Nama :
Muhammad Iqbal Hikmatyar
Desa Wandanpuro
Satu
tahun sudah aku lewati, dan masa-masa yang ditunggu-tunggu pun tiba. Setelah
bergelut dengan materi-materi dan buku-buku membuat kepalaku serasa dihantam batu
besar, dan telingaku sangat bising akibat ocehan-ocehan guru yang selalu
membanggakan apa yang mereka miliki. Melenceng jauh dari materi yang ada,
mereka yang bodoh hanya terpaku dan kagum atas ocehan guru itu. Aku memilih
memakai tutup telinga tanpa harus mendengarkan ocehan guru itu.
Pagi
ini udara berbeda dari pagi kemarin, ini bukan hari Sabtu atau pun Minggu.
Sudah lama aku tak menikmat pagi yang seindah ini. secangkir kopi yang masih
mengeluarkan asapnya sudah tersaji di teras bersamaan dengan koran pagi ini.
Burung-burung saling bersahutan mereka berupaya membangunkan manusia walaupun
mereka tak pernah bebas dan hanya dalam sangkarnya. Suaranya yang indah
disampaikan oleh angin pagi sehingga kupingku bisa menikmati indahnya suara
burung membangunkan manusia.
Seketika
semua peristiwa pagi ini terganggu oleh ocehan ibu yang tiba-tiba berbicara
tanpa henti sampai merusak keheningan pagi ini, masih saja ia tak percaya
kepadaku, aku yang baru saja lulus SMA masih seperti anak TK yang selalu
diawasi dan dinasehati. Dengan nada tinggi ib berbicara kepadaku “Tyar ingat
kamu jangan seperti Ade, kamu tahu kan Ade? teman bermainmu itu. Kemarin polisi
mendatangi rumahnya kamarnya diperiksa dan kedapatan mempunyai narkoba.
Sekarang ia ada di penjara sana, awas kamu seperti itu! satu lagi teman
akrabmu Adi, belum lama ia melangsungkan
pernikahan padahal masih seusiamu yang seharusnya masih membantu orang tuanya
dan adik-adiknya. Istrinya sudah hamil empat bulan, dan ternyata istrinya sudah
mengandung sebelum pernikahan itu dilangsungkan”. Ocehan ibu merusak segala
suasana hatiku pagi ini. Untung saja yang mengoceh itu ibuku, biar bagaimanapun
ibuku aku tak berani padanya, apalagi melawannya. Sekarang aku seperti
teman-temanku yang bodoh pada saat di SMA. Mendengarkannya dan kepalaku
menunduk ke bawah dan berucap “iya, iya, iya, iya”.
Sore
telah tiba aku sudah menyiapkan segalanya untuk keberangkatanku ke desa
Wandanpuro di kota Malang provinsi Jawa Timur. Di sana adalah kediaman temanku
Fadli. Setahun lalu, aku bertemu dengannya saat mendaki puncak Mahameru. Lalu
kami saling berkomunikasi melalui jejaring sosial. Semoga Wandanpuro obat untuk
kepalaku yang penat ini. Sekaligus mempelajari kehidupan lewat perjalananku
ini.
Langit
sudah tampak gelap, dua tas besar di hadapanku sekarang. Tas yang pertama ku
gendongkan di belakang dan yang satunya lagi ku gendongkan di depan. Kereta pun
tiba aku memasuku gerbong kereta yang penuh dengan orang-orang. Apakah
orang-orang ini sama sepertiku? meninggalkan Jakarta dan pergi ke Malang untuk me-refresh kepala mereka,
atau hanya aku saja yang selalu diliputi oleh masalah-masalah. Aku duduk di
bangku pojok dekat jendela, kereta berjalan
cepat di malam ini. Anginnya masuk melalui sela-sela jendela dan
membuatku memejamkan mata.
Pagi
sudah tiba, rumput-rumput hijau ada di samping kanan dan kiriku. Gunung-gunung
menghiasi langit yang biru bersama awan-awan putih, air sungai mengalir deras mengelilingi sawah nan hijau. Begitu
indah pemandangan pagi ini, aku rasa ini hanya kutemukan dalam dongeng-dongeng
yang dibacakan ibuku kepadaku. Dan ternyata keindahan ini benar-benar kulihat
dan kurasakan. Terima kasih Tuhan atas semua keindahan ini.
Kereta
pun berhenti. Aku sudah sampai, lalu ku kabari Fadli untuk menjemputku di
Stasiun. Aku menunggu di warung kopi dekat Stasiun, ku memesan segelas kopi dan
sebatang rokok. Betapa ramah tamahnya ibu penjual kopi ini dengan bahasanya
yang tidak terlalu aku mengerti namun nada bicaranya yang sangat lebut dan
halus membuatku seperti sangat dihargai beda sekali dengan ibuku yang berbicara
dengan nada yang tinggi. Tak lama Fadli pun datang, aku berjabat tangan dan
memeluknya seakan-akan kita puluhan tahun lamanya tak bertemu.
Akhirnya
aku sampai di desa Wandanpuro, sawah-sawah hijau, pohon-pohon yang rindang menghiasi
setiap sudut desa ini. Aku turun dari motor yang dikendarai Fadli, aku turun
untuk menghampiri sungai yang jernih dengan bebatuan-bebatuan yang
menghiasinya. Karena bawaanku yang banyak aku tergelincir jatuh ke dalam sungai
tubuhku terbawa arus sungai. Kedua tasku
aku lepaskan agar aku merasa ringan dan bisa menyelamatkan diri dengan cara
berpegangan pada bebatuan itu. Kepalaku terbentur bantu sekujur badanku luka
dalam, kakiku terkilir aku tak bisa apa-apa, yang aku ingat Fadli menggotongku
dari sungai dan membawaku ke tepi sungai.
Sudah
seminggu lamanya aku berbaring di tempat tidur ini, tanpa bisa berbuat apa-apa.
Aku tak tahu berapa biaya yang telah dikeluarkan oleh keluarga Fadli untuk
perawatan dan pengobatanku. Aku merasa terharu jiwa dan ragaku serasa diguncang
oleh ombak yang besar, mataku seakan-akan terbuka lebar. Aku baru merasakan
kehangatan, ketulusan, keramah-tamahan dalam keluarga ini. Lingkungan yang
benar-benar membuatku berubah, sungguh pengalaman yang luar biasa. Bahkan
mereka rela menjual barang-barang untuk perawatan dan pengobatanku selama aku
sakit.
Aku
sudah tak punya apa-apa. Kedua tas ku hanyut terbawa arus sungai yang tersisa pakaian dan celana, sepatuku pun
hanyut di sungai itu. Barang yang berharga hanya jam yang masih melingkari
tanganku. Sepertinya aku sudah bisa beraktifitas, sudah terlalu lama aku di
atas ranjang dan sudah terlalu banyak aku merepotkan keluarga Fadli. Aku keluar
dari kamar untuk ke kota yang berjarak kiloan meter, ku jalani setapak demi
setapak perjalanan menuju kota. Sawah dan pohon-pohon menemani perjalananku.
Sesampainya di kota aku menjual satu-satunya barang berhargaku, aku datangi
sebuah toko arloji dan langsung ku jual arlojiku di toko itu. Toko arloji
“Tresno Joyo” takkan ku lupa nama toko ini, suatu saat aku akan balik lagi dan
membeli arlojiku kembali. Karena, jam itu adalah pemberian ibuku pada saat
ulang tahunku.
Uang
hasil penjualan arloji ini untuk biayaku pulang ke rumah. Aku tak mau
merepotkan Fadli dan keluarganya. Aku kembali lagi ke desa Wandanpuro, Fadli
menghampiriku, ia bertanya “dari mana saja kau?” dan aku menjawab “aku
berkeliling desa ini untuk melihat pemandangan yang indah, sudah terlalu lama
aku di atas ranjang “aku mengkhawatirkanmu dan mencari-carimu” ucap Fadli.
Sungguh
perjalanan yang sangat bermakna. Banyak cerita dan kejadian yang membuatku jauh
lebih baik dalam menjalani hidup ini. Lingkungan dengan segala
keramah-tamahannya bahkan rela mengorbankan apapun untuk menjamu tamunya. Berolak
belakang dengan apa yang ada di lingkungan tempat tinggal ku. Semoga pelajaran
dari perjalanan ini dapat ku bawa ke dalam lingkungan ku dan bermanfaat. Desa
Wandanpuro memberikan banyak arti bagi kehidupanku membuatku lebih baik lagi
dalam menjalani hidup. Terimakasih Fadli dan keluarga, terimakasih desa
Wandanpuro dan terima kasih alam semesta yang memberikan segala keindahannya.
Dan tak lupa terimakasihku untuk Tuhan yang telah menciptakan segalanya.
Jakarta, 19 Desember 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar