Warung
Kehidupan
(oleh
Friyansyah)
Hari
Rabu 10 Juli 2013. Terjadi kebakaran hebat di kecamatan Tambora, Jakarta Barat.
Api muncul berawal dari warung kecil pinggir jalan dan mulai membesar menyambar
rumah warga, yang berada tepat di belakang warung tersebut. Dilaporkan korban
jiwa yang meninggal dua orang yaitu seorang ibu dan anak laki-lakinya, dan
delapan orang luka-luka diantara orang dewasa ada juga anak-anak. Mereka para
korban langsung dievakuasi ke tempat-tempat aman, yaitu mesjid dan rumah warga
yang terhindar dari kobaran api. Dilaporkan juga sepuluh rumah dan satu warung kecil
terbakar habis. Kerugiaan pun tercatat hampir satu miliar rupiah. Kebakaran
memang sering terjadi di Tambora, karena Tambora merupakan kawasan padat
penduduk dan hampir setiap tahunnya terjadi kasus kebakaran. Dan kali ini
merupakan yang terbesar di Tambora selama tiga tahun belakangan ini.
Pagi pun tiba dengan cahaya mentari beserta harapan kebahagiaan, hidup di Jakarta yang selalu membayangi Surti. Dengan niat yang kuat akhirnya Surti berencana ingin menjual sapi dan ayam-ayamnya di pasar untuk modal hidup di Jakarta, karena Surti sangat ingin kedua anaknya bersekolah dan baginya Jakarta merupakan tempat dimana banyak sekolah yang baik. Di desa tempat tinggal mereka, sekolah sangatlah jauh mereka harus pergi ke kota terlebih dahulu dan membutuhkan biaya yang tidak sedikit, untuk itulah Surti ingin sekali pergi meninggalkan desanya agar mendapatkan hidup yang lebih baik.
Setelah pulang dari
pasar, Surti menemui saudara-saudara dan orang tuanya untuk meminta izin pergi
ke kota Jakarta. Setelah mendapatkan izin dari semua-saudara dan orangtuanya. Surti
pun semakin yakin untuk mendapatkan hidup yang lebih baik di Jakarta. Malam harinya
mereka menyiapkan pakaiaan dan barang-barang yang dibutuhkan di Jakarta. Ali
pun bertanya “Kita ke Jakarta ingin tinggal dengan ayah yah bu?” Surti pun
hanya diam dan tersenyum, Ali pun bergembira dan memberitahu adiknya “Alan kita
ingin bertemu dengan ayah,” “Asik-asik-asik bertemu ayah.” Mereka berdua sangat
bergembira. Sebenarnya Surti sangatlah sedih karena pertanyaan itu yang hampir
ditanyakan oleh semua orang di desanya. Sebenarnya Joko suami Surti telah
meninggalkan mereka hampir lima tahun, di saat anak-anaknya masih berumur satu
tahun. Joko memang berniat untuk mencari pekerjaan di Jakarta tetapi sampai
saat ini dia pun tidak kunjung kembali, bahkan tidak pernah memberi kabar. Surti
pun merasa kecewa dan dia berjanji untuk membesarkan anak-anaknya sendiri. Sekarang
Ali dan Alan berumur enam tahun, mereka kembar untuk itulah Surti harus
memperlakukan mereka secara adil sejak dari kecil.
Metahari pun telah
terbit di desa yang sejuk indah dan damai itu. Surti dan kedua anaknya bergegas
untuk pergi dan mereka sesekali mengucapkan selamat tinggal kepada desanya. Setelah
sampai di kota Jakarta Surti dan kedua anaknya terkagum-kagum melihat banyak
sekali gedung yang tinggi dan besar-besar. Langsung saja dia dan anak-anaknya menuju
alamat yang diberikan oleh kakanya itu, yaitu alamat penjual warung kecil
pinggir jalan. Dengan memegang uang hasil penjualan sapi dan beberapa ayamnya,
Surti pun membeli warung kecil tersebut, dan warung Surti ditempatkan di daerah
Jakarta Barat tepatnya di kecamatan Tambora.
Surti pun senang karena
dapat memiliki warung yang dapat menghidupinya di Jakarta. Walaupun warungnya
kecil, Surti tetap memaksimalkan penjualaanya dengan berjualan berbagai macam
kebutuhan warga sekitar dan para pengguna jalan, mulai dari jajanan anak-anak,
rokok, berbagai minuman, kebutuhan rumah tangga, berbagai jenis mie instan, gorengan
dan lain-lain. Setelah warungnya banyak yang membeli, Surti pun langsung menyediakan
tempat duduk dan membuat dapur kecil di belakang warungnya, dan mulai saat
itulah warung bu Surti melayani 24 jam, nama bu Surti menjadi nama warungnya
yang mulai di kenal oleh warga sekitar. Dia tinggal menetap di warungnya
tersebut, walaupun sempit dan harus berbagi tempat beristirahat bersama
anak-anaknya tetap saja itu merupakan kebahagiaan bersama menurut Surti.
Warungnya pun mulai
banyak pelanggan dan menjadi tempat para tukang ojek menunggu penumpang, bu Surti
pun senang karena tempat berjualannya sudah banyak yang mengenalnya.
Kebahagiaan itu pun datang lagi setelah kedua anak bu Surti, Ali dan Alan masuk
SD negeri disalah satu sekolah Jakarta Barat tempat mereka tinggal, karena Ali
dan Alan merupakan anak yang pintar dan cepat memahami sesuatu dengan begitu
Ali dan Alan mendapatkan pendidikan SD geratis di SD negeri tersebut. Bu Surti
tinggal di lingkungan yang kurang baik dan tidak sehat karena wilayah tersebut
merupakan permukiman padat penduduk, tetapi pemerintah Jakarta tetap
memperhatikan pendidikan anak-anak di wilayah Tambora tersebut.
Dua tahun bu Surti
hidup di warung kecilnya bersama kedua anak kembarnya dan pertanyaan yang
selalu di ulang-ulang anaknya yaitu “Kemana ayah, bu ? kenapa kita harus
menjaga warung terus, bukankah kita lebih baik tinggal bersama ayah.” Itulah
pertanyaan Ali yang selalu membuat Surti merasa sedih, tapi dari setiap
pertanyaan tentang ayah, Surti hanya diam dan tersenyum saja. Keadaan pun mulai
tidak membaik setelah anak nya Alan terkena penyakit kulit yaitu Eksim, kulit Alan
menjadi gatal-gatal dan banyak luka, “Mungkin air tidak bersih dan lingkungan
yang kotorlah menjadi penyebabnya,” kata seorang pembeli yang melihat kondisi
Alan, “Di daerah sini hampir semua anak-anaknya mengalami penyakit kulit
seperti itu,” kata salah satu tukang ojek berambut panjang. Dan sebagian lagi
menyahutinya “Segeralah bawa ke rumah sakit kalau tidak akan semakin parah.” Bu
Surti pun menjadi ketakutan mungkin apa yang di katakan para tukang ojek itu ada
benarnya. Surti pun merasa bersalah kepada anak-anaknya karena tidak mampu
memberikan yang terbaik untuk mereka.
Seperti malam-malam
biasanya di warung bu Surti selalu ada yang menjaga, biasanya para tukang ojek
yang bermain catur atau kartu. Mereka pun sudah terbiasa untuk memesan dan melayani
sendiri, sedangkan bu Surti beristirahat di dalam warungnya bersama kedua
anaknya. Tetapi malam ini belum terlihat para tukang ojek di warungnya, Surti
pun mau tidak mau harus menjaga warungnya seorang diri. Walaupun Surti suka
menjaga warungnya sendirian, itu pun pada saat hujan dan setelah larut malam
warungnya akan ditutup.
Tetapi kali ini tidak
hujan dan Surti harus terus membuka warungnya untuk menambah biaya anaknya Alan
ke rumah sakit. Tepat pukul sebelas malam para tukang ojek pun datang dan
memesan kopi. Karena air panas yang biasa tersedia di termos untuk membuat kopi
habis, bu Surti pun langsung menuju dapur dan menyalakan kompor gas untuk
memasak air. Setelah dilihat api sudah menyala dan tinggal menunggu air nya
mendidih, bu Surti pun kembali ke luar dan berbincang-bincang dengan para
tukang ojek yang baru berdatangan. Tetapi tiba-tiba terlihat kobaran api yang
membesar dari luar warung bu Surti dan ternyata api tersebut mengenai pakaian
yang tergantung di atasnya. Bu Surti pun panik dan berteriak meminta tolong dan
para tukang ojek yang saat itu ada tiga orang segera membantu memadamkan api,
tetapi api semakin membesar dan sudah membakar atap lalu menyembar ke seluruh
bagian warung. Ali dan Alan dibangunkan oleh salah satu tukang ojek tersebut
dan bergegas dibawa ke luar ke tempat yang aman. Warga pun terbangun dan keluar
membantu memadamkan api dengan air seadanya. Peristiwa buruk pun menimpah
keluarga kecil dan warga Tambora malam itu.
Warung bu Surti pun
terbakar habis dengan cepat, itu semua diduga karena kompor gas yang menyala
mengenai pakaian yang ada di atasnya. Api pun semakin membesar membakar semua
bagian warung dan menyambar ke bagian belakang dimana terdapat rumah-rumah
penduduk, dengan cepatnya api membakar rumah-rumah tersebut. Petugas kebakaran
datang satu jam kemudian dengan lima mobil pemadam kebakaran. Namun sudah
terlambat menyelamatkan warung bu Surti. Tetapi api kemudian dapan dipadamkan
dan beruntungnya Surti dan kedua anaknya tidak terluka dan mereka selamat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar