2014/04/29

Review Novel dan Film dari BAB I s/d BAB II



NOVEL DAN FILM
BAB I
PENDAHULUAN
1.      Pengarang tidak puas
Pengarang amerika Ernest Hemingway, sering dikutip orang sebagai pengarang yang sering kecewa jika novel-novelnya diangkat ke layar putih. Malahan pemenang hadiah nobel ini bersedia membayar biaya yang dikeluarkan produser film, asalkan salah satu film yang didasarkan pada novelnya tidak diedarkan.         
Motinggo Busye dan Armijn Pane pun pernah mengalami kekecewaan serupa. Nama para pengarang yang kurang puas atau kecewa pada film yang didasarkan pada novel atau karyanya ini tentu masih bisa kita perpanjang.
2.      Penonton kecewa
Sesungguhnya ketidakpuasan dan kekecewaan tadi tidak hanya datang dari pihak pengarang. Penonton film pun sering kecewa menonton film yang didasarkan pada novel-novel tertentu. Seorang kawan penulis, misalkan menyatakan kekecewaannya.
Begitu pula ketika cerita lupus (karya Hilman Hariwijaya) difilmkan oleh Achiel Nasrun  (1987), sebagian penonton film lupus kecewa karena tokoh poppi menjadi agresif dalam film, sedangkan dalam buku asli tidaklah demikian.
3.      Tentang buku ini
Sebuah novel seperti cerita, alur, penokohan, latar, suasana, gaya, dan tema/amanat. Unsur-unsur ini kemudian dibandingkan dengan unsur-unsur serupa dalam film.
4.      Istilah dan Ejaan
Istilah-istilah asing yang lazim dijumpai di dunia film sedapat mungkin penulis alihkan ke bahasa indonesia. Bila sulit ditemukan padanannya, akan dipakai bentuk aslinya.
Kutipan-kutipan dari novel akan ditulis menurut ejaan bahasa indonesia yang disempurnakan (1972), termasuk kutipan dan novel yang terbit sebelum tahun 1972.

BAB II
NOVEL DAN FILM
1.      Cerita
Menurut Forster, cerita adalah pengisahan kejadian dalam waktu dan cerita adalah basis sebuah novel. Tanpa kehadiran cerita, sia-sialah usaha seorang pengarang untuk berkomunikasi dengan orang lain (pembaca), sebab orang tidak akan menemukan apa-apa dalam novel bersangkutan. Lebih jauh lagi, seseorang tak mungkin menulis novel dengan mengabaikan unsur cerita.
Adanya kejadian-kejadian saja belumlah menjamin apa-apa. Kejadian-kejadian itu sendiri baru sekadar bahan mentah. Maka itu tugas pengaranglah merangkai-rangkaikannya menjadi satu kesatuan utuh yang kemudian bernama novel. Dalam hal merangkai-rangkaian, kejadian-kejadian, unsur waktu memegang peranan penting.
Novel menyampaikan cerita, ide, amanat atau maksudnya dengan pertolongan kata-kata. Oleh sebab itu, kata-kata menempati kedudukan penting dalam novel.
Pada hakikatnya film juga merupakan pengisahan kejadian dalam waktu, tetapi kejadian dalam film tidak berkonotasi pada kelampauan melainkan berkonotasi pada kekinian, pada sesuatu yang sedang terjadi.
2.      Alur
Dari segi kuantitatif, alur dalam novel dapat dibagi dua yakni alur tunggal dan alur ganda. Pada alur tunggal hanya terdapat satu jalinan cerita, sedangkan pada alur ganda terdapat lebih dari satu jalinan cerita. Lazimnya alur mempunyai bagian-bagian yang secara konvensional dikenal sebagai permulaan (beginning), pertikaian/perumitan ( rising action), puncak (climax), peleraian ( falling action) dan akhir (end).
Pada permulaan, biasanya pengarang memperkenalkan tokoh-tokohnya. Tokoh yang satu dihubungkan dengan tokoh lainnya, dari penghubungan ini akan terjadi perbagai persoalan, yang makin lama makin memuncak, kemudian cerita melaju pada peleraian, tokoh-tokoh dalam cerita menempuh jalan atau sikap sendiri-sendiri sampai pada suatu akhir cerita.
Satu hal yang perlu diperhatikan seorang penulis adalah unsur tegangan (suspense). Unsur ini penting untuk memancing rasa ingin tahu pembaca akan kejadian-kejadian selanjutnya.
Disamping itu, sebuah cerita beralur ganda juga mungkin difilmkan dengan catatan waktu putaran film itu akan bertambah panjang, meskipun begitu, hal ini tidak selalu bisa dilaksanakan, mengingat daya tahan mata penonton yang amat sangat terbatas pula.
Seperti seorang novelis seorang sutradara film pun harus memperhatikan unsur tegangan (suspense), sehingga bisa memancing rasa ingin tahu penonton untuk mengikuti cerita film secara keseluruhan. Tetapi yang jelas, keberhasilan film banyak tergantung pada keharmonisan berbagai unsur pendukung film seperti pengambilan gambar, penyusunan gambar, permainan aktor/aktris, dan lain-lain.
3.      Penokohan
Menurut Rene Wellek dan Austin Warren, cara paling sederhana untuk mengenali tokoh-tokoh novel adalah dengan pemberian nama. Tidak semua tokoh-tokoh novel mempunyai nama. Misalnya tokoh-tokoh tidak memakai nama, tokoh utama sendiri hanya disebut tokoh kita. Penokohan berfungsi untuk menunjang cerita dan alur.
Film pun mempunyai tokoh-tokoh sebagai pelaku dalam sebuah film. Berlainan dengan cara penampilan tokoh-tokoh dalam novel, film menampilkan tokoh-tokohnya secara langsung dan secara visual. Dari penampilan tokoh-tokoh film secara langsung (visual) itulah penonton mengetahui sifat (watak), sikap-sikap dan kecenderungan-kecenderungan sang tokoh. Disamping itu, orang menonton film tidaklah seperti membaca novel. Bila ada hal yang terjadi dengan terlupa, pembaca novel bisa kembali ke halaman–halaman yang terlupakan itu, tidak halnya demikian menonton film, orang yang menonton film hanya satu kali, bila ada yang terlupa, orang tidak mungkin kembali kebagian atau adegan yang terlupa itu.
4.      Latar
Latar dalam film ditampilkan secara visual melalui gambar-gambar yang bergerak berkelanjutan, sehingga apa yang kelihatan di layar putih seolah-olah sedang terjadi dalam kehidupan sesungguhnya (kehidupan nyata). Apa bila dalam novel orang (pembaca) hanya bisa membayangkan tempat tinggal seseorang, keadaan satu keluarga, keadaan masyarakat, dalam film orang ( penonton) menyaksikannya di depan mata.
5.      Suasana
Sebuah novel tentu mempunyai suasana tertentu. Tindakan tokoh-tokoh akan memberikan petunjuk bagaimana suasana pada saat itu. Latar pun dapat menunjukan suasana tertentu, sehingga cerita terasa lebih hidup.
Dalam membangun suasana cerita, seorang pengarang perlu memperhatikan unsur situasi yaitu cocoknya situasi pada saat itu dengan suasana yang diungkapkan. Sampai disini, suasana dapat disimpulkan, suasana adalah jiwa sebuah novel, ia berfungsi menunjang cerita, alur, penokohan dan latar. Sehingga novel terasa hidup. Dengan kata lain suasana adalah roh sebuah novel. Tanpa roh tersebut, sebuah novel akan terasa kering, kaku dan tidak hidup.
Suasana pun memegang peranan penting dalam film seperti dalam novel suasana dalam film juga berfungsi menunjang cerita, alur, penokohan, dan latar.
6.      Gaya
Menurut Peter Wollen dalam bukunya signs and meaning in the cinema, gambar-gambar sebgai alat pengucapan film mempunyai tiga dimensi. Pertama, gambar sebgai indeks, kedua gambar sebagai ikon (icon), dan ketiga gambar sebagai simbol (bilangan).
Gambar-gambar sebagai indeks menunjukan masih adanya hubungan objek yang bersangkutan dengan gambar yang ditampilkan di layar putih. Gambar-gambar sebagai ikon menunjukan gambar yang kelihatan di layar putih adalah perwujudan dari objek yang bersangkutan. Gambar-gambar sebagai simbol menunjukan tidak adanya hubungan gambar yang nampak di film dengan objek yang diwakilinya.
Sorot balik (flashback) dalam film digunakan untuk menunjukan latar belakang sesuatu.
7.      Tema/Amanat
 Seorang pengarang (novelis) tentu saja mempunyai persoalan tertentu yang hendak dikemukakan atau diutarakan kepada pembaca. Berkaitan dengan tema adalah amanat atau pesan, amanat adalah sesuatu yang menjadi pendirian. Sikap atau pendapat pengarang mengenai inti persoalan yang digarapnya. Dengan kata lain, amanat adalah pesan pengarang atas persoalan yang dikemukakan.
Film pun mempunyai tema tertentu yakni inti soal yang hendak diutarakan/disampaikan pembuat film kepada penontonnya. Tema itulah yang harus dituangkan dalam gambar-gambar, sehingga penonton dapat menangkap pesan atau ide pembuatan film.







Tidak ada komentar: