ISLAMI
MAS GANTENG
Oleh : Nur Kholis Majid
Mas ganteng berubah! Ya, beberapa bulan belakangan ini masku, sekaligus saudara kandungku satu-satunya itu benar-benar berubah!
Mas Ganteng Tarumanegara, masih kuliah di Teknik
Sipil UI semester
tujuh. Ia seorang kakak yang sangat baik, cerdas, periang dan tentu
saja…ganteng !Mas Ganteng juga sudah mampu membiayai sekolahnya sendiri dari
hasil mengajar privat untuk anak-anak SMA.
Sejak kecil aku sangat dekat dengannya. Tak ada rahasia di antara kami. Ia selalu mengajakku ke mana ia pergi. Ia yang menolong di saat aku butuh pertolongan. Ia menghibur dan membujuk di saat aku bersedih. Membawakan oleh-oleh sepulang sekolah dan mengajariku mengaji. Pendek kata, ia selalu melakukan hal-hal yang baik, menyenangkan dan berarti banyak bagiku.
Sejak kecil aku sangat dekat dengannya. Tak ada rahasia di antara kami. Ia selalu mengajakku ke mana ia pergi. Ia yang menolong di saat aku butuh pertolongan. Ia menghibur dan membujuk di saat aku bersedih. Membawakan oleh-oleh sepulang sekolah dan mengajariku mengaji. Pendek kata, ia selalu melakukan hal-hal yang baik, menyenangkan dan berarti banyak bagiku.
Saat memasuki usia dewasa, kami jadi
semakin dekat. Kalau ada saja sedikit waktu kosong, maka kami akan
menghabiskannya bersama. Jalan-jalan, nonton film atau konser musik atau
sekedar bercanda dengan teman-teman.
Mas Ganteng yang humoris itu akan
membuat lelucon-lelocon santai hingga aku dan teman-temanku tertawa terbahak.
Dengan sedan putihnya ia berkeliling mengantar teman-temanku pulang usai kami
latihan teater. Kadang kami mampir dan makan-makan dulu di restoran, atau
bergembira ria di Dufan Ancol.
Tak
ada yang tak menyukai Mas Ganteng. Jangankan keluarga atau tetangga,
nenek-kakek, orang tua dan adik kakak teman-temanku menyukai sosoknya.
“Kakak
kamu itu keren, cute, macho dan humoris. Masih kosong nggak sih?”
“Git,
gara-gara kamu bawa Mas Ganteng ke rumah, sekarang orang rumahku suka
membanding-bandingkan teman cowokku sama Mas Ganteng lho! Gila, berabe kan?”
“Gimana
ya Git, agar Mas Ganteng suka padaku?”
Dan banyak lagi lontaran-lontaran senada
yang mampir ke telingaku. Aku Cuma mesem-mesem bangga.
Pernah kutanyakan pada Mas Ganteng mengapa ia belum
juga punya pacar. Apa jawabnya?
“Mas belum minat tuh! Kan lagi
konsentrasi kuliah. Lagian kalau Mas pacaran…, banyak anggaran. Banyak juga
yang patah hati! He..he..he…”Kata Mas Ganteng pura-pura serius.
Mas Ganteng dalam pandanganku adalah
cowok ideal. Ia serba segalanya. Ia punya rancangan masa depan, tetapi tak takut
menikmati hidup. Ia modern tetapi tidak pernah meninggalkan shalat. Itulah Mas
Ganteng.
Tetapi seperti yang telah kukatakan,
entah mengapa beberapa bulan belakangan ini ia berubah. Drastis! Dan aku seolah
tak mengenal dirinya lagi. Aku sedih. Aku kehilangan. Mas Ganteng yang
kubanggakan kini entah keman.
“Mas Ganteng! Mas! Mas Ganteeeeeeng!”
teriakku kesal sambil mengetuk pintu kamar Mas Ganteng keras-keras. Tak ada
jawaban. Padahal kata Mama, Mas Ganteng ada di kamarnya. Kulihat stiker metalik
di depan pintu kamar Mas Ganteng. Tulisan berbahasa Arab gundul. Tak bisa
kubaca. Tetapi aku bisa membaca artinya: Jangan masuk sebelum memberi salam!
“Assalaamu’alaikum!”seruku.
Pintu kamar terbuka dan kulihat senyum lembut Mas Ganteng.
“Assalaamu’alaikum!”seruku.
Pintu kamar terbuka dan kulihat senyum lembut Mas Ganteng.
“Wa
alaikummussalaam warohmatullahi wabarokatuh. Ada apa Gita? Kok teriak-teriak
seperti itu?” tanyanya.
“Matiin
kasetnya!”kataku sewot.
“Lho
memangnya kenapa?” Tanya Mas Ganteng.
“Gita
kesel bin sebel dengerin kasetnya Mas Ganteng! Memangnya kita orang Arab,
masangnya kok lagu-lagu Arab gitu!” aku cemberut.
“Ini
Nasyid. Bukan sekedar nyanyian Arab tapi dzikir, Gita!”
“Bodo!”
“Lho,
kamar ini kan daerah kekuasaannya Mas. Boleh Mas melakukan hal-hal yang Mas
sukai dan Mas anggap baik di kamar sendiri,” kata Mas Ganteng sabar. “Kemarin
waktu Mas pasang di ruang tamu, Gita ngambek.., Mama bingung. Jadinya ya dipasang
di kamar.”
“Tapi
kuping Gita terganggu Mas! Lagi asyik dengerin kaset Air Supply yang baru…, eh
tiba-tiba terdengar suara aneh dari kamar Mas!”
“Mas
kan pasang kasetnya pelan-pelan…”
“Pokoknya
kedengaran!”
“Ya,
wis. Kalau begitu Mas ganti aja dengan nasyid yang bahasa Indonesia atau bahasa
Inggris. Bagus lho!”
“Ndak,
pokoknya Gita nggak mau denger!” Aku ngeloyor pergi sambil membanting pintu
kamar Mas Ganteng
Heran. Aku benar-benar tak habis pikir
mengapa selera musik Mas Ganteng jadi begitu. Ke mana kaset-kaset Scorpion,
Wham, Elton John, Queen, Eric Claptonnya?”
“Wah,
ini nggak seperti itu Gita! Dengerin Scorpion atau Eric Clapton belum tentu
mendatangkan manfaat, apalagi pahala. Lainlah dengan nasyid senandung islami.
Gita mau denger? Ambil aja di kamar. Mas punya banyak kok!” begitu kata Mas Ganteng.
Oala.
Sebenarnya perubahan Mas Ganteng nggak Cuma itu. Banyak. Terlalu banyak malah! Meski aku cuma adik kecilnya yang baru kelas dua SMA, aku cukup jeli mengamati perubahan-perubahan itu. Walau bingung untuk mencernanya. Di satu sisi kuakui Mas Ganteng tambah alim. Shalat tepat waktu berjamaah di Masjid, ngomongnya soal agama terus. Kalau aku iseng mengintip dari lubang kunci, ia pasti lagi ngaji atau membaca buku Islam. Dan kalau aku mampir ke kamarnya, ia dengan senang hati menguraikan isi buku yang dibacanya, atau malah menceramahiku.
Oala.
Sebenarnya perubahan Mas Ganteng nggak Cuma itu. Banyak. Terlalu banyak malah! Meski aku cuma adik kecilnya yang baru kelas dua SMA, aku cukup jeli mengamati perubahan-perubahan itu. Walau bingung untuk mencernanya. Di satu sisi kuakui Mas Ganteng tambah alim. Shalat tepat waktu berjamaah di Masjid, ngomongnya soal agama terus. Kalau aku iseng mengintip dari lubang kunci, ia pasti lagi ngaji atau membaca buku Islam. Dan kalau aku mampir ke kamarnya, ia dengan senang hati menguraikan isi buku yang dibacanya, atau malah menceramahiku.
Ujung-ujungnya “Ayo dong Gita, lebih
feminim. Kalau kamu mau pakai rok, Mas rela deh pecahin celengan buat beliin
kamu rok atau baju panjang. Muslimah kan harus anggun. Coba adik manis, ngapain
sih rambut ditrondolin begitu!”
Uh. Padahal dulu Mas Ganteng oke-oke
saja melihat penampilanku yang tomboy. Dia tahu aku cuma punya dua rok! Ya rok
seragam sekolah itu saja! Mas Ganteng juga tidak pernah keberatan kalau aku
meminjam baju kaos atau kemejanya. Ia sendiri dulu selalu memanggilku Gito,
bukan Gita! Eh sekarang pakai panggil adik manis segala!
Hal lain yang nyebelin, penampilan Mas Ganteng jadi aneh. Sering juga Mama menegurnya. “Penampilanmu kok sekarang lain Mas?”
Hal lain yang nyebelin, penampilan Mas Ganteng jadi aneh. Sering juga Mama menegurnya. “Penampilanmu kok sekarang lain Mas?”
“Lain
gimana Ma?”
“Ya
nggak semodis dulu. Nggak dendy lagi. Biasanya kamu kan paling sibuk sama
penampilan kamu yang kayak cover boy itu…”
Mas
Ganteng cuma senyum. “Suka begini Ma. Bersih, rapi meski sederhana. Kelihatannya
juga lebih santun.”
Ya, dalam pandanganku Mas Ganteng kelihatan
menjadi lebih kuno, dengan kemeja lengan panjang atau baju koko yang dipadu
dengan celana panjang semi baggy-nya. “Jadi mirip Pak Gino.” Komentarku
menyamakannya dengan supir kami. “Untung aja masih lebih ganteng.”
Mas Ganteng cuma tertawa. Mengacak-acak rambutku
dan berlalu. Mas Ganteng lebih pendiam? Itu juga kurasakan. Sekarang Mas Ganteng
nggak kocak seperti dulu. Kayaknya dia juga males banget ngobrol lama dan
bercanda sama perempuan. Teman-temanku bertanya-tanya. Shely, pragawati sebelah
rumah kebingungan.
Dan..yang
paling gawat, Mas Ganteng emoh salaman sama perempuan! Kupikir apa sih maunya Mas
Ganteng?”
“Sok
kece banget sih Mas? Masak nggak mau jabatan tangan sama Tresye? Dia tuh cewek
paling beken di sanggar Gita tahu?” tegurku suatu hari. “Jangan gitu dong. Sama
aja nggak menghargai orang!”
“Justru
karena Mas menghargai dia, makanya Mas begitu,” dalihnya, lagi-lagi dengan nada
yang amat sabar. “Gita lihat kan gaya orang Jawa salaman? Santun tetapi nggak
sentuhan. Itu yang lebih benar!”
Huh,
nggak mau salaman. Ngomong nunduk melulu…, sekarang bawa-bawa orang Jawa. Apa
hubungannya?”
Mas
Ganteng membuka sebuah buku dan menyorongkannya kepadaku.”Baca!”
Kubaca
keras-keras. “Dari Aisyah ra. Demi Allah, demi Allah, demi Allah, Rasulullah
Saw tidak pernah berjabatan tangan dengan wanita kecuali dengan mahromnya.
Hadits Bukhori Muslim.”
Mas
Ganteng tersenyum.
“Tapi
Kyai Anwar mau salaman sama Mama. Haji Kari, Haji Toto, Ustadz Ali…,” kataku.
“Bukankah
Rasulullah Uswatun hasanah? Teladan terbaik?” Kata Mas Ganteng sambil mengusap
kepalaku. “Coba untuk mengerti ya dik manis?”
Dik
manis? Coba untuk mengerti? Huh! Dan seperti biasa aku ngeloyor pergi dari
kamar Mas Ganteng dengan mangkel.
Menurutku Mas Ganteng terlalu fanatik.
Aku jadi khawatir, apa dia lagi nuntut ilmu putih? Ah, aku juga takut kalau dia
terbawa orang-orang sok agamis tapi ngawur. Namun akhirnya aku tidak berani
menduga demikian. Mas Ganteng orangnya cerdas sekali. Jenius malah. Umurnya
baru dua puluh satu tahun tetapi sudah tingkat empat di FT-UI. Dan aku yakin
mata batinnya jernih dan tajam. Hanya…yaaa akhir-akhir ini dia berubah. Itu
saja. Kutarik napas dalam-dalam.
“Mau
kemana Gita?”
“Nonton
sama temen-temen.” Kataku sambil mengenakan sepatu.”Habis Mas Ganteng kalau diajak
nonton sekarang kebanyakan nolaknya.”
“Ikut
Mas aja yuk!”
“Ke
mana? Ke tempat yang waktu itu lagi? Ogah. Gita kayak orang bego di sana!”
Aku masih ingat jelas. Beberapa waktu
lalu Mas Ganteng mengajak aku ke rumah temannya. Ada pengajian. Terus pernah
juga aku diajak menghadiri tablig akbar di suatu tempat. Bayangin, berapa kali
aku diliatin sama cewek lain yang kebanyakan berjilbab itu.
Pasalnya aku ke sana dengan memakai kemeja lengan pendek,
jeans belel dan ransel kumalku. Belum lagi rambut trondol yang tidak bisa
disembunyiin. Sebenarnya Mas Ganteng menyuruhku memakai baju panjang dan
kerudung yang biasa Mama pakai ngaji. Aku nolak sambil ngancam nggak mau ikut.
“Assalamualaikum!”
terdengar suara beberapa lelaki.
Mas
Ganteng menjawab salam itu. Tak lama kulihat Mas Ganteng dan teman-temannya di
ruang tamu. Aku sudah hafal dengan teman-teman Mas Ganteng. Masuk, lewat,
nunduk-nunduk, nggak ngelirik aku…, persis kelakuannya Mas Ganteng.
“Lewat
aja nih, Gita nggak dikenalin?”tanyaku iseng.
Dulu nggak ada teman Mas Ganteng yang
tak akrab denganku. Tapi sekarang, Mas Ganteng bahkan nggak memperkenalkan
mereka padaku. Padahal teman-temannya lumayan handsome.
Mas
Ganteng menempelkan telunjuknya di bibir. “Ssssttt.”
Seperti biasa aku bisa menebak kegiatan
mereka. Pasti ngomongin soal-soal keislaman, diskusi, belajar baca Quran atau
bahasa Arab… yaa begitu deh!
“Subhanallah,
berarti kakak kamu ihkwan dong!” Seru Farah setengah histeris mendengar
ceritaku. Teman akrabku ini memang sudah hampir sebulan berjilbab rapi.
Memusiumkan semua jeans dan baju-baju you can see-nya.
“Ikhwan?’
ulangku. “Makanan apaan tuh? Saudaranya bakwan atau tekwan?” Suaraku yang keras
membuat beberapa makhluk di kantin sekolah melirik kami.
“Husy,
untuk laki-laki ikhwan dan untuk perempuan akhwat. Artinya saudara. Biasa
dipakai untuk menyapa saudara seiman kita.” Ujar Farah sambil menghirup es
kelapa mudanya. “Kamu tahu Robbi atau Farhan kan? Aktivis Rohis kita itu contoh
ikhwan paling nyata di sekolah ini.”
Aku
manggut-manggut. Lagak Robbi dan Farhan memang mirip Mas Ganteng.
“Udah
deh Git. Nggak usah bingung. Banyak baca buku Islam. Ngaji. Insya Allah kamu
akan tahu menyeluruh tentang agama kita ini. Orang-orang seperti Robbi, Farhan
atau Mas Ganteng bukanlah orang-orang yang error. Mereka hanya berusaha
mengamalkan Islam dengan baik dan benar. Kitanya aja yang belum ngerti dan
sering salah paham.”
Aku
diam. Kulihat kesungguhan di wajah bening Farah, sobat dekatku yang dulu
tukang. ngocol ini. Tiba-tiba di mataku ia menjelma begitu dewasa.
“Eh
kapan kamu main ke rumahku? Mama udah kangen tuh! Aku ingin kita tetap dekat
Gita…mesti kita mempunyai pandangan yang berbeda, ” ujar Farah tiba-tiba.
“Farah,
aku kehilangan kamu. Aku juga kehilangan Mas Ganteng …” kataku jujur. “Selama
ini aku pura-pura cuek tak peduli. Aku sedih…”
Farah
menepuk pundakku. Jilbab putihnya bergerak ditiup angin.” Aku senang kamu mau
membicarakan hal ini denganku. Nginap di rumah, yuk, biar kita bisa cerita
banyak. Sekalian kukenalkan dengan Mbak Aisyah.
“Mbak
Aisyah?” Ku bertanya.
“Ya,
Sepupuku yang kuliah di Amerika. Lucu deh, pulang dari Amerika malah pakai
jilbab. Ajaib. Itulah hidayah.” Ujar Farah
“Hidayah?”
“Nginap
ya. Kita ngobrol sampai malam dengan Mbak Aisyah” Ajak Farah.
Sore
hari ku sampai rumah“Assalaamualaikum, Mas ikhwan.. eh Mas Ganteng!” tegurku
ramah.
‘‘Eh
adik Mas Ganteng. Dari mana aja? Bubar sekolah bukannya langsung pulang!” Kata Mas
Ganteng pura-pura marah, usai menjawab salamku.
“Dari
rumah Farah, teman sekolah, “jawabku pendek. “Lagi ngapain, Mas?”tanyaku sambil
mengitari kamarnya. Kuamati beberapa poster, kaligrafi, gambar-gambar pejuang
Palestina, Kashmir dan Bosnia. Puisi-puisi sufistik yang tertempel rapi di
dinding kamar. Lalu dua rak koleksi buku keislaman.
“Cuma
lagi baca!”
“Buku
apa?”
“Tumben
kamu pingin tahu?”
“Tunjukkin
dong, Mas…buku apa sih?”desakku.
“Eiit…eiitt
Mas Ganteng berusaha menyembunyikan bukunya.
Kugelitik
kakinya. Dia tertawa dan menyerah. “Nih..”serunya memperlihatkan buku yang
tengah dibacanya dengan wajah yang setengah memerah.
“Naah
yaaaa!”aku tertawa. Mas Ganteng juga. Akhirnya kami bersama-sama membaca buku
“Memilih Jodoh dan Tata Cara Meminang dalam Islam” itu.
“Maaas…”
“Apa
Dik Manis?”
“Gita
akhwat bukan sih?”
“Memangnya
kenapa?”
“Gita
akhwat atau bukan? Ayo jawab…” tanyaku manja.
Mas Ganteng tertawa. Sore itu dengan
sabar dan panjang lebar, ia berbicara padaku. Tentang Allah, Rasulullah.
Tentang ajaran Islam yang diabaikan dan tak dipahami umatnya.
Tentang kaum Muslimin di dunia yang selalu menjadi
sasaran fitnah serta pembantaian dan tentang hal-hal-lainnya. Dan untuk
pertamakalinya setelah sekian lama, aku kembali menemukan Mas Gantengku yang
dulu. Mas Ganteng dengan semangat terus
bicara. Terkadang ia tersenyum, sesaat sambil menitikan air mata. Hal yang tak
pernah kulihat sebelumnya.
“Mas
kok nangis?”
“Mas
sedih karena Allah, Rasul dan Islam kini sering dianggap remeh. Sedih karena
umat banyak meninggalkan Quran dan sunnah, juga berpecah belah. Sedih karena
saat Mas bersenang-senang dan bisa beribadah dengan tenang, saudara-saudara
seiman di belahan bumi lainnya sedang digorok lehernya, mengais-ngais makanan
di jalan dan tidur beratap langit.”
Sesaat kami terdiam. Ah Mas Ganteng yang gagah dan tegar ini ternyata sangat perasa. Sangat peduli.
Sesaat kami terdiam. Ah Mas Ganteng yang gagah dan tegar ini ternyata sangat perasa. Sangat peduli.
“Kok
tumben Gita mau dengerin Mas ngomong?” Tanya Mas Ganteng tiba-tiba.
“Gita
capek marahan sama Mas Ganteng!” ujarku sekenanya.
“Memangnya
Gita ngerti yang Mas katakan?”
“Tenang
aja. Gita ngerti kok!” kataku jujur. Ya, Mbak Aisyah juga pernah menerangkan
demikian. Aku ngerti deh meskipun tidak begitu mendalam.
Malam itu aku tidur ditemani buku-buku
milik Mas Ganteng. Kayaknya aku dapat hidayah.
Hari-hari berlalu. Aku dan Mas Ganteng mulai dekat
lagi seperti dulu. Meski aktifitas yang kami lakukan bersama kini berbeda
dengan yang dulu. Kini tiap Minggu kami ke Sunda Kelapa atau Wali Songo,
mendengarkan ceramah umum, atau ke tempat-tempat di mana tablig akbar digelar.
Kadang cuma aku dan Mas Ganteng. Kadang-kadang, bila sedikit terpaksa, Mama dan
Papa juga ikut.
“Apa
nggak bosan, Pa…tiap Minggu rutin mengunjungi relasi ini itu. Kebutuhan
rohaninya kapan?” tegurku. Biasanya Papa hanya mencubit pipiku sambil menyahut,
“Iya deh, iya!”
Pernah juga Mas Ganteng mengajakku ke
acara pernikahan temannya. Aku sempat bingung, soalnya pengantinnya nggak
bersanding tetapi terpisah. Tempat acaranya juga begitu. Dipisah antara lelaki
dan perempuan. Terus bersama souvenir, para tamu juga diberi risalah nikah.
Di sana ada dalil-dalil mengapa walimah mereka
dilaksanakan seperti itu. Dalam perjalanan pulang, baru Mas Ganteng memberi
tahu bagaimana hakikat acara pernikahan dalam Islam. Acara itu tidak boleh
menjadi ajang kemaksiatan dan kemubaziran. Harus Islami dan semacamnya. Ia juga
mewanti-wanti agar aku tidak mengulangi ulah mengintip tempat cowok dari tempat
cewek.
Aku
nyengir kuda.
Tampaknya
Mas Ganteng mulai senang pergi denganku, soalnya aku mulai bisa diatur. Pakai
baju yang sopan, pakai rok panjang, ketawa nggak cekakaan.
“Nyoba
pakai jilbab. Git!” pinta Mas Ganteng suatu ketika.
“Lho,
rambut Gita kan udah nggak trondol. Lagian belum mau deh.
Mas
Ganteng tersenyum. “Gita lebih anggun jika pakai jilbab dan lebih dicintai
Allah kayak Mama.”
Memang sudah beberapa hari ini Mama
berjilbab, gara-garanya dinasihati terus sama Mas Ganteng, dibeliin buku-buku
tentang wanita, juga dikomporin oleh teman-teman pengajian beliau.
“Gita
mau tapi nggak sekarang,” kataku. Aku memikirkan bagaimana dengan seabreg
aktivitasku, prospek masa depan dan semacamnya.
“Itu
bukan halangan.” Ujar Mas Ganteng seolah mengerti jalan pikiranku.
Aku
menggelengkan kepala. Heran, Mama yang wanita karier itu cepat sekali
terpengaruh dengan Mas Ganteng.
“Ini
hidayah, Gita.” Kata Mama. Papa yang duduk di samping beliau senyum-senyum.
“Hidayah?
Perasaan Gita duluan yang dapat hidayah, baru Mama. Gita pakai rok aja udah
hidayah lho! ” Mas Gagah bengong.
Dengan penuh kebanggaan kutatap lekat
wajah Mas Ganteng. Gimana nggak bangga? Dalam acara studi tentang Islam yang
diadakan FTUI untuk umum ini Mas Ganteng menjadi salah satu pembicaranya. Aku
yang berada di antara ratusan peserta rasanya ingin berteriak, “Hei itu kan Mas
Ganteng -ku!” Mas Ganteng tampil tenang. Gaya penyampaiannya bagus,
materi yang dibawakannya menarik dan retorikanya luar biasa. Semua hening
mendengar ia bicara. Aku juga. Mas Ganteng fasih mengeluarkan ayat-ayat Al-Quran
dan hadits. Menjawab semua pertanyaan dengan baik dan tuntas.
Aku sempat bingung, “Lho Mas Ganteng kok
bisa sih?” Bahkan materi yang disampaikannya jauh lebih bagus daripada yang
dibawakan oleh kyai-kyai kondang atau ustadz tenar yang biasa kudengar.
Pada kesempatan itu Mas Ganteng berbicara tentang
Muslimah masa kini dan tantangannya dalam era globalisasi.
“Betapa
Islam yang jelas-jelas mengangkat harkat dan martabat wanita, dituduh mengekang
wanita hanya karena mensyariatkan jilbab. Jilbab sebagai busana takwa, sebagai
identitas Muslimah, diragukan bahkan oleh para muslimah kita, oleh orang Islam
itu sendiri, ” kata Mas Ganteng.
Mas
Ganteng terus bicara. Kini tiap katanya kucatat di hati.
Lusa ulang tahunku. Dan hari ini
sepulang sekolah, aku mampir ke rumah Farah. Minta diajarkan cara memakai
jilbab yang rapi. Tuh anak sempat histeris juga. Mbak Aisyah senang dan
berulang kali mengucap hamdallah. Aku mau kasih
kejutan kepada Mas Ganteng. Mama bisa dikompakin nanti sore aku akan
mengejutkan Mas Ganteng. Aku akan datang ke kamarnya memakai jilbab putihku.
Kemudian mengajaknya jalan-jalan untuk persiapkan tasyakuran ulang tahun
ketujuh belasku. Kubayangkan ia akan
terkejut gembira. Memelukku. Apalagi aku ingin Mas Ganteng yang memberi ceramah
pada acara syukuran yang insya Allah akan mengundang teman-teman dan anak-anak
yatim piatu dekat rumah kami.
“Mas
ikhwan.. Mas Ganteng.. Maasss.. Assalaamualaikum.. Kuketuk pintu Mas Ganteng dengan
riang.
“Mas
Gagah belum pulang. “kata Mama.
“Yaaaaa,
kemana sih, Ma??” keluhku.
“Kan
diundang ceramah di Bogor. Katanya langsung berangkat dari kampus…”
“Jangan-jangan
nginep, Ma. Biasanya malam Minggu kan suka nginep di rumah temannya, atau di Masjid.
“
“Insya
Allah nggak. Kan Mas Ganteng ingat ada janji sama Gita hari ini.” Hibur Mama
menepis gelisahku.
Kugaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal.
Entah mengapa aku kangen sekali sama Mas Ganteng.
“Eh,
jilbab Gita mencong-mencong tuh!” Mama tertawa.
Tanganku sibuk merapikan jilbab yang kupakai.
Tersenyum pada Mama.
Sudah
lepas Isya’ Mas Ganteng belum pulang juga.
“Mungkin
dalam perjalanan. Bogor kan lumayan jauh..” hibur Mama lagi.
Tetapi
detik demi detik menit demi menit berlalu sampai jam sepuluh malam, Mas Ganteng
belum pulang juga.
“Nginap
barangkali, Ma.” Duga Papa.
Mama
menggeleng. “Kalau mau nginap Gagah selalu bilang, Pa.”
Aku
menghela napas panjang. Menguap. Ngantuk. Jilbab putih itu belum juga
kulepaskan. Aku berharap Mas Ganteng segera pulang dan melihatku memakainya.
“Kriiiinggg!”
telpon berdering.
Papa
mengangkat telpon,”Hallo. Ya betul. Apa? Ganteng?”
“Ada
apa, Pa?” Tanya Mama cemas.
“Ganteng…
ganteng kecelakaan… sekarang di Rumah Sakit Islam…” suara Papa lemah.
“Mas
Ganteeeeeeengg” Air mataku tumpah. Tubuhku lemas
Tak lama kami sudah dalam perjalanan
menuju Cempaka Putih. Aku dan Mama menangis berangkulan. Jilbab kami basah.
Sampai di rumah sakit. Dari luar kamar kaca,
kulihat tubuh Mas Ganteng terbaring lemah. Kaki, tangan dan kepalanya penuh
perban. Informasi yang kudengar sebuah truk menghantam mobil yang dikendarai Mas
Ganteng. Dua teman Mas Ganteng tewas seketika sedang Mas Ganteng kritis.
Dokter melarang kami masuk ke dalam ruangan.
”
Tetapi saya Gita adiknya, Dok! Mas Ganteng pasti mau melihat saya pakai jilbab
ini.” Kataku emosi pada dokter dan suster di depanku.
Mama
dengan lebih tenang merangkulku. “Sabar sayang, sabar.”
Di
pojok ruangan Papa dengan serius berbicara dengan dokter yang khusus menangani Mas
Ganteng. Wajah mereka suram.
“Suster,
Mas Ganteng akan hidup terus kan, suster? Dokter? Ma?” tanyaku. “Papa, Mas Ganteng
bisa ceramah pada acara syukuran Gita kan?” Air mataku terus mengalir.
Tapi tak ada yang menjawab pertanyaanku
kecuali kebisuan dinding-dinding putih rumah sakit. Dan dari kaca kamar, tubuh
yang biasanya gagah dan enerjik itu bahkan tak bergerak.
“Mas Ganteng, sembuh ya, Mas…Mas..Ganteng, Gita udah menjadi adik Mas yang manis. Mas..Ganteng…” bisikku.
“Mas Ganteng, sembuh ya, Mas…Mas..Ganteng, Gita udah menjadi adik Mas yang manis. Mas..Ganteng…” bisikku.
Tiga jam kemudian kami masih berada di
rumah sakit. Sekitar ruang ICU kini telah sepi. Tinggal kami dan seorang bapak
paruh baya yang menunggui anaknya yang juga dalam kondisi kritis. Aku berdoa
dan terus berdoa. Ya Allah, selamatkan Mas Ganteng …Gita, Mama, Papa butuh Mas
Ganteng …umat juga.”
Tak
lama Dokter Joko yang menangani Mas Ganteng menghampiri kami. “Ia sudah sadar
dan memanggil nama Papa, Mama dan Gi..”
“Gita…”
suaraku serak menahan tangis.
Pergunakan
waktu yang ada untuk mendampinginya sesuai permintaannya. Sukar baginya untuk
bertahan. Maafkan saya…lukanya terlalu parah.” Perkataan terakhir dokter Joko
mengguncang perasaan, menghempaskan harapanku!.
“Mas…ini
Gita Mas..” sapaku berbisik.
Tubuh
Mas Ganteng bergerak sedikit. Bibirnya seolah ingin mengucapkan sesuatu.
Kudekatkan wajahku kepadanya. “Gita sudah pakai
jilbab, kataku lirih. Ujung jilbabku yang basah kusentuhkan pada tangannya.”
Tubuh
Mas Ganteng bergerak lagi.
“Dzikir…Mas.”
Suaraku bergetar. Kupandang lekat-lekat tubuh Mas Ganteng yang separuhnya
memakai perban. Wajah itu begitu tenang.
“Gi..ta…”
Kudengar suara Mas Ganteng. Ya Allah, pelan sekali.
Kudengar suara Mas Ganteng. Ya Allah, pelan sekali.
“Gita
di sini, Mas…”
Perlahan
kelopak matanya terbuka.
“Aku
tersenyum.”Gita…udah pakai…jilbab…” kutahan isakku.
Memandangku
lembut Mas Ganteng tersenyum. Bibirnya seolah mengucapkan sesuatu seperti
hamdallah.
“Jangan
ngomong apa-apa dulu, Mas…” ujarku pelan ketika kulihat ia berusaha lagi untuk
mengatakan sesuatu.
Mama dan Papa memberi isyarat untuk
gantian. Ruang ICU memang tidak bisa dimasuki beramai-ramai. Dengan sedih aku
keluar. Ya Allah…sesaat kulihat Mas Ganteng tersenyum. Tulus sekali. Tak lama
aku bisa menemui Mas Ganteng lagi. Dokter mengatakan tampaknya Mas Ganteng menginginkan
kami semua berkumpul.
Kian lama kurasakan tubuh Mas Ganteng semakin
pucat, tetapi sebentar-sebentar masih tampak bergerak. Tampaknya ia masih bisa
mendengar apa yang kami katakan, meski hanya bisa membalasnya dengan senyuman
dan isyarat mata.
Kuusap setitik lagi air mata yang jatuh.
“Sebut nama Allah banyak-banyak…Mas,” kataku sambil menggenggam tangannya. Aku
sudah pasrah pada Allah. Aku sangat menginginkan Mas Ganteng terus hidup,
tetapi sebagai insan beriman sebagaimana yang juga diajarkan Mas Ganteng, aku
pasrah pada ketentuan Allah. Allah tentu tahu apa yang terbaik bagi Mas Ganteng.
“Laa…ilaaha…illa..llah…Muham…mad
Ra..sul …Allah… suara Mas Ganteng pelan, namun tak terlalu pelan untuk bisa
kami dengar.
Semua terdiam kemudian menangis
histeris. “Inna lillahi wainna ilaihi roji’un” Mas Ganteng telah kembali kepada
Allah. Mas Ganteng Tenang sekali. Seulas senyum menghiasi wajahnya. Aku memeluk
tubuh yang terbujur kaku dan dingin itu kuat-kuat. Mama dan Papa juga. Isak
kami bersahutan walau kami rela dia pergi. Selamat jalan Mas Ganteng.
Epilog:
Kubaca berulang kali kartu ucapan Mas Ganteng.
Keharuan memenuhi rongga-rongga dadaku. Gamis dan jilbab hijau muda, manis
sekali. Akh, ternyata Mas Ganteng telah mempersiapkan kado untuk hari ulang
tahunku. Aku tersenyum miris.
Kupandangi kamar Mas Ganteng yang kini
lengang. Aku rindu panggilan dik manis, aku rindu suara nasyid. Rindu
diskusi-diskusi di kamar ini. Rindu suara merdu Mas Ganteng melantunkan kalam
Illahi yang selamanya tiada kan kudengar lagi. Hanya wajah para mujahid di
dinding kamar yang menatapku. Puisi-puisi sufistik yang seolah bergema d
iruangan ini.
Setitik
air mataku jatuh lagi.
“Mas,
Gita akhwat bukan sih?”
“Ya,
insya Allah akhwat!”
“Yang
bener?”
“Iya,
dik manis!”
“Kalau
ikhwan itu harus ada janggutnya, ya?!”
“Kok
nanya gitu sih?”
“Lha,
Mas Ganteng kan ada janggutnya?”
“Ganteng
kan?”
“Uuuuu!
Eh, Mas, kita kudu jihad ya?” Jihad itu apa sih?”
“Ya
always dong, jihad itu…”
Setetes,
dua tetes air mataku kian menganak sungai. Kumatikan lampu. Kututup pintu
kamarnya pelan-pelan. Selamat jalan Mas Ikhwan! Selamat jalan Mas Ganteng.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar