NENEK PENJUAL LEUMEUNG
Perempuan itu membuka kain penutup
dagangannya yang beralaskan bakul anyaman bambu. Angin malam menyisir rambutnya
yang memerak dibakar usia yang keluar dari sela-sela kerudungnya hitam bercorak
kembang-kembangnya. Debu pinggir jalan menerpa kerut-merut wajah yang dipahat
waktu.
Hilir-mudik orang berjalan di
hadapannya sekedar menonton layar tancep atau
menyempatkan membeli leumeung
dagangannya. “neng, akang, barade
leumeungna?” sahutnya sambil melihat wajah tiap orang yang berjalan. Angin
malam itu memang kurang baik bagi dirinya yang sering batuk-batuk. Tapi tetap
ia lanjutkan seperti biasanya. Ia percaya, sehelai kain yang melilit di
lehernya mampu melindunginya dari terpaan angin malam.
Nene ini berjualan dari hajatan ke hajatan, beruntung kali ini tatanggapan hajatnya layar tancep yang pasti marak dijumpai
warga dari berbagai kampung. Terlebih keramaian itu berada tak jauh dari tempat
tinggalnya yaitu di Desa Cibitung, Kecamatan Tenjolaya, Kabupaten Bogor.
Hiburan itu belum dimulai karena
sedang menunggu upacara hataman selesai.
Suara pengantin yang sedang mengaji terdengar dari pengeras suara, terlihat
bibirnya yang mengkerut itu perlahan mengikuti alunannya. Seketika dua orang ibu
membeli dagangnya, “mak abdi meser tilu
bungkus, ari sambelna dipisah wae” pinta kedua ibu itu. Dipersiapkannya apa
yang dipesan ibu itu “hatur nuhun nya
neng”. Kedua ibu itu menyebrang jalan selesai membeli leumeung, tiba-tiba terdengar suara klakson yang sangat keras dari
sebelah kanannya. Sebuah angkutan berwarna biru jurusan Tenjolaya-Kota Bogor
melaju kencang. Kedua ibu itu terlihat terkaget dan menepi.
Sesekali pedagang minuman dingin menawarkan
minuman kepada si nenek karena merasa kasiahan melihat tubuhnya yang rentan
masih saja berjualan. Bulan sabit itu masih bertengger di langit. Ia diam tak
bergerak, seperti diam tak bergerak, seperti terjebak dalam posisinya yang
sedang duduk saat itu. Si penjual bako yang berada di samping kirinya kawatir
dan bertanya “aya naon mak? Emak damang?”
si nenek tetap diam, suhu tubuhnya panas sekali dan perlahan ia menutup kedua
matanya dan terjatuh di rangkulan si penjual bakso.
Semua mata keramaian itu tertuju
kepadanya. Segera si nenek diantarkan ke rumahnya. Suatu kebiasaan yang mebuat
anaknya kelihatan tersentak, si nenek sering kali tidak pernah mengeluh tentang
apa yang ia rasakan dengan keadaan tubuhnya.
Ternyata kaki nenek terluka akibat
berjalan cukup jauh. Nenek dibaringkan ke tempat tidur, segeralah anak semata
wayangnya mengambilkan daun calincing
untuk membalut lukanya. Keramaian itu kehilangan pemandangan seorang nenek
penjual leumeung di jajaran pedagang
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar