2013/06/22

CERPEN dengan WARNA LOKAL



Si Kurus dan Si Gendut
Ari Purwoko

Orang-orang desa suka mencari rumput teki untuk makan ternak di padang rumput sebelah sana, di pinggir perkampungan.  Padang rumput yang luas, luas sekali.  Mereka tidak berani ambil rumput jauh-jauh ke tengah padang rumput, karena rumput yang ada di pinggiran saja sebenarnya sudah cukup banyak untuk dimakan oleh ternak-ternak mereka seperti sapi, kambing, domba dan lain-lain. Padahal jika mereka mau masuk lebih dalam ke hutan rumput yang melebihi tinggi orang dewasa itu, mereka bakal menemukan sebuah tempat nyaman yang tersembunyi, cocok untuk duduk dan merenung. Tempat itu tak punya nama, dan ada tiga buah pohon besar yang tumbuh di sana.
Tiga pohon besar  itu sudah lama ada di sana, umurnya sudah  tua sekali. Masing-masing dari jenis yang berbeda, salah satunya melebarkan akar ke sekitar sehingga tidak ada rumput yang tumbuh di sekitar pohon-pohon itu. Sayangnya, pohon itu terlalu jauh dari pinggir perkampungan, sehingga tidak ada orang satupun yang memperhatikannya. Terlihat memang,  tapi tidak ada yang memperhatikannya. Sama seperti tak ada yang memperhatikan awan putih di langit, karena terlalu sibuk dengan urusan mereka masing-masing yang sangat menyita waaktu..
Ada dua orang yang suka ke sana, itu juga dulu, dulu sekali. Mereka berdua sudah merantau ke kota seberang sekarang,  dahulu, mereka berdua sering menghabiskan waktunya di tempat rahasia itu. Dulu mereka masih kecil-kecil, kira-kira  umurnya sekitar sepuluh tahunan, yang satu badannya kurus kering,dan  bergigi tonggos. Kakinya berhias koreng dan bekas bisul-bisul yang sudah agak mengering. Yang satunya lagi berbadan gendut, tinggi besar berkulit lebih gelap dari Si Kurus. Si gendut juga memiliki rambut keribo, sedangkan si kurus memiliki rambut lurus. Setiap sore pulang sekolah, mereka selalu nongkrong di sana. Diam diri saja, kadang-kadang membawa komik, atau buku tulis dan pensil untuk menggambar dan membuat puisi. Si Kurus, selalu berbicara dengan logat  Jawa yang kental, dan si Gendut bicara dengan logat Indonesia biasa.
Mereka berdua pergi ke tempat itu awalnya hanya kebetulan. Ketika bermain-main ke tengah padang rumput untuk berpetualang. Mereka tidak sengaja masuk kedalam padang rumput untuk bermain perang-perangan. Dengan menenteng sebilah potongan bambu sebagai pedang, dan berlaku seperti tokoh kartun favorit mereka di televisi. Mereka berdua dulu adalah seorang ksatria samurai yang tak terkalahkan, yang suka membela kebenaran dan membasmi monster-monster jahat di desa itu. Dengan pedang yang mereka bawa, mereka masuk ke padang rumput untuk mencari sarang monster yang mengancam ketentraman desa. Disisirnya oleh mereka sulur-sulur kaki ubur-ubur setinggi 2 meter yang muncul dari dalam tanah. Si Gendut terluka parah karena kaki gurita ini ternyata beracun, menyebabkan luka baret pada tangan dan mukanya. Si Kurus dengan gagah memotong sulur-sulur beracun itu. Mereka mencoba untuk kabur dari serangan ubur-ubur dalam tanah, namun semakin dalam mereka masuk ke sarang musuh, semakin banyak kaki ubur-ubur yang harus di lawan,  hingga mereka menemukan tempat ini,yaitu tiga pohon besar di padang rumput. Sebuah oasis di tengah kekacauan di sarang musuh.
Tiga pohon itu berdiri tegak lurus menjulang ke atas, seperti ingin mencakar langit.Tetapi ke tiga pohon besar itu memberikan mereka perlindungan. Mereka naik ke satu pohon paling besar, pada cabang yang pertama tak terlalu jauh dari atas tanah. Mereka berdua duduk di situ, dan memandang sekeliling.
“Lihat…” seru Si Gendut.
“Kita sudah di kepung musuh !!”
“Sialan!! Kita harus istirashat dulu! Nanti kita lawan mereka lagi !” Si Kurus terengah-engah dan terkulai lemas dan tengkurap di atas batang pohon besar tersebut.
“Edan… kamu nonton samurai yang kemarin tidak ?” kata Si Gendut.
“Iya ! Tokoh utamanya kewalahan ngadepin monster-monster ubur-ubur… parah itu, dia mengeluarkan jurus terakhir tapi tetap tidak mempan sama monster ubur-ubur itu !”
“Iya, musuhnya kebanyakan !”
Lalu mereka ngobrol tentang film kartun yang mereka tonton kemarin, sampai suara adzan maghrib terdengar dari kejauhan. Sayup-sayup di bawa gelombang angin yang kadang kencang kadang sepoi menerpa kedua sahabat itu. Dan mengantar mereka berdua  pulang ke rumah mereka masing-masing. Sebelum sampai di rumah, di jalan mereka bersepakat, kalau besok dan seterusnya tiga pohon besar itu akan menjadi makas rahasia mereka.
“Jangan kasih tau anak-anak, nanti pada main ke sana. Sudah, kita saja yang main di situ.” Kata Si Gendut dengan raut bengis dan menggunakan nada agak tinggi.
“Kenapa? Bukannya malah enak ya, ramai…”
“Kita kan ketua anak-anak RT 2 RW 5 jalan cinta, kalau pada main ke sana, nanti si Niken kasih tau ke si Fadli… Fadli kan dari RT 4 RW 7…”
“itu kan RT musuh.”
“Iya juga ya…”
Si Kurus manggut-manggut. Ia paham maksud Si Gendut. Si Niken memang bukan sembarang tukang gosip, tapi dia juga pacar anak RT 4 RW 7. Mereka tidak rela kalau markas rahasia mereka nanti dikuasai anak-anak RT 4RW 7.
Besoknya sepulang sekolah, mereka berdua langsung pergi ke markas rahasia. Si Gendut membawa komik yang baru disewanya. Komiknya ada 4 buah, dan judulnya sama, sama seperti film kartun favoritnya. Si Kurus dan Si Gendut nongkrong di pohon besar yang sama, membaca komik dengan khusyuknya. Matahari sore itu terik, tapi dedauan di atas mereka meneduhkan. Seiring dengan bertambahnya halaman yang mereka baca, keringat di badan mereka mulai mengering di hembus hembusan angin. Angin yang bukan sembarang angin, tapi angin tersebut berbau garam yang di bawa dari laut. Kristal-kristal garam tersebut terbentuk di bekas basahnya keringat mereka, sekarang keringat itu berubah berbentuk butir-butir kecil berwarna putih. Mereka baca komik dengan teliti, adegan demi adegan, huruf per huruf.  Alam mereka terbawa ke dunia lain penuh fantasi, dengan petualangan mendebarkan. Jiwa-jiwa mereka menyala seperti bara pada arang yang di kipas tukang sate. Menghangatkan dinginnya tiga pohon di tengah padang rumput yang tak terjamah itu.
Dua tahun lamanya mereka selalu berdua, Si Gendut dan Si Kurus, menjadikan pohon itu sebagai markas rahasia. Sampai akhirnya mereka lulus SD, dan masuk SMP. Perlahan dan bertahap, mereka mulai larut pada kesibukan di sekolah. Apalagi mereka sudah beda sekolah sekarang. Si Kurus masuk pagi, pulang siang, dan Si Gendut masuk siang pulang sore. Mereka jadi jarang bertemu. Si Kurus lalu pindah ke kota lain. Si Gendut menyusul tak lama sudah itu.
Sudah lima belas tahun sejak hari-hari itu, padang rumput di sana tetap pada tingginya semula. Rumput yang tua mati, dan yang muda tumbuh sampai ketinggian yang sama, lalu mati, dan digantikan dengan yang muda lagi. Tiga pohon itu masih di dalam padang rumput itu. Masih di tiup oleh angin berbau garam yang di bawa dari lautan. Di sore hari, gemerisik dedaunan di pohon itu bersenandung sendu. Menyambut suara adzan maghrib yang sayup-sayup dari kejauhan terdengar.

2 komentar:

Ruang Kata-kata mengatakan...

warna lokal daerah mana ini?

wadahpenasatra mengatakan...

eva@ waaahhh cukup menarik cerita'y, asah trs bakat menulis'y ya plend