ULFAH JULIANTI (NOVEL DAN FILM)
BAB I
PENDAHULUAN
1.
Pengarang
Tidak Puas
Armijn
pane pernah mengalami kekecewaan, dramanya yang berjudul Antara Bumi dan Langit
diangkat ke layar perak oleh sutradara Huyung (1951). Karena pertimbangan
komersial, “tidak hanya nilai sastra yang terkandung dalam karya armijn itu
tidak terungkap lagi, bahkan jadi rusak sama sekali”. Oleh karena itu Armijn
tidak bersedia namanya dicantumkan sebagai penulis cerita asli.
Nama
pengarang yang kurang puas atau kecewa pada film yang didasarkan pada novek
atau karyanya itu tentu masih bias kita perpanjang. Namun nama pengarang
tersebut sudah disebut tadi agaknya sudah cukup untuk menunjukkan adanya
persoalan jika sebuah novel dipindah ke film.
2.
Penonton
Kecewa
Penonton
film pun sering kecewa menonton fiml yang di dasarkan pada novel-novel
tertentu. Ketika cerita Lupus karya Hilman Hariwijaya difilmkan oleh Achiel
Nasrun (1987). Sebagian penonton film lupus kecewa karena tokoh poppi menjadi
agresif dalam film, sedangkan dalam buku asli tidak demikian.
3.
Tentang
Buku Ini
Mula-mula
akan dibahas unsur-unsur yang menjadi tulang punggung sebuah novel, seperti :
cerita, alur, latar, suasana, gaya, dan tema/amanat. Unsur-unsur ini kemudian
diperbandingkan dengan unsur-unsur serupa dalam film.
4.
Istilah
dan Ejaan
Seperti
telah disinggung diatas, pemindahan atau pengangkatan novel ke film dalam buku
ini disebut ekranisasi. Istilah-istilah asing yang lazim dijumpai di dunia fim
sedapat mungkin penulis alihkan ke bahasa Indonesia.
BAB
II
NOVEL
DAN FILM
1.
Cerita
Menurut Forster,
cerita adalah pengisahan kejadian dalam waktu dan cerita adalah basis sebuah
novel. Tanpa kehadiran cerita sia-sialah usaha seorang pengarang untuk
berkomunikasi dengan orang lain (pembaca), sebab orang tidak akan menemukan
apa-apa dalam novel dengan mengabaikan unsur cerita.
Adanya
kejadian-kejadian saja belumlah menjamin apa-apa. Kejadian-kejadian itu sendiri
baru sekadar bahan mentah. Maka itu, tugas pengaranglah merangkai-rangkaikannya
menjadi satu kesatuan utuh yang kemudian bernama novel. Dalam hal
merangkai-rangkaikan kejadian-kejadian, unsur waktu memegang peranan penting.
Lazimnya,
cerita dalam novel berkonotasi pada “kelampauan”. Artinya, kejadian-kejadian
yang dikisahkan biasanya sudah lewat di belakang pembaca. Dengan demikian,
orang (pembaca) hanya bisa membayangkan apa yang dikisahkan pengarang, sebagai
sesuatu yang terjadi pada masa lampau. Contohnya Revolusi Oktober yang
dikisahkan dalam novel Dokter Zhivago dibaca orang jauh setelah revolusi
itu usai. Pada hakikatnya, film juga merupakan pengisahan kejadian dalam waktu.
Tetapi kejadian dalam film tidak berkonotasi pada “kelampauan”, melainkan
berkonotasi pada “kekinian”, pada sesuatau yang sedang terjadi. Melihat adegan
pembunuhan atau pemerkosaan dalam film, penonton serasa ikut cemas dan ngeri,
sebab kejadian itu disajikan langsung di depan mata.
Berbeda
dengan novelis yang bergulat dengan kata-kata, penulis scenario bergulat dengan
apa yang disebut pudovkin plastic material.
2.
Alur
Satu
hal yang perlu diperhatikan seorang novelis adalah unsur tagangan (suspense).
Unsur ini penting untuk memancing rasa ingin tahu pembaca akan
kejadian-kejadian selanjutnya. Novelis yang baik tentu amat menyadari hal ini.
Sebab kalau tidak, novelnya akan ditinggalkan orang (pembaca) sebelum habis
dibaca. Salah satu caraefektif untuk memancing rasa ingin tahu pembaca itu
adalah dengan menaruh bagian akhir atau bagian pertikaian di awal novel.
Tidak
demikian halnya dengan film. Film mempunyai keterbatasan ruang dan teknis.
Jangka putar film biasanya berkisar antara satu setengah hingga dua jam.
Seperti dalam novel,
mengawali film dengan tegangan bukanlah jaminan berhasil tidaknya sebuah film.
Ada juga film yang berhasil sekalipun memakai alur penceritaan “konvensional” :
permulaan, pertikaian, puncak, peleraian dan akhir. Tetapi yang jelas,
keberhasilan film banyak tergantung pada keharmonisan berbagai unsur pendukung
film, seperti pengambilan gambar, penyusunan gambar, permainan actor/aktris dan
lain-lain.
3.
Penokohan
Biasanya
tokoh-tokoh dalam novel adalah manusia. Menurut Rene Wellek dan Austin Warren,
cara paling sederhana untuk mengenali tokoh-tokoh novel adalah dengan pemberian
nama. Melalui sifat atau watak yang dimiliki tokoh-tokoh novel, pembaca dapat
mengerti mengapa suatu tindakan atau kejadian terjadi. Watak yang dipunyai
seseorang, juga merupakan motivasi untuk kejadian-kejadian atau peristiwa
selanjutnya yang terjalin dalam cerita dan alur.
Film
pun mempunyai tokoh-tokoh sebagai pelaku dalam sebuah film. Berlainan dengan
cara penampilan tokoh-tokoh dalam novel, film menapilkan tokoh-tokohnya secara
visual. Dengan demikian, penokohan secara analitik (langsung) yang dikenal
dalam novel tidak dikenal dalam film.
4.
Latar
Latar dalam film ditampilkan secara visual melalui
gambar-gambar yang bergerak berkelanjutan, sehingga apa yang kelihatan di layar
seolah-olah sedang terjadi dalam kehidupan sesungguhnya (kehidupan nyata).
Apabila dalam novel (pembaca) hanya bisa membayangkan tempat tinggal seseorang,
keadaan satu keluarga, keadaan masyarakat, dalam film orang (penonton)
menyaksikannya di depan mata.
Latar
dalam film juga mempunyai fungsi dramatic oleh sebab itulah, seorang penulis
sekenario harus hati-hati dalam mencari dan memilih barang-barang atau benda-benda
yang akan ditampilkan dalam film. Ia harus bisa memilih barang-barang atau
benda-benda yang paling ekspresif, jelas, dan tepat di antara sekian banyak
barang-barang atau benda-benda yang tersedia dalam kehidupan sehari-hari.
5.
Suasana
Sebuah
novel tentu mempunyai suasana tertentu. Tindakan tokoh-tokohnya akan memberikan
petunjuk bagaimana suasananya pada saat itu. Latarpun dapat menunjukan suasana
tertentu, sehingga cerita terasa lebih hidup. Agak sukar memang merumuskan
suasana secara ketat sebab hal tersebut hanya bisa dirasakan pembaca.
Seorang
novelis harus menyesuaikan situasi tertentu dengan suasana yang hendak
diungkapkan. Kalau tidak, akan terlihat kejanggalan-kejanggalan yang bukan
tidak mungkin dapat merusak keseluruhan cerita/novel. Sampai disini dapat
disimpulkan, suasana adalah jiwa sebuah novel. Ia berfungsi menunjang cerita,
alur, penokohan, dan latar, sehingga novel terasa hidup. Dengan kata lain,
suasana adalah roh sebuah novel. Tanpa roh tersebut novel akan terasa kaku,
kering dan tak hidup.
Suasana
pun memegang peranan penting dalam film, seperti dalam novel, suasana dalam
film juga berfungsi menunjang cerita, alur, penokohan dan latar, seperti dalam
novel suasana dalam film pun harus diselaraskan dengan situasi tertentu.
6.
Gaya
Gaya seseorang pengarang bisa
diketahui melalui karyanya. Karena seperti dikatakan Carlyle, “Gaya bukan hanya
baju, melainkan kulit pengarang itu sendiri”. Pernyataan ini diperkuat lagi
dengan pendapat Buffon “Gaya adalah orangnya sendiri” ada juga anggapan mengatakan,
gaya seseorang pengarang menyangkut pemilihan tema, pemilihan tokoh-tokoh,
pemilihan latar, dan seterusnya. Akan tetapi, pengertian gaya dalam buku ini
penulis pakai dalam arti sempit. Yakni hanya menyangkut cara khas seseorang
pengarang untuk mengutarakan/mengemukakan cerita, ide, maksud dan pesannya.
Salah satu gaya bahasa dan cara
pengisahan yang dilakukan oleh pengaarang Pramoedya Ananta Tour membandingkan
buah dada amilah yang sudah kemps itu demikian : “buah dadanya jatuh pada kulit
dadaseperti juga halnya dengan [egunungan kendeng lengket pada bumi
Bojonegoro”.
Cara pengisahan atau cara bercerita menyangkut cara
apa yang dipakai pengarang untuk mengutarakan maksud. Maka itu oengarang harus
mencari variasi pengisahan yang lain, seperti : cakapan, cakapan batin, surat,
catatan/buku harian, biografi, hikayat, sorot balik, dan sebagainya.
7.
Tema/Amanat
Seorang
pengarang tentu saja mempunyai persoalan tertentu yang hendak dikemukakan atau
diutarakan kepada pembaca. Ia mempunyai inti persoalan, yang nanti dijabarkan
melalui unsur-unsur novel : alur, penokohan, latar, suasan, dan gaya. Inti
persoalan inilah yang penulis maksud dengan tema. Dengan demikian dalam sebuah
novel akan dijumpai tema ini. Berkaitan dengan tema amanat atau pesan adalah sesuatu
yang menjadi pendirian, sikap atau pendapat pengarang mengenai inti-persoalan
yang digarapnya. Dengan kata lain, amanat adalah pesan pengarang atas persoalan
yang dikemukakan.
Filmpun
mempunyai tema tertentu, yakni inti-persoalan yang hendak diutarakan/disampaikan
pembuat film kepada penontonnya. Tema itulah yang harus dituangkan dalam
gambar-gambar, sehingga penonton dapat menangkap pesan atau ide pembuat film.
Seperti dalam novel, besar kecilnya tema film bukanlah jaminan berhasil
tidaknya sebuah film. Keberhasilan film tergantung pada factor, sekenario,
pengambilan gambar, permainan para pelaku, penyusunan gambar dan lain-lain.
Seperti halnya novel, dalam film pun
ditemui juga amanat pembuat film untuk penonton. Contohnya dalam film Si
Doel Anak Modern, misalnya tersirat amanat “Orang jangan terlalu mudah
tergila-gila pada hal-hal yang berbau modern karena yang modern itu tidak
selalu enak”. Tetapi tidak semua sutradara ingin menjejelkan amanatnya kepada
penonton.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar