2014/04/28

Friyansyah, Novel dan Film


Novel dan Film

      1.  Cerita
Novel maupun film sama-sama bertolak dari suatu cerita. Seorang novelis ingin menyampaikan cerita kepada pembacanya, demikian juga seorang sutradara film. Menurut Forster, cerita adalah pengisahan kejadian dalam waktu dan cerita adalah basis sebuah novel. Tanpa kehadiran cerita, sia-sialah usaha seorang pengarang untuk berkomunikasi dengan orang lain (pembaca), sebab orang tidak akan menemukan apa-apa dalam novel bersangkutan. Lebih jauh lagi, seseorang tak mungkin menulis novel dengan mengabaikan unsur cerita karena cerita merupakan hakikat novel.
Adanya kejadian-kejadian saja belumlah menjamin apa-apa. Kejadian-kejadian itu sendiri baru sekadar bahan mentah. Maka itu, tugas pengaranglah merangkai-rangkaikannya menjadi satu kesatuan utuh yang kemudian bernama novel. Dalam hal merangkai-rangkaikan kejadian-kejadian, unsur waktu memegang peranan penting.
Lazimnya, cerita dalam novel berkonotasi pada “kelampauan”. Artinya, kejadian-kejadian yang dikisahkan biasanya sudah lewat di belakang pembaca. Dengan demikian, orang (pembaca) hanya bisa membayangkan apa yang dikisahkan pengarang, sebagai sesuatu yang terjadi pada masa lampau. Contohnya Revolusi Oktober yang dikisahkan dalam novel Dokter Zhivago dibaca orang jauh setelah revolusi itu usai. Pada hakikatnya, film juga merupakan pengisahan kejadian dalam waktu. Tetapi kejadian dalam film tidak berkonotasi pada “kelampauan”, melainkan berkonotasi pada “kekinian”, pada sesuatau yang sedang terjadi. Melihat adegan pembunuhan atau pemerkosaan dalam film, penonton serasa ikut cemas dan ngeri, sebab kejadian itu disajikan langsung di depan mata.
      
2. Alur
Menurut Foster yang memberi contoh kelasik: “Raja mati dan kemudian permaisuri pun mati adalah sebuah cerita. Raja mati dan kemudian permaisuri pun mati karena dukacita adalah alur”. Contoh ini menunjukan bahwa pengertian cerita dan alur begitu dekat. Cerita adalah pengisahan kejadian dalam waktu. Alur pun merupakan pengisahan kejadian dalam waktu. Hanya saja, pada yang belakangan ini harus ditambahkan unsur sebab-akibat. Dengan demikian, alur adalah pengisahan kejadian dengan tekanan pada sebab-musabab. Yang penting bukan kejadian itu sendiri, melainkan alasan (motif) kejadian itu, mengapa sampai terjadi? Apa sebab terjadinya?.
Dari segi kuantitatif, alur dalam novel dapat dibagi dua, yakni alur tunggal dan alur ganda. Pada alur tunggal hanya terdapat satu jalinan cerita, sedangkan pada alur ganda terdapat lebih dari satu jalinan cerita. Lazimnya, alur mempunyai bagian-bagian yang secara konvensional dikenal sebagai permulaan (beginning), pertikaian/perumitan (rising action), puncak (climax), peleraian (falling action), dan akhir (end).
Tidak demikian halnya dengan film. Film mempunyai keterbatasan ruang dan keterbatasan teknis. Jangka putar film biasanya berkisar antara satu setengah hingga dua jam. Oleh sebab itu, film lebih sering memakai alur tunggal saja. Walau demikian, bukan berarti film tidak bisa mengungkapkan persoalan-persoalan yang kompleks. Bisa saja, asal kekompleksan itu diabadikan pada satu jalan cerita atau tema-plot sebagai pusatnya.
Di samping itu, sebuah cerita beralur ganda juga mungkin difilmkan, dengan catatan : waktu putar film itu akan bertambah panjang. Meskipun begitu, hal ini tidak selalu bisa dilaksanakan, mengingat daya tahan mata penonton yang terbatas. Cara lain untuk memfilmkan cerita beralur ganda ialah dengan membuat film ini berseri. Tetapi ini pun akan menimbulkan persoalan tersendiri kelak. Sebab orang yang menonton film I belum tentu akan menonton flm II-nya di kemudian hari.

3.   Penokohan
Atas diri siapakah kejadian-kejadian dalam cerita berlaku? Terhadap siapa saja peristiwa berlaku? Pertanyaan-pertanyaan ini menyangkut penokohan. Sudah tentu ada pihak atau subjek tertentu yang mengalami cerita, sehingga lahir sebuah kisah dari awal sampai akhir. Sukarlah dibayangkan adanya novel tanpa kehadiran tokoh-tokoh di dalamnya. Sebab, pertanyaan “Pada siapa kejadian-kejadian berlaku?” tidak akan terjawab. Maka itu, tak mungkin rasanya menulis novel tanpa adanya tokoh-tokoh di dalamnya. Biasanya tokoh-tokoh dalam novel adalah manusia. Tetapi kadang-kadang ada juga yang tokohnya binatang. Contohnya dalam novel Kappa, tokoh utamanya adalah sejenis hewan bernama kappa.
Film pun mempunyai tokoh-tokoh, sebagai pelaku dalam sebuah film. Berlainan dengan cara penamilan tokoh-tokoh dalam novel, film menampilkan tokoh-tokohnya secara langsung dan secara visual. Dengan demikian, penokohan cara analitik (langsung) yang dikenal dalam novel, tidak dikenal dalam film.
Sebab, tokoh-tokoh dalam film tidaklah dibangun dengan kata-kata, melainkan tokoh itu langsung hadir di hadapan penonton film. Dari penampilan tokoh-tokoh film secara langsung (visual) itulah penonton mengetahui sifat (watak), sikap-sikap, dan kecendrungan-kecendrungan sang tokoh.

4.   Latar
Sebuah kejadian tentu saja terjadi pada suatu ruang, tempat dan kurun waktu tertentu. Kapan dan di mana kejadian itu terjadi ? Inilah pertanyaan yang berkaitan dengan latar. Latar berusaha menerangkan apakah kejadian itu terjadi di rumah, di gubuk, di hotel, di kota, di desa atau tempat lain. Latar juga menjelaskan apakah peristiwa itu berlangsung pada pagi hari, siang hari, atau malam hari. Latar juga menerangkan apakah kejadian itu terjadi pada zaman penjajahan, zaman merdeka atau zaman lain. Pendek kata, latar adalah tempat berpijak atau bertumpunya cerita, alur dan tokoh-tokoh dalam novel.
Latar dalam film ditampilkan secara visual melalui gambar-gambar yang bergerak berkelanjutan, sehingga apa yang kelihatan di layar seolah-olah sedang terjadi dalam kehidupan sesungguhnya (kehidupan nyata). Apabila dalam novel (pembaca) hanya bisa membayangkan tempat tinggal seseorang, keadaan satu keluarga, keadaan masyarakat, dalam film orang (penonton) menyaksikannya di depan mata.
Latar dalam film juga mempunyai fungsi dramatic oleh sebab itulah, seorang penulis sekenario harus hati-hati dalam mencari dan memilih barang-barang atau benda-benda yang akan ditampilkan dalam film. Ia harus bisa memilih barang-barang atau benda-benda yang paling ekspresif, jelas, dan tepat di antara sekian banyak barang-barang atau benda-benda yang tersedia dalam kehidupan sehari-hari.

5.   Suasana
Sebuah novel tentu mempunyai suasana tertentu. Tindakan tokoh-tokohnya akan memberikan petunjuk bagaimana suasananya pada saat itu. Latarpun dapat menunjukan suasana tertentu, sehingga cerita terasa lebih hidup. Agak sukar memang merumuskan suasana secara ketat sebab hal tersebut hanya bisa dirasakan pembaca. Seorang novelis harus menyesuaikan situasi tertentu dengan suasana yang hendak diungkapkan. Kalau tidak, akan terlihat kejanggalan-kejanggalan yang bukan tidak mungkin dapat merusak keseluruhan cerita/novel. Sampai disini dapat disimpulkan, suasana adalah jiwa sebuah novel. Ia berfungsi menunjang cerita, alur, penokohan, dan latar, sehingga novel terasa hidup. Dengan kata lain, suasana adalah roh sebuah novel. Tanpa roh tersebut novel akan terasa kaku, kering dan tak hidup. Suasana pun memegang peranan penting dalam film, seperti dalam novel, suasana dalam film juga berfungsi menunjang cerita, alur, penokohan dan latar, seperti dalam novel suasana dalam film pun harus diselaraskan dengan situasi tertentu.

6.   Gaya
Gaya seseorang pengarang bisa diketahui melalui karyanya. Karena seperti dikatakan Carlyle, “Gaya bukan hanya baju, melainkan kulit pengarang itu sendiri”. Pernyataan ini diperkuat lagi dengan pendapat Buffon “Gaya adalah orangnya sendiri” ada juga anggapan mengatakan, gaya seseorang pengarang menyangkut pemilihan tema, pemilihan tokoh-tokoh, pemilihan latar, dan seterusnya. Akan tetapi, pengertian gaya dalam buku ini penulis pakai dalam arti sempit. Yakni hanya menyangkut cara khas seseorang pengarang untuk mengutarakan/mengemukakan cerita, ide, maksud dan pesannya.

7.   Tema/Amanat
Seorang pengarang tentu saja mempunyai persoalan tertentu yang hendak dikemukakan atau diutarakan kepada pembaca. Ia mempunyai inti persoalan, yang nanti dijabarkan melalui unsur-unsur novel : alur, penokohan, latar, suasan, dan gaya. Inti persoalan inilah yang penulis maksud dengan tema. Dengan demikian dalam sebuah novel akan dijumpai tema ini. Berkaitan dengan tema amanat atau pesan adalah sesuatu yang menjadi pendirian, sikap atau pendapat pengarang mengenai inti-persoalan yang digarapnya. Dengan kata lain, amanat adalah pesan pengarang atas persoalan yang dikemukakan.
Filmpun mempunyai tema tertentu, yakni inti-persoalan yang hendak diutarakan/disampaikan pembuat film kepada penontonnya. Tema itulah yang harus dituangkan dalam gambar-gambar, sehingga penonton dapat menangkap pesan atau ide pembuat film. Seperti dalam novel, besar kecilnya tema film bukanlah jaminan berhasil tidaknya sebuah film. Keberhasilan film tergantung pada factor, sekenario, pengambilan gambar, permainan para pelaku, penyusunan gambar dan lain-lain.
Seperti halnya novel, dalam film pun ditemui juga amanat pembuat film untuk penonton. Contohnya dalam film Si Doel Anak Modern, misalnya tersirat amanat “Orang jangan terlalu mudah tergila-gila pada hal-hal yang berbau modern karena yang modern itu tidak selalu enak”. Tetapi tidak semua sutradara ingin menjejelkan amanatnya kepada penonton.

Tidak ada komentar: