Novel dan Film
1. Cerita
1. Cerita
Novel maupun
film sama-sama bertolak dari suatu cerita. Seorang novelis ingin menyampaikan
cerita kepada pembacanya, demikian juga seorang sutradara film. Menurut Forster,
cerita adalah pengisahan kejadian dalam waktu dan cerita adalah basis sebuah
novel. Tanpa kehadiran cerita, sia-sialah usaha seorang pengarang untuk
berkomunikasi dengan orang lain (pembaca), sebab orang tidak akan menemukan
apa-apa dalam novel bersangkutan. Lebih jauh lagi, seseorang tak mungkin
menulis novel dengan mengabaikan unsur cerita karena cerita merupakan hakikat
novel.
Adanya kejadian-kejadian
saja belumlah menjamin apa-apa. Kejadian-kejadian itu sendiri baru sekadar
bahan mentah. Maka itu, tugas pengaranglah merangkai-rangkaikannya menjadi satu
kesatuan utuh yang kemudian bernama novel. Dalam hal merangkai-rangkaikan
kejadian-kejadian, unsur waktu memegang peranan penting.
Lazimnya, cerita
dalam novel berkonotasi pada “kelampauan”. Artinya, kejadian-kejadian yang
dikisahkan biasanya sudah lewat di belakang pembaca. Dengan demikian, orang
(pembaca) hanya bisa membayangkan apa yang dikisahkan pengarang, sebagai
sesuatu yang terjadi pada masa lampau. Contohnya Revolusi Oktober yang
dikisahkan dalam novel Dokter Zhivago
dibaca orang jauh setelah revolusi itu usai. Pada hakikatnya, film juga
merupakan pengisahan kejadian dalam waktu. Tetapi kejadian dalam film tidak
berkonotasi pada “kelampauan”, melainkan berkonotasi pada “kekinian”, pada
sesuatau yang sedang terjadi. Melihat adegan pembunuhan atau pemerkosaan dalam
film, penonton serasa ikut cemas dan ngeri, sebab kejadian itu disajikan
langsung di depan mata.
2. Alur
2. Alur
Menurut
Foster yang memberi contoh kelasik: “Raja mati dan kemudian permaisuri pun mati
adalah sebuah cerita. Raja mati dan kemudian permaisuri pun mati karena
dukacita adalah alur”. Contoh ini menunjukan bahwa pengertian cerita dan alur
begitu dekat. Cerita adalah pengisahan kejadian dalam waktu. Alur pun merupakan
pengisahan kejadian dalam waktu. Hanya saja, pada yang belakangan ini harus
ditambahkan unsur sebab-akibat. Dengan demikian, alur adalah pengisahan kejadian
dengan tekanan pada sebab-musabab. Yang penting bukan kejadian itu sendiri,
melainkan alasan (motif) kejadian itu, mengapa sampai terjadi? Apa sebab
terjadinya?.
Dari
segi kuantitatif, alur dalam novel dapat dibagi dua, yakni alur tunggal dan
alur ganda. Pada alur tunggal hanya terdapat satu jalinan cerita, sedangkan
pada alur ganda terdapat lebih dari satu jalinan cerita. Lazimnya, alur
mempunyai bagian-bagian yang secara konvensional dikenal sebagai permulaan (beginning), pertikaian/perumitan (rising action), puncak (climax), peleraian (falling action), dan akhir (end).
Tidak
demikian halnya dengan film. Film mempunyai keterbatasan ruang dan keterbatasan
teknis. Jangka putar film biasanya berkisar antara satu setengah hingga dua
jam. Oleh sebab itu, film lebih sering memakai alur tunggal saja. Walau demikian,
bukan berarti film tidak bisa mengungkapkan persoalan-persoalan yang kompleks. Bisa
saja, asal kekompleksan itu diabadikan pada satu jalan cerita atau tema-plot
sebagai pusatnya.
Di
samping itu, sebuah cerita beralur ganda juga mungkin difilmkan, dengan catatan
: waktu putar film itu akan bertambah panjang. Meskipun begitu, hal ini tidak
selalu bisa dilaksanakan, mengingat daya tahan mata penonton yang terbatas. Cara
lain untuk memfilmkan cerita beralur ganda ialah dengan membuat film ini
berseri. Tetapi ini pun akan menimbulkan persoalan tersendiri kelak. Sebab orang
yang menonton film I belum tentu akan menonton flm II-nya di kemudian hari.
3. Penokohan
3. Penokohan
Atas
diri siapakah kejadian-kejadian dalam cerita berlaku? Terhadap siapa saja
peristiwa berlaku? Pertanyaan-pertanyaan ini menyangkut penokohan. Sudah tentu
ada pihak atau subjek tertentu yang mengalami cerita, sehingga lahir sebuah
kisah dari awal sampai akhir. Sukarlah dibayangkan adanya novel tanpa kehadiran
tokoh-tokoh di dalamnya. Sebab, pertanyaan “Pada siapa kejadian-kejadian
berlaku?” tidak akan terjawab. Maka itu, tak mungkin rasanya menulis novel
tanpa adanya tokoh-tokoh di dalamnya. Biasanya tokoh-tokoh dalam novel adalah
manusia. Tetapi kadang-kadang ada juga yang tokohnya binatang. Contohnya dalam
novel Kappa, tokoh utamanya adalah
sejenis hewan bernama kappa.
Film
pun mempunyai tokoh-tokoh, sebagai pelaku dalam sebuah film. Berlainan dengan
cara penamilan tokoh-tokoh dalam novel, film menampilkan tokoh-tokohnya secara
langsung dan secara visual. Dengan demikian, penokohan cara analitik (langsung)
yang dikenal dalam novel, tidak dikenal dalam film.
Sebab,
tokoh-tokoh dalam film tidaklah dibangun dengan kata-kata, melainkan tokoh itu
langsung hadir di hadapan penonton film. Dari penampilan tokoh-tokoh film
secara langsung (visual) itulah penonton mengetahui sifat (watak), sikap-sikap,
dan kecendrungan-kecendrungan sang tokoh.
4. Latar
4. Latar
Sebuah
kejadian tentu saja terjadi pada suatu ruang, tempat dan kurun waktu tertentu. Kapan
dan di mana kejadian itu terjadi ? Inilah pertanyaan yang berkaitan dengan
latar. Latar berusaha menerangkan apakah kejadian itu terjadi di rumah, di
gubuk, di hotel, di kota, di desa atau tempat lain. Latar juga menjelaskan
apakah peristiwa itu berlangsung pada pagi hari, siang hari, atau malam hari. Latar
juga menerangkan apakah kejadian itu terjadi pada zaman penjajahan, zaman
merdeka atau zaman lain. Pendek kata, latar adalah tempat berpijak atau
bertumpunya cerita, alur dan tokoh-tokoh dalam novel.
Latar
dalam film ditampilkan secara visual melalui gambar-gambar yang bergerak berkelanjutan,
sehingga apa yang kelihatan di layar seolah-olah sedang terjadi dalam kehidupan
sesungguhnya (kehidupan nyata). Apabila dalam novel (pembaca) hanya bisa
membayangkan tempat tinggal seseorang, keadaan satu keluarga, keadaan
masyarakat, dalam film orang (penonton) menyaksikannya di depan mata.
Latar
dalam film juga mempunyai fungsi dramatic oleh sebab itulah, seorang penulis
sekenario harus hati-hati dalam mencari dan memilih barang-barang atau
benda-benda yang akan ditampilkan dalam film. Ia harus bisa memilih
barang-barang atau benda-benda yang paling ekspresif, jelas, dan tepat di
antara sekian banyak barang-barang atau benda-benda yang tersedia dalam
kehidupan sehari-hari.
5. Suasana
5. Suasana
Sebuah
novel tentu mempunyai suasana tertentu. Tindakan tokoh-tokohnya akan memberikan
petunjuk bagaimana suasananya pada saat itu. Latarpun dapat menunjukan suasana
tertentu, sehingga cerita terasa lebih hidup. Agak sukar memang merumuskan suasana
secara ketat sebab hal tersebut hanya bisa dirasakan pembaca. Seorang novelis
harus menyesuaikan situasi tertentu dengan suasana yang hendak diungkapkan. Kalau
tidak, akan terlihat kejanggalan-kejanggalan yang bukan tidak mungkin dapat
merusak keseluruhan cerita/novel. Sampai disini dapat disimpulkan, suasana
adalah jiwa sebuah novel. Ia berfungsi menunjang cerita, alur, penokohan, dan
latar, sehingga novel terasa hidup. Dengan kata lain, suasana adalah roh sebuah
novel. Tanpa roh tersebut novel akan terasa kaku, kering dan tak hidup. Suasana
pun memegang peranan penting dalam film, seperti dalam novel, suasana dalam
film juga berfungsi menunjang cerita, alur, penokohan dan latar, seperti dalam
novel suasana dalam film pun harus diselaraskan dengan situasi tertentu.
6. Gaya
6. Gaya
Gaya
seseorang pengarang bisa diketahui melalui karyanya. Karena seperti dikatakan
Carlyle, “Gaya bukan hanya baju, melainkan kulit pengarang itu sendiri”. Pernyataan
ini diperkuat lagi dengan pendapat Buffon “Gaya adalah orangnya sendiri” ada
juga anggapan mengatakan, gaya seseorang pengarang menyangkut pemilihan tema,
pemilihan tokoh-tokoh, pemilihan latar, dan seterusnya. Akan tetapi, pengertian
gaya dalam buku ini penulis pakai dalam arti sempit. Yakni hanya menyangkut
cara khas seseorang pengarang untuk mengutarakan/mengemukakan cerita, ide,
maksud dan pesannya.
7. Tema/Amanat
7. Tema/Amanat
Seorang
pengarang tentu saja mempunyai persoalan tertentu yang hendak dikemukakan atau
diutarakan kepada pembaca. Ia mempunyai inti persoalan, yang nanti dijabarkan
melalui unsur-unsur novel : alur, penokohan, latar, suasan, dan gaya. Inti persoalan
inilah yang penulis maksud dengan tema. Dengan demikian dalam sebuah novel akan
dijumpai tema ini. Berkaitan dengan tema amanat atau pesan adalah sesuatu yang
menjadi pendirian, sikap atau pendapat pengarang mengenai inti-persoalan yang
digarapnya. Dengan kata lain, amanat adalah pesan pengarang atas persoalan yang
dikemukakan.
Filmpun
mempunyai tema tertentu, yakni inti-persoalan yang hendak diutarakan/disampaikan
pembuat film kepada penontonnya. Tema itulah yang harus dituangkan dalam
gambar-gambar, sehingga penonton dapat menangkap pesan atau ide pembuat film. Seperti
dalam novel, besar kecilnya tema film bukanlah jaminan berhasil tidaknya sebuah
film. Keberhasilan film tergantung pada factor, sekenario, pengambilan gambar,
permainan para pelaku, penyusunan gambar dan lain-lain.
Seperti halnya novel,
dalam film pun ditemui juga amanat pembuat film untuk penonton. Contohnya dalam
film Si Doel Anak Modern, misalnya tersirat
amanat “Orang jangan terlalu mudah tergila-gila pada hal-hal yang berbau modern
karena yang modern itu tidak selalu enak”. Tetapi tidak semua sutradara ingin
menjejelkan amanatnya kepada penonton.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar