2013/06/15

DONGENG DENGAN GAYA KILAS BALIK


SANGKURIANG
cerita asli dapat dilihat di
http://ceritarakyatnusantara.com/id/folklore/157-Sangkuriang
Diceritakan kembali oleh:
Mala Nopita Sari

Sore ini pancaran sinar matahari sudah tidak menyengat lagi, Sangkuriang yang sedang duduk di dalam Gua untuk bersembunyi berusaha untuk mengatur tarikan nafasnya yang tersenggal-senggal. Sejak siang tadi Sangkuriang tidak henti-hentinya berlari kesana-kemari, dia berusaha menghindar dari kejaran para pedagang pasar yang sangat tidak suka dengan tingkah lakunya. Memang sudah seminggu ini Sangkuriang selalu berbuat ulah di pasar Gumbreng. Sangkuriang selalu datang ke pasar itu dengan berteriak-teriak dan juga selalu menghancurkan barang dagangan para pedagang pasar, bukan hanya menghancurkan barang dagangan Sangkuriang juga sering menakut-nakuti para pembeli sehingga para pembeli itu tidak jadi berbelanja karena takut berada di dekat sangkuriang. Para pedagang sudah sangat kesal dengan kelakuan Sangkuriang sehingga mereka memutuskan untuk mengusir sangkuriang dari tempat ini.
Sebelum peristiwa itu terjadi, Sangkuriang merupakan sosok yang sangat dihormati di tempat itu, terutama di wilayah Pasar Gumbreng. Disaat Sangkuriang melewati Pasar Gumbreng, para pedagang pasar langsung memberi Sangkuriang hormat dengan menundukan kepala dan berlutut di hadapan Sangkuriang. Hari-hari Sangkuriang selalu dipenuhi dengan kesombongan dan juga keangkuhannya. Sombong karena memiliki wajah yang tampan, angkuh karena memiliki kesaktian yang tiada tandingnya. Kini Sangkuriang sudah tidak lagi memiliki kesaktian dan juga ketampanan dikarenakan setelah peristiwa itu terjadi Sangkuriang mengalami depresi yang sangat luar biasa, sehingga dia sering sekali melamun, menangis dan bahkan ia sering tertawa sendiri tanpa sebab.
Di dalam Gua tempat Sangkuriang bersembunyi. Sangkuriang merasa sangat ketakutan dan dia merapatkan tubuhnya di pojok dalam Gua itu, tetapi tiba-tiba Sangkuriang menangis dan memanggil-manggil nama Dayang Sumbi, tetapi tidak lama kemudian Sangkuriang tertawa dengan lepasnya, dalam tawanya ia berkata : “Aku akan menikah denganmu, aku akan menjadi suamimu, aku sangat mencintaimu Dayang Sumbi. Haaahahhaaaaa”. Sangkuriang benar-benar merasakan kegembiraan sehingga ia bangun dari tempat ia duduk dan keluar dari dalam Gua, lalu ia berlari dengan sangat kencang sambil sesekali berputar-putar dan melambaikan tangan ke atas sambil melompat.
Sekarang ini Sangkuriang sedang menatap sebuah perahu. Perahu yang membuat ia menanggis karena ingat akan peristiwa itu, peristiwa yang telah membuatnya menjadi seperti sekarang ini, yang telah membuatnya depresi.
Ia merupakan anak dari seorang perempuan yang sangat cantik jelita yang bernama Dayang Sumbi dan juga bapaknya seekor anjing yang bernama Tumang. Suatu hari Sangkuriang berburu bersama Tumang anjingnya, Sangkuriang tidak mengetahui bahwa Tumang adalah ayahnya. Suatu ketika, ditemani Tumang, Sangkuriang memburu seekor burung di hutan. Dengan sangat hati-hati dan jeli, Sangkuriang membidiknya. Sangkuriang kemudian memerintahkan Tumang untuk mengambil burung tersebut. Tapi, Tumang menolaknya. Sangkuriang menjadi kesal atas ulah Tumang. Maka, ditendangnya anjing itu keras-keras. Diperlakukan seperti itu oleh tuannya, Tumang pergi jauh ke dalam hutan dan tak pernah kembali lagi.
Di rumah, dia menceritakan kejadian tersebut kepada ibunya. Namun, bukannya iba dengan apa yang dialami putra semata wayangnya, Dayang Sumbi malah murka. Kemudian, saking marahnya, Dayang Sumbi melempar centong nasi. Sangkuriang yang sedang marah pun pergi dari rumah untuk selama-lamanya. Ketika amarahnya mereda, Dayang Sumbi menyesal atas apa yang telah dikatakannya pada Sangkuriang. Tapi, semua sudah terlanjur. Bertahun-tahun kemudian, Sangkuriang bertemu dengan Dayang Sumbi dan Sangkuriang memutuskan untuk menikahi Dayang Sumbi, tetapi Dayang Sumbi tahu bahwa Sangkuriang adalah anaknya melalui luka di kepala Sangkuriang.
Dayang Sumbi meminta Sangkuriang untuk membendung sungai Citarum dan membuatkan perahu untuk menyeberanginya. Kedua syarat ini harus jadi sebelum fajar menyingsing. Sangkuriang menyanggupi hal itu. Kemudian, Sangkuriang segera bekerja dibantu oleh teman-temannya dari bangsa lelembut dan jin. Sangkuriang dan teman-temannya bekerja sangat cepat. Dua syarat dari Dayang Sumbi hampir jadi tidak lama lagi.
Dayang Sumbi yang melihatnya menjadi cemas. Namun, dia tidak kehilangan akal. Dia meminta bantuan masyarakat sekitar agar menggelar kain sutera berwarna merah di sebelah timur dan membangunkan ayam-ayam jago supaya berkokok. Supaya suasana malam berubah menjadi suasana fajar. Ketika ayam-ayam jago mulai berkokok, Sangkuriang melihat ke sebelah timur. Awan-awan mulai terlihat kemerah-merahan, tanda fajar telah menyingsing. Sangkuriang pun menghentikan pekerjaannya karena merasa telah gagal memenuhi syarat Dayang Sumbi. Sangkuriang yang kesal kemudian merusak bendungan yang telah dibuatnya sendiri. Desa pun tenggelam karena air bendungan. Lalu, Sangkuriang pun menendang perahu buatannya sendiri hingga perahu itu terbalik.
Setiap Sangkuriang menginggat hal itu dia selalu menangis dengan menyebut-nyebut nama Dayang Sumbi bukan sekedar menangis tetapi Sangkuriang pun selalu menunjukkan kemarahannya dengan memukul-mukuli dirinya sendiri. Masyarakat sekarang ini sudah mengetahui bahwa Sangkuriang sudah gila, pakainnya sudah compang-camping. Ketampannanya yang dulu sangat di puja oleh gadis-gadis desa kini hanya mendapatkan cemoohan dan juga hinaan. Setelah kejadian itu Dayang Sumbi memutuskan untuk bunuh diri dengan menyeburkan dirinya ke dalam sungai Citarum.

1 komentar:

Ruang Kata-kata mengatakan...

Bagus, kilas baliknya terlihat penggarapan konflik juga pas :-)