2013/06/24

CERPEN DENGAN MENGGUNAKAN WARNA LOKAL



ISLAMI
 MAS GANTENG

Oleh : Nur Kholis Majid



            Mas ganteng berubah! Ya, beberapa bulan belakangan ini masku, sekaligus saudara kandungku satu-satunya itu benar-benar berubah!
Mas Ganteng Tarumanegara, masih kuliah di Teknik Sipil UI semester tujuh. Ia seorang kakak yang sangat baik, cerdas, periang dan tentu saja…ganteng !Mas Ganteng juga sudah mampu membiayai sekolahnya sendiri dari hasil mengajar privat untuk anak-anak SMA.
            Sejak kecil aku sangat dekat dengannya. Tak ada rahasia di antara kami. Ia selalu mengajakku ke mana ia pergi. Ia yang menolong di saat aku butuh pertolongan. Ia menghibur dan membujuk di saat aku bersedih. Membawakan oleh-oleh sepulang sekolah dan mengajariku mengaji. Pendek kata, ia selalu melakukan hal-hal yang baik, menyenangkan dan berarti banyak bagiku.
Saat memasuki usia dewasa, kami jadi semakin dekat. Kalau ada saja sedikit waktu kosong, maka kami akan menghabiskannya bersama. Jalan-jalan, nonton film atau konser musik atau sekedar bercanda dengan teman-teman.
Mas Ganteng yang humoris itu akan membuat lelucon-lelocon santai hingga aku dan teman-temanku tertawa terbahak. Dengan sedan putihnya ia berkeliling mengantar teman-temanku pulang usai kami latihan teater. Kadang kami mampir dan makan-makan dulu di restoran, atau bergembira ria di Dufan Ancol.
Tak ada yang tak menyukai Mas Ganteng. Jangankan keluarga atau tetangga, nenek-kakek, orang tua dan adik kakak teman-temanku menyukai sosoknya.
“Kakak kamu itu keren, cute, macho dan humoris. Masih kosong nggak sih?”
“Git, gara-gara kamu bawa Mas Ganteng ke rumah, sekarang orang rumahku suka membanding-bandingkan teman cowokku sama Mas Ganteng lho! Gila, berabe kan?”
“Gimana ya Git, agar Mas Ganteng suka padaku?”
Dan banyak lagi lontaran-lontaran senada yang mampir ke telingaku. Aku Cuma mesem-mesem bangga. Pernah kutanyakan pada Mas Ganteng mengapa ia belum juga punya pacar. Apa jawabnya?
“Mas belum minat tuh! Kan lagi konsentrasi kuliah. Lagian kalau Mas pacaran…, banyak anggaran. Banyak juga yang patah hati! He..he..he…”Kata Mas Ganteng pura-pura serius.
Mas Ganteng dalam pandanganku adalah cowok ideal. Ia serba segalanya. Ia punya rancangan masa depan, tetapi tak takut menikmati hidup. Ia modern tetapi tidak pernah meninggalkan shalat. Itulah Mas Ganteng.
Tetapi seperti yang telah kukatakan, entah mengapa beberapa bulan belakangan ini ia berubah. Drastis! Dan aku seolah tak mengenal dirinya lagi. Aku sedih. Aku kehilangan. Mas Ganteng yang kubanggakan kini entah keman.
“Mas Ganteng! Mas! Mas Ganteeeeeeng!” teriakku kesal sambil mengetuk pintu kamar Mas Ganteng keras-keras. Tak ada jawaban. Padahal kata Mama, Mas Ganteng ada di kamarnya. Kulihat stiker metalik di depan pintu kamar Mas Ganteng. Tulisan berbahasa Arab gundul. Tak bisa kubaca. Tetapi aku bisa membaca artinya: Jangan masuk sebelum memberi salam!
“Assalaamu’alaikum!”seruku.
Pintu kamar terbuka dan kulihat senyum lembut Mas Ganteng.
“Wa alaikummussalaam warohmatullahi wabarokatuh. Ada apa Gita? Kok teriak-teriak seperti itu?” tanyanya.
“Matiin kasetnya!”kataku sewot.
“Lho memangnya kenapa?” Tanya Mas Ganteng.
“Gita kesel bin sebel dengerin kasetnya Mas Ganteng! Memangnya kita orang Arab, masangnya kok lagu-lagu Arab gitu!” aku cemberut.
“Ini Nasyid. Bukan sekedar nyanyian Arab tapi dzikir, Gita!”
“Bodo!” 
“Lho, kamar ini kan daerah kekuasaannya Mas. Boleh Mas melakukan hal-hal yang Mas sukai dan Mas anggap baik di kamar sendiri,” kata Mas Ganteng sabar. “Kemarin waktu Mas pasang di ruang tamu, Gita ngambek.., Mama bingung. Jadinya ya dipasang di kamar.”
“Tapi kuping Gita terganggu Mas! Lagi asyik dengerin kaset Air Supply yang baru…, eh tiba-tiba terdengar suara aneh dari kamar Mas!”
“Mas kan pasang kasetnya pelan-pelan…”
“Pokoknya kedengaran!”
“Ya, wis. Kalau begitu Mas ganti aja dengan nasyid yang bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Bagus lho!”
“Ndak, pokoknya Gita nggak mau denger!” Aku ngeloyor pergi sambil membanting pintu kamar Mas Ganteng
Heran. Aku benar-benar tak habis pikir mengapa selera musik Mas Ganteng jadi begitu. Ke mana kaset-kaset Scorpion, Wham, Elton John, Queen, Eric Claptonnya?”
“Wah, ini nggak seperti itu Gita! Dengerin Scorpion atau Eric Clapton belum tentu mendatangkan manfaat, apalagi pahala. Lainlah dengan nasyid senandung islami. Gita mau denger? Ambil aja di kamar. Mas punya banyak kok!” begitu kata Mas Ganteng.
Oala.
            Sebenarnya perubahan Mas Ganteng nggak Cuma itu. Banyak. Terlalu banyak malah! Meski aku cuma adik kecilnya yang baru kelas dua SMA, aku cukup jeli mengamati perubahan-perubahan itu. Walau bingung untuk mencernanya. Di satu sisi kuakui Mas Ganteng tambah alim. Shalat tepat waktu berjamaah di Masjid, ngomongnya soal agama terus. Kalau aku iseng mengintip dari lubang kunci, ia pasti lagi ngaji atau membaca buku Islam. Dan kalau aku mampir ke kamarnya, ia dengan senang hati menguraikan isi buku yang dibacanya, atau malah menceramahiku.
Ujung-ujungnya “Ayo dong Gita, lebih feminim. Kalau kamu mau pakai rok, Mas rela deh pecahin celengan buat beliin kamu rok atau baju panjang. Muslimah kan harus anggun. Coba adik manis, ngapain sih rambut ditrondolin begitu!”
Uh. Padahal dulu Mas Ganteng oke-oke saja melihat penampilanku yang tomboy. Dia tahu aku cuma punya dua rok! Ya rok seragam sekolah itu saja! Mas Ganteng juga tidak pernah keberatan kalau aku meminjam baju kaos atau kemejanya. Ia sendiri dulu selalu memanggilku Gito, bukan Gita! Eh sekarang pakai panggil adik manis segala!

Hal lain yang nyebelin, penampilan Mas Ganteng jadi aneh. Sering juga Mama menegurnya. “Penampilanmu kok sekarang lain Mas?”
“Lain gimana Ma?”
“Ya nggak semodis dulu. Nggak dendy lagi. Biasanya kamu kan paling sibuk sama penampilan kamu yang kayak cover boy itu…”
Mas Ganteng cuma senyum. “Suka begini Ma. Bersih, rapi meski sederhana. Kelihatannya juga lebih santun.”
Ya, dalam pandanganku Mas Ganteng kelihatan menjadi lebih kuno, dengan kemeja lengan panjang atau baju koko yang dipadu dengan celana panjang semi baggy-nya. “Jadi mirip Pak Gino.” Komentarku menyamakannya dengan supir kami. “Untung aja masih lebih ganteng.” Mas Ganteng cuma tertawa. Mengacak-acak rambutku dan berlalu. Mas Ganteng lebih pendiam? Itu juga kurasakan. Sekarang Mas Ganteng nggak kocak seperti dulu. Kayaknya dia juga males banget ngobrol lama dan bercanda sama perempuan. Teman-temanku bertanya-tanya. Shely, pragawati sebelah rumah kebingungan.
Dan..yang paling gawat, Mas Ganteng emoh salaman sama perempuan! Kupikir apa sih maunya Mas Ganteng?”
“Sok kece banget sih Mas? Masak nggak mau jabatan tangan sama Tresye? Dia tuh cewek paling beken di sanggar Gita tahu?” tegurku suatu hari. “Jangan gitu dong. Sama aja nggak menghargai orang!”
“Justru karena Mas menghargai dia, makanya Mas begitu,” dalihnya, lagi-lagi dengan nada yang amat sabar. “Gita lihat kan gaya orang Jawa salaman? Santun tetapi nggak sentuhan. Itu yang lebih benar!”
Huh, nggak mau salaman. Ngomong nunduk melulu…, sekarang bawa-bawa orang Jawa. Apa hubungannya?”
Mas Ganteng membuka sebuah buku dan menyorongkannya kepadaku.”Baca!”
Kubaca keras-keras. “Dari Aisyah ra. Demi Allah, demi Allah, demi Allah, Rasulullah Saw tidak pernah berjabatan tangan dengan wanita kecuali dengan mahromnya. Hadits Bukhori Muslim.”
Mas Ganteng tersenyum. 
“Tapi Kyai Anwar mau salaman sama Mama. Haji Kari, Haji Toto, Ustadz Ali…,” kataku.
“Bukankah Rasulullah Uswatun hasanah? Teladan terbaik?” Kata Mas Ganteng sambil mengusap kepalaku. “Coba untuk mengerti ya dik manis?”
Dik manis? Coba untuk mengerti? Huh! Dan seperti biasa aku ngeloyor pergi dari kamar Mas Ganteng dengan mangkel.
Menurutku Mas Ganteng terlalu fanatik. Aku jadi khawatir, apa dia lagi nuntut ilmu putih? Ah, aku juga takut kalau dia terbawa orang-orang sok agamis tapi ngawur. Namun akhirnya aku tidak berani menduga demikian. Mas Ganteng orangnya cerdas sekali. Jenius malah. Umurnya baru dua puluh satu tahun tetapi sudah tingkat empat di FT-UI. Dan aku yakin mata batinnya jernih dan tajam. Hanya…yaaa akhir-akhir ini dia berubah. Itu saja. Kutarik napas dalam-dalam.
“Mau kemana Gita?”
“Nonton sama temen-temen.” Kataku sambil mengenakan sepatu.”Habis Mas Ganteng kalau diajak nonton sekarang kebanyakan nolaknya.”
“Ikut Mas aja yuk!”
“Ke mana? Ke tempat yang waktu itu lagi? Ogah. Gita kayak orang bego di sana!”
Aku masih ingat jelas. Beberapa waktu lalu Mas Ganteng mengajak aku ke rumah temannya. Ada pengajian. Terus pernah juga aku diajak menghadiri tablig akbar di suatu tempat. Bayangin, berapa kali aku diliatin sama cewek lain yang kebanyakan berjilbab itu. Pasalnya aku ke sana dengan memakai kemeja lengan pendek, jeans belel dan ransel kumalku. Belum lagi rambut trondol yang tidak bisa disembunyiin. Sebenarnya Mas Ganteng menyuruhku memakai baju panjang dan kerudung yang biasa Mama pakai ngaji. Aku nolak sambil ngancam nggak mau ikut.
“Assalamualaikum!” terdengar suara beberapa lelaki.
Mas Ganteng menjawab salam itu. Tak lama kulihat Mas Ganteng dan teman-temannya di ruang tamu. Aku sudah hafal dengan teman-teman Mas Ganteng. Masuk, lewat, nunduk-nunduk, nggak ngelirik aku…, persis kelakuannya Mas Ganteng.
“Lewat aja nih, Gita nggak dikenalin?”tanyaku iseng.
Dulu nggak ada teman Mas Ganteng yang tak akrab denganku. Tapi sekarang, Mas Ganteng bahkan nggak memperkenalkan mereka padaku. Padahal teman-temannya lumayan handsome.
Mas Ganteng menempelkan telunjuknya di bibir. “Ssssttt.”
Seperti biasa aku bisa menebak kegiatan mereka. Pasti ngomongin soal-soal keislaman, diskusi, belajar baca Quran atau bahasa Arab… yaa begitu deh!
“Subhanallah, berarti kakak kamu ihkwan dong!” Seru Farah setengah histeris mendengar ceritaku. Teman akrabku ini memang sudah hampir sebulan berjilbab rapi. Memusiumkan semua jeans dan baju-baju you can see-nya.
“Ikhwan?’ ulangku. “Makanan apaan tuh? Saudaranya bakwan atau tekwan?” Suaraku yang keras membuat beberapa makhluk di kantin sekolah melirik kami.
“Husy, untuk laki-laki ikhwan dan untuk perempuan akhwat. Artinya saudara. Biasa dipakai untuk menyapa saudara seiman kita.” Ujar Farah sambil menghirup es kelapa mudanya. “Kamu tahu Robbi atau Farhan kan? Aktivis Rohis kita itu contoh ikhwan paling nyata di sekolah ini.”
Aku manggut-manggut. Lagak Robbi dan Farhan memang mirip Mas Ganteng.
“Udah deh Git. Nggak usah bingung. Banyak baca buku Islam. Ngaji. Insya Allah kamu akan tahu menyeluruh tentang agama kita ini. Orang-orang seperti Robbi, Farhan atau Mas Ganteng bukanlah orang-orang yang error. Mereka hanya berusaha mengamalkan Islam dengan baik dan benar. Kitanya aja yang belum ngerti dan sering salah paham.”
Aku diam. Kulihat kesungguhan di wajah bening Farah, sobat dekatku yang dulu tukang. ngocol ini. Tiba-tiba di mataku ia menjelma begitu dewasa.
“Eh kapan kamu main ke rumahku? Mama udah kangen tuh! Aku ingin kita tetap dekat Gita…mesti kita mempunyai pandangan yang berbeda, ” ujar Farah tiba-tiba.
“Farah, aku kehilangan kamu. Aku juga kehilangan Mas Ganteng …” kataku jujur. “Selama ini aku pura-pura cuek tak peduli. Aku sedih…”
Farah menepuk pundakku. Jilbab putihnya bergerak ditiup angin.” Aku senang kamu mau membicarakan hal ini denganku. Nginap di rumah, yuk, biar kita bisa cerita banyak. Sekalian kukenalkan dengan Mbak Aisyah.
“Mbak Aisyah?” Ku bertanya.
“Ya, Sepupuku yang kuliah di Amerika. Lucu deh, pulang dari Amerika malah pakai jilbab. Ajaib. Itulah hidayah.” Ujar Farah
“Hidayah?”
“Nginap ya. Kita ngobrol sampai malam dengan Mbak Aisyah” Ajak Farah.
Sore hari ku sampai rumah“Assalaamualaikum, Mas ikhwan.. eh Mas Ganteng!” tegurku ramah.
‘‘Eh adik Mas Ganteng. Dari mana aja? Bubar sekolah bukannya langsung pulang!” Kata Mas Ganteng pura-pura marah, usai menjawab salamku.
“Dari rumah Farah, teman sekolah, “jawabku pendek. “Lagi ngapain, Mas?”tanyaku sambil mengitari kamarnya. Kuamati beberapa poster, kaligrafi, gambar-gambar pejuang Palestina, Kashmir dan Bosnia. Puisi-puisi sufistik yang tertempel rapi di dinding kamar. Lalu dua rak koleksi buku keislaman.
“Cuma lagi baca!”
“Buku apa?”
“Tumben kamu pingin tahu?”
“Tunjukkin dong, Mas…buku apa sih?”desakku.
“Eiit…eiitt Mas Ganteng berusaha menyembunyikan bukunya.
Kugelitik kakinya. Dia tertawa dan menyerah. “Nih..”serunya memperlihatkan buku yang tengah dibacanya dengan wajah yang setengah memerah.
“Naah yaaaa!”aku tertawa. Mas Ganteng juga. Akhirnya kami bersama-sama membaca buku “Memilih Jodoh dan Tata Cara Meminang dalam Islam” itu.
“Maaas…”
“Apa Dik Manis?”
“Gita akhwat bukan sih?”
“Memangnya kenapa?”
“Gita akhwat atau bukan? Ayo jawab…” tanyaku manja.
Mas Ganteng tertawa. Sore itu dengan sabar dan panjang lebar, ia berbicara padaku. Tentang Allah, Rasulullah. Tentang ajaran Islam yang diabaikan dan tak dipahami umatnya. Tentang kaum Muslimin di dunia yang selalu menjadi sasaran fitnah serta pembantaian dan tentang hal-hal-lainnya. Dan untuk pertamakalinya setelah sekian lama, aku kembali menemukan Mas Gantengku yang dulu. Mas Ganteng dengan semangat terus bicara. Terkadang ia tersenyum, sesaat sambil menitikan air mata. Hal yang tak pernah kulihat sebelumnya.
“Mas kok nangis?”
“Mas sedih karena Allah, Rasul dan Islam kini sering dianggap remeh. Sedih karena umat banyak meninggalkan Quran dan sunnah, juga berpecah belah. Sedih karena saat Mas bersenang-senang dan bisa beribadah dengan tenang, saudara-saudara seiman di belahan bumi lainnya sedang digorok lehernya, mengais-ngais makanan di jalan dan tidur beratap langit.”
Sesaat kami terdiam. Ah Mas Ganteng yang gagah dan tegar ini ternyata sangat perasa. Sangat peduli.
“Kok tumben Gita mau dengerin Mas ngomong?” Tanya Mas Ganteng tiba-tiba.
“Gita capek marahan sama Mas Ganteng!” ujarku sekenanya.
“Memangnya Gita ngerti yang Mas katakan?”
“Tenang aja. Gita ngerti kok!” kataku jujur. Ya, Mbak Aisyah juga pernah menerangkan demikian. Aku ngerti deh meskipun tidak begitu mendalam.
Malam itu aku tidur ditemani buku-buku milik Mas Ganteng. Kayaknya aku dapat hidayah. Hari-hari berlalu. Aku dan Mas Ganteng mulai dekat lagi seperti dulu. Meski aktifitas yang kami lakukan bersama kini berbeda dengan yang dulu. Kini tiap Minggu kami ke Sunda Kelapa atau Wali Songo, mendengarkan ceramah umum, atau ke tempat-tempat di mana tablig akbar digelar. Kadang cuma aku dan Mas Ganteng. Kadang-kadang, bila sedikit terpaksa, Mama dan Papa juga ikut.
“Apa nggak bosan, Pa…tiap Minggu rutin mengunjungi relasi ini itu. Kebutuhan rohaninya kapan?” tegurku. Biasanya Papa hanya mencubit pipiku sambil menyahut, “Iya deh, iya!”
Pernah juga Mas Ganteng mengajakku ke acara pernikahan temannya. Aku sempat bingung, soalnya pengantinnya nggak bersanding tetapi terpisah. Tempat acaranya juga begitu. Dipisah antara lelaki dan perempuan. Terus bersama souvenir, para tamu juga diberi risalah nikah. Di sana ada dalil-dalil mengapa walimah mereka dilaksanakan seperti itu. Dalam perjalanan pulang, baru Mas Ganteng memberi tahu bagaimana hakikat acara pernikahan dalam Islam. Acara itu tidak boleh menjadi ajang kemaksiatan dan kemubaziran. Harus Islami dan semacamnya. Ia juga mewanti-wanti agar aku tidak mengulangi ulah mengintip tempat cowok dari tempat cewek.
Aku nyengir kuda.
Tampaknya Mas Ganteng mulai senang pergi denganku, soalnya aku mulai bisa diatur. Pakai baju yang sopan, pakai rok panjang, ketawa nggak cekakaan.
“Nyoba pakai jilbab. Git!” pinta Mas Ganteng suatu ketika.
“Lho, rambut Gita kan udah nggak trondol. Lagian belum mau deh.
Mas Ganteng tersenyum. “Gita lebih anggun jika pakai jilbab dan lebih dicintai Allah kayak Mama.”
Memang sudah beberapa hari ini Mama berjilbab, gara-garanya dinasihati terus sama Mas Ganteng, dibeliin buku-buku tentang wanita, juga dikomporin oleh teman-teman pengajian beliau.
“Gita mau tapi nggak sekarang,” kataku. Aku memikirkan bagaimana dengan seabreg aktivitasku, prospek masa depan dan semacamnya.
“Itu bukan halangan.” Ujar Mas Ganteng seolah mengerti jalan pikiranku.
Aku menggelengkan kepala. Heran, Mama yang wanita karier itu cepat sekali terpengaruh dengan Mas Ganteng.
“Ini hidayah, Gita.” Kata Mama. Papa yang duduk di samping beliau senyum-senyum.
“Hidayah? Perasaan Gita duluan yang dapat hidayah, baru Mama. Gita pakai rok aja udah hidayah lho! ” Mas Gagah bengong.
Dengan penuh kebanggaan kutatap lekat wajah Mas Ganteng. Gimana nggak bangga? Dalam acara studi tentang Islam yang diadakan FTUI untuk umum ini Mas Ganteng menjadi salah satu pembicaranya. Aku yang berada di antara ratusan peserta rasanya ingin berteriak, “Hei itu kan Mas Ganteng -ku!”  Mas Ganteng tampil tenang. Gaya penyampaiannya bagus, materi yang dibawakannya menarik dan retorikanya luar biasa. Semua hening mendengar ia bicara. Aku juga. Mas Ganteng fasih mengeluarkan ayat-ayat Al-Quran dan hadits. Menjawab semua pertanyaan dengan baik dan tuntas.
Aku sempat bingung, “Lho Mas Ganteng kok bisa sih?” Bahkan materi yang disampaikannya jauh lebih bagus daripada yang dibawakan oleh kyai-kyai kondang atau ustadz tenar yang biasa kudengar. Pada kesempatan itu Mas Ganteng berbicara tentang Muslimah masa kini dan tantangannya dalam era globalisasi.
“Betapa Islam yang jelas-jelas mengangkat harkat dan martabat wanita, dituduh mengekang wanita hanya karena mensyariatkan jilbab. Jilbab sebagai busana takwa, sebagai identitas Muslimah, diragukan bahkan oleh para muslimah kita, oleh orang Islam itu sendiri, ” kata Mas Ganteng.
Mas Ganteng terus bicara. Kini tiap katanya kucatat di hati.
Lusa ulang tahunku. Dan hari ini sepulang sekolah, aku mampir ke rumah Farah. Minta diajarkan cara memakai jilbab yang rapi. Tuh anak sempat histeris juga. Mbak Aisyah senang dan berulang kali mengucap hamdallah.  Aku mau kasih kejutan kepada Mas Ganteng. Mama bisa dikompakin nanti sore aku akan mengejutkan Mas Ganteng. Aku akan datang ke kamarnya memakai jilbab putihku. Kemudian mengajaknya jalan-jalan untuk persiapkan tasyakuran ulang tahun ketujuh belasku. Kubayangkan ia akan terkejut gembira. Memelukku. Apalagi aku ingin Mas Ganteng yang memberi ceramah pada acara syukuran yang insya Allah akan mengundang teman-teman dan anak-anak yatim piatu dekat rumah kami.
“Mas ikhwan.. Mas Ganteng.. Maasss.. Assalaamualaikum.. Kuketuk pintu Mas Ganteng dengan riang.
“Mas Gagah belum pulang. “kata Mama.
“Yaaaaa, kemana sih, Ma??” keluhku.
“Kan diundang ceramah di Bogor. Katanya langsung berangkat dari kampus…”
“Jangan-jangan nginep, Ma. Biasanya malam Minggu kan suka nginep di rumah temannya, atau di Masjid. “
“Insya Allah nggak. Kan Mas Ganteng ingat ada janji sama Gita hari ini.” Hibur Mama menepis gelisahku.
Kugaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal. Entah mengapa aku kangen sekali sama Mas Ganteng.
“Eh, jilbab Gita mencong-mencong tuh!” Mama tertawa. Tanganku sibuk merapikan jilbab yang kupakai. Tersenyum pada Mama.
Sudah lepas Isya’ Mas Ganteng belum pulang juga.
“Mungkin dalam perjalanan. Bogor kan lumayan jauh..” hibur Mama lagi.
Tetapi detik demi detik menit demi menit berlalu sampai jam sepuluh malam, Mas Ganteng belum pulang juga.
“Nginap barangkali, Ma.” Duga Papa.
Mama menggeleng. “Kalau mau nginap Gagah selalu bilang, Pa.”
Aku menghela napas panjang. Menguap. Ngantuk. Jilbab putih itu belum juga kulepaskan. Aku berharap Mas Ganteng segera pulang dan melihatku memakainya.
“Kriiiinggg!” telpon berdering.
Papa mengangkat telpon,”Hallo. Ya betul. Apa? Ganteng?”
“Ada apa, Pa?” Tanya Mama cemas.
“Ganteng… ganteng kecelakaan… sekarang di Rumah Sakit Islam…” suara Papa lemah.
“Mas Ganteeeeeeengg” Air mataku tumpah. Tubuhku lemas
Tak lama kami sudah dalam perjalanan menuju Cempaka Putih. Aku dan Mama menangis berangkulan. Jilbab kami basah. Sampai di rumah sakit. Dari luar kamar kaca, kulihat tubuh Mas Ganteng terbaring lemah. Kaki, tangan dan kepalanya penuh perban. Informasi yang kudengar sebuah truk menghantam mobil yang dikendarai Mas Ganteng. Dua teman Mas Ganteng tewas seketika sedang Mas Ganteng kritis. Dokter melarang kami masuk ke dalam ruangan.
” Tetapi saya Gita adiknya, Dok! Mas Ganteng pasti mau melihat saya pakai jilbab ini.” Kataku emosi pada dokter dan suster di depanku.
Mama dengan lebih tenang merangkulku. “Sabar sayang, sabar.”
Di pojok ruangan Papa dengan serius berbicara dengan dokter yang khusus menangani Mas Ganteng. Wajah mereka suram.
“Suster, Mas Ganteng akan hidup terus kan, suster? Dokter? Ma?” tanyaku. “Papa, Mas Ganteng bisa ceramah pada acara syukuran Gita kan?” Air mataku terus mengalir.
Tapi tak ada yang menjawab pertanyaanku kecuali kebisuan dinding-dinding putih rumah sakit. Dan dari kaca kamar, tubuh yang biasanya gagah dan enerjik itu bahkan tak bergerak.

“Mas Ganteng, sembuh ya, Mas…Mas..Ganteng, Gita udah menjadi adik Mas yang manis. Mas..Ganteng…” bisikku.
Tiga jam kemudian kami masih berada di rumah sakit. Sekitar ruang ICU kini telah sepi. Tinggal kami dan seorang bapak paruh baya yang menunggui anaknya yang juga dalam kondisi kritis. Aku berdoa dan terus berdoa. Ya Allah, selamatkan Mas Ganteng …Gita, Mama, Papa butuh Mas Ganteng …umat juga.”
Tak lama Dokter Joko yang menangani Mas Ganteng menghampiri kami. “Ia sudah sadar dan memanggil nama Papa, Mama dan Gi..”
“Gita…” suaraku serak menahan tangis.
Pergunakan waktu yang ada untuk mendampinginya sesuai permintaannya. Sukar baginya untuk bertahan. Maafkan saya…lukanya terlalu parah.” Perkataan terakhir dokter Joko mengguncang perasaan, menghempaskan harapanku!.
“Mas…ini Gita Mas..” sapaku berbisik.
Tubuh Mas Ganteng bergerak sedikit. Bibirnya seolah ingin mengucapkan sesuatu. Kudekatkan wajahku kepadanya. “Gita sudah pakai jilbab, kataku lirih. Ujung jilbabku yang basah kusentuhkan pada tangannya.”
Tubuh Mas Ganteng bergerak lagi.
“Dzikir…Mas.” Suaraku bergetar. Kupandang lekat-lekat tubuh Mas Ganteng yang separuhnya memakai perban. Wajah itu begitu tenang.
“Gi..ta…”
Kudengar suara Mas Ganteng. Ya Allah, pelan sekali.
“Gita di sini, Mas…”
Perlahan kelopak matanya terbuka.
“Aku tersenyum.”Gita…udah pakai…jilbab…” kutahan isakku.
Memandangku lembut Mas Ganteng tersenyum. Bibirnya seolah mengucapkan sesuatu seperti hamdallah.
“Jangan ngomong apa-apa dulu, Mas…” ujarku pelan ketika kulihat ia berusaha lagi untuk mengatakan sesuatu.
Mama dan Papa memberi isyarat untuk gantian. Ruang ICU memang tidak bisa dimasuki beramai-ramai. Dengan sedih aku keluar. Ya Allah…sesaat kulihat Mas Ganteng tersenyum. Tulus sekali. Tak lama aku bisa menemui Mas Ganteng lagi. Dokter mengatakan tampaknya Mas Ganteng menginginkan kami semua berkumpul.
Kian lama kurasakan tubuh Mas Ganteng semakin pucat, tetapi sebentar-sebentar masih tampak bergerak. Tampaknya ia masih bisa mendengar apa yang kami katakan, meski hanya bisa membalasnya dengan senyuman dan isyarat mata.
Kuusap setitik lagi air mata yang jatuh. “Sebut nama Allah banyak-banyak…Mas,” kataku sambil menggenggam tangannya. Aku sudah pasrah pada Allah. Aku sangat menginginkan Mas Ganteng terus hidup, tetapi sebagai insan beriman sebagaimana yang juga diajarkan Mas Ganteng, aku pasrah pada ketentuan Allah. Allah tentu tahu apa yang terbaik bagi Mas Ganteng.
“Laa…ilaaha…illa..llah…Muham…mad Ra..sul …Allah… suara Mas Ganteng pelan, namun tak terlalu pelan untuk bisa kami dengar.
Semua terdiam kemudian menangis histeris. “Inna lillahi wainna ilaihi roji’un” Mas Ganteng telah kembali kepada Allah. Mas Ganteng Tenang sekali. Seulas senyum menghiasi wajahnya. Aku memeluk tubuh yang terbujur kaku dan dingin itu kuat-kuat. Mama dan Papa juga. Isak kami bersahutan walau kami rela dia pergi. Selamat jalan Mas Ganteng.
Epilog:
Kubaca berulang kali kartu ucapan Mas Ganteng. Keharuan memenuhi rongga-rongga dadaku. Gamis dan jilbab hijau muda, manis sekali. Akh, ternyata Mas Ganteng telah mempersiapkan kado untuk hari ulang tahunku. Aku tersenyum miris.
Kupandangi kamar Mas Ganteng yang kini lengang. Aku rindu panggilan dik manis, aku rindu suara nasyid. Rindu diskusi-diskusi di kamar ini. Rindu suara merdu Mas Ganteng melantunkan kalam Illahi yang selamanya tiada kan kudengar lagi. Hanya wajah para mujahid di dinding kamar yang menatapku. Puisi-puisi sufistik yang seolah bergema d iruangan ini.
Setitik air mataku jatuh lagi.
“Mas, Gita akhwat bukan sih?”
“Ya, insya Allah akhwat!”
“Yang bener?”
“Iya, dik manis!”
“Kalau ikhwan itu harus ada janggutnya, ya?!”
“Kok nanya gitu sih?”
“Lha, Mas Ganteng kan ada janggutnya?”
“Ganteng kan?”
“Uuuuu! Eh, Mas, kita kudu jihad ya?” Jihad itu apa sih?”
“Ya always dong, jihad itu…”
Setetes, dua tetes air mataku kian menganak sungai. Kumatikan lampu. Kututup pintu kamarnya pelan-pelan. Selamat jalan Mas Ikhwan! Selamat jalan Mas Ganteng.

Tidak ada komentar: