2013/06/24

CERPEN DENGAN WARNA LOKAL



NENEK PENJUAL LEUMEUNG
            Perempuan itu membuka kain penutup dagangannya yang beralaskan bakul anyaman bambu. Angin malam menyisir rambutnya yang memerak dibakar usia yang keluar dari sela-sela kerudungnya hitam bercorak kembang-kembangnya. Debu pinggir jalan menerpa kerut-merut wajah yang dipahat waktu.
            Hilir-mudik orang berjalan di hadapannya sekedar menonton layar tancep atau menyempatkan membeli leumeung dagangannya. “neng, akang, barade leumeungna?” sahutnya sambil melihat wajah tiap orang yang berjalan. Angin malam itu memang kurang baik bagi dirinya yang sering batuk-batuk. Tapi tetap ia lanjutkan seperti biasanya. Ia percaya, sehelai kain yang melilit di lehernya mampu melindunginya dari terpaan angin malam.
            Nene ini berjualan dari hajatan ke hajatan, beruntung kali ini tatanggapan hajatnya layar tancep yang pasti marak dijumpai warga dari berbagai kampung. Terlebih keramaian itu berada tak jauh dari tempat tinggalnya yaitu di Desa Cibitung, Kecamatan Tenjolaya, Kabupaten Bogor.
            Hiburan itu belum dimulai karena sedang menunggu upacara hataman selesai. Suara pengantin yang sedang mengaji terdengar dari pengeras suara, terlihat bibirnya yang mengkerut itu perlahan mengikuti alunannya. Seketika dua orang ibu membeli dagangnya, “mak abdi meser tilu bungkus, ari sambelna dipisah wae” pinta kedua ibu itu. Dipersiapkannya apa yang dipesan ibu itu “hatur nuhun nya neng”. Kedua ibu itu menyebrang jalan selesai membeli leumeung, tiba-tiba terdengar suara klakson yang sangat keras dari sebelah kanannya. Sebuah angkutan berwarna biru jurusan Tenjolaya-Kota Bogor melaju kencang. Kedua ibu itu terlihat terkaget dan menepi.
            Sesekali pedagang minuman dingin menawarkan minuman kepada si nenek karena merasa kasiahan melihat tubuhnya yang rentan masih saja berjualan. Bulan sabit itu masih bertengger di langit. Ia diam tak bergerak, seperti diam tak bergerak, seperti terjebak dalam posisinya yang sedang duduk saat itu. Si penjual bako yang berada di samping kirinya kawatir dan bertanya “aya naon mak? Emak damang?” si nenek tetap diam, suhu tubuhnya panas sekali dan perlahan ia menutup kedua matanya dan terjatuh di rangkulan si penjual bakso.
            Semua mata keramaian itu tertuju kepadanya. Segera si nenek diantarkan ke rumahnya. Suatu kebiasaan yang mebuat anaknya kelihatan tersentak, si nenek sering kali tidak pernah mengeluh tentang apa yang ia rasakan dengan keadaan tubuhnya.
            Ternyata kaki nenek terluka akibat berjalan cukup jauh. Nenek dibaringkan ke tempat tidur, segeralah anak semata wayangnya mengambilkan daun calincing untuk membalut lukanya. Keramaian itu kehilangan pemandangan seorang nenek penjual leumeung di jajaran pedagang .

Tidak ada komentar: