatnya lagi, saestu[3] umi. Mey hanya rindu Zahwa saja”.
Sejenak wanita separuh baya itu melihat sebuah meja, di sana hanya terlihat sebuah gelas dan sebuah teko.
Mey mau sahur ya? Maaf umi tak punya beras untuk memasak, hanya ada singkong rebus saja” tebak umi
Nggih umi, boten nopo-nopo[4], Alhamdulillah masih  ada rizki buat sahur”. Jawab mayda ikhlas
Yo wis, Umi sare riyin nggih[5] pamitnya berlalu
            Wanita tua itu pun berlalu menuju kamarnya, sedangkan meyda hendak sahur memakan singkong rebus dan air putih. Seusai sahur, meyda tak berselera melanjutkan tidur. Dia mulai membuka mushafnya dan perlahan alunan Al quran itu pun memenuhi ruangan. Suara itu merdu dan parau, meyda mulai terisak di tengah tadarusnya. Ingatannya mulai melayang-layang ke masa silam, semua deritanya seolah hadir kembali bak film yang sedang diputar kembali. Ingatan itu membuat konsentrasi tadarusnya terganggu.
“Gusti[6]...tolong jangan hadirkan lagi luka itu, aku ingin bahagia”. Ratapnya mengiba.
            Semakin dia berusaha melupakan, semakin jelas bayangan masa silamnya. Meyda pun menghentikan tadarusnya, di peluknya mushaf itu erat-erat. Tanpa disadari kebisuan itu membawanya kemasa silam, ketika dia di persunting seorang lelaki tampan dari sebuah keluarga ningrat. Awal pernikahan yang bahagia, melewati hari-hari dengan penuh cinta dan kemesraan. Namun setelah tiga bulan usia pernikahannya, tampak perubahan sikap dari sang suami. Pelan-pelan sifat aslinya mulai terihat, dia berubah menjadi kasar dan pemarah. Apalagi di awal kehamilan anak pertamanya, dia begitu sering di luar kota dengan berbagai alasan bisnisnya. Berbagai kabar miring mulai mewarnai hari-harinya, ditambah komentar para tetangga dan sanak famili mulai panas memenuhi telinga. Namun meyda tetap istiqomah dan husnudzon jika di sana sang suami baik-baik saja dan tak seperti gosip yang beredar.
            Tak terasa kehamilannya sudah menginjak usia ke sembilan, tak ada kabar, tak ada kiriman uang dari sang suami. Hingga memaksanya bekerja serabutan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Meyda  begitu tegar menjalaninya, hingga proses kelahiran anak pertama pun dilaluinya seorang diri. Deita itu belum usai, saat usia pernikahannya menginjak tahun ke enam, ia mendapati sang suami telah menikah siri dengan seorang gadis dari sukabumi. Ketika ia menanyakan kabar itu, suaminya langsung marah bak lahar panas dalam letusan gunung. Hati dan jiwanya hancur karena sang suami tak juga menyadari kesalahannya. Saran dan hinaan pun mulai mewarnai hari-harinya kembali.
“Akang...dulu mey tak pernah percaya tentang berita miring itu, tapi kini setelah mey melihatnya sendiri....seperti itukah cinta Akang kepada mey ?”
“maafin Akang mey..akang khilaf” suaranya memelas.

            Tangisnya mulai pecah kembali, adzan subuh mulai terdenagar di sela-sela kabut pedesaan, terdengar syahdu di menara masjid pinggir jalan. Kokok ayam terdengar saling bersahutan, menandakan hehidupan baru akan segera di mulai. Dipaksakannya bangkit menuju sumur belakang untuk mengambil wudhu, kedinginan pagi mulai terasa menusuk sum-sum. Dengan cepat ia menimba air dan mulai berwudhu.
            Pagi hadir dengan membawa sejuta senyum terindah, sang mentari pun membawa semangat baru dalam kehidupan meyda. Tiba-tiba meyda dikejutkan oleh dering telepon di ruang depan.
“halo Assalamualaikum”.
“waalaikum salam Bunda...Zahwa kangen” teriak suara di sebrang sana.
“Zahwa...ini Zahwa?” tanyanya tak percaya
“Ia Bunda, bunda apa kabar ? maafin zahwa ya baru bisa menelepon Bunda”. Rengeknya memberi alasan.
“Ia sayang, gak apa-apa. Bunda baik-baik saja, bunda juga sangat kangen sama zahwa” jawabnya senang
“Bunda Ayah sudah menikah lagi, Zahwa sedih karena Ayah tak sesayang dulu sama Zahwa”. Ceritanya mengiba.
            Hatinya ingin menjerit mendengar ucapan putrinya seperti itu, seorang anak kecil saja bisa memahami kesedihan, kenapa suaminya tidak. Kebingungan mulai melanda, apa yang harus ia perbuat. Tak mungkin ia mengambil Zahwa di rumah suaminya, ia tak punya cukup uang untuk membiayai semua kebutuhan Zahwa. Zahwa harus tetap bersama suaminya, agar pendidikan Zahwa tak cukup sampai di sekolah dasar saja.
“Bunda ko diam?” tanyanya bingung
“Zahwa kapan libur sekolahnya ? nanti bunda jemput”.
“Dua bulan lagi semesteran Bun, baru setelah itu libur” jawabnya singkat.
“oh...ya sudah Bunda tunggu ya sayang”.
            Percakapan singkat itu mampu mengobati sedikit kerinduan hatinya, biarlah dia lebih bersabar menunggu putrinya sampai liburan sekolah, karena itu sudah menjadi kesepakatan di pengadilan dulu. Meyda bersiap menuju suatu ruangan, sebuah bisnis kecil-kecilan dilakoninya. Ia mulai menggeluti usaha kerajinan tangan aksesoris dan menjualnya dalam bentuk oneline.
Nduk...telepon saking sinten mau[7] ?” selidik uminya
Oh...niku saking Zahwa Umi” jawab meyda
Kabare Zahwa pripun Nduk ?” tanya Umi lagi.
Zahwa sae-sae mawon Umi, Zahwa boten saget teng mriki soale dereng libur sekolah[8]
            Semangat itu mulai mengendor, tatkala percakapan dengan zahwa terngiang kembali. Mantan suaminya telah menikah lagi, berbagai pertanyaan tumbuh subur di kepalanya. Tiga belas tahun sudah suaminya belum juga berubah, dan kesetiaan selama tiga belas tahun itu tak mampu menyelamatkan pernikahannya. Ia masih ingat tatkala istri mudanya datang ke rumah marah-marah tak jelas dan menyalahkannya, ia masih sangat ingat ketika mantan suaminya itu menceraikannya lewat sms singkat. Tak habis pikir bagaimana bisa seseorang yang sangat mengerti agama seperti suaminya bisa dengan gampangnya menjatuhkan Talaq lewat sms.
“Nduk kamu nangis lagi ya ?” tanya Uminya curiga
            Semakin lama air mata itu semakin deras, semakin terlihat jelas juga guncangan tubuhnya menahan sesak kesakitan. Kali ini dia benar-benar tak sanggup menahannya lagi, akhirnya air mata itu tumpah juga. Kesabarannya dan kesetiaan yang ia berikan sia-sia di tambah lagi ia harus berpisah dengan Zahwa putri semata wayangnya.
“Sudahlah Nduk..jangan meratapi masa lalumu, tak ada gunanya. Semuanya sudah menjadi takdir yang kuasa”. Ucap Umi memberi nasihat.
“Nggih[9] Umi, Mey ikhlas ko. Semua masalah ini justru membuat Mey semakin dewasa”. Jawabnya singkat.
“Mey sekarang dah jadi janda Umi, mungkin itu yang terbaik buat Mey sekarang. Daripada Mey harus hidup di poligami oleh Akang”.
“Umi bangga padamu Nduk”.
“Terima kasih Umi, Mey juga bangga menjadi anak Umi”.
            Perceraian itu sudah terjadi, garis kehidupan telah mengantarkan Meyda menjadi seorang janda. Masalah itu ibarat sebutir  pasir dan perjalanan hidupnya bagaikan pucuk ilalang. Meskipun terlihat indah namun kenyataannya selalu ada sebutir pasir yang merusak keindahannya. Kebahagiaannya sekarang hanyalah Zahwa, Meyda harus tetap hidup dan bersemangat untuk Zahwa dan Umi. Mulai hari ini, Meyda telah mengubur semua kenangan aib, hidupnya tak berarti harus berhenti sampai di situ saja, sepucuk ilalang berhak tumbuh tinggi menembus langit. Keindahan ilalang tak akan hilang hanya karena sebutir pasir saja, karena selalu ada bahagia di setiap tetes air mata.


[1] Neng
[2] tidak
[3] sungguh
[4] Ia umi, tidak apa-apa
[5] Tidur dulu
[6] Allah
[7] Neng..telepon dari siapa tadi ?
[8]  Zahwa baik-baik saja Umi, Zahwa belum bisa ke sini soalnya belum libur sekolah.
[9]  Ia

2 komentar:

Ruang Kata-kata mengatakan...

Sebenarnya menarik ini gabungan dr warna lokal, kilas balik, dan cinta yg tragis tp alurnya terlalu panjang. Pilihan diksi juga cukup baik, ke depannya persingkat alur fokus pd satu konflik

wadahpenasatra mengatakan...

baik bu, insya Allah