Rujak Bahagia
(oleh Marya Ulfa)
Malam di bulan tua itu semakin larut hingga menebarkan
hawa dingin dari angin selatan yang berhembus lembut. Bias kabut begitu rata
menyapu langit hingga berwarna keabu-abuan. Rembulan pun bagaikan putri ayu
yang bercadar, wajah cantiknya sedikit disembunyikan agar membuat penasaran
bagi siapa saja yang melihatnya. Meskipun begitu, melalui cahaya bintang yang
bertaburan, dilangit hitam, bumi cirebon masih menampakkan kesuburannya.
Malam itu ibu-ibu sibuk membersihkan dan memotong-motong
sayuran didapur, sedangkan bapak-bapaknya menyiapkan tenda dan kobongan
(semacam bilik kecil) untuk acara tujuh bulanan esok. Riuh tawa dan canda
ibu-ibu membuat suasana terasa hangat, hingga tak terasa waktu sudah berada di
penghujung malam. Sayuran dan buah-buahan selesai dibersihkan, kobongan pun
selesai didirikan. Perlahan-lahan ibu-ibu pergi menuju tempat pembaringan, dan
bapak-bapak berjaga sambil ditemani secangkir kopi dan jagung rebus.
Pagi itu, udara bumi cirebon begitu sejuk dengan panorama
langit yang membiru cerah burung-burung jantan diatas dahan pepohonan bernyanyi
bersahutan, ayam-ayam jantan peliharaan penduduk pun berkokok saling
bersusulan. Adzan subuh berkumandang terdengar dimenara masjid dengan
syahdunya. Hari baru mulai dibentangkan dalam kelapangan tanah subur itu hingga
keujung cakrawala sejauh mata memandang. Sepagi ini para ibu-ibu sudah
disibukkan didapur untuk memasak dan menyiapkan keperluan tujuh bulanan.
Tepat pukul 08.00 WIB aku melangkahkan kaki menuju
kediaman sahabatku, Tia namanya. Ya.......... hari ini di kediaman Tia akan
diadakan acara tujuh bulanan. Sahabatku itu memang nikah muda, tak heran jika
diusia ke dua puluh dia sedang hamil anak pertamanya. Setibanya dirumah Tia,
susasana sudah cukup ramai dan dipenuhi sanak famili yang ingin menyaksikan
acara tersebut. Didaerah sunda khususnya dikota cirebon acara tujuh bulanan
diwajibkan untuk kehamilan anak pertama. Sesampainya dirumah Tia aku langsung
mencari Tia lalu kami berbasa-basi melepas kangen, tak canggung lagi aku segera
menuju dapur dan disambut sapaan beberapa ibu-ibu yang sedang meracik bumbu
rujak. Memang tak lengkap rasanya jika acaratujuh bulanan tanpa adanya rujak
buah-buahan. Biasanya rujak itu minimal harus ada tujuh macam buah, diantaranya
: buah delima, mangga kawista, alpukat, jeruk, apel, anggur, dan pepaya. Jika
keluarga ibu hamil berkecukupan, biasanya rujak itu akan semakin bervariasi
saja isinya. Setelah puas didapur, aku langsung kehalaman depan, penasaran
dengan kobongan itu.
Dengan rasa penasaran aku mendekati kobongan tersebut
dan masuk kedalamannya. Ternyata
kobongan itu terbuat dari empat tiang bambu yang ditutupi kain panjang yang
masih baru, dihiasi kertas-kertas warna dan diatasnya ada buah nanas yang dipasang
bendera merah putih dan beberapa bendera dari uang sepuluh ribu atau lima
ribuan. Sedangkan didalamnya hanya terdapat satu buah tempat duduk dari
pelastik dan satu buah drum besar dari plastik untuk menampung air yang
digunakan untuk memandikan ibu hamil nanti.
“va..... sini masuk,
ngapain di luar aja” panggil Tia tiba-tiba.
“oh.... ia, tunggu
sebentar” jawabku kaget.
Tanpa disuruh dua kali aku langsung masuk menuju ruang
tamu, ternyata disana sudah tersedia beberapa toples kue dan buah-buahan untuk
menjamu para tamu yang hadir, tak terasa aku sudah terlibat obrolan lagi.
“neng Eva, kapan atuh
nyusul? Tia wae tos bade gaduh putra yeuh” suara lembut ibu Tia bertanya
“heheheh...duka atuh da
kuliah abdina ge teu acan rampung, masih alit bu” jawabku seadanya.
“masih alit naon na va,
alesan wae eta mah ?” sanggah Tia.
Aku pun bingung mencari
alasan jika ditanya kapan nikahnya, karena semua alasanku bisa dengan mudah
disanggah Tia. Tia semakin senang melihatku mati kutu tak berkutik. Aku pun
hanya bisa diam senyam-senyum nggak jelas.
Rasanya sang waktu berputar begitu cepat, tak terasa
sekarang sudah jam sebelas. Tia pun harus bersiap untuk acara tujuh pemandian
nanti. Ada beberapa ibu-ibu hilir-mudik bak setrikaan menuju halaman depan.
Sedangkan di ruang tengah terlihat ibu-ibu lainnya sedang membungkusi “besek”
untuk selametan nanti, sementara sebagian ibu-ibu lainnya sibuk menyiapkan
acara pemandian. Ada yang menaruh minyak kelapa di mangkok kecil, ada yang
menaruh bunga setaman di atas drum yang sudah di penuhi air, ada juga yang
menyiapkan bedak cair di dalam “baskom”.
Hal itu tentu saja membuatku semakin tertarik,
sebuah adat tradisi budaya sunda yang sudah mengakar tak bisa lepas meski zaman
sudah modern. Ku lihat Tia sudah berada di dalam kamar, mengenakan “kemben”
berwarna coklat tua dan rompi yang terbuat dari rajutan melati serta bando yang
dihiasi bunga mawar dan kantil. Kain gelap yang dikenakan Tia begitu kontras
dengan warna kulitnya yang bagaikan gading gajah. Rambutnya pun dibiarkan
terurai rapih, keningnya tampak membulat karena tak lagi tertutup oleh rambut
depannya. Polesan lipstik tipis semakin memerahkan bibirnya yang sudah merah,
matanya memancarkan sinar kebahagiaan. Meskipunsaat itu Tia terus menundukan
kepalanya bertumpu pada lehernya yang jenjang. Aroma wangi melati di sekujur
tubuhnya membuat takjub dan decak kagum bagi siapa saja yang melihatnya
Kini kecantikan Dewi Ayu Lastia Paramita begitu terpancar
dengan tampilan yang semakin menawan hati. Kedewasaannya begitu tampak dengan riasaan yang begitu anggun. Perlahan-lahan
terdengar suara lantunan ayat suci Al Quran di ruang tengah, khususnya surat
maryam. Surat yusuf, surat al luqman, dan juz 30. Konon agar anaknya kelak bisa
secantik Siti Maryam dan setampan Nabi Yusuf. Kepercayaan itulah yang sampai
sekarang masih diyakini masyarakat.
Usai pengajian, aku langsung menuju dapur dan langsung
menyantap rujak buah tadi. Rupanya rujak buah ini sangat manis dan enak, konon
mitosnya jabang bayi yang akan keluar nanti adalah perempuas. Kulihat Tia
digiring menuju kobong, dan beberapa ibu-ibu membawa uang recehan dan permen
untuk saweran nanti. Karena banyaknya tamu yang datang, membuatku tak bisa dengan
jelas melihat Tia dari kejauhan, aku pun berusaha mendekati kobongan itu. Ku
lihat suami Tia dan “ibu Raji” berada di dalam kobongan bersama Tia. Tak lama
kemudian, “ibu Raji” sudah berkomat-kamit tak jelas. Sedangkan Tia duduk di
atas kursi dan dipangkuannya ada sebutir biji kelapa sawit yang ada tulisan
arabnya, di depannya Suami Tia duduk dengan pasrahnya. Ternyata baru kali ini
aku menyaksikan dengan jelas proses adat tujuh bulanan di desaku.
Perlahan-lahan “ibu Raji” menyiramkan air ke rambut Tia, begitu air mengenai
rambutnya Tia langsung berdiri dan
kelapa sawit yang jatuh langsung diambil suaminya. Proses itu terus berulang dan
berlangsung sebanyak tujuh kali.
Karuan saja Suami Tia ikut basah kuyup terkena air
siraman dari “ibu raji”. Setelah menyiram air sebanyak tujuh kali, beberapa
ibu-ibu berebutan masuk ke kobong dan mermaksud ikut memandikan ibu hamil
tersebut. Setelah para ibu-ibu menyiram
air ke tubuh Tia, ibu-ibu yang hendak keluar kobong itu langsung di “colekin”
bedak cair yang dibawa salah seorang ibu yang berjaga di pintu kobongan.
Acara pun semakin meriah saja tatkala ada ibu-ibu yang
berontak tak mau dikasih bedak cair ke wajahnya, kemudian dengan isengnya suami
Tia menyemprotkan selang ke barisan penonton yang tak ikut memandikan. Kontan saja
aku pun basah kuyup karena tak sempat menghindar. Gelak tawa semakin terdengar
kala Tia selesai di mandikan dan hendak dibawa masuk ke dalam rumah. Beberapa ibu-ibu
langsung menggoyang-goyangkan kobongan itu, berusaha menjatuhkan bendera dan
buah nanas di atas kobongan, lalu saling berebutan mendapatkan bendera uang
lima ribuan dan uang sepuluh ribuan. Ketika Tia hendak masuk rumah, Ibu tia
langsung melemparkan beberapa uang recehan dan permen sebagai bentuk saweran
atau syukuran.
Siang itu begitu penuh kebahagiaan. Rupanya bahagia itu
tak hanya dirasakan oleh keluarga Ibu hamil saja, tapi juga oleh semua orang
yang ikut serta memeriahkan acara tujuh bulanan tersebut. Sesampainya di kamar,
ada beberapa peraturan yang harus dilakukan oleh ibu hamil, diantaranya : ibu
hamil harus mengganti “kemben” dengan kain panjang yang masih baru sebanyak
tujuh kali, lalu ibu hamil itu langsung di pijat-pijat perutnya sama “ibu raji”
sambil diperiksa kandungannya. Setengah minyak kelapa yang sudah di ngajikan,
langsung dioleskan ke perut ibu hamil
dan sisanya disimpen untuk dioleskan kembali setelah proses kelahiran si jabang
bayi. Waktu hampir mendekati senja, matahari pun bersiap kembali ke peraduannya,
langit sudah dipenuhi layung-layung keemasan. Beberapa ibu-ibu sudah pulang ke
rumah masing-masing dan ibu-ibu lainnya yang masih disana, bersiap membersihkan
pelataran dan sampah-sampah selesai acara tadi. Aku pun bersiap kembali ke
rumah setelah berpamitan kepada Tia dan keluarganya. Rupanya baru ku pahami
makna dibalik acara tujuh bulanan ini, bahwa perjuangan untuk menjadi seorang
ibu tak semudah membalikan telapak tangan, mungkin karena perjuangan inilah derajat
seorang ibu lebih tinggi dari seorang ayah.
2 komentar:
Bagus, warna lokal dan alurnya cukup baik. Akan lebih baik jk diberikan konflik & klimaks.
Perbaiki penulisan di- banyak sekali yg salah. Lalu belajar membuat judul yg lbh menarik.
eva@ ok bu...
terima kasih
sebenarnya sdh ada konflik tp tdk terlalu menonjol
Posting Komentar