2013/09/03

cerpen lingkungan


Nama         : Muhammad Iqbal Hikmatyar



Desa Wandanpuro

Satu tahun sudah aku lewati, dan masa-masa yang ditunggu-tunggu pun tiba. Setelah bergelut dengan materi-materi dan buku-buku membuat kepalaku serasa dihantam batu besar, dan telingaku sangat bising akibat ocehan-ocehan guru yang selalu membanggakan apa yang mereka miliki. Melenceng jauh dari materi yang ada, mereka yang bodoh hanya terpaku dan kagum atas ocehan guru itu. Aku memilih memakai tutup telinga tanpa harus mendengarkan ocehan guru itu.

Pagi ini udara berbeda dari pagi kemarin, ini bukan hari Sabtu atau pun Minggu. Sudah lama aku tak menikmat pagi yang seindah ini. secangkir kopi yang masih mengeluarkan asapnya sudah tersaji di teras bersamaan dengan koran pagi ini. Burung-burung saling bersahutan mereka berupaya membangunkan manusia walaupun mereka tak pernah bebas dan hanya dalam sangkarnya. Suaranya yang indah disampaikan oleh angin pagi sehingga kupingku bisa menikmati indahnya suara burung membangunkan manusia.

Seketika semua peristiwa pagi ini terganggu oleh ocehan ibu yang tiba-tiba berbicara tanpa henti sampai merusak keheningan pagi ini, masih saja ia tak percaya kepadaku, aku yang baru saja lulus SMA masih seperti anak TK yang selalu diawasi dan dinasehati. Dengan nada tinggi ib berbicara kepadaku “Tyar ingat kamu jangan seperti Ade, kamu tahu kan Ade? teman bermainmu itu. Kemarin polisi mendatangi rumahnya kamarnya diperiksa dan kedapatan mempunyai narkoba. Sekarang ia ada di penjara sana, awas kamu seperti itu! satu lagi teman akrabmu  Adi, belum lama ia melangsungkan pernikahan padahal masih seusiamu yang seharusnya masih membantu orang tuanya dan adik-adiknya. Istrinya sudah hamil empat bulan, dan ternyata istrinya sudah mengandung sebelum pernikahan itu dilangsungkan”. Ocehan ibu merusak segala suasana hatiku pagi ini. Untung saja yang mengoceh itu ibuku, biar bagaimanapun ibuku aku tak berani padanya, apalagi melawannya. Sekarang aku seperti teman-temanku yang bodoh pada saat di SMA. Mendengarkannya dan kepalaku menunduk ke bawah dan berucap “iya, iya, iya, iya”.

Sore telah tiba aku sudah menyiapkan segalanya untuk keberangkatanku ke desa Wandanpuro di kota Malang provinsi Jawa Timur. Di sana adalah kediaman temanku Fadli. Setahun lalu, aku bertemu dengannya saat mendaki puncak Mahameru. Lalu kami saling berkomunikasi melalui jejaring sosial. Semoga Wandanpuro obat untuk kepalaku yang penat ini. Sekaligus mempelajari kehidupan lewat perjalananku ini.

Langit sudah tampak gelap, dua tas besar di hadapanku sekarang. Tas yang pertama ku gendongkan di belakang dan yang satunya lagi ku gendongkan di depan. Kereta pun tiba aku memasuku gerbong kereta yang penuh dengan orang-orang. Apakah orang-orang ini sama sepertiku? meninggalkan Jakarta dan pergi  ke Malang untuk me-refresh kepala mereka, atau hanya aku saja yang selalu diliputi oleh masalah-masalah. Aku duduk di bangku pojok dekat jendela, kereta berjalan  cepat di malam ini. Anginnya masuk melalui sela-sela jendela dan membuatku memejamkan mata.

Pagi sudah tiba, rumput-rumput hijau ada di samping kanan dan kiriku. Gunung-gunung menghiasi langit yang biru bersama awan-awan putih, air sungai mengalir  deras mengelilingi sawah nan hijau. Begitu indah pemandangan pagi ini, aku rasa ini hanya kutemukan dalam dongeng-dongeng yang dibacakan ibuku kepadaku. Dan ternyata keindahan ini benar-benar kulihat dan kurasakan. Terima kasih Tuhan atas semua keindahan ini.

Kereta pun berhenti. Aku sudah sampai, lalu ku kabari Fadli untuk menjemputku di Stasiun. Aku menunggu di warung kopi dekat Stasiun, ku memesan segelas kopi dan sebatang rokok. Betapa ramah tamahnya ibu penjual kopi ini dengan bahasanya yang tidak terlalu aku mengerti namun nada bicaranya yang sangat lebut dan halus membuatku seperti sangat dihargai beda sekali dengan ibuku yang berbicara dengan nada yang tinggi. Tak lama Fadli pun datang, aku berjabat tangan dan memeluknya seakan-akan kita puluhan tahun lamanya tak bertemu.

Akhirnya aku sampai di desa Wandanpuro, sawah-sawah hijau, pohon-pohon yang rindang menghiasi setiap sudut desa ini. Aku turun dari motor yang dikendarai Fadli, aku turun untuk menghampiri sungai yang jernih dengan bebatuan-bebatuan yang menghiasinya. Karena bawaanku yang banyak aku tergelincir jatuh ke dalam sungai tubuhku terbawa arus  sungai. Kedua tasku aku lepaskan agar aku merasa ringan dan bisa menyelamatkan diri dengan cara berpegangan pada bebatuan itu. Kepalaku terbentur bantu sekujur badanku luka dalam, kakiku terkilir aku tak bisa apa-apa, yang aku ingat Fadli menggotongku dari sungai dan membawaku ke tepi sungai.

Sudah seminggu lamanya aku berbaring di tempat tidur ini, tanpa bisa berbuat apa-apa. Aku tak tahu berapa biaya yang telah dikeluarkan oleh keluarga Fadli untuk perawatan dan pengobatanku. Aku merasa terharu jiwa dan ragaku serasa diguncang oleh ombak yang besar, mataku seakan-akan terbuka lebar. Aku baru merasakan kehangatan, ketulusan, keramah-tamahan dalam keluarga ini. Lingkungan yang benar-benar membuatku berubah, sungguh pengalaman yang luar biasa. Bahkan mereka rela menjual barang-barang untuk perawatan dan pengobatanku selama aku sakit.

Aku sudah tak punya apa-apa. Kedua tas ku hanyut terbawa arus sungai  yang tersisa pakaian dan celana, sepatuku pun hanyut di sungai itu. Barang yang berharga hanya jam yang masih melingkari tanganku. Sepertinya aku sudah bisa beraktifitas, sudah terlalu lama aku di atas ranjang dan sudah terlalu banyak aku merepotkan keluarga Fadli. Aku keluar dari kamar untuk ke kota yang berjarak kiloan meter, ku jalani setapak demi setapak perjalanan menuju kota. Sawah dan pohon-pohon menemani perjalananku. Sesampainya di kota aku menjual satu-satunya barang berhargaku, aku datangi sebuah toko arloji dan langsung ku jual arlojiku di toko itu. Toko arloji “Tresno Joyo” takkan ku lupa nama toko ini, suatu saat aku akan balik lagi dan membeli arlojiku kembali. Karena, jam itu adalah pemberian ibuku pada saat ulang tahunku.

Uang hasil penjualan arloji ini untuk biayaku pulang ke rumah. Aku tak mau merepotkan Fadli dan keluarganya. Aku kembali lagi ke desa Wandanpuro, Fadli menghampiriku, ia bertanya “dari mana saja kau?” dan aku menjawab “aku berkeliling desa ini untuk melihat pemandangan yang indah, sudah terlalu lama aku di atas ranjang “aku mengkhawatirkanmu dan mencari-carimu” ucap Fadli.
           
Sungguh perjalanan yang sangat bermakna. Banyak cerita dan kejadian yang membuatku jauh lebih baik dalam menjalani hidup ini. Lingkungan dengan segala keramah-tamahannya bahkan rela mengorbankan apapun untuk menjamu tamunya. Berolak belakang dengan apa yang ada di lingkungan tempat tinggal ku. Semoga pelajaran dari perjalanan ini dapat ku bawa ke dalam lingkungan ku dan bermanfaat. Desa Wandanpuro memberikan banyak arti bagi kehidupanku membuatku lebih baik lagi dalam menjalani hidup. Terimakasih Fadli dan keluarga, terimakasih desa Wandanpuro dan terima kasih alam semesta yang memberikan segala keindahannya. Dan tak lupa terimakasihku untuk Tuhan yang telah menciptakan segalanya.

Jakarta, 19 Desember 2009



                                             

Tidak ada komentar: