2014/04/30

Review Novel dan Film

Nama : Noerma Ningsih
Nim    :2011070011
Tugas : review novel film bab I & bab II


BAB I
PENDAHULUAN 
1.Pengarang Tidak Puas 
Motinggo Busye adalah orang yang terdorong untuk terjun ke dunia film karena merasa kecewa dengan scenario (naskah film) yang didasarkan pada lakonnya, malam jahanam. Armijn Pane pun pernah mengalami kekecawaan yang serupa. Achdiat K.Mihardja pernah pula menyatakan kesan-kesannya setelah menyaksikan film Atheis yang didasarkan pada novelnya. Achidat menganggap bahwa amanat novel Atheis belum sepenuhnya tertangkap/tertuang dalam film Atheis.
2. Penonton Kecewa
Penonton film pun sering kecewa menonton film yang didasarkan pada novel-novel tertentu. Dalam novel kita dapat membaca bagian-bagian yang sangat halus, sedangkan dalam film tidak aku jumpai hal itu. Begitu pula ketika cerita lupus (karya Hilman Hariwijaya) difilmkan oleh Achiel Nasrun (1987).
3. Tentang Buku Ini 
Mula-mula akan dibahas unsure-unsur yang menjadi tulang punggung sebuah novel, seperti: cerita, alur, penokohan, latar, suasana, gaya, dan tema/amanat. bab III mencoba membicarakan hal-hal yang menyangkut pemindahan novel ke film, yang dalam buku ini disebut ekranisasi.
4. Istilah dan Ejaan 
Untuk kepentingan buku ini, penulis tidak merasa perlu mempertentangkan istilah roman dalam novel. Penulis menafsirkannya sama dengan istilah Novel dalam buku ini.


BAB II
NOVEL DAN FILM 

1.Cerita 
Seorang novelis ingin menyampaikan cerita kepada pembacanya, demikian juga seoranng sutradara film. Menurut Foster, cerita adalah pengisahan kejadian dalam waktu dan cerita adalah basisi sebuah novel tanpa kehadiran cerita, sia-sialah usaha seorang pengarang untuk berkomunikasi dengan orang lain (pembaca), sebab orang tidak akan menemukan apa-apa dalam novel bersangkutan. Cerita adalah hakikat novel.
Dalam hal ini merangkai-rangkaikan kejadian-kejadian, unsur waktu memegang peranan penting. Harus terlihat adanya perkembangan cerita dari A ke B, ke C, ke D dan seterusnya. Sebab kalau tidak, pembaca akan dilanda kebosanan. Seorang novelis yang berhasil, sudah barang tentu harus dapat membangkitkan rasa ingin tahu pembaca.
Cerita diulur-ulur sedemikian rupa, sehingga acara hukuman (pembunuhan) terpaksa ditunda oleh raja/ penguasa, sampai akhirnya si pencerita yang kebetulan si terhukum pula dibebaskan sama sekali. Lazimnya, cerita dalam novel berkonotasi pada “kelampauan”, artinya kejadian-kejadian yang dikisahkan biasanya sudah lewat di belakang pembaca.
Demikian pula dengan penjajahan jepang dalam novel-novel Pramoedya Ananta Toer (perburuan), Achidat K. Mihardja (Atheis), Idrus (Hati Nurani Manusia), dan Harijadi S. Hartowardojo (perjanjian dengan Maut) dibaca orang setelah kejadian itu berlalu. Tugas pengarang ialah membukakan atau mengungkapkan “masa lalu” itu kepada pembaca. Hanya bisa dibayangkan terjadi pada abad ke-19.
Kata-kata menempati kedudukan paling peting adalam novel. Seorang novelis membangun alur, penokohan, latar, dan suasana dengan bantuan kata-kata. Hemat penulis, kata-kata adalah bagian integral dalam novel dan tidak mungkin memisahkannya dari sastra. Pada hakikatnya, film juga merupakan pengisahan kejadian dalam waktu. Gerak adalah salah satu esensi film. Karena film merupakan medium audio-visual, suara pun ikut mengambil peranan di dalamnya. Sampai di sini nampak jelas, film merupakan gabungan dari berbagai ragam kesenian: music, seni rupa, drama, sastra, ditambah dengan unsur fotografi.

2. Alur 
Contoh klasik dari Foster mengatakan: “Raja mati dan kemudian permaisuri pun mati adalah sebuah cerita". Contoh ini menunjukkan betapa dekatnya pengertian cerita dan alur. Dari segi kuantitatif, alur dalam novel dapat dibagi menjadi dua, yakni alur tunggal dan alur ganda. Berakhirnya sebuah cerita dalam novel tidak pula berarti adanya penyesalan. Salah satu cara yang efektif untuk memancing rasa ingin tahu pembacaitu adalah dengan menaruh bagian akhir atau bagian pertikaian atau bagian puncak di awal novel. Cara ini juga dipakai Nasjah Djamin dalam novelnya, Gairah untuk Hidup dan Untuk Mati. 

3. Penokohan 
Biasanya tokoh-tokoh dalam novel adalah manusia. Walau demikian, tentu tidak semua tokoh-tokoh novel mempunyai nama. Melalui sifat atau watak yang dimiliki tokoh-tokoh novel, pembaca dapat mengerti mengapa suatu tindakan atau kejadian terjadi. Penokohan berfungsi untuk menunjang cerita dan alur. Menurut cara pengungkapannya, penokohan dapat dicapai dengan dua cara: cara analitik atau langsung dan cara dramatic atau tidak langsung.
Tokoh kompleks mempunyai lebih dari satu sifat (watak), sehingga sukar menduga tindakan atau perbuatannya. Dengan demikian, penokohan cara analitik (langsung) yang dikenal dalam novel, tidak dikenal dalam film. Dengan kata lain, penulis scenario tidak “bergulat” dengan kata-kata, melainkan “bergulat” dengan plastic material, dengan barang-barang atau benda-benda nyata yang visual, yang bisa dipotret kamera.
Orang menonton film hanya satu kali. Bila ada yang terlupa, orang tidak mungkin kembali ke bagian atau adegan yang terlupa itu. Karena orang menonton film hanya satu kali dan Karena prinsip ekonomis tadi, maka tugas penulis scenario dan sutradaralah untuk menampilkan hal-hal yang gampang dikenali dan mudah
diingati.

4. Latar 
Sebuah kejadian tentu saja terjadi pada suatu ruang, tempat, dan kurun waktu tertentu. Latar berusaha menerangkan apakah kejadian itu terjadi di rumah, di gubuk, di hotel, di kereta api, di desa, di kota, di kolong jembatan, atau di tempat lain. Latar pun dapat menunjang penokohan. Akan tetapi, sudah barang tentu seorang novelis tidak melulu memakai latar-material atau latar-sosial saja. Walaupun demikian, latar mana pun yang lebih dominan dalam sebuah novel, kedua ragam latar tadi  (material dan sosial) sama-sama berfungsi untuk menunjang cerita. Oleh sebab itulah, seorang penulis skenario harus hati-hati dalam mencari dan memilih barang-barang atau benda-benda yang akan ditampilkan dalam film. Seoranng penulis novel bisa leluasa melukiskan latar sampai pada hal sekecil-kecilnya.

5. Suasana
Sebuah novel tentu mempunyai suasana tertentu. Menurut pendapat penulis, suasana dalam kutipan tadi tidak dimanfaatkan pengarang dengan efektif untuk lebih menghidupkan cerita. Bukan tidak jarang, hal atau informasi kecil pun kadang-kadang mampu menghidupkan suasana cerita. Seorang novelis harus menyesuaikan situasi tertentu dengan suasana yang hendak diungkapkan.
Sampai di sini dapat disimpulkan, suasana adalah jiwa sebuah novel. Ia berfungsi menunjang cerita, alur, penokohan, dan latar sehingga novel terasa hidup. Seperti dalam novel, suasana dalam film pun harus diselaraskan dengan situasi tertentu.

6. Gaya
Ketika pada suatu kali membolak-balik naskah yang  hendak diterbitkan, Ajip Rosidi tertarik pada sebuah naskah berjudul koong karya kebo kenanga (nama samaran). Dengan contoh ini hendak ditunjukkan, gaya seorang pengaranng bisa diketahui melalui karyanya. Karena seperti dikatakan Carlyle, “gaya bukan hanya baju, melainkan kulit pengarang itu sendiri. Gaya adalah orangnya sendiri. Sudah barang tentu gaya ini tak lepas dari pemakaian bahasa dan lebih khusus lagi menyangkut gaya bahasa dan cara pengisahan atau cara bercerita.
Cara pengisahan atau cara bercerita menyangkut cara apa yang dipakai pengarang untuk mengutarakan atau menyampaikan cerita atau maksudnya. Dibandingkan dengan novel, film relative lebih banyak memakai perlambang sebagai alat pengucapannya. Dalam novel, mungkin hal ini memerlukan penjelasan panjang lebar dan berhalaman-halaman. Dalam novel, dialog menduduki posisi penting. Tentu saja tidak semua informasi bisa divisualkan. Walau demikian, dialog dalam film juga mempunyai fungsi sendiri.

7. Tema / Amanat
Seorang pengarang (novelis) tentu saja mempunyai persoalan tertentu yang hendak dikemukakan atau diutarakan kepada pembaca. Ia mempunyai inti persoalan, inti inilah yang penulis maksud dengan tema. Amanat adalah sesuatu yang menjadi pendirian, sikap atau pendapat pengarang mengenai inti persoalan yang digagrapnya.
Walau begitu, besarnya tema bukanlah ukuran mutlak bagus tidaknya sebuah novel. Film pun mempunyai tema tertentu, yang inti nya persoalan yang hendak diuatarakan/disampaikan pembuat film kepada penontonnya. Keterbatasan tema (lebih tepat: tema, plot) dalam film dapat dipulangkan pada keterbatasan teknis film. Seperti halnya novel, kadang-kadang dalam film pun ditemui juga amanat pembuat film.

Tidak ada komentar: