Pasir Di Pucuk Ilalang
(oleh Marya Ulfa)
Gelap malam yang
begitu menyelimuti bumi kecil dengan warna hitamnya yang menggugah kalbu, untuk
terus menyebut asma-NYA seiring deras hujan bak air terjun dari pegunungan dan
kilatan petir yang menyambar-nyambar dengan suaranya yang menggelegar seperti
raksasa alam yang sedang murka. Bulan dan bintang malam pun tak kuasa menahan
kemarahan alam, sehingga bersembunyi di balik atap bumi yang menghitam.
Angin malam berhembus menusuk sukma,
menggetarkan raga,dan membuat suasana kian mencekam. Pepohonan yang bergoyang
pun ikut menari terkena semilirnya angin yang dingin seolah-olah berkata bahwa
dirinya ingin sekali dipeluk dengan kehangatan yang tulus.
Kolaborasi antara gelap, malam,
hujan, petir, dingin, angin, dan sunyi pun membuat suasana bumi semakin tak bergravitasi,
dunia tak menyapa, jangkrik tak mengkerik, kelelawar tak keluar, bintang tak
gemilang, dan burung hantu enggan menampakkan dirinya di pohon jambu.
Tiba-tiba terdengar suara rintihan
dalam balutan doa dari sebuah gubug kecil.
“Ya
Allah...kuatkan hati hamba, semoga bisa melewati semua cobaan ini”
Suasana kamar itu begitu hening,
ditambah redup lampu yang tak begitu terang. Membuat suasana semakin syahdu.
Wanita itu segera mengusap pipinya yang basah oleh air mata, pelan-pelan dia
beranjak pergi meninggalkan ruangan itu.
“Nduk[1]...kamu
belum tidur to rupanya ? habis nangis lagi ya ?” tanya seorang wanita tua
“boten[2]
umi...aku hanya kelilipan saja” jawabnya bohong.
Tiba-tiba wanita
tua itu menghampiri anaknya.
“Nduk...tak pantas kamu mengeluarkan air mata untuk
seorang lelaki seperti dia, umi gak ridho”
“Boten umi...Meyda tak pernah mengingatnya
lagi, saestu[3]
umi. Mey hanya rindu Zahwa saja”.
Sejenak wanita
separuh baya itu melihat sebuah meja, di sana hanya terlihat sebuah gelas dan
sebuah teko.
“Mey mau sahur ya? Maaf umi tak punya beras
untuk memasak, hanya ada singkong rebus saja” tebak umi
“Nggih umi, boten nopo-nopo[4],
Alhamdulillah masih ada rizki buat sahur”.
Jawab mayda ikhlas
“Yo wis, Umi sare riyin nggih”[5]
pamitnya berlalu
Wanita tua itu pun berlalu menuju
kamarnya, sedangkan meyda hendak sahur memakan singkong rebus dan air putih.
Seusai sahur, meyda tak berselera melanjutkan tidur. Dia mulai membuka
mushafnya dan perlahan alunan Al quran itu pun memenuhi ruangan. Suara itu
merdu dan parau, meyda mulai terisak di tengah tadarusnya. Ingatannya mulai
melayang-layang ke masa silam, semua deritanya seolah hadir kembali bak film
yang sedang diputar kembali. Ingatan itu membuat konsentrasi tadarusnya
terganggu.
“Gusti[6]...tolong
jangan hadirkan lagi luka itu, aku ingin bahagia”. Ratapnya mengiba.
Semakin dia berusaha melupakan,
semakin jelas bayangan masa silamnya. Meyda pun menghentikan tadarusnya, di
peluknya mushaf itu erat-erat. Tanpa disadari kebisuan itu membawanya kemasa
silam, ketika dia di persunting seorang lelaki tampan dari sebuah keluarga
ningrat. Awal pernikahan yang bahagia, melewati hari-hari dengan penuh cinta
dan kemesraan. Namun setelah tiga bulan usia pernikahannya, tampak perubahan
sikap dari sang suami. Pelan-pelan sifat aslinya mulai terihat, dia berubah
menjadi kasar dan pemarah. Apalagi di awal kehamilan anak pertamanya, dia
begitu sering di luar kota dengan berbagai alasan bisnisnya. Berbagai kabar
miring mulai mewarnai hari-harinya, ditambah komentar para tetangga dan sanak
famili mulai panas memenuhi telinga. Namun meyda tetap istiqomah dan husnudzon
jika di sana sang suami baik-baik saja dan tak seperti gosip yang beredar.
Tak terasa kehamilannya sudah
menginjak usia ke sembilan, tak ada kabar, tak ada kiriman uang dari sang
suami. Hingga memaksanya bekerja serabutan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Meyda begitu tegar menjalaninya, hingga
proses kelahiran anak pertama pun dilaluinya seorang diri. Deita itu belum
usai, saat usia pernikahannya menginjak tahun ke enam, ia mendapati sang suami
telah menikah siri dengan seorang gadis dari sukabumi. Ketika ia menanyakan
kabar itu, suaminya langsung marah bak lahar panas dalam letusan gunung. Hati
dan jiwanya hancur karena sang suami tak juga menyadari kesalahannya. Saran dan
hinaan pun mulai mewarnai hari-harinya kembali.
“Akang...dulu
mey tak pernah percaya tentang berita miring itu, tapi kini setelah mey
melihatnya sendiri....seperti itukah cinta Akang kepada mey ?”
“maafin Akang
mey..akang khilaf” suaranya memelas.
Tangisnya mulai pecah kembali, adzan
subuh mulai terdenagar di sela-sela kabut pedesaan, terdengar syahdu di menara
masjid pinggir jalan. Kokok ayam terdengar saling bersahutan, menandakan
hehidupan baru akan segera di mulai. Dipaksakannya bangkit menuju sumur
belakang untuk mengambil wudhu, kedinginan pagi mulai terasa menusuk sum-sum.
Dengan cepat ia menimba air dan mulai berwudhu.
Pagi hadir dengan membawa sejuta
senyum terindah, sang mentari pun membawa semangat baru dalam kehidupan meyda.
Tiba-tiba meyda dikejutkan oleh dering telepon di ruang depan.
“halo Assalamualaikum”.
“waalaikum salam Bunda...Zahwa
kangen” teriak suara di sebrang sana.
“Zahwa...ini Zahwa?”
tanyanya tak percaya
“Ia Bunda, bunda apa kabar ? maafin zahwa ya baru
bisa menelepon Bunda”. Rengeknya memberi
alasan.
“Ia sayang, gak apa-apa. Bunda baik-baik saja, bunda
juga sangat kangen sama zahwa” jawabnya senang
“Bunda Ayah sudah menikah lagi, Zahwa sedih karena
Ayah tak sesayang dulu sama Zahwa”. Ceritanya
mengiba.
Hatinya ingin menjerit mendengar
ucapan putrinya seperti itu, seorang anak kecil saja bisa memahami kesedihan,
kenapa suaminya tidak. Kebingungan mulai melanda, apa yang harus ia perbuat.
Tak mungkin ia mengambil Zahwa di rumah suaminya, ia tak punya cukup uang untuk
membiayai semua kebutuhan Zahwa. Zahwa harus tetap bersama suaminya, agar
pendidikan Zahwa tak cukup sampai di sekolah dasar saja.
“Bunda ko diam?”
tanyanya bingung
“Zahwa kapan libur sekolahnya ? nanti bunda jemput”.
“Dua bulan lagi semesteran Bun, baru setelah itu
libur” jawabnya singkat.
“oh...ya sudah Bunda tunggu ya sayang”.
Percakapan singkat itu mampu
mengobati sedikit kerinduan hatinya, biarlah dia lebih bersabar menunggu
putrinya sampai liburan sekolah, karena itu sudah menjadi kesepakatan di
pengadilan dulu. Meyda bersiap menuju suatu ruangan, sebuah bisnis
kecil-kecilan dilakoninya. Ia mulai menggeluti usaha kerajinan tangan aksesoris
dan menjualnya dalam bentuk oneline.
“Nduk...telepon saking sinten mau[7] ?”
selidik uminya
“Oh...niku saking Zahwa Umi” jawab meyda
“Kabare Zahwa pripun Nduk ?” tanya Umi
lagi.
“Zahwa sae-sae mawon Umi, Zahwa boten saget
teng mriki soale dereng libur sekolah”[8]
Semangat itu mulai mengendor,
tatkala percakapan dengan zahwa terngiang kembali. Mantan suaminya telah
menikah lagi, berbagai pertanyaan tumbuh subur di kepalanya. Tiga belas tahun
sudah suaminya belum juga berubah, dan kesetiaan selama tiga belas tahun itu
tak mampu menyelamatkan pernikahannya. Ia masih ingat tatkala istri mudanya
datang ke rumah marah-marah tak jelas dan menyalahkannya, ia masih sangat ingat
ketika mantan suaminya itu menceraikannya lewat sms singkat. Tak habis pikir
bagaimana bisa seseorang yang sangat mengerti agama seperti suaminya bisa
dengan gampangnya menjatuhkan Talaq lewat sms.
“Nduk kamu nangis lagi ya ?”
tanya Uminya curiga
Semakin lama air mata itu semakin
deras, semakin terlihat jelas juga guncangan tubuhnya menahan sesak kesakitan.
Kali ini dia benar-benar tak sanggup menahannya lagi, akhirnya air mata itu
tumpah juga. Kesabarannya dan kesetiaan yang ia berikan sia-sia di tambah lagi
ia harus berpisah dengan Zahwa putri semata wayangnya.
“Sudahlah Nduk..jangan meratapi masa lalumu, tak ada
gunanya. Semuanya sudah menjadi takdir yang kuasa”.
Ucap Umi memberi nasihat.
“Nggih[9]
Umi, Mey ikhlas ko. Semua masalah ini justru membuat Mey semakin dewasa”.
Jawabnya singkat.
“Mey sekarang dah jadi janda Umi, mungkin itu yang
terbaik buat Mey sekarang. Daripada Mey harus hidup di poligami oleh Akang”.
“Umi bangga padamu Nduk”.
“Terima kasih Umi, Mey juga bangga menjadi anak
Umi”.
Perceraian itu sudah terjadi, garis kehidupan telah
mengantarkan Meyda menjadi seorang janda. Masalah itu ibarat sebutir pasir dan perjalanan hidupnya bagaikan pucuk
ilalang. Meskipun terlihat indah namun kenyataannya selalu ada sebutir pasir
yang merusak keindahannya. Kebahagiaannya sekarang hanyalah Zahwa, Meyda harus
tetap hidup dan bersemangat untuk Zahwa dan Umi. Mulai hari ini, Meyda telah
mengubur semua kenangan aib, hidupnya tak berarti harus berhenti sampai di situ
saja, sepucuk ilalang berhak tumbuh tinggi menembus langit. Keindahan ilalang
tak akan hilang hanya karena sebutir pasir saja, karena selalu ada bahagia di
setiap tetes air mata.
2 komentar:
Sebenarnya menarik ini gabungan dr warna lokal, kilas balik, dan cinta yg tragis tp alurnya terlalu panjang. Pilihan diksi juga cukup baik, ke depannya persingkat alur fokus pd satu konflik
baik bu, insya Allah
Posting Komentar