2014/04/28

ULFAH JULIANTI (NOVEL DAN FILM)


ULFAH JULIANTI (NOVEL DAN FILM)

BAB I
PENDAHULUAN
1.      Pengarang Tidak Puas

Armijn pane pernah mengalami kekecewaan, dramanya yang berjudul Antara Bumi dan Langit diangkat ke layar perak oleh sutradara Huyung (1951). Karena pertimbangan komersial, “tidak hanya nilai sastra yang terkandung dalam karya armijn itu tidak terungkap lagi, bahkan jadi rusak sama sekali”. Oleh karena itu Armijn tidak bersedia namanya dicantumkan sebagai penulis cerita asli.
Nama pengarang yang kurang puas atau kecewa pada film yang didasarkan pada novek atau karyanya itu tentu masih bias kita perpanjang. Namun nama pengarang tersebut sudah disebut tadi agaknya sudah cukup untuk menunjukkan adanya persoalan jika sebuah novel dipindah ke film.

2.      Penonton Kecewa

Penonton film pun sering kecewa menonton fiml yang di dasarkan pada novel-novel tertentu. Ketika cerita Lupus karya Hilman Hariwijaya difilmkan oleh Achiel Nasrun (1987). Sebagian penonton film lupus kecewa karena tokoh poppi menjadi agresif dalam film, sedangkan dalam buku asli tidak demikian.

3.      Tentang Buku Ini

Mula-mula akan dibahas unsur-unsur yang menjadi tulang punggung sebuah novel, seperti : cerita, alur, latar, suasana, gaya, dan tema/amanat. Unsur-unsur ini kemudian diperbandingkan dengan unsur-unsur serupa dalam film.




4.      Istilah dan Ejaan

Seperti telah disinggung diatas, pemindahan atau pengangkatan novel ke film dalam buku ini disebut ekranisasi. Istilah-istilah asing yang lazim dijumpai di dunia fim sedapat mungkin penulis alihkan ke bahasa Indonesia.

BAB II
NOVEL DAN FILM

1.      Cerita

Menurut Forster, cerita adalah pengisahan kejadian dalam waktu dan cerita adalah basis sebuah novel. Tanpa kehadiran cerita sia-sialah usaha seorang pengarang untuk berkomunikasi dengan orang lain (pembaca), sebab orang tidak akan menemukan apa-apa dalam novel dengan mengabaikan unsur cerita.
Adanya kejadian-kejadian saja belumlah menjamin apa-apa. Kejadian-kejadian itu sendiri baru sekadar bahan mentah. Maka itu, tugas pengaranglah merangkai-rangkaikannya menjadi satu kesatuan utuh yang kemudian bernama novel. Dalam hal merangkai-rangkaikan kejadian-kejadian, unsur waktu memegang peranan penting.

Lazimnya, cerita dalam novel berkonotasi pada “kelampauan”. Artinya, kejadian-kejadian yang dikisahkan biasanya sudah lewat di belakang pembaca. Dengan demikian, orang (pembaca) hanya bisa membayangkan apa yang dikisahkan pengarang, sebagai sesuatu yang terjadi pada masa lampau. Contohnya Revolusi Oktober yang dikisahkan dalam novel Dokter Zhivago dibaca orang jauh setelah revolusi itu usai. Pada hakikatnya, film juga merupakan pengisahan kejadian dalam waktu. Tetapi kejadian dalam film tidak berkonotasi pada “kelampauan”, melainkan berkonotasi pada “kekinian”, pada sesuatau yang sedang terjadi. Melihat adegan pembunuhan atau pemerkosaan dalam film, penonton serasa ikut cemas dan ngeri, sebab kejadian itu disajikan langsung di depan mata.
Berbeda dengan novelis yang bergulat dengan kata-kata, penulis scenario bergulat dengan apa yang disebut pudovkin plastic material.

2.      Alur

Satu hal yang perlu diperhatikan seorang novelis adalah unsur tagangan (suspense). Unsur ini penting untuk memancing rasa ingin tahu pembaca akan kejadian-kejadian selanjutnya. Novelis yang baik tentu amat menyadari hal ini. Sebab kalau tidak, novelnya akan ditinggalkan orang (pembaca) sebelum habis dibaca. Salah satu caraefektif untuk memancing rasa ingin tahu pembaca itu adalah dengan menaruh bagian akhir atau bagian pertikaian di awal novel.

Tidak demikian halnya dengan film. Film mempunyai keterbatasan ruang dan teknis. Jangka putar film biasanya berkisar antara satu setengah hingga dua jam.
Seperti dalam novel, mengawali film dengan tegangan bukanlah jaminan berhasil tidaknya sebuah film. Ada juga film yang berhasil sekalipun memakai alur penceritaan “konvensional” : permulaan, pertikaian, puncak, peleraian dan akhir. Tetapi yang jelas, keberhasilan film banyak tergantung pada keharmonisan berbagai unsur pendukung film, seperti pengambilan gambar, penyusunan gambar, permainan actor/aktris dan lain-lain.

3.      Penokohan

Biasanya tokoh-tokoh dalam novel adalah manusia. Menurut Rene Wellek dan Austin Warren, cara paling sederhana untuk mengenali tokoh-tokoh novel adalah dengan pemberian nama. Melalui sifat atau watak yang dimiliki tokoh-tokoh novel, pembaca dapat mengerti mengapa suatu tindakan atau kejadian terjadi. Watak yang dipunyai seseorang, juga merupakan motivasi untuk kejadian-kejadian atau peristiwa selanjutnya yang terjalin dalam cerita dan alur.

Film pun mempunyai tokoh-tokoh sebagai pelaku dalam sebuah film. Berlainan dengan cara penampilan tokoh-tokoh dalam novel, film menapilkan tokoh-tokohnya secara visual. Dengan demikian, penokohan secara analitik (langsung) yang dikenal dalam novel tidak dikenal dalam film.

4.      Latar

Latar dalam film ditampilkan secara visual melalui gambar-gambar yang bergerak berkelanjutan, sehingga apa yang kelihatan di layar seolah-olah sedang terjadi dalam kehidupan sesungguhnya (kehidupan nyata). Apabila dalam novel (pembaca) hanya bisa membayangkan tempat tinggal seseorang, keadaan satu keluarga, keadaan masyarakat, dalam film orang (penonton) menyaksikannya di depan mata.

Latar dalam film juga mempunyai fungsi dramatic oleh sebab itulah, seorang penulis sekenario harus hati-hati dalam mencari dan memilih barang-barang atau benda-benda yang akan ditampilkan dalam film. Ia harus bisa memilih barang-barang atau benda-benda yang paling ekspresif, jelas, dan tepat di antara sekian banyak barang-barang atau benda-benda yang tersedia dalam kehidupan sehari-hari.

5.      Suasana
Sebuah novel tentu mempunyai suasana tertentu. Tindakan tokoh-tokohnya akan memberikan petunjuk bagaimana suasananya pada saat itu. Latarpun dapat menunjukan suasana tertentu, sehingga cerita terasa lebih hidup. Agak sukar memang merumuskan suasana secara ketat sebab hal tersebut hanya bisa dirasakan pembaca.
Seorang novelis harus menyesuaikan situasi tertentu dengan suasana yang hendak diungkapkan. Kalau tidak, akan terlihat kejanggalan-kejanggalan yang bukan tidak mungkin dapat merusak keseluruhan cerita/novel. Sampai disini dapat disimpulkan, suasana adalah jiwa sebuah novel. Ia berfungsi menunjang cerita, alur, penokohan, dan latar, sehingga novel terasa hidup. Dengan kata lain, suasana adalah roh sebuah novel. Tanpa roh tersebut novel akan terasa kaku, kering dan tak hidup.
Suasana pun memegang peranan penting dalam film, seperti dalam novel, suasana dalam film juga berfungsi menunjang cerita, alur, penokohan dan latar, seperti dalam novel suasana dalam film pun harus diselaraskan dengan situasi tertentu.
6.      Gaya

Gaya seseorang pengarang bisa diketahui melalui karyanya. Karena seperti dikatakan Carlyle, “Gaya bukan hanya baju, melainkan kulit pengarang itu sendiri”. Pernyataan ini diperkuat lagi dengan pendapat Buffon “Gaya adalah orangnya sendiri” ada juga anggapan mengatakan, gaya seseorang pengarang menyangkut pemilihan tema, pemilihan tokoh-tokoh, pemilihan latar, dan seterusnya. Akan tetapi, pengertian gaya dalam buku ini penulis pakai dalam arti sempit. Yakni hanya menyangkut cara khas seseorang pengarang untuk mengutarakan/mengemukakan cerita, ide, maksud dan pesannya.

Salah satu gaya bahasa dan cara pengisahan yang dilakukan oleh pengaarang Pramoedya Ananta Tour membandingkan buah dada amilah yang sudah kemps itu demikian : “buah dadanya jatuh pada kulit dadaseperti juga halnya dengan [egunungan kendeng lengket pada bumi Bojonegoro”.
Cara pengisahan atau cara bercerita menyangkut cara apa yang dipakai pengarang untuk mengutarakan maksud. Maka itu oengarang harus mencari variasi pengisahan yang lain, seperti : cakapan, cakapan batin, surat, catatan/buku harian, biografi, hikayat, sorot balik, dan sebagainya.

7.      Tema/Amanat
Seorang pengarang tentu saja mempunyai persoalan tertentu yang hendak dikemukakan atau diutarakan kepada pembaca. Ia mempunyai inti persoalan, yang nanti dijabarkan melalui unsur-unsur novel : alur, penokohan, latar, suasan, dan gaya. Inti persoalan inilah yang penulis maksud dengan tema. Dengan demikian dalam sebuah novel akan dijumpai tema ini. Berkaitan dengan tema amanat atau pesan adalah sesuatu yang menjadi pendirian, sikap atau pendapat pengarang mengenai inti-persoalan yang digarapnya. Dengan kata lain, amanat adalah pesan pengarang atas persoalan yang dikemukakan.

Filmpun mempunyai tema tertentu, yakni inti-persoalan yang hendak diutarakan/disampaikan pembuat film kepada penontonnya. Tema itulah yang harus dituangkan dalam gambar-gambar, sehingga penonton dapat menangkap pesan atau ide pembuat film. Seperti dalam novel, besar kecilnya tema film bukanlah jaminan berhasil tidaknya sebuah film. Keberhasilan film tergantung pada factor, sekenario, pengambilan gambar, permainan para pelaku, penyusunan gambar dan lain-lain.

Seperti halnya novel, dalam film pun ditemui juga amanat pembuat film untuk penonton. Contohnya dalam film Si Doel Anak Modern, misalnya tersirat amanat “Orang jangan terlalu mudah tergila-gila pada hal-hal yang berbau modern karena yang modern itu tidak selalu enak”. Tetapi tidak semua sutradara ingin menjejelkan amanatnya kepada penonton.


Tidak ada komentar: