2013/09/04

Cerpen Lingkungan




Warung Kehidupan
(oleh Friyansyah)


Hari Rabu 10 Juli 2013. Terjadi kebakaran hebat di kecamatan Tambora, Jakarta Barat. Api muncul berawal dari warung kecil pinggir jalan dan mulai membesar menyambar rumah warga, yang berada tepat di belakang warung tersebut. Dilaporkan korban jiwa yang meninggal dua orang yaitu seorang ibu dan anak laki-lakinya, dan delapan orang luka-luka diantara orang dewasa ada juga anak-anak. Mereka para korban langsung dievakuasi ke tempat-tempat aman, yaitu mesjid dan rumah warga yang terhindar dari kobaran api. Dilaporkan juga sepuluh rumah dan satu warung kecil terbakar habis. Kerugiaan pun tercatat hampir satu miliar rupiah. Kebakaran memang sering terjadi di Tambora, karena Tambora merupakan kawasan padat penduduk dan hampir setiap tahunnya terjadi kasus kebakaran. Dan kali ini merupakan yang terbesar di Tambora selama tiga tahun belakangan ini.





      Pagi pun tiba dengan cahaya mentari beserta harapan kebahagiaan, hidup di Jakarta yang selalu membayangi Surti. Dengan niat yang kuat akhirnya Surti berencana ingin menjual sapi dan ayam-ayamnya di pasar untuk modal hidup di Jakarta, karena Surti sangat ingin kedua anaknya bersekolah dan baginya Jakarta merupakan tempat dimana banyak sekolah yang baik. Di desa tempat tinggal mereka, sekolah sangatlah jauh mereka harus pergi ke kota terlebih dahulu dan membutuhkan biaya yang tidak sedikit, untuk itulah Surti ingin sekali pergi meninggalkan desanya agar mendapatkan hidup yang lebih baik.

Setelah pulang dari pasar, Surti menemui saudara-saudara dan orang tuanya untuk meminta izin pergi ke kota Jakarta. Setelah mendapatkan izin dari semua-saudara dan orangtuanya. Surti pun semakin yakin untuk mendapatkan hidup yang lebih baik di Jakarta. Malam harinya mereka menyiapkan pakaiaan dan barang-barang yang dibutuhkan di Jakarta. Ali pun bertanya “Kita ke Jakarta ingin tinggal dengan ayah yah bu?” Surti pun hanya diam dan tersenyum, Ali pun bergembira dan memberitahu adiknya “Alan kita ingin bertemu dengan ayah,” “Asik-asik-asik bertemu ayah.” Mereka berdua sangat bergembira. Sebenarnya Surti sangatlah sedih karena pertanyaan itu yang hampir ditanyakan oleh semua orang di desanya. Sebenarnya Joko suami Surti telah meninggalkan mereka hampir lima tahun, di saat anak-anaknya masih berumur satu tahun. Joko memang berniat untuk mencari pekerjaan di Jakarta tetapi sampai saat ini dia pun tidak kunjung kembali, bahkan tidak pernah memberi kabar. Surti pun merasa kecewa dan dia berjanji untuk membesarkan anak-anaknya sendiri. Sekarang Ali dan Alan berumur enam tahun, mereka kembar untuk itulah Surti harus memperlakukan mereka secara adil sejak dari kecil.

Metahari pun telah terbit di desa yang sejuk indah dan damai itu. Surti dan kedua anaknya bergegas untuk pergi dan mereka sesekali mengucapkan selamat tinggal kepada desanya. Setelah sampai di kota Jakarta Surti dan kedua anaknya terkagum-kagum melihat banyak sekali gedung yang tinggi dan besar-besar. Langsung saja dia dan anak-anaknya menuju alamat yang diberikan oleh kakanya itu, yaitu alamat penjual warung kecil pinggir jalan. Dengan memegang uang hasil penjualan sapi dan beberapa ayamnya, Surti pun membeli warung kecil tersebut, dan warung Surti ditempatkan di daerah Jakarta Barat tepatnya di kecamatan Tambora. 

Surti pun senang karena dapat memiliki warung yang dapat menghidupinya di Jakarta. Walaupun warungnya kecil, Surti tetap memaksimalkan penjualaanya dengan berjualan berbagai macam kebutuhan warga sekitar dan para pengguna jalan, mulai dari jajanan anak-anak, rokok, berbagai minuman, kebutuhan rumah tangga, berbagai jenis mie instan, gorengan dan lain-lain. Setelah warungnya banyak yang membeli, Surti pun langsung menyediakan tempat duduk dan membuat dapur kecil di belakang warungnya, dan mulai saat itulah warung bu Surti melayani 24 jam, nama bu Surti menjadi nama warungnya yang mulai di kenal oleh warga sekitar. Dia tinggal menetap di warungnya tersebut, walaupun sempit dan harus berbagi tempat beristirahat bersama anak-anaknya tetap saja itu merupakan kebahagiaan bersama menurut Surti.

Warungnya pun mulai banyak pelanggan dan menjadi tempat para tukang ojek menunggu penumpang, bu Surti pun senang karena tempat berjualannya sudah banyak yang mengenalnya. Kebahagiaan itu pun datang lagi setelah kedua anak bu Surti, Ali dan Alan masuk SD negeri disalah satu sekolah Jakarta Barat tempat mereka tinggal, karena Ali dan Alan merupakan anak yang pintar dan cepat memahami sesuatu dengan begitu Ali dan Alan mendapatkan pendidikan SD geratis di SD negeri tersebut. Bu Surti tinggal di lingkungan yang kurang baik dan tidak sehat karena wilayah tersebut merupakan permukiman padat penduduk, tetapi pemerintah Jakarta tetap memperhatikan pendidikan anak-anak di wilayah Tambora tersebut.

Dua tahun bu Surti hidup di warung kecilnya bersama kedua anak kembarnya dan pertanyaan yang selalu di ulang-ulang anaknya yaitu “Kemana ayah, bu ? kenapa kita harus menjaga warung terus, bukankah kita lebih baik tinggal bersama ayah.” Itulah pertanyaan Ali yang selalu membuat Surti merasa sedih, tapi dari setiap pertanyaan tentang ayah, Surti hanya diam dan tersenyum saja. Keadaan pun mulai tidak membaik setelah anak nya Alan terkena penyakit kulit yaitu Eksim, kulit Alan menjadi gatal-gatal dan banyak luka, “Mungkin air tidak bersih dan lingkungan yang kotorlah menjadi penyebabnya,” kata seorang pembeli yang melihat kondisi Alan, “Di daerah sini hampir semua anak-anaknya mengalami penyakit kulit seperti itu,” kata salah satu tukang ojek berambut panjang. Dan sebagian lagi menyahutinya “Segeralah bawa ke rumah sakit kalau tidak akan semakin parah.” Bu Surti pun menjadi ketakutan mungkin apa yang di katakan para tukang ojek itu ada benarnya. Surti pun merasa bersalah kepada anak-anaknya karena tidak mampu memberikan yang terbaik untuk mereka.

Seperti malam-malam biasanya di warung bu Surti selalu ada yang menjaga, biasanya para tukang ojek yang bermain catur atau kartu. Mereka pun sudah terbiasa untuk memesan dan melayani sendiri, sedangkan bu Surti beristirahat di dalam warungnya bersama kedua anaknya. Tetapi malam ini belum terlihat para tukang ojek di warungnya, Surti pun mau tidak mau harus menjaga warungnya seorang diri. Walaupun Surti suka menjaga warungnya sendirian, itu pun pada saat hujan dan setelah larut malam warungnya akan ditutup. 

Tetapi kali ini tidak hujan dan Surti harus terus membuka warungnya untuk menambah biaya anaknya Alan ke rumah sakit. Tepat pukul sebelas malam para tukang ojek pun datang dan memesan kopi. Karena air panas yang biasa tersedia di termos untuk membuat kopi habis, bu Surti pun langsung menuju dapur dan menyalakan kompor gas untuk memasak air. Setelah dilihat api sudah menyala dan tinggal menunggu air nya mendidih, bu Surti pun kembali ke luar dan berbincang-bincang dengan para tukang ojek yang baru berdatangan. Tetapi tiba-tiba terlihat kobaran api yang membesar dari luar warung bu Surti dan ternyata api tersebut mengenai pakaian yang tergantung di atasnya. Bu Surti pun panik dan berteriak meminta tolong dan para tukang ojek yang saat itu ada tiga orang segera membantu memadamkan api, tetapi api semakin membesar dan sudah membakar atap lalu menyembar ke seluruh bagian warung. Ali dan Alan dibangunkan oleh salah satu tukang ojek tersebut dan bergegas dibawa ke luar ke tempat yang aman. Warga pun terbangun dan keluar membantu memadamkan api dengan air seadanya. Peristiwa buruk pun menimpah keluarga kecil dan warga Tambora malam itu. 

Warung bu Surti pun terbakar habis dengan cepat, itu semua diduga karena kompor gas yang menyala mengenai pakaian yang ada di atasnya. Api pun semakin membesar membakar semua bagian warung dan menyambar ke bagian belakang dimana terdapat rumah-rumah penduduk, dengan cepatnya api membakar rumah-rumah tersebut. Petugas kebakaran datang satu jam kemudian dengan lima mobil pemadam kebakaran. Namun sudah terlambat menyelamatkan warung bu Surti. Tetapi api kemudian dapan dipadamkan dan beruntungnya Surti dan kedua anaknya tidak terluka dan mereka selamat.



Tidak ada komentar: