NOVEL
DAN FILM
BAB
I
PENDAHULUAN
1.
Pengarang
tidak puas
Pengarang
amerika Ernest Hemingway, sering dikutip orang sebagai pengarang yang sering
kecewa jika novel-novelnya diangkat ke layar putih. Malahan pemenang hadiah
nobel ini bersedia membayar biaya yang dikeluarkan produser film, asalkan salah
satu film yang didasarkan pada novelnya tidak diedarkan.
Motinggo
Busye dan Armijn Pane pun pernah mengalami kekecewaan serupa. Nama para
pengarang yang kurang puas atau kecewa pada film yang didasarkan pada novel
atau karyanya ini tentu masih bisa kita perpanjang.
2.
Penonton
kecewa
Sesungguhnya
ketidakpuasan dan kekecewaan tadi tidak hanya datang dari pihak pengarang.
Penonton film pun sering kecewa menonton film yang didasarkan pada novel-novel
tertentu. Seorang kawan penulis, misalkan menyatakan kekecewaannya.
Begitu
pula ketika cerita lupus (karya Hilman Hariwijaya) difilmkan oleh Achiel
Nasrun (1987), sebagian penonton film
lupus kecewa karena tokoh poppi menjadi agresif dalam film, sedangkan dalam
buku asli tidaklah demikian.
3.
Tentang
buku ini
Sebuah
novel seperti cerita, alur, penokohan, latar, suasana, gaya, dan tema/amanat.
Unsur-unsur ini kemudian dibandingkan dengan unsur-unsur serupa dalam film.
4.
Istilah
dan Ejaan
Istilah-istilah
asing yang lazim dijumpai di dunia film sedapat mungkin penulis alihkan ke
bahasa indonesia. Bila sulit ditemukan padanannya, akan dipakai bentuk aslinya.
Kutipan-kutipan
dari novel akan ditulis menurut ejaan bahasa indonesia yang disempurnakan
(1972), termasuk kutipan dan novel yang terbit sebelum tahun 1972.
BAB II
NOVEL DAN FILM
1.
Cerita
Menurut
Forster, cerita adalah pengisahan kejadian dalam waktu dan cerita adalah basis
sebuah novel. Tanpa kehadiran cerita, sia-sialah usaha seorang pengarang untuk
berkomunikasi dengan orang lain (pembaca), sebab orang tidak akan menemukan
apa-apa dalam novel bersangkutan. Lebih jauh lagi, seseorang tak mungkin
menulis novel dengan mengabaikan unsur cerita.
Adanya
kejadian-kejadian saja belumlah menjamin apa-apa. Kejadian-kejadian itu sendiri
baru sekadar bahan mentah. Maka itu tugas pengaranglah merangkai-rangkaikannya
menjadi satu kesatuan utuh yang kemudian bernama novel. Dalam hal
merangkai-rangkaian, kejadian-kejadian, unsur waktu memegang peranan penting.
Novel
menyampaikan cerita, ide, amanat atau maksudnya dengan pertolongan kata-kata.
Oleh sebab itu, kata-kata menempati kedudukan penting dalam novel.
Pada
hakikatnya film juga merupakan pengisahan kejadian dalam waktu, tetapi kejadian
dalam film tidak berkonotasi pada kelampauan melainkan berkonotasi pada
kekinian, pada sesuatu yang sedang terjadi.
2.
Alur
Dari
segi kuantitatif, alur dalam novel dapat dibagi dua yakni alur tunggal dan alur
ganda. Pada alur tunggal hanya terdapat satu jalinan cerita, sedangkan pada
alur ganda terdapat lebih dari satu jalinan cerita. Lazimnya alur mempunyai
bagian-bagian yang secara konvensional dikenal sebagai permulaan (beginning),
pertikaian/perumitan ( rising action), puncak (climax), peleraian ( falling
action) dan akhir (end).
Pada
permulaan, biasanya pengarang memperkenalkan tokoh-tokohnya. Tokoh yang satu
dihubungkan dengan tokoh lainnya, dari penghubungan ini akan terjadi perbagai
persoalan, yang makin lama makin memuncak, kemudian cerita melaju pada
peleraian, tokoh-tokoh dalam cerita menempuh jalan atau sikap sendiri-sendiri
sampai pada suatu akhir cerita.
Satu
hal yang perlu diperhatikan seorang penulis adalah unsur tegangan (suspense).
Unsur ini penting untuk memancing rasa ingin tahu pembaca akan
kejadian-kejadian selanjutnya.
Disamping
itu, sebuah cerita beralur ganda juga mungkin difilmkan dengan catatan waktu
putaran film itu akan bertambah panjang, meskipun begitu, hal ini tidak selalu
bisa dilaksanakan, mengingat daya tahan mata penonton yang amat sangat terbatas
pula.
Seperti
seorang novelis seorang sutradara film pun harus memperhatikan unsur tegangan
(suspense), sehingga bisa memancing rasa ingin tahu penonton untuk mengikuti
cerita film secara keseluruhan. Tetapi yang jelas, keberhasilan film banyak
tergantung pada keharmonisan berbagai unsur pendukung film seperti pengambilan
gambar, penyusunan gambar, permainan aktor/aktris, dan lain-lain.
3.
Penokohan
Menurut
Rene Wellek dan Austin Warren, cara paling sederhana untuk mengenali
tokoh-tokoh novel adalah dengan pemberian nama. Tidak semua tokoh-tokoh novel
mempunyai nama. Misalnya tokoh-tokoh tidak memakai nama, tokoh utama sendiri
hanya disebut tokoh kita. Penokohan berfungsi untuk menunjang cerita dan alur.
Film
pun mempunyai tokoh-tokoh sebagai pelaku dalam sebuah film. Berlainan dengan
cara penampilan tokoh-tokoh dalam novel, film menampilkan tokoh-tokohnya secara
langsung dan secara visual. Dari penampilan tokoh-tokoh film secara langsung
(visual) itulah penonton mengetahui sifat (watak), sikap-sikap dan
kecenderungan-kecenderungan sang tokoh. Disamping itu, orang menonton film
tidaklah seperti membaca novel. Bila ada hal yang terjadi dengan terlupa,
pembaca novel bisa kembali ke halaman–halaman yang terlupakan itu, tidak halnya
demikian menonton film, orang yang menonton film hanya satu kali, bila ada yang
terlupa, orang tidak mungkin kembali kebagian atau adegan yang terlupa itu.
4.
Latar
Latar
dalam film ditampilkan secara visual melalui gambar-gambar yang bergerak
berkelanjutan, sehingga apa yang kelihatan di layar putih seolah-olah sedang
terjadi dalam kehidupan sesungguhnya (kehidupan nyata). Apa bila dalam novel
orang (pembaca) hanya bisa membayangkan tempat tinggal seseorang, keadaan satu
keluarga, keadaan masyarakat, dalam film orang ( penonton) menyaksikannya di
depan mata.
5.
Suasana
Sebuah
novel tentu mempunyai suasana tertentu. Tindakan tokoh-tokoh akan memberikan
petunjuk bagaimana suasana pada saat itu. Latar pun dapat menunjukan suasana
tertentu, sehingga cerita terasa lebih hidup.
Dalam
membangun suasana cerita, seorang pengarang perlu memperhatikan unsur situasi
yaitu cocoknya situasi pada saat itu dengan suasana yang diungkapkan. Sampai
disini, suasana dapat disimpulkan, suasana adalah jiwa sebuah novel, ia
berfungsi menunjang cerita, alur, penokohan dan latar. Sehingga novel terasa
hidup. Dengan kata lain suasana adalah roh sebuah novel. Tanpa roh tersebut,
sebuah novel akan terasa kering, kaku dan tidak hidup.
Suasana
pun memegang peranan penting dalam film seperti dalam novel suasana dalam film
juga berfungsi menunjang cerita, alur, penokohan, dan latar.
6.
Gaya
Menurut
Peter Wollen dalam bukunya signs and meaning in the cinema, gambar-gambar
sebgai alat pengucapan film mempunyai tiga dimensi. Pertama, gambar sebgai
indeks, kedua gambar sebagai ikon (icon), dan ketiga gambar sebagai simbol
(bilangan).
Gambar-gambar
sebagai indeks menunjukan masih adanya hubungan objek yang bersangkutan dengan
gambar yang ditampilkan di layar putih. Gambar-gambar sebagai ikon menunjukan
gambar yang kelihatan di layar putih adalah perwujudan dari objek yang
bersangkutan. Gambar-gambar sebagai simbol menunjukan tidak adanya hubungan
gambar yang nampak di film dengan objek yang diwakilinya.
Sorot
balik (flashback) dalam film digunakan untuk menunjukan latar belakang sesuatu.
7.
Tema/Amanat
Seorang pengarang (novelis) tentu saja
mempunyai persoalan tertentu yang hendak dikemukakan atau diutarakan kepada
pembaca. Berkaitan dengan tema adalah amanat atau pesan, amanat adalah sesuatu
yang menjadi pendirian. Sikap atau pendapat pengarang mengenai inti persoalan
yang digarapnya. Dengan kata lain, amanat adalah pesan pengarang atas persoalan
yang dikemukakan.
Film
pun mempunyai tema tertentu yakni inti soal yang hendak diutarakan/disampaikan
pembuat film kepada penontonnya. Tema itulah yang harus dituangkan dalam
gambar-gambar, sehingga penonton dapat menangkap pesan atau ide pembuatan film.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar