2013/09/04

Cerpen Cinta




CINTA YANG TERTUNDA
Nur Kholis Majid



Pemuda itu tak pernah benar-benar menduganya. Seperti air mendidih dalam panci di atas kompor yang menyala api biru, tiba-tiba perempuan itu hadir begitu saja dalam hidupnya. Dengan mimiknya yang lucu saat bercerita, serta senyum tiada putus yang selalu menghias bibir tipisnya yang alami tanpa lipstik, dia bisa dengan mudah menawan siapa saja yang melihatnya. Gelak tawa selalu menandai kehadiran perempuan itu. Suara sapanya kadang terdengar sampai ke setiap sudut ruang. Dirinya bagaikan hangat yang menular dan menjalari siapa saja. Ya siapa saja. Kecuali dirinya sendiri.
Berawal dari MOS (Masa Orientasi Siswa) di sekolahnya, pemuda ini lantas mendapat tugas menjadi ketua panitia masa orientasi siswa sekaligus penanggung jawab ruang kelas yang di tempati perempuan itu. Kemudian semakin banyak kegiatan MOS yang dikerjakan bersama. Bukan hanya kelimpahan banyak tanya yang membuat sering mendadak sakit kepala dan pusing, perempuan itu juga menyiksa matanya dengan cara berbusana dan penampilan yang sederhana nan anggun. “Ini gaya islami” katanya suatu kali, saat pemuda memberi sanjungan tentang gaya berpakaiannya yang dianggap mengagumkan untuknya.
“Ini kan sekolah favorit, bagaimana mungkin bisa masuk kalo berpenampilan menor dan berlebihan?” sahutnya seakan-akan tak suka dipuji. Membuat pemuda itu diam dan menebak-nebak pribadi perempuan itu. Sepertinya perempuan itu adalah tipe yang tidak suka dipuji. “zaman sekarang sangat jarang perempuan yang tak suka dipuji” berkata pemuda dalam benaknya. Berbeda dengan perempuan-perempuan sebelumnya yang dia kenal.
Kemudian mereka pun mulai lekat, layaknya dua bersaudara yang kebetulan kelas mereka bersebelahan. Pemuda itu mulai memahami bahwa setiap tawa yang keluar dari mulut sang perempuan tidak selalu berarti bahagia. Suatu pagi perempuan itu bisa datang ke sekolah dengan mata yang sembab seakan-akan habis menangis semalam suntuk, akan tetapi di hari berikutnya dia datang dengan senyum terkembang dan sangat manis dipandang dengan kerudung putih yang dikenakannya. Dengan perempuan itu, sang pemuda jadi begitu mengenal banyak arti tawa. Tawa karena menahan luka, tawa tentang duka masa lalu yang masih menggelantung di pelupuk mata, tawa karena mencoba membangun asa, sampai tawa karena tak tahu harus berbuat apa.
Sang perempuan juga kemudian memahami tentang cinta si pemuda. Tentang tatap matanya yang sering terlihat mendung dan kelabu. Juga tentang cintanya pada seorang wanita yang bahkan terlalu sibuk untuk sekadar menoleh ke arahnya. Semuanya berjalan biasa saja di antara mereka. Sampai sang perempuan mulai mengirimnya pesan-pesan, berikut curahan perhatian.
“Assalamu’alaikum, mas sudah sholat ? Sesibuk apapun mas jangan lupa sholat ya.”
“Mas sudah makan ? Hati-hati nanti sakit maag.”
“Mas lagi ngapain ? Dari tadi aku telepon kok nggak diangkat-angkat?”
Sang pemuda mulai menebak-nebak ke mana kira-kira ujung semua ini.
“Aku perlu bicara. Sebentar saja, tak akan lama,” cegat sang perempuan di suatu sesi istirahat pertama. Dalam hitungan kurang dari enam puluh detik, pemuda itu mendengar hamburan kata-kata yang membuatnya tergugu sesaat.
“Aku pikir..., aku sayang sama mas,” ujarnya. Apa adanya. Begitu saja. Tanpa presentasi. Tanpa basa-basi.
Sang pemuda terdiam, tak memberi reaksi. Menyisakan jeda yang cukup lama di antara mereka.
“Te...rima kasih,” akhirnya dia menjawab, dengan sedikit tergagap.
“Jadi?”
“Jadi apa?” dia menatap perempuan itu dengan bingung. Bukankah tadi dia membuat pernyataan, bukannya pertanyaan ?
“Mas pasti masih memikirkan dia ya?” Tuding perempuan itu tiba-tiba. Wajahnya mengeras, matanya berkaca, terbaca jelas.
“Kapan mas akan sadar, sih ? Dia tidak pernah mencintai mas. Tidak lelah mas menunggunya?”
Sang pemuda seperti di dalam alam bawah sadarnya. Bibirnya diam erat terkunci. Perempuan ini bukan saja percaya diri, tapi juga terlalu berani. Mengusik-usik wilayah hati, yang sekian lama dia sendiri tidak pernah bisa mengerti.
“Bukankah barang remeh justru akan digunakan dan dicari saat dibutuhkan? Menunggu mungkin menjemukan, tapi waktuku pasti akan datang. Aku tak percaya akan kesia-siaan.” Keheningan kembali bertahta di antara mereka.
“Tidak bisakah mas berhenti sejenak? Keluar dari ruang tunggu yang bisa membuatmu mati bosan? Atau bahkan mati menggelepar sendirian? Tidakkah kau butuh seorang teman?” perempuan itu terus mendesak. Dia belum mau menyerah.
   “Maaf...” Perlahan si Tampan menggeser kakinya, bergerak menjauh, dan meninggalkan perempuan yang menatapnya dengan tak pasti. Tangannya menepis tangan sang perempuan yang mencoba menahan langkahnya. Sekilas, walau hanya sekilas, dia melihat kilatan bening di mata perempuan itu.
Hidup adalah seperti mengendarai kereta dengan satu kepala. Saat dihadapkan kepada jalan tanpa pilihan, kecuali terus bergerak meju ke depan. Yang sudah dilakukan adalah waktu yang sudah terbuang. Tidak bisa ditarik kembali atau bahkan diputar ulang.
Sang perempuan kemudian berhenti mengganggu sang pemuda dengan pesan-pesan atau perhatian. Mungkin dia kelelahan. Mungkin dia sudah jenuh dengan harapan. Atau mulai sadar bahwa cintanya bertepuk sebelah tangan. Lantas mereka tidak lagi bertegur sapa. Kemudian tidak lagi berjumpa. Berpisah begitu saja.
Sang pemuda lulus sekolah dan melanjutkan pendidikan kuliah di lain kota, memulai hidup baru. Sang perempuan masih sekolah naik ke kelas sebelas. Mungkin bertemu pemuda-pemuda baru, yang memberinya sejuta kupu-kupu dan langit madu, terus menandai hadirnya dengan gelak tawa, melontarkan sapa tanpa memandang muka. Perempuan yang kisah hidupnya kemudian mungkin saja berakhir bahagia. Seperti di dongeng-dongeng cinta, selalu ada tawa bahagia di ujung langit duka. Bahkan nama pemuda itu pun kelak akan terlupa. Pemuda yang pernah menolak cintanya.
Setelah hampir tiga tahun, sang pemuda mendengar kabar bahwa sang perempuan telah lulus sekolah SMA. Mereka bertemu di sosial media internet, komunikasi pun terjalin kembali. Seperti tidak terjadi apa-apa pada masa lalu.
“Apa kabar mas? Dimana sekarang?” tanya sang perempuan.
“Alhamdulillah baik ndo, aku di kota J, gimana nilai kelulusan km?” balas sang pemuda.
“Syukurlah, aku alhamdulillah baik juga mas dan nilainya memuaskan”. Jawabnya
Kedekatan mereka terjalin lagi melalui sosial media, kirim-kirim pesan SMS, dan telepon. Hubungan mereka pun lekat kembali seakan tiada masa lalu yang menyesakkan hati. Sang pemuda baru menyadari bahwa sang perempuan itulah sosok wanita yang selama ini dia cari. “sayang” tak segan sang perempuan memanggil mesra kepada sang pemuda seakan memberi kesempatan kedua dalam hidupnya.
Kembali muncul pertanyaan di dalam benak sang pemuda“Apa arti semua ini?, Indahkah ujung cerita ini?, Dendamkah perempuan itu terhadapku?, Benarkah dia masih sayang atau hanya ingin membalas rasa sakit yang pernah dia rasa?” pertanyaan-pertanyaan itu selalu menghantui di saat malam menjelang tidur.
Sikap, perhatian perempuan itu dalam berkomunikasi membuat sang pemuda rindu akan dirinya. “Mas kapan pulang? Aku kangen.” Keluh perempuan itu berharap kedatangannya, menambah daya gedor untuk menemuinya di kampung halaman kota T.
“Mas udah sholat ? Jangan telat sholat ya.”
“Udah makan belum mas? Hati-hati nanti sakit maagh.”
Perhatian itu, panggilan itu, keluh kesahnya, selalu mengganggu sang pemuda. Sang pemuda memutuskan pulang ke kota T dan menemui perempuan itu. “Apa kabar mas?” sapa perempuan mengagetkan lamunan pemuda yang sudah lama menunggu di sebuah restoran. Sang pemuda diam. Gugup. Salah tingkah. Suaranya bergetar. Tak mampu menatap indah bola mata sang perempuan. “E..baik baik ndo,” singkat jawab pemuda.
Suasana lain tak seperti masa lalu, kini di antara mereka saling salah tingkah, namun pemuda merasa perempuan tak seperti dulu lagi. “Sekarang kamu cerewet ya..” gurau sang pemuda. “haha iya sekarang mas yang pendiam,” ujarnya.
Hal-hal sederhana seperti foto masa lalu yang tersimpan dalam handphone, semilir wewangian parfum, atau lagu yang diputar di radio, mampu menjadi dinamo yang menggerakkan roda ingatan. Menghidupkan kembali mesin-mesin memori yang selama ini telah ditinggalkan, dingin dan mati, mati suri. Ya, kenangannya adalah tentang sang perempuan.
Kalau waktu kehidupan bisa diputar kembali, sudahlah sang pemuda bersama sang perempuan itu sedari dulu. Dia menutup matanya dan rebah sejenak. Untuk sekali dalam hidupnya, dia berharap kalau sepi hari itu tidak abadi. Dia berharap ada kejutan menjelang pagi.




Tidak ada komentar: