MALIN KUNDANG
Diceritakan
kembali oleh Novia Indriyani
Musim
liburan pun tiba, aku beserta keluargaku memutuskan untuk berlibur pertama
kalinya ke daerah Sumatra Utara yaitu Padang. Aku dan keluargaku akan berlibur
di rumah adik tiri ayah. Minggu pagi kami pergi menggunakan pesawat, perjalanan
hanya membutuhkan waktu tiga jam saja. Setibanya di rumah paman aku
beristirahat sejenak, dan sore harinya puku tiga, aku bangun dan bergegas
mandi. Kemudian paman mengajakku untuk keliling kota padang.
Paman
mengajakku ke sebuah daerah terpencil yang ada di Sumatra Utara. Daerah itu di
sebut dengan sebutan desa malin. Aku pun bertanya pada paman tentang sejarah
desa itu, karena aku melihat keanehan di desa itu. Aku melhat di gerbang pintu
masuk itu ada sebuah batu besar berbentuk manusia yang sedang sujud. Nama desa
itu pun aneh. Untuk itu aku bertanya banyak kepada paman tentang sejarah nama
dan batu yang ada di desa itu. Dan paman pun mulai menceritakanya sambil kita
duduk di pelataran rumah yang sudah sangat reyot.
Dulu
di desa terpencil ini tidak terlalu banyak penghuninya, namun ada seorang ibu
yang mempunyai satu anak bernama Malin. Anak itu di kenal oleh ibunya sangat
baik dan patuh, karena hampir setiap suruhan ibunya ia laksanakan, seperti
mengangkat jemuran, belajar, pergi ke pasar dan lain-lain.
Namun
siapa sangka anak yang dikira baik itu ternyata memiliki tingkah laku tidak
baik ketika berada di luar rumah. Suatu malam Malin meminta izin kepada ibu
untuk pergi ke rumah temannya di desa sebelah. Ibu pun mengizikannya, karena
Malin beralasan akan mengerjakan tugas.
Ternyata
malam itu Malinn berbohong pada ibunya. Malam itu ternyata Malin pergi menemui
seorang wanita. Dan peristiwa yang tidak di inginkan pun terjadi. Hari demi
hari Malin lalui seperti biasanya. Ada yang sering dilakukan iu kepada Malin
yaitu bertanya pada Malin ketika Malin sering sekali membawa barang-barang
mewah ke rumah. Namun Malin selalu menjawab bahwa barang-barang itu dibelinya
dengan hasil uang jajan yang ia kumpulkan. Dan ibu pun mempercayainya. Padahal barang-barang
itu adalah hasil curian Malin.
Sebulan
berselang setelah kejadian malam itu. Tiba-tiba warga desa sebelah dengan
beramai-ramai datang ke rumah Malin untuk menuntut Malin atas perbuatan yang
dilakukannya terhadap putri seoarang lurah di desa tersebut. Ibu pun terkejut
mendengar hal itu, dan langsung bertanya kepada Malin, namun Malin tidak mau
mengakuinya. Bahkan untuk meyakini ibunya Malin pun rela bersumpah bahwa ia di
fitnah dan ia tidak bersalah. Malin yang di kenal baik dan sopan oleh ibu,
akhirnya ibu pun membela Malin, dan mengatakan bahwa bukan Malin yang
melakukannya.
Mendengar
perkataan ibu, warga pun menantang ibu untuk melakukan sumpah demi membuktikan
bahwa anaknya Malin tidak bersalah. Akhirnya ibu pun menyetujuinya dan ibu
bersumpah sambil berkata “bila anakku Malin memang bersalah dan melakukan hal
itu, maka aku bersumpah anakku akan menjadi batu saat ini juga”.
Tidak
lama petir menggelegar, hujan pun turun begitu deras dan Malin seketika berubah
menjadi batu. Melihat kejadian itu warga hanya terdiam dan ibu menangis
sesegukan seperti menyesali perkataannya. Namun dibalik tangis ibu terselip rasa
kecewa yang amat mendalam bahwa ternyata anak yang ia kenal baik mempunyai
perilaku yang amat sangat memalukan. Hari demi hari ibu lalui sendri tanpa
seorang teman, ibu jarang sekali makan. Yang dilakukan ibu hanyalah menangisi
batu yang ada di pelataran rumahnya. Sampai pada akhirnya ibu pun sakit dan
tidak ada yang mengetahuinya. Tiba-tiba warga tahu bahwa ibu sudah meninggal di
dalam rumahnya yang reyot itu. Akhirnya warga setempat memutuskan untuk
memindahkan batu itu ke depan pintu masuk desa, dan desa itu di beri nama desa
Malin.
3 komentar:
Wihh malin kundang versi pencuri. Bisa jadi pelajaran tuh nov
Hmmm yang ini cukup berbeda, ada dua alur di dalamnya. Tapi penggarapan konflik dan klimaks harus dipertegas lagi. Modifikasi sudah cukup baik kok. Semangat ya!
semangkaa!!
Posting Komentar