2013/06/23

Cerpen dengan Warna Lokal

Rujak Bahagia
 (oleh Marya Ulfa)


            Malam di bulan tua itu semakin larut hingga menebarkan hawa dingin dari angin selatan yang berhembus lembut. Bias kabut begitu rata menyapu langit hingga berwarna keabu-abuan. Rembulan pun bagaikan putri ayu yang bercadar, wajah cantiknya sedikit disembunyikan agar membuat penasaran bagi siapa saja yang melihatnya. Meskipun begitu, melalui cahaya bintang yang bertaburan, dilangit hitam, bumi cirebon masih menampakkan kesuburannya.
            Malam itu ibu-ibu sibuk membersihkan dan memotong-motong sayuran didapur, sedangkan bapak-bapaknya menyiapkan tenda dan kobongan (semacam bilik kecil) untuk acara tujuh bulanan esok. Riuh tawa dan canda ibu-ibu membuat suasana terasa hangat, hingga tak terasa waktu sudah berada di penghujung malam. Sayuran dan buah-buahan selesai dibersihkan, kobongan pun selesai didirikan. Perlahan-lahan ibu-ibu pergi menuju tempat pembaringan, dan bapak-bapak berjaga sambil ditemani secangkir kopi dan jagung rebus.
            Pagi itu, udara bumi cirebon begitu sejuk dengan panorama langit yang membiru cerah burung-burung jantan diatas dahan pepohonan bernyanyi bersahutan, ayam-ayam jantan peliharaan penduduk pun berkokok saling bersusulan. Adzan subuh berkumandang terdengar dimenara masjid dengan syahdunya. Hari baru mulai dibentangkan dalam kelapangan tanah subur itu hingga keujung cakrawala sejauh mata memandang. Sepagi ini para ibu-ibu sudah disibukkan didapur untuk memasak dan menyiapkan keperluan tujuh bulanan.
            Tepat pukul 08.00 WIB aku melangkahkan kaki menuju kediaman sahabatku, Tia namanya. Ya.......... hari ini di kediaman Tia akan diadakan acara tujuh bulanan. Sahabatku itu memang nikah muda, tak heran jika diusia ke dua puluh dia sedang hamil anak pertamanya. Setibanya dirumah Tia, susasana sudah cukup ramai dan dipenuhi sanak famili yang ingin menyaksikan acara tersebut. Didaerah sunda khususnya dikota cirebon acara tujuh bulanan diwajibkan untuk kehamilan anak pertama. Sesampainya dirumah Tia aku langsung mencari Tia lalu kami berbasa-basi melepas kangen, tak canggung lagi aku segera menuju dapur dan disambut sapaan beberapa ibu-ibu yang sedang meracik bumbu rujak. Memang tak lengkap rasanya jika acaratujuh bulanan tanpa adanya rujak buah-buahan. Biasanya rujak itu minimal harus ada tujuh macam buah, diantaranya : buah delima, mangga kawista, alpukat, jeruk, apel, anggur, dan pepaya. Jika keluarga ibu hamil berkecukupan, biasanya rujak itu akan semakin bervariasi saja isinya. Setelah puas didapur, aku langsung kehalaman depan, penasaran dengan kobongan itu.
            Dengan rasa penasaran aku mendekati kobongan tersebut dan  masuk kedalamannya. Ternyata kobongan itu terbuat dari empat tiang bambu yang ditutupi kain panjang yang masih baru, dihiasi kertas-kertas warna dan diatasnya ada buah nanas yang dipasang bendera merah putih dan beberapa bendera dari uang sepuluh ribu atau lima ribuan. Sedangkan didalamnya hanya terdapat satu buah tempat duduk dari pelastik dan satu buah drum besar dari plastik untuk menampung air yang digunakan untuk memandikan ibu hamil nanti.
“va..... sini masuk, ngapain di luar aja” panggil Tia tiba-tiba.
“oh.... ia, tunggu sebentar” jawabku kaget.
            Tanpa disuruh dua kali aku langsung masuk menuju ruang tamu, ternyata disana sudah tersedia beberapa toples kue dan buah-buahan untuk menjamu para tamu yang hadir, tak terasa aku sudah terlibat obrolan lagi.
“neng Eva, kapan atuh nyusul? Tia wae tos bade gaduh putra yeuh” suara lembut ibu Tia bertanya
“heheheh...duka atuh da kuliah abdina ge teu acan rampung, masih alit bu” jawabku seadanya.
“masih alit naon na va, alesan wae eta mah ?” sanggah Tia.
Aku pun bingung mencari alasan jika ditanya kapan nikahnya, karena semua alasanku bisa dengan mudah disanggah Tia. Tia semakin senang melihatku mati kutu tak berkutik. Aku pun hanya bisa diam senyam-senyum nggak jelas.
            Rasanya sang waktu berputar begitu cepat, tak terasa sekarang sudah jam sebelas. Tia pun harus bersiap untuk acara tujuh pemandian nanti. Ada beberapa ibu-ibu hilir-mudik bak setrikaan menuju halaman depan. Sedangkan di ruang tengah terlihat ibu-ibu lainnya sedang membungkusi “besek” untuk selametan nanti, sementara sebagian ibu-ibu lainnya sibuk menyiapkan acara pemandian. Ada yang menaruh minyak kelapa di mangkok kecil, ada yang menaruh bunga setaman di atas drum yang sudah di penuhi air, ada juga yang menyiapkan bedak cair di dalam “baskom”.
                Hal  itu tentu saja membuatku semakin tertarik, sebuah adat tradisi budaya sunda yang sudah mengakar tak bisa lepas meski zaman sudah modern. Ku lihat Tia sudah berada di dalam kamar, mengenakan “kemben” berwarna coklat tua dan rompi yang terbuat dari rajutan melati serta bando yang dihiasi bunga mawar dan kantil. Kain gelap yang dikenakan Tia begitu kontras dengan warna kulitnya yang bagaikan gading gajah. Rambutnya pun dibiarkan terurai rapih, keningnya tampak membulat karena tak lagi tertutup oleh rambut depannya. Polesan lipstik tipis semakin memerahkan bibirnya yang sudah merah, matanya memancarkan sinar kebahagiaan. Meskipunsaat itu Tia terus menundukan kepalanya bertumpu pada lehernya yang jenjang. Aroma wangi melati di sekujur tubuhnya membuat takjub dan decak kagum bagi siapa saja yang melihatnya
            Kini kecantikan Dewi Ayu Lastia Paramita begitu terpancar dengan tampilan yang semakin menawan hati. Kedewasaannya begitu tampak dengan  riasaan yang begitu anggun. Perlahan-lahan terdengar suara lantunan ayat suci Al Quran di ruang tengah, khususnya surat maryam. Surat yusuf, surat al luqman, dan juz 30. Konon agar anaknya kelak bisa secantik Siti Maryam dan setampan Nabi Yusuf. Kepercayaan itulah yang sampai sekarang masih diyakini masyarakat.
            Usai pengajian, aku langsung menuju dapur dan langsung menyantap rujak buah tadi. Rupanya rujak buah ini sangat manis dan enak, konon mitosnya jabang bayi yang akan keluar nanti adalah perempuas. Kulihat Tia digiring menuju kobong, dan beberapa ibu-ibu membawa uang recehan dan permen untuk saweran nanti. Karena banyaknya tamu yang datang, membuatku tak bisa dengan jelas melihat Tia dari kejauhan, aku pun berusaha mendekati kobongan itu. Ku lihat suami Tia dan “ibu Raji” berada di dalam kobongan bersama Tia. Tak lama kemudian, “ibu Raji” sudah berkomat-kamit tak jelas. Sedangkan Tia duduk di atas kursi dan dipangkuannya ada sebutir biji kelapa sawit yang ada tulisan arabnya, di depannya Suami Tia duduk dengan pasrahnya. Ternyata baru kali ini aku menyaksikan dengan jelas proses adat tujuh bulanan di desaku. Perlahan-lahan “ibu Raji” menyiramkan air ke rambut Tia, begitu air mengenai rambutnya  Tia langsung berdiri dan kelapa sawit yang jatuh langsung diambil suaminya. Proses itu terus berulang dan berlangsung sebanyak tujuh kali.
            Karuan saja Suami Tia ikut basah kuyup terkena air siraman dari “ibu raji”. Setelah menyiram air sebanyak tujuh kali, beberapa ibu-ibu berebutan masuk ke kobong dan mermaksud ikut memandikan ibu hamil tersebut. Setelah para ibu-ibu menyiram  air ke tubuh Tia, ibu-ibu yang hendak keluar kobong itu langsung di “colekin” bedak cair yang dibawa salah seorang ibu yang berjaga di pintu kobongan.
            Acara pun semakin meriah saja tatkala ada ibu-ibu yang berontak tak mau dikasih bedak cair ke wajahnya, kemudian dengan isengnya suami Tia menyemprotkan selang ke barisan penonton yang tak ikut memandikan. Kontan saja aku pun basah kuyup karena tak sempat menghindar. Gelak tawa semakin terdengar kala Tia selesai di mandikan dan hendak dibawa masuk ke dalam rumah. Beberapa ibu-ibu langsung menggoyang-goyangkan kobongan itu, berusaha menjatuhkan bendera dan buah nanas di atas kobongan, lalu saling berebutan mendapatkan bendera uang lima ribuan dan uang sepuluh ribuan. Ketika Tia hendak masuk rumah, Ibu tia langsung melemparkan beberapa uang recehan dan permen sebagai bentuk saweran atau syukuran.
            Siang itu begitu penuh kebahagiaan. Rupanya bahagia itu tak hanya dirasakan oleh keluarga Ibu hamil saja, tapi juga oleh semua orang yang ikut serta memeriahkan acara tujuh bulanan tersebut. Sesampainya di kamar, ada beberapa peraturan yang harus dilakukan oleh ibu hamil, diantaranya : ibu hamil harus mengganti “kemben” dengan kain panjang yang masih baru sebanyak tujuh kali, lalu ibu hamil itu langsung di pijat-pijat perutnya sama “ibu raji” sambil diperiksa kandungannya. Setengah minyak kelapa yang sudah di ngajikan, langsung dioleskan  ke perut ibu hamil dan sisanya disimpen untuk dioleskan kembali setelah proses kelahiran si jabang bayi. Waktu hampir mendekati senja, matahari pun bersiap kembali ke peraduannya, langit sudah dipenuhi layung-layung keemasan. Beberapa ibu-ibu sudah pulang ke rumah masing-masing dan ibu-ibu lainnya yang masih disana, bersiap membersihkan pelataran dan sampah-sampah selesai acara tadi. Aku pun bersiap kembali ke rumah setelah berpamitan kepada Tia dan keluarganya. Rupanya baru ku pahami makna dibalik acara tujuh bulanan ini, bahwa perjuangan untuk menjadi seorang ibu tak semudah membalikan telapak tangan, mungkin karena perjuangan inilah derajat seorang ibu lebih tinggi dari seorang ayah.  
 

2 komentar:

Ruang Kata-kata mengatakan...

Bagus, warna lokal dan alurnya cukup baik. Akan lebih baik jk diberikan konflik & klimaks.

Perbaiki penulisan di- banyak sekali yg salah. Lalu belajar membuat judul yg lbh menarik.

wadahpenasatra mengatakan...

eva@ ok bu...
terima kasih
sebenarnya sdh ada konflik tp tdk terlalu menonjol