Payung Pelangi
oleh: Mala Nopita Sari
oleh: Mala Nopita Sari
Sore
itu di sebuah kampung pemulung yang sumpek terdapat rumah-rumah kecil yang
terbuat dari kayu-kayu triplek. Jumlah rumah-rumah itu lumayan banyak. Mereka
tidak memikirkan tinggal di lahan orang, yang mereka pikirkan adalah bisa
memiliki rumah kecil untuk singgah dan berteduh padahal mereka tahu resiko yang
akan dihadapi yaitu akan kehilangan rumah kapan saja karena digusur. Di salah
satu kampung pemulung itu terdapat rumah triplek yang begitu sempit di dekat
tempat pembuangan sampah. Rumah itu dihuni oleh satu keluarga, dari dalam rumah
itu terdengar suara gaduh seorang bapak yang mencoba membangunkan anaknya.
“Pelangi,
ayo bangun! awan sudah mulai gelap, sebentar lagi pasti akan turun hujan. Kamu ingin
ngojek tidak hari ini ?”.
“Iya
iya pak, Pelangi ingin ngojek hari
ini” jawab Pelangi dengan semangat.
Pelangi
pun langsung mengambil payung yang berada di bawah kasur. Ia menarik payung
besar berwarna kuning. Payung itu merupakan payung satu-satunya yang Pelangi
miliki, dari payung itulah Pelangi mendapatkan rupiah setiap harinya. Payung
itu memang sudah tidak sekokoh pada saat pertama Pelangi memilikinya. Payung
itu sekarang warnanya sudah pudar, salah satu rangkanya sudah tidak berfungsi
lagi sehingga payung itu tidak mengembang dengan sempurna. Tetapi menurut
Pelangi itu tak jadi masalah selagi payung kebanggaannya itu masih dapat
membuat orang-orang yang memerlukan jasanya tidak kehujanan.
Pelangi
lalu berpamitan kepada bapaknya dan langsung berjalan menggunakan sendal jepit
dan bergegas menuju halte bus. Pelangi sangat senang menjadi seorang pengojek
payung walaupun memang usia Pelangi masih sangat kecil yaitu sembilan tahun
tetapi Pelangi sudah mengetahui betul betapa repotnya mencari uang. Waktu itu
Pelangi pernah bertanya kepada bapaknya.
“Pak,
kenapa bapak begitu semangat mencari sampah dari pagi sampai sore, padahal uang
yang bapak bawa tidak mampu untuk mengembalikan ibu ke dalam rumah ini pak ?”
“Pelangi,
bapak ini memulung sampah agar bisa mendapatkan uang dan agar kita bisa makan
setiap harinya, kita harus selalu bersyukur dengan apa yang kita dapatkan dan
tidak boleh mengeluh karena Tuhan sangat membenci itu. Soal ibu, itu memang
sudah menjadi pilihan ibu untuk tidak tinggal bersama kita, yang harus Pelangi
lakukan adalah Pelangi harus selalu mendoakan ibu agar ibu bisa hidup bahagia
bersama keluarga barunya” Jelas bapaknya.
Memang
sudah dua tahun ini ibunya pergi meninggalkannya dan belum pernah sekalipun
ibunya datang untuk sekedar menengoknya. Pelangi tahu bahwa ibunya adalah orang
yang keras yang selalu menuntut bapak untuk mendapatkan uang yang banyak setiap
harinya dan jika bapak tidak mendapat uang, ibunya akan marah-marah seperti
orang kesurupan. Pelangi masih ingat betul kata-kata yang diucapkan ibunya
ketika ibu dan bapaknya bertengkar hebat.
“Aku
sudah muak hidup bersama denganmu, aku ingin pergi jauh dan ingin hidup lebih
layak tidak seperti di sini sudah bau, sumpek, kotor. Aku ingin mencari
laki-laki lain yang memiliki banyak uang agar aku bisa memenuhi kebutuhan
hidupku”.
Pelangi
sudah tidak ingin lagi mengingat kejadian itu. Baginya sekarang adalah dia
harus mampu mencari uang dengan mengojek payung walaupun masih amatir tetapi
Pelangi begitu yakin bahwa dia akan mampu mengalahkan Bagas dan juga Retno para
seniornya. Hari ini Pelangi yakin akan mendapatkan uang lebih banyak dari hari
kemarin. Kemarin Pelangi hanya mendapatkan uang lima belas ribu, hari ini
Pelangi harus mampu mengantongi uang dua puluh sampai dua puluh lima ribu
syukur-syukur dia bisa mendapatkan lebih dari apa yang dibayangkan.
Pelangi
mulai menyusuri jalan-jalan sempit untuk menuju halte bus. Sepanjang
perjalanannya Pelangi tak henti-hentinya tersenyum sambil bernyanyi riang.
“Tik.. tik tik bunyi hujan di atas genting. Tik.. tik tik bunyi hujan di atas
genting”. Pelangi hanya menyanyi pada bait itu saja karena dia tidak begitu
hafal, lagu itu pun ia dengar seminggu yang lalu di radio milik Susi
tetangganya. Selain terus bernyanyi Pelangi juga terus membayangkan pundi-pundi
uang yang akan dia dapatkan nanti dan dari hasil uang itu sebagian akan ia
belikan payung baru yang bagus dan juga besar. Pelangi selalu ingin mengganti
payung yang memang sudah butut ini.
Kini
Pelangi sudah sampai di pangkalan ojek payungnya yaitu di sekitar halte bus
dekat trotoar. Mobil-mobil saat ini sudah sangat padat dan tidak bisa melaju
dengan kencang dikarenakan jalanan ibu kota yang selalu macet ketika hujan
seperti ini. Di sebrang sana sudah nampak payung-payung berwarna-warni, rupanya
teman-teman Pelangi sudah datang lebih dulu. Pelangi pun tidak ingin kecolongan dia langsung bergegas lari
menuju sebrang halte seraya melambaikan tangannya kepada pengguna mobil.
“Hai,
Pelangi rupanya kau ketagihan menjadi pengojek payung?”. Tanya Bagas dengan
ketus.
“Ia
dong, aku kan ingin seperti kamu yang
bisa mendapatkan uang banyak”.
“Enak
saja kau, hanya aku yang boleh mendapatkan uang banyak tidak ada satupun yang
mampu menandingiku”. Jawab Bagas sombong.
“Oke,
Kita lihat saja nanti”. Jawab Pelangi dengan penuh keyakinan.
Pelangi
dengan semangat menawarkan payungnya. Satu demi satu payung Pelangi mulai
berlalu-lalang mengantarkan penumpangnya ke tempat tujuannya. Pelangi tidak
begitu suka jika penumpangnya itu adalah seorang laki-laki karena menurutnya
sebagian laki-laki tidak pernah kasihan padanya. Mereka selalu membawa payung
Pelangi dengan terburu-buru tanpa menghiraukan Pelangi yang kehujanan sambil
mengejar payung itu dan hasil upahnya tidak seberapa, padahal Pelangi sudah
mengantar cukup jauh dan juga kehujanan. Lain halnya dengan penumpang perempuan
yang masih memiliki rasa iba pada dirinya, terkadang Pelangi tidak harus
berjalan di belakang melainkan berjalan sejajar di bawah payung dan tidak
kehujanan, upah yang diberikan juga lumayan. Mereka pun selalu berkata “Jangan
lupa membeli obat agar tidak sakit nantinya”. Pelangi pun membalasnya dengan
senyuman yang begitu manis.
Sore
ini hujan memang turun begitu deras. Pelangi sudah mulai letih tetapi hasil
yang ia dapat belum mampu untuk membeli payung impiannya itu. Pelangi pun tetap
semangat, di sampingnya ada Bagas yang sedang menatap dengan sinis tetapi
Pelangi tidak memperdulikan itu. Tatapan sinis bagas dibalas dengan senyuman
hangat dari Pelangi.
Adzan
Maghrib sudah mulai berkumandang. Pelangi memutuskan mengakhiri pekerjaannya
hari ini, hujan pun sudah mulai reda. Halte bus yang sedari tadi dipenuhi oleh
pekerja kantor sekarang sudah mulai sepi, hanya ada satu atau dua orang saja
yang duduk menunggu bus datang. Pelangi memilih duduk di bawah pohon untuk
mengistirahatkan diri sejenak. Tangan-tangannya keriput, bibirnya beku dan
membiru, bajunya basah kuyup dan Pelangi tidak henti-hentinya meghapus air yang
keluar dari hidungnya dengan ujung bajunya tetapi semuanya ini tidak sia-sia
Pelangi mendapatkan uang yang lumayan banyak empat puluh lima ribu rupiah.
Pelangi sangat senang senyuman itu mulai mengembang kembali di kedua bibirnya
yang membiru, tidak henti-hentinya Pelangi mengucap syukur kepada Tuhan, hal
itulah yang selalu diajarkan bapaknya setiap kali kita di beri nikmat.
Pelangi
bangkit dari tempat duduknya, sebelum pulang Pelangi mampir dulu ke pasar dia
ingin membeli payung yang sedari sore tadi telah menjadi khayalannya. Pelangi
benar-benar tidak sabar untuk memiliki payung yang lebih bagus dari payungnya
sekarang ini. Payung yang sekarang ada di tangannya ini nanti sudah tidak akan
Pelangi pakai lagi karena sudah ada payung baru yang akan menggantikan posisi
payung yang lama. Tetapi Pelangi ingat daripada payung ini menjadi bangkai
lebih baik di jual saja di Pak Tarno juragan sampah di kampugnya, semua
pemulung menjual barang-barang hasil memulungnya di tempat Pak Tarno walaupun
uang hasil penjualannya tak seberapa yang penting Pelangi mendapatkan sedikit
uang untuk bisa ditabung.
Toko-toko
di pasar sudah banyak yang tutup karena memang jika hujan pasti sepi pembeli
dan dagangan tidak akan laku tetapi ada satu toko yang masih buka dan memang
menjual perabotan rumah tangga dan juga payung-payung yang bergelantung dengan
sangat cantik. Mata Pelangi langsung tertuju kepada satu payung, Pelangi sangat
suka payung itu indah, bagus, rangkanya kokoh, sangat berwarna-warni seperti
pelangi seperti dirinya yang bernama Pelangi.
Payung
itu kini sudah menjadi milik Pelangi. Dia sudah tidak sabar untuk memberi tahu
bapak bahwa dia telah membeli payung yang begitu bagus dengan uang hasil
keringatnya. Langkah kaki Pelangi berhenti ketika tiba-tiba Bagas datang
menghadang Pelangi dengan melempar batu ke arah Pelangi. Pelangi sangat
terkejut dan heran mengapa Bagas datang secara tiba-tiba.
“Hei,
bocah ingusan sini payungmu buatku
saja, kau tidak pantas memiliki payung sebagus itu”. Bagas berusaha mengambil
paksa payung milik Pelangi.
Pelangi
tidak menjawab dia hanya berusaha untuk memegang kedua payung miliknya dengan
keras. Jantungnya berdetak lebih cepat, hatinya begitu cemas dia sangat takut,
bola matanya melirik ke kanan dan ke kiri berharap ada seseorang yang bisa
dimintai pertolongan. Tetapi sayangnya tidak ada siapa-siapa di sini semua toko
sekarang sudah benar-benar tutup. Pelangi mencoba untuk lari dengan kencang
tetapi Bagas terus mengejar Pelangi. Pelangi pun terjatuh karena tersandung
batu, jempol kakinya terluka dia sudah tidak bisa bangkit lagi. Pelangi
menggigit bibirnya karena menahan sakit, Bagas yang melihat Pelangi terjatuh
merasa senang dan tertawa puas.
Bagas
berusaha mengambil payung Pelangi dengan paksa tetapi Pelangi masih memegang
payung itu dengan kuat. Bagas lalu mendorong Pelangi sampai tersungkur ke tanah
lalu payung itu lepas dari tangan Pelangi, badan Pelangi sangat sakit. Air
matanya sudah tidak kuasa lagi ia tahan Pelangi pun menangis tersedu-sedu.
Bagas langsung mengambil kedua payung Pelangi dan meludahi Pelangi sebelum
akhirnya Bagas pergi meninggalkan Pelangi sendiri. Pelangi mencoba untuk
berdiri, darah di kakinya terus mengucur ke tanah. Kedua payung itu sekarang
sudah lenyap, Pelangi hanya bisa menangis dalam kesedihan.
Hujan
kembali turun, tetesan air hujan membahasi pipi Pelangi bersamaan dengan
tetesan air matanya. Tiba-tiba dia ingat dengan bapak tidak mungkin dia
menceritakan kejadian ini kepada bapak bisa-bisa bapak akan naik pitam dan
menghajar Bagas. Pelangi tidak ingin hal ini terjadi dia tidak ingin bapak
terluka nantinya, mungkin Pelangi harus berbohong kepada bapak. Langkah kaki
Pelangi begitu lambat, tubuhnya begitu lemas. Sudah tidak ada lagi semangat
dalam diri Pelangi, sudah tidak ada lagi senyuman yang menghias di wajahnya
seperti beberapa jam yang lalu yang ada kini hanyalah duka dan juga perasaan
sangat kehilangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar