NOVEL DAN FILM
BAB 1
PENDAHULUAN
1. Pengarang Tidak Puas
Motinggo Busye adalah orang yang terdorong untuk terjun ke dunia film karena merasa kecewa dengan skenario (naskah film) yang didasarkan pada lakonnya. Malam Jahanam. Armijn Pane pun pernah mengalami kekecewaan serupa. Dramanya yang berjudul Antara Bumi Langit diangkat ke layar lebar perak oleh sutradara Huyung (1951). Karena pertimbangan komersial, “tidak saja nilai sastra yang terkandung dalam karya Armijn itu tidak terungkap lagi, bahkan jadi rusak sama sekal, oleh karena itu, Armijn Pane tidak bersedia namanya sicantumkan sebagai penulis cerita asli.
2. Penonton Kecewa
Sesungguhnya ketidakpuasan dan kekecewaan tadi tidak hanya datang dari pihak pengarang. Penonton film pun sering kecewa menonton film yang didasarkan pada novel-novel tertentu. Ketika novel Cintaku di Kampus Biru (karya Ashadi Siregar) difilmkan Ami Prijono (1976). Sebagian penonton menyatakan rasa kecewa yang berkisar pada tidak cocoknya jalan cerita film dibandingkan dengan novel aslinya. Begitu pula ketika cerita Lupus (karya Hilman Hariwijaya) difilmkan oleh Achiel Nasrun (1987). Sebagian penonton film Lupus kecewa karena tokon Poppi menjadi agresif dalam film, sedangkan dalam buku asli tidak demikian.
3. Istilah dan Ejaan
Pemindahan atau pengangkatan novel ke film disebut ekranisasi. Istilah yang berasal dari bahasa Perancis ini, menurut penulis lebih tajam daripada istilah adaptasi. Sebab adaptasi bisa berarti hanya mengangkat cerita atau tokoh-tokoh novel, sedangkan ekranisasi berarti pemindahan novel ke layar putih atau dengan kata lain: melainkan novel.
BAB II
NOVEL DAN FILM
1. Cerita
Menurut Foster, cerita adalah pengisahan kejadian dalam waktu dan cerita adalah basis sebuah novel. Tanpa kehadiran cerita, sia-sialah usaha seorang pengarang untuk berkomunikasi dengan orang lain (pembaca), sebab orang tidak akan menemukan apa-apa dalam novel bersangkutan. Tugas pengaranglah merangkai-rangkainya menjadi saut kesatuan utuh yang kemudian bernama novel. Dalam novel merangkai-rangkaikan kejadian-kejadian, unsur waktu memgang peranan penting. Seorang novelis yang berhasil sudah barang tentu harus dapat membangkitkan rasa ingin tahu pembaca. “Apa yang terjadi sesudah itu ?” Pertanyaan ini lah yang harus dijawab dengan cerita.
Dalam cerita-cerita lama, seperti Hikayat Bayan Budiman, Hikayat Bakhtiar dan sejenisnya, kerap kali rasa ingin tahu akan kelanjutan cerita mampu menyelamatkan pihak yang lemah. Lazimnya cerita dalam novel berkonotasi pada “kelampauan”. Artinya kejadian-kejadian yang dikisahkan biasanya sudah lewat di belakang pembaca. Dengan demikian, orang (pembaca) hanya bisa membayangkan apa yang dikisahkan pengarang, sebagai sesuatu yang terjadi pada masa lampau.
Tugas pengarang ialah membukakan atau mengungkapkan “masa lalu” itu kepada pembaca. Dengan kata lain kejadian-kejadian dalam novel tidak dapat dibayangkan pembaca sebagai “sedang”terjadi, melainkan sebagai sesuatu yang telah terjadi pada masa lalu. Seorang novelis hanya bisa menyampaikan cerita atau amanatnya dengan kata-kata. Seorang novelis membangun alur, penokohan, latar, dan suasana dengan bantuan kata-kata. Pada hakikatnya, film juga merupakan pengisahan kejadian dalam waktu. Tetapi kejadian dalam film tidak berkonotasi pada kemampuan, melainkan berkonotasi pada “kekinian”, pada sesuatu yang sedang terjadi.
Gambar-gambar dalam film bergerak berkelanjutan di layar putih, sehingga merupakan satu keutuhan cerita. Maka itu, gerak adalah salah satu esensi film. Baik gerak yang ditimbulkan kamera, gerak objek-objeknya, gerak yang ditimbulkan penyususnan gambar (editing), maupun pergerakan tokoh-tokoh yang ada dalam film. Film merupakan media audio-visual, suara pun ikut mengambil peranan di dalamnya. Suara manusia tentu karena pelaku film di dalamnya adalah manusia. Sedangkan musik dibutuhkan untuk memperkuat irama film. Film juga merupakan gabungan dari berbagai ragam kesenian: musik, seni rupa, drama, sastra ditambah dengan unsur fotografi. Itulah yang menyebabkan film menjadi kesenian yang kompleks.
2. Alur
Alur merupakan pengisahan kejadian dalam waktu hanya saja harus ditambahkan sebab akibat. Alur adalah pengisahan kejadian dengan tekanan pada sebab-musabab. Dari segi kuantitatif, alur dalam novel dapat dibagi menjadi dua, yakni alur tunggal dan alur ganda. Pada alur tunggal hanya terdapat satu jalinan cerita, sedangkan pada alur ganda terdapat lebih dari satu jalinan cerita. Lazimnya, alur mempunyai bagian-bagian yang secara kenvensional dikenai sebagai permulaan (beginning), pertikaian atau perumitan (rising action), puncak (climax), peleraian (falling action), dan akhir (end).
Pada permulaan, biasanya pengarang memperkenalkan tokoh-tokohnya. Tokoh yang satu dihubungkan dengan tokoh lainnya. Dari perhubungan ini akan terjadi pelbagai persoalan yang makin lama makin memuncak. Walau demikian, seorang novelis tidak selamnay mengikuti urutan-urutan: permulaan, pertikaian atau perumitan, puncak, peleraian, dan akhir cerita. Novel Belenggu (Armijn Pane) misalnya justru dimulai dengan pertikaian, sedangkan novel Atheis dimulai dengan akhir cerita, yakni kematian Hasan.
Satu hal yang perlu diperhatikan seorang novelis adalah unsur tegangan (suspanse). Unsur ini penting untuk memancing rasa ingin tahu pembaca akan kejadian-kejadian selanjutnya. Novelis yang baik tentu amat menyadari hal ini. Sebab kalau tidak, novelnya akan ditinggalkan orang (pembaca) sebelum hasil dibaca.
Dalam film pun ditemukan alur. Seorang novelis dapat melukiskan apa saja yang dimauinya. Ia bisa mengungkapkan segala segi kehidupan para pelakunya: sikap hidupnya, perasaanya, pikirannya, masa lalunya, dan lain-lain. Oleh sebab itu, seorang novelis bisa saja memakai alur ganda dalam novelnya.
Tidak demikian halnya dengan film. Film mempunyai keterbatasan ruang dan keterbatasan teknis. Jangka putar film biasanya berkisar antara satu setengah hingga dua jam. Walau demikian, bukan berarti film tidak bisa mengungkapkan persoalan-persoalan yang kompleks. Bisa saja asal kompleksan itu diabaikan pada satu jalan cerita atau tema-plot sebagai pusatnya. Di samping itu sebuah cerita beralur ganda juga mungkin difilmkan, dengan catatan: waktu putar film itu akan bertambah panjang. Meskipun begitu, hal ini tidak selalu bisa dilaksanakan, mengingat daya tahan mata penonton sudah mulai jemu, terutama bila filmnya buruk atau jelek.
Seorang novelis dan sutradara film harus memperhatikan unsur tegangan (suspense), sehingga bisa memancing rasa ingin tahu penonton untuk mengikuti cerita film secara keseluruhan. Mengawali film dengan tegangan bukanlah jaminan berhasil tidaknya sebuah film. Ada juga film yang berhasil, sekalipun memakai alur penceritaan “konvensional”: permulaan, pertikaian, puncak, peleraian dan akhir.
3. Penokohan
Tokoh dalam novel biasanya manusia. Tetapi kadang-kadang ada juga yang tokohnya binatang. Menurut Rene Wellek dan Austin Warren cara paling sederhana untuk mengenali tokoh-tokoh novel adalah dengan pemberian nama. Penokohan berfungsi untuk menunjang cerita dan alur atau dengan kata lain penokohan bertugas menyiapkan atau menyediakan alasan bagi tindakan-tindakan tertentu yang terjadi dalam keseluruhan novel. Penokohan dapat dicapi dengan dua cara, cara analitik atau langsung dan cara dramatik atau tidak langsung. Pada cara analitik, pengarang mengisahkan secara langsung: sifat-sifat, tabiat, latar belakang, pikiran dan perasaan seorang tokoh.
Film pun mempunyai tokoh-tokoh, sebagai pelaku dalam sebuah film. Berlainan denngan cara penampilan tokoh-tokoh dalam novel, film menampilkan tokoh-tokohnya secara langsung dan secara visual. Dengan demikian penokohan secara analitik (langsung) yang dikenal dalam novel, tidak dikenal dalam film. Seperti yang dikatakan Pudovkin yang penting bagi penulis skenario bukanlah kata-kata yang ditulisnya, melainkan imaji visual (visual image) yang ditimbulkan kata-kata itu.
Dari penampilan tokoh-tokoh film secara langsung (visual) itulah penonton mengetahui sifat (watak), sikap-sikap, dan kecendrungan-kecendrungan sang tokoh. Seperti dalam novel, sifat seorang tokoh dalam film juga dapat diungkapkan melalui benda-benda atau lingkungan sekitarnya. Orang menonton film tidaklah seperti membaca novel, bila ada hal kejadian yang terlupa, pembaca novel masih bisa kembali ke halaman-halaman yang terlupakan. Tidak demikian halnya menonton film. Orang menonton film hanya satu kali. Bila ada yang terlupa, orang tidak mungkin kembali ke bagian atau adegan yang terlupa itu.
4. Latar
Sebuah kejadian tentu saja terdiri pada suatu ruang, tempat dan kurun waktu tertentu. Kapan dan dimana kejadian itu terjadi ? Inilah pertanyaan yang berkaitan dengan latar. Latar adalah tempat berpijak atau bertumpunya cerita, alur dan tokoh-tokoh novel. Latar dapat menunjang penokohan. Misalnya menerangkan di mana seorang tokoh berada, bagaimana keadaanya kini dan seterusnya.
Latar dalam film ditampilkan secara visual melalui gambar-gambar yang bergerak berkelanjutan, sehingga apa yang kelihatan di layar putih seolah-oleh sedang terjadi dalam kehidupan sesungguhnya (kehidupan nyata). Apabila dalam novel orang (pembaca) hanya bisa membayangkan tempat tinggal seseorang, keadaan satu keluarga, keadaan masyarakat, dalam film orang (penonton) meyaksikannya di depan mata.
Seorang penulis skenario harus hati-hati dalam mencari dan memilih barang-barang atau benda-benda yang paling ekspresif, jelas, dan tepat diantara sekian banyak barang-barang atau benda-benda yang ada dalam kehidupan ini.
5. Suasana
Sebuah novel tentu mempunyai suasana tertentu. Tindakan tokoh-tokohnya akan memberikan petunjuk bagaimana suasananya pada saat itu. Latar pun dapat menunjukkan suasana tertentu, sehingga cerita terasa lebih hidup. Perabotan rumah serba sederhana memberi petunjuk penghuninya miskin, perabotan serba lux memberi petunjuk, penghhuninya adalah keluarga kaya. Dalam membangun suasana cerita, seorang pengarang perlu memperhatikan unsur situasi. Yaitu cocoknya situasi pada saat itu dengan suasana yang diungkapkan. Suasana adalah jiwa dalam sebuah novel. Ia berfungsi menunjang cerita, alur, penokohan dan latar, sehingga novel terasa hidup. Dengan kata lain suasana adalah roh sebuah novel. Tanpa roh tersebut sebuah novel akan terasa kering, kaku dan tidak hidup.
Seperti dalam novel suasana dalam film pun harus diselaraskan dengan situasi tertentu. Walaupun sukar diraba dan sulit diukur, namun suasan dalam film bisa dirasakan. Seperti dalam novel, suasana dalam film pun adalah jiwa atau rohfilm secara keseluruhan. Suasana dalam film berfungsi menunjang cerita, alur, penokohan, daln latar film secara keseluruhan.
6. Gaya
Gaya seorang pengarang bisa diketahui dari karyanya. Seperti yang dikatakan Caryle, “Gaya bukan hanya baju, melainkan kulit pengarang itu sendiri”. Pernyataan ini diperkuat lagi dengan pendapat Buffon, “Gaya adalah orangnya sendiri”. Gaya bahasa eufimisme adalah gaya bahasa dalam kehidupan sehari-hari, tidak selamnya orang bisa mengatakan sesuatu secara terus terang dan orang mengatakannya dengan kata-kata yang lebih halus namun makna atau maksudnya sama saja. Untuk menyatakan sesuatu secara berlebihan lazim dipakai hiperbola. Untuk mengejek secara halus dipergunakan ironi. Kadang-kadang sifat manusia dipindahkan ke benda-benda mati, gaya bahasa ini disebut personifikasi. Di samping itu, masih ada gaya bahasa inversi, perifrase, pleonasme dan lain-lain.
Kadang-kadang seorang tokoh dalam novel ditampilkan tidak sedang berbicara dengan tokoh lain, melainkan berbicara pada diri sendiri melalui pikiran-pikiran, angan-angan, lamunan, atau yang lain. Pembicaraan macam inilah yang dimaksudpenulis dengan cakapan batin. Cara pengisahan otobiografi ditemui dalam novel Achidiat, Atheis. Sebagian besar novel ini adalah otobiografi Hasan, yang diserahkannya pada “aku” untuk dibaca.
Cara pengisahan sorot balik (flashback) adalah salah satu cara yang efektif untuk menarik dan memancing perhatian pembaca. Film mengutarakan cerita, ide, atau maksudnya dengan plastic material. Penulis skenario tidak bergulat dengan kata-kata melainkan bergulat dengan plastic material yang berbentuk, yang visual, dan yang bisa dipotret. Manusia objek-objek, dan barang-barang ditempatkan di muka kamera, kemudian juru kamera membidiknya. Gambar-gambar inilah yang nanti akan disaksikan penonton di layar putih setelah melalui proses penyusunan (editing). Menurut Peter Wollen dalam bukunya Sings and Meaning in the Cinema, gambar-gambar sebagai alat pengucapan film mempunyai tiga dimensi. Pertama gambar sebagai indeks, gambar sebagai ikon (icon) dan ketiga gambar sebagai simbol (lambang).
Dibandingkan dengan novel, film lebih banyak memakai perlambang sebagai alat pengucapannya. Dalam novel mungkin hal ini memerlukan penjelasan panjang lebar dan berhalaman-halaman. Dalam novel dialog menduduki posisi penting. Ia dapat berdiri sendiri secara utuh dan mampu menyampaikan maksud atau pesan pengarang, sehingga dialog merupakan salah satu variasi cara pengisahan dalam novel. Tidak demikian kedudukan dialog dalam film. Alat utama film adalah gambar-gambar yang bergerak berkelanjutan. Dialog dalam film juga mempunyai fungsi tersendiri. Dua orang yang terlibat dalam satu percakapan misalnya, bisa memberikan informasi bagi penontondari mana asal kedua orang itu. Sorot balik (flashback) dalam film digunakan untuk menunjukkan latar belakang sesuatu.
7. Amanat
Amanat adalah sesuatu yang menjadi pendirian, sikap atau pendapat pengarang mengenai inti persoalan yang digarapnya. Dengan kata lain amanat adalah pesan pengarang atas persoalan yang dikemukakan. Besar kecilnya tema yang digarap tergantung pada pengarang yang bersangkutan. Yang jelas tema yang luas atau besar sudah barang tentu membutuhkan penggarapan atau pengungkapan yang luas dan besar pula. Sebaliknya dengan tema kecil atau sederhana relatif pengarang lebih mudah menggarapnya.
Film pun mempunyai tema tertentu, yakni inti-persoalan yang hendak diutarakan atau disampaikan pembuat film kepada penontonnya. Tema itulah yang harus dituangkan dalam gambar-gambar, sehingga penonton dapat menagkap pesan atau ide pembuatan film. Keterbatasan tema (lebih tepat tema plot) dalam film dapat dipulangkan pada keterbatasan teknis film. Kalau tema yang hendak difilmkan cukup besar atau luas, mau tidak mau dituntut pula waktu putar yang lebih panjang lebih dari dua jam misalnya.
BAB 1
PENDAHULUAN
1. Pengarang Tidak Puas
Motinggo Busye adalah orang yang terdorong untuk terjun ke dunia film karena merasa kecewa dengan skenario (naskah film) yang didasarkan pada lakonnya. Malam Jahanam. Armijn Pane pun pernah mengalami kekecewaan serupa. Dramanya yang berjudul Antara Bumi Langit diangkat ke layar lebar perak oleh sutradara Huyung (1951). Karena pertimbangan komersial, “tidak saja nilai sastra yang terkandung dalam karya Armijn itu tidak terungkap lagi, bahkan jadi rusak sama sekal, oleh karena itu, Armijn Pane tidak bersedia namanya sicantumkan sebagai penulis cerita asli.
2. Penonton Kecewa
Sesungguhnya ketidakpuasan dan kekecewaan tadi tidak hanya datang dari pihak pengarang. Penonton film pun sering kecewa menonton film yang didasarkan pada novel-novel tertentu. Ketika novel Cintaku di Kampus Biru (karya Ashadi Siregar) difilmkan Ami Prijono (1976). Sebagian penonton menyatakan rasa kecewa yang berkisar pada tidak cocoknya jalan cerita film dibandingkan dengan novel aslinya. Begitu pula ketika cerita Lupus (karya Hilman Hariwijaya) difilmkan oleh Achiel Nasrun (1987). Sebagian penonton film Lupus kecewa karena tokon Poppi menjadi agresif dalam film, sedangkan dalam buku asli tidak demikian.
3. Istilah dan Ejaan
Pemindahan atau pengangkatan novel ke film disebut ekranisasi. Istilah yang berasal dari bahasa Perancis ini, menurut penulis lebih tajam daripada istilah adaptasi. Sebab adaptasi bisa berarti hanya mengangkat cerita atau tokoh-tokoh novel, sedangkan ekranisasi berarti pemindahan novel ke layar putih atau dengan kata lain: melainkan novel.
BAB II
NOVEL DAN FILM
1. Cerita
Menurut Foster, cerita adalah pengisahan kejadian dalam waktu dan cerita adalah basis sebuah novel. Tanpa kehadiran cerita, sia-sialah usaha seorang pengarang untuk berkomunikasi dengan orang lain (pembaca), sebab orang tidak akan menemukan apa-apa dalam novel bersangkutan. Tugas pengaranglah merangkai-rangkainya menjadi saut kesatuan utuh yang kemudian bernama novel. Dalam novel merangkai-rangkaikan kejadian-kejadian, unsur waktu memgang peranan penting. Seorang novelis yang berhasil sudah barang tentu harus dapat membangkitkan rasa ingin tahu pembaca. “Apa yang terjadi sesudah itu ?” Pertanyaan ini lah yang harus dijawab dengan cerita.
Dalam cerita-cerita lama, seperti Hikayat Bayan Budiman, Hikayat Bakhtiar dan sejenisnya, kerap kali rasa ingin tahu akan kelanjutan cerita mampu menyelamatkan pihak yang lemah. Lazimnya cerita dalam novel berkonotasi pada “kelampauan”. Artinya kejadian-kejadian yang dikisahkan biasanya sudah lewat di belakang pembaca. Dengan demikian, orang (pembaca) hanya bisa membayangkan apa yang dikisahkan pengarang, sebagai sesuatu yang terjadi pada masa lampau.
Tugas pengarang ialah membukakan atau mengungkapkan “masa lalu” itu kepada pembaca. Dengan kata lain kejadian-kejadian dalam novel tidak dapat dibayangkan pembaca sebagai “sedang”terjadi, melainkan sebagai sesuatu yang telah terjadi pada masa lalu. Seorang novelis hanya bisa menyampaikan cerita atau amanatnya dengan kata-kata. Seorang novelis membangun alur, penokohan, latar, dan suasana dengan bantuan kata-kata. Pada hakikatnya, film juga merupakan pengisahan kejadian dalam waktu. Tetapi kejadian dalam film tidak berkonotasi pada kemampuan, melainkan berkonotasi pada “kekinian”, pada sesuatu yang sedang terjadi.
Gambar-gambar dalam film bergerak berkelanjutan di layar putih, sehingga merupakan satu keutuhan cerita. Maka itu, gerak adalah salah satu esensi film. Baik gerak yang ditimbulkan kamera, gerak objek-objeknya, gerak yang ditimbulkan penyususnan gambar (editing), maupun pergerakan tokoh-tokoh yang ada dalam film. Film merupakan media audio-visual, suara pun ikut mengambil peranan di dalamnya. Suara manusia tentu karena pelaku film di dalamnya adalah manusia. Sedangkan musik dibutuhkan untuk memperkuat irama film. Film juga merupakan gabungan dari berbagai ragam kesenian: musik, seni rupa, drama, sastra ditambah dengan unsur fotografi. Itulah yang menyebabkan film menjadi kesenian yang kompleks.
2. Alur
Alur merupakan pengisahan kejadian dalam waktu hanya saja harus ditambahkan sebab akibat. Alur adalah pengisahan kejadian dengan tekanan pada sebab-musabab. Dari segi kuantitatif, alur dalam novel dapat dibagi menjadi dua, yakni alur tunggal dan alur ganda. Pada alur tunggal hanya terdapat satu jalinan cerita, sedangkan pada alur ganda terdapat lebih dari satu jalinan cerita. Lazimnya, alur mempunyai bagian-bagian yang secara kenvensional dikenai sebagai permulaan (beginning), pertikaian atau perumitan (rising action), puncak (climax), peleraian (falling action), dan akhir (end).
Pada permulaan, biasanya pengarang memperkenalkan tokoh-tokohnya. Tokoh yang satu dihubungkan dengan tokoh lainnya. Dari perhubungan ini akan terjadi pelbagai persoalan yang makin lama makin memuncak. Walau demikian, seorang novelis tidak selamnay mengikuti urutan-urutan: permulaan, pertikaian atau perumitan, puncak, peleraian, dan akhir cerita. Novel Belenggu (Armijn Pane) misalnya justru dimulai dengan pertikaian, sedangkan novel Atheis dimulai dengan akhir cerita, yakni kematian Hasan.
Satu hal yang perlu diperhatikan seorang novelis adalah unsur tegangan (suspanse). Unsur ini penting untuk memancing rasa ingin tahu pembaca akan kejadian-kejadian selanjutnya. Novelis yang baik tentu amat menyadari hal ini. Sebab kalau tidak, novelnya akan ditinggalkan orang (pembaca) sebelum hasil dibaca.
Dalam film pun ditemukan alur. Seorang novelis dapat melukiskan apa saja yang dimauinya. Ia bisa mengungkapkan segala segi kehidupan para pelakunya: sikap hidupnya, perasaanya, pikirannya, masa lalunya, dan lain-lain. Oleh sebab itu, seorang novelis bisa saja memakai alur ganda dalam novelnya.
Tidak demikian halnya dengan film. Film mempunyai keterbatasan ruang dan keterbatasan teknis. Jangka putar film biasanya berkisar antara satu setengah hingga dua jam. Walau demikian, bukan berarti film tidak bisa mengungkapkan persoalan-persoalan yang kompleks. Bisa saja asal kompleksan itu diabaikan pada satu jalan cerita atau tema-plot sebagai pusatnya. Di samping itu sebuah cerita beralur ganda juga mungkin difilmkan, dengan catatan: waktu putar film itu akan bertambah panjang. Meskipun begitu, hal ini tidak selalu bisa dilaksanakan, mengingat daya tahan mata penonton sudah mulai jemu, terutama bila filmnya buruk atau jelek.
Seorang novelis dan sutradara film harus memperhatikan unsur tegangan (suspense), sehingga bisa memancing rasa ingin tahu penonton untuk mengikuti cerita film secara keseluruhan. Mengawali film dengan tegangan bukanlah jaminan berhasil tidaknya sebuah film. Ada juga film yang berhasil, sekalipun memakai alur penceritaan “konvensional”: permulaan, pertikaian, puncak, peleraian dan akhir.
3. Penokohan
Tokoh dalam novel biasanya manusia. Tetapi kadang-kadang ada juga yang tokohnya binatang. Menurut Rene Wellek dan Austin Warren cara paling sederhana untuk mengenali tokoh-tokoh novel adalah dengan pemberian nama. Penokohan berfungsi untuk menunjang cerita dan alur atau dengan kata lain penokohan bertugas menyiapkan atau menyediakan alasan bagi tindakan-tindakan tertentu yang terjadi dalam keseluruhan novel. Penokohan dapat dicapi dengan dua cara, cara analitik atau langsung dan cara dramatik atau tidak langsung. Pada cara analitik, pengarang mengisahkan secara langsung: sifat-sifat, tabiat, latar belakang, pikiran dan perasaan seorang tokoh.
Film pun mempunyai tokoh-tokoh, sebagai pelaku dalam sebuah film. Berlainan denngan cara penampilan tokoh-tokoh dalam novel, film menampilkan tokoh-tokohnya secara langsung dan secara visual. Dengan demikian penokohan secara analitik (langsung) yang dikenal dalam novel, tidak dikenal dalam film. Seperti yang dikatakan Pudovkin yang penting bagi penulis skenario bukanlah kata-kata yang ditulisnya, melainkan imaji visual (visual image) yang ditimbulkan kata-kata itu.
Dari penampilan tokoh-tokoh film secara langsung (visual) itulah penonton mengetahui sifat (watak), sikap-sikap, dan kecendrungan-kecendrungan sang tokoh. Seperti dalam novel, sifat seorang tokoh dalam film juga dapat diungkapkan melalui benda-benda atau lingkungan sekitarnya. Orang menonton film tidaklah seperti membaca novel, bila ada hal kejadian yang terlupa, pembaca novel masih bisa kembali ke halaman-halaman yang terlupakan. Tidak demikian halnya menonton film. Orang menonton film hanya satu kali. Bila ada yang terlupa, orang tidak mungkin kembali ke bagian atau adegan yang terlupa itu.
4. Latar
Sebuah kejadian tentu saja terdiri pada suatu ruang, tempat dan kurun waktu tertentu. Kapan dan dimana kejadian itu terjadi ? Inilah pertanyaan yang berkaitan dengan latar. Latar adalah tempat berpijak atau bertumpunya cerita, alur dan tokoh-tokoh novel. Latar dapat menunjang penokohan. Misalnya menerangkan di mana seorang tokoh berada, bagaimana keadaanya kini dan seterusnya.
Latar dalam film ditampilkan secara visual melalui gambar-gambar yang bergerak berkelanjutan, sehingga apa yang kelihatan di layar putih seolah-oleh sedang terjadi dalam kehidupan sesungguhnya (kehidupan nyata). Apabila dalam novel orang (pembaca) hanya bisa membayangkan tempat tinggal seseorang, keadaan satu keluarga, keadaan masyarakat, dalam film orang (penonton) meyaksikannya di depan mata.
Seorang penulis skenario harus hati-hati dalam mencari dan memilih barang-barang atau benda-benda yang paling ekspresif, jelas, dan tepat diantara sekian banyak barang-barang atau benda-benda yang ada dalam kehidupan ini.
5. Suasana
Sebuah novel tentu mempunyai suasana tertentu. Tindakan tokoh-tokohnya akan memberikan petunjuk bagaimana suasananya pada saat itu. Latar pun dapat menunjukkan suasana tertentu, sehingga cerita terasa lebih hidup. Perabotan rumah serba sederhana memberi petunjuk penghuninya miskin, perabotan serba lux memberi petunjuk, penghhuninya adalah keluarga kaya. Dalam membangun suasana cerita, seorang pengarang perlu memperhatikan unsur situasi. Yaitu cocoknya situasi pada saat itu dengan suasana yang diungkapkan. Suasana adalah jiwa dalam sebuah novel. Ia berfungsi menunjang cerita, alur, penokohan dan latar, sehingga novel terasa hidup. Dengan kata lain suasana adalah roh sebuah novel. Tanpa roh tersebut sebuah novel akan terasa kering, kaku dan tidak hidup.
Seperti dalam novel suasana dalam film pun harus diselaraskan dengan situasi tertentu. Walaupun sukar diraba dan sulit diukur, namun suasan dalam film bisa dirasakan. Seperti dalam novel, suasana dalam film pun adalah jiwa atau rohfilm secara keseluruhan. Suasana dalam film berfungsi menunjang cerita, alur, penokohan, daln latar film secara keseluruhan.
6. Gaya
Gaya seorang pengarang bisa diketahui dari karyanya. Seperti yang dikatakan Caryle, “Gaya bukan hanya baju, melainkan kulit pengarang itu sendiri”. Pernyataan ini diperkuat lagi dengan pendapat Buffon, “Gaya adalah orangnya sendiri”. Gaya bahasa eufimisme adalah gaya bahasa dalam kehidupan sehari-hari, tidak selamnya orang bisa mengatakan sesuatu secara terus terang dan orang mengatakannya dengan kata-kata yang lebih halus namun makna atau maksudnya sama saja. Untuk menyatakan sesuatu secara berlebihan lazim dipakai hiperbola. Untuk mengejek secara halus dipergunakan ironi. Kadang-kadang sifat manusia dipindahkan ke benda-benda mati, gaya bahasa ini disebut personifikasi. Di samping itu, masih ada gaya bahasa inversi, perifrase, pleonasme dan lain-lain.
Kadang-kadang seorang tokoh dalam novel ditampilkan tidak sedang berbicara dengan tokoh lain, melainkan berbicara pada diri sendiri melalui pikiran-pikiran, angan-angan, lamunan, atau yang lain. Pembicaraan macam inilah yang dimaksudpenulis dengan cakapan batin. Cara pengisahan otobiografi ditemui dalam novel Achidiat, Atheis. Sebagian besar novel ini adalah otobiografi Hasan, yang diserahkannya pada “aku” untuk dibaca.
Cara pengisahan sorot balik (flashback) adalah salah satu cara yang efektif untuk menarik dan memancing perhatian pembaca. Film mengutarakan cerita, ide, atau maksudnya dengan plastic material. Penulis skenario tidak bergulat dengan kata-kata melainkan bergulat dengan plastic material yang berbentuk, yang visual, dan yang bisa dipotret. Manusia objek-objek, dan barang-barang ditempatkan di muka kamera, kemudian juru kamera membidiknya. Gambar-gambar inilah yang nanti akan disaksikan penonton di layar putih setelah melalui proses penyusunan (editing). Menurut Peter Wollen dalam bukunya Sings and Meaning in the Cinema, gambar-gambar sebagai alat pengucapan film mempunyai tiga dimensi. Pertama gambar sebagai indeks, gambar sebagai ikon (icon) dan ketiga gambar sebagai simbol (lambang).
Dibandingkan dengan novel, film lebih banyak memakai perlambang sebagai alat pengucapannya. Dalam novel mungkin hal ini memerlukan penjelasan panjang lebar dan berhalaman-halaman. Dalam novel dialog menduduki posisi penting. Ia dapat berdiri sendiri secara utuh dan mampu menyampaikan maksud atau pesan pengarang, sehingga dialog merupakan salah satu variasi cara pengisahan dalam novel. Tidak demikian kedudukan dialog dalam film. Alat utama film adalah gambar-gambar yang bergerak berkelanjutan. Dialog dalam film juga mempunyai fungsi tersendiri. Dua orang yang terlibat dalam satu percakapan misalnya, bisa memberikan informasi bagi penontondari mana asal kedua orang itu. Sorot balik (flashback) dalam film digunakan untuk menunjukkan latar belakang sesuatu.
7. Amanat
Amanat adalah sesuatu yang menjadi pendirian, sikap atau pendapat pengarang mengenai inti persoalan yang digarapnya. Dengan kata lain amanat adalah pesan pengarang atas persoalan yang dikemukakan. Besar kecilnya tema yang digarap tergantung pada pengarang yang bersangkutan. Yang jelas tema yang luas atau besar sudah barang tentu membutuhkan penggarapan atau pengungkapan yang luas dan besar pula. Sebaliknya dengan tema kecil atau sederhana relatif pengarang lebih mudah menggarapnya.
Film pun mempunyai tema tertentu, yakni inti-persoalan yang hendak diutarakan atau disampaikan pembuat film kepada penontonnya. Tema itulah yang harus dituangkan dalam gambar-gambar, sehingga penonton dapat menagkap pesan atau ide pembuatan film. Keterbatasan tema (lebih tepat tema plot) dalam film dapat dipulangkan pada keterbatasan teknis film. Kalau tema yang hendak difilmkan cukup besar atau luas, mau tidak mau dituntut pula waktu putar yang lebih panjang lebih dari dua jam misalnya.