CINTA
YANG TERTUNDA
Nur
Kholis Majid
Pemuda itu tak pernah
benar-benar menduganya. Seperti air mendidih dalam panci di atas kompor yang
menyala api biru, tiba-tiba perempuan itu hadir begitu saja dalam hidupnya.
Dengan mimiknya yang lucu saat bercerita, serta senyum tiada putus yang selalu
menghias bibir tipisnya yang alami tanpa lipstik, dia bisa dengan mudah menawan
siapa saja yang melihatnya. Gelak tawa selalu menandai kehadiran perempuan itu.
Suara sapanya kadang terdengar sampai ke setiap sudut ruang. Dirinya bagaikan
hangat yang menular dan menjalari siapa saja. Ya siapa saja. Kecuali dirinya
sendiri.
Berawal dari MOS (Masa
Orientasi Siswa) di sekolahnya, pemuda ini lantas mendapat tugas menjadi ketua
panitia masa orientasi siswa sekaligus penanggung jawab ruang kelas yang di
tempati perempuan itu. Kemudian semakin banyak kegiatan MOS yang dikerjakan
bersama. Bukan hanya kelimpahan banyak tanya yang membuat sering mendadak sakit
kepala dan pusing, perempuan itu juga menyiksa matanya dengan cara berbusana
dan penampilan yang sederhana nan anggun. “Ini gaya islami” katanya suatu kali,
saat pemuda memberi sanjungan tentang gaya berpakaiannya yang dianggap
mengagumkan untuknya.
“Ini kan sekolah favorit,
bagaimana mungkin bisa masuk kalo berpenampilan menor dan berlebihan?” sahutnya
seakan-akan tak suka dipuji. Membuat pemuda itu diam dan menebak-nebak pribadi
perempuan itu. Sepertinya perempuan itu adalah tipe yang tidak suka dipuji. “zaman
sekarang sangat jarang perempuan yang tak suka dipuji” berkata pemuda dalam
benaknya. Berbeda dengan perempuan-perempuan sebelumnya yang dia kenal.
Kemudian mereka pun mulai
lekat, layaknya dua bersaudara yang kebetulan kelas mereka bersebelahan. Pemuda
itu mulai memahami bahwa setiap tawa yang keluar dari mulut sang perempuan
tidak selalu berarti bahagia. Suatu pagi perempuan itu bisa datang ke sekolah
dengan mata yang sembab seakan-akan habis menangis semalam suntuk, akan tetapi
di hari berikutnya dia datang dengan senyum terkembang dan sangat manis
dipandang dengan kerudung putih yang dikenakannya. Dengan perempuan itu, sang
pemuda jadi begitu mengenal banyak arti tawa. Tawa karena menahan luka, tawa
tentang duka masa lalu yang masih menggelantung di pelupuk mata, tawa karena
mencoba membangun asa, sampai tawa karena tak tahu harus berbuat apa.
Sang perempuan juga kemudian
memahami tentang cinta si pemuda. Tentang tatap matanya yang sering terlihat
mendung dan kelabu. Juga tentang cintanya pada seorang wanita yang bahkan
terlalu sibuk untuk sekadar menoleh ke arahnya. Semuanya berjalan biasa saja di
antara mereka. Sampai sang perempuan mulai mengirimnya pesan-pesan, berikut
curahan perhatian.
“Assalamu’alaikum, mas sudah sholat ?
Sesibuk apapun mas jangan lupa sholat ya.”
“Mas sudah makan ? Hati-hati nanti
sakit maag.”
“Mas lagi ngapain ? Dari tadi aku
telepon kok nggak diangkat-angkat?”
Sang pemuda mulai menebak-nebak ke
mana kira-kira ujung semua ini.
“Aku perlu bicara.
Sebentar saja, tak akan lama,” cegat sang perempuan di suatu sesi istirahat
pertama. Dalam hitungan kurang dari enam puluh detik, pemuda itu mendengar
hamburan kata-kata yang membuatnya tergugu sesaat.
“Aku pikir..., aku sayang
sama mas,” ujarnya. Apa adanya. Begitu saja. Tanpa presentasi. Tanpa basa-basi.
Sang pemuda terdiam, tak
memberi reaksi. Menyisakan jeda yang cukup lama di antara mereka.
“Te...rima kasih,”
akhirnya dia menjawab, dengan sedikit tergagap.
“Jadi?”
“Jadi apa?” dia menatap
perempuan itu dengan bingung. Bukankah tadi dia membuat pernyataan, bukannya
pertanyaan ?
“Mas pasti masih
memikirkan dia ya?” Tuding perempuan itu tiba-tiba. Wajahnya mengeras, matanya
berkaca, terbaca jelas.
“Kapan mas akan sadar,
sih ? Dia tidak pernah mencintai mas. Tidak lelah mas menunggunya?”
Sang pemuda seperti di
dalam alam bawah sadarnya. Bibirnya diam erat terkunci. Perempuan ini bukan
saja percaya diri, tapi juga terlalu berani. Mengusik-usik wilayah hati, yang
sekian lama dia sendiri tidak pernah bisa mengerti.
“Bukankah barang remeh
justru akan digunakan dan dicari saat dibutuhkan? Menunggu mungkin menjemukan,
tapi waktuku pasti akan datang. Aku tak percaya akan kesia-siaan.” Keheningan
kembali bertahta di antara mereka.
“Tidak bisakah mas
berhenti sejenak? Keluar dari ruang tunggu yang bisa membuatmu mati bosan? Atau
bahkan mati menggelepar sendirian? Tidakkah kau butuh seorang teman?” perempuan
itu terus mendesak. Dia belum mau menyerah.
“Maaf...” Perlahan si Tampan menggeser
kakinya, bergerak menjauh, dan meninggalkan perempuan yang menatapnya dengan
tak pasti. Tangannya menepis tangan sang perempuan yang mencoba menahan
langkahnya. Sekilas, walau hanya sekilas, dia melihat kilatan bening di mata
perempuan itu.
Hidup adalah seperti
mengendarai kereta dengan satu kepala. Saat dihadapkan kepada jalan tanpa
pilihan, kecuali terus bergerak meju ke depan. Yang sudah dilakukan adalah
waktu yang sudah terbuang. Tidak bisa ditarik kembali atau bahkan diputar
ulang.
Sang perempuan kemudian
berhenti mengganggu sang pemuda dengan pesan-pesan atau perhatian. Mungkin dia
kelelahan. Mungkin dia sudah jenuh dengan harapan. Atau mulai sadar bahwa
cintanya bertepuk sebelah tangan. Lantas mereka tidak lagi bertegur sapa.
Kemudian tidak lagi berjumpa. Berpisah begitu saja.
Sang pemuda lulus sekolah
dan melanjutkan pendidikan kuliah di lain kota, memulai hidup baru. Sang
perempuan masih sekolah naik ke kelas sebelas. Mungkin bertemu pemuda-pemuda
baru, yang memberinya sejuta kupu-kupu dan langit madu, terus menandai hadirnya
dengan gelak tawa, melontarkan sapa tanpa memandang muka. Perempuan yang kisah
hidupnya kemudian mungkin saja berakhir bahagia. Seperti di dongeng-dongeng
cinta, selalu ada tawa bahagia di ujung langit duka. Bahkan nama pemuda itu pun
kelak akan terlupa. Pemuda yang pernah menolak cintanya.
Setelah hampir tiga
tahun, sang pemuda mendengar kabar bahwa sang perempuan telah lulus sekolah
SMA. Mereka bertemu di sosial media internet, komunikasi pun terjalin kembali.
Seperti tidak terjadi apa-apa pada masa lalu.
“Apa kabar mas? Dimana
sekarang?” tanya sang perempuan.
“Alhamdulillah baik ndo,
aku di kota J, gimana nilai kelulusan km?” balas sang pemuda.
“Syukurlah, aku
alhamdulillah baik juga mas dan nilainya memuaskan”. Jawabnya
Kedekatan mereka terjalin
lagi melalui sosial media, kirim-kirim pesan SMS, dan telepon. Hubungan mereka
pun lekat kembali seakan tiada masa lalu yang menyesakkan hati. Sang pemuda
baru menyadari bahwa sang perempuan itulah sosok wanita yang selama ini dia
cari. “sayang” tak segan sang perempuan memanggil mesra kepada sang pemuda
seakan memberi kesempatan kedua dalam hidupnya.
Kembali muncul pertanyaan
di dalam benak sang pemuda“Apa arti semua ini?, Indahkah ujung cerita ini?,
Dendamkah perempuan itu terhadapku?, Benarkah dia masih sayang atau hanya ingin
membalas rasa sakit yang pernah dia rasa?” pertanyaan-pertanyaan itu selalu
menghantui di saat malam menjelang tidur.
Sikap, perhatian
perempuan itu dalam berkomunikasi membuat sang pemuda rindu akan dirinya. “Mas
kapan pulang? Aku kangen.” Keluh perempuan itu berharap kedatangannya, menambah
daya gedor untuk menemuinya di kampung halaman kota T.
“Mas udah sholat ? Jangan
telat sholat ya.”
“Udah makan belum mas?
Hati-hati nanti sakit maagh.”
Perhatian itu, panggilan
itu, keluh kesahnya, selalu mengganggu sang pemuda. Sang pemuda memutuskan
pulang ke kota T dan menemui perempuan itu. “Apa kabar mas?” sapa perempuan
mengagetkan lamunan pemuda yang sudah lama menunggu di sebuah restoran. Sang
pemuda diam. Gugup. Salah tingkah. Suaranya bergetar. Tak mampu menatap indah
bola mata sang perempuan. “E..baik baik ndo,” singkat jawab pemuda.
Suasana lain tak seperti
masa lalu, kini di antara mereka saling salah tingkah, namun pemuda merasa
perempuan tak seperti dulu lagi. “Sekarang kamu cerewet ya..” gurau sang
pemuda. “haha iya sekarang mas yang pendiam,” ujarnya.
Hal-hal sederhana seperti
foto masa lalu yang tersimpan dalam handphone, semilir wewangian parfum, atau
lagu yang diputar di radio, mampu menjadi dinamo yang menggerakkan roda
ingatan. Menghidupkan kembali mesin-mesin memori yang selama ini telah
ditinggalkan, dingin dan mati, mati suri. Ya, kenangannya adalah tentang sang
perempuan.
Kalau waktu kehidupan
bisa diputar kembali, sudahlah sang pemuda bersama sang perempuan itu sedari
dulu. Dia menutup matanya dan rebah sejenak. Untuk sekali dalam hidupnya, dia
berharap kalau sepi hari itu tidak abadi. Dia berharap ada kejutan menjelang
pagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar