PASAR
PABUARAN CIREBON
Berjalan santai menggunakan motor di waktu senja ke arah
timur bersama si biru ( motor metic
ku ). Sambil melepas penat sore itu aku berangkat dari rumah, walaupun tak tau
akan kemana saya tetap mengendarai si
biru sambil jalan santai. Sampai tak terasa si biru sudah tiba di desa Karang wareng . aku terus saja melaju
hingga melewati desa Kubang Deleg seorang diri, Sore itu jalanan agak sedikit
rama, jadi saya harus ektrahati-hati bersama si biru tercinta karena jika menjelang sore banyak kendaraan
mobil dan motor yang melintas dengan kecepatan tinggi.
Hingga pukul lima sore tak terasa saya tiba di pasar
Pabuaran, sebuah pasar yang terletak di perempatan kecamatan Pabuaran Cirebon.
Pasar pabuaran menjadi pasar terbesar di sebelah timur kabupaten Cirebon,
sedangkan kecamatan pabuaran sendiri adalah hasil pemekaran dari kecamatan
ciledug.
Aku melewati beberapa pedagang kaki lima yang berjualan
jagung bakar dan jagung rebus. Sesaat aku pun berhenti dan tertarik untuk membeli
jagung bakar. Tak lengkap rasanya bila mampir ke pasar ini tak membeli jagung.
Tanpa di komando aku langsung memilih jagung yang masih muda di antara
karung-karung berisi jagung penuh untuk di bakar. Tak kesulitan bagiku untuk
mencari jagung sesuai keinginan, karena di pasar ini ada banyak sekali penjual
jagung, setelah itu jagungnya langsung di bakar. Tak berapa lama jagung itu
sudah matang dan siap disantap. Nikmat sekali rasanya makan jagung bakar di
waktu senja sambil melihat sang surya kembali keperaduannya.
Si biru ku
parkirkan begitu saja di tepi jalan, di pinggir pedagang buah dan nasi goreng.
Rupanya pasar Pabuaran ini tak banyak menyadiakan lahan untuk tempat
parkir. Maklum saja semua lahan sudah di
jejali para lapak dan pedagang kaki lima, Di tempat parkir ini para pedagang
terus saja memadati halaman parkir dan bibir jalan yang masih kosong. Beberapa
ibu-ibu tak lelah menawarkan barang dagangannya.
Pasar pabuaran ini sangat strategis, letaknya yang berada
di kecamatan dan di perempatan jalan memudahkan para pengunjung dari berbagai
daerah untuk berbelanja. Apalagi jika sudah musim hajatan, pasar ini menjadi
idola bagi para ibu-ibu., karena selain harganya yang sangat murah, sayuran dan
buah-buahannya pun masih sangat segar karena baru dipetik dari kebunnya. Cara
menuju pasar pabuaran pun sangat mudah karena ada berbagai jenis alat
transportasi mulai dari beca, angkot, ojeg, elp, dan delman.
Pasar ini terbagi menjadi dua. Bagian timur adalah pasar
induk yang menjual buah dan sayur sedangkan bagian barat adalah pasar campuran
yang menjajakan berbagai kebutuhan rumah tangga. Menjelang senja banyak
kios-kios sayur dan buah mulai kosong, seiring dengan lampu-lampu yang mulai
menerangi lorong-lorong pasar dan jalan raya. Sayup-sayup terdengar suara adzan
maghrib bersahutan dari berbagai masjid dan mushola. Beberapa orang pun segera
bergegas menuju toilet untuk berwudhu dan melaksanakan shalat maghrib. Walaupun
ada beberapa di antara para pedagang yang cuek atau masih sibuk tak
mempedulikan panggilan suci itu, entah di senghaja atau sudah terbiasa
mengabaikan kewajiban itu. Aku pun segera menuju masjid yang berada di sebelah
barat pasar untuk shalat berjamaah. Sepertinya masjid ini hanya ramai pada
waktu maghrib saja, karena waktu maghrib orang-orang sudai mulai meninggalkan
pekerjaannya.
Di sebelah Selatan pasar ada rumah sakit waled berdiri
dengan gagahnya, sebuah rumah sakit pemerintah yang terus diperluas karena
tidak cukup menampung pasien-pasien yang terus bertambah setiap tahunnya. Para
penjual makanan terus memadati jalan
sepanjang 200 KM dari RSUD Waled sampai pasar pabuaran.
Menjelang isya aku mencoba berjalan ke tengah pasar,
disana masih terlihat beberapa pedagang yang masih berjualan. Di bagian dalam
pasar terdapat deretan-deretan pedagang sayur, bumbu, daging, pedagang sembako,
dan pedagang khusus pakaian wanita, serta beberapa pedagang kelontong dan
perabot dapur. Begitu aku masuk, pedagang-pedagang itu langsung saja menawarkan
dagangannya atau sekedar bertanya milarian
naon teh ?
Suara-suara pedagang itu saling bersahutan tak menentu ku
lihat lapak-lapak kios yang terbuat dari meja kayu, karena tak niat membeli aku
pun hanya menggeleng dan tersenyum menanggapi tawaran para pedagang itu dan
berjalan menuju halaman depan pasar dekat si
biru di parkirkan. Bila kita berjalan kearah timur, kita akan sampai di
pasar Ciledug dan pasar gebang di daerah perbatasan Cirebon Timur, sedangkan
bila kita berjalan kearah utara kita akan sampai di desa babakan.
Menjelang pukul delapan malam, udara disini mulai tak
bisa diajak kompromi. Tapi rupanya saya masih betah berlama-lama disini, meski
harus bertahan melawan dingin yang mulai menyusup ke tulang-tulangku. Perutku
pun mulai keroncongan meminta diisi. Ku
amati sederetan pedagang makanan hingga akhirnya saya berjalan melewati
beberapa tukang beca dan warung tenda sea food. Mataku tertuju pada sebuah
warung angkringan sederhana yang menjajakan bajigur, gorengan, kue, dan bubur
sop, Pas sekali untuk teman perut di waktu dingin.
Tiba-tiba handphoneku berdering, sebuah sms masuk dari Mimih ( ibu ) menanyakan aku lagi
dimana. Saking asiknya dari tadi berkeliling pasar, aku tidak menyadari jika
sudah tiga jam disini. Setelah aku memesan bubur sop dan bajigur, aku langsung
menuju tempat parkir, menemui si biru yang
semenjak tadi sore aku cuekin.
Setelah si biru ku
stater, aku langsung meninggalkan pasar menuju waled. Ya.. malam ini aku
berniat menginap di rumah paman saja. Di tengah perjalanan hujan pun turun
dengan derasnya, kasihan si biru kehujanan
dan basah, aku mencari tempat untuk berteduh di depan kios baju dan warung
padang yang tak jauh dari pasar. Ku lihatb beberapa pedagang dengan sigap
mengemasi barang dagangannya, sedangkan di seberang jalan ku lihat seorang
satpam dengan santainya menikmati secangkir kopi hitam dan rokok di celah jari
tangannya tak terusik dengan hujan yang turun.
Disebelah tempat aku berteduh, ada sepasang suami istri
yang sedang berdebat. Tak sengaja aku mendengar sedikit obrolan mereka, rupanya
mereka sedang kebingungan dengan sayuran yang akan di kirim nanti malam. Aku
mulai gelisah menanti hujan reda, karena tak mungkin aku menginap di depan
warung padang ini.
Hingga pukul sembilan malam hujan belum juga berhenti,
lalu aku bertanya kepada sepasang suami istri itu, “ pasar ini tutup jam berapa kang ?” kemudian dia tersenyum lalu
menjawab “ pasar ini mah nggak pernah
tutup neng, hanya saja jam segini pasar
agak sepi”. Mendengar jawabannya aku tambah gelisah dan rasa takut pun
mulai menyelimuti diriku.
Pasar Pabuaran ini cukup unik, bisa di bilang pasar ini
terus buka 24 jam, tapi kalau siang hari sesudah dzuhur, banyak lapak-lapak
sayuran yang tutup di pasar induk Dan akan rame kembali pada sore hari itupun
bukan rame oleh pedagang sayuran. Sudah menjadi tradisi di pasar ini, para
pedagang sayuran akan mulai berdatangan pukul 01.00 pagi sampai menjelang
siang. Para pembelinya pun tak jarang berbelanja hingga beberapa karung. Tepat
pukul 21.30 hujan sudah reda dan aku bersiap membawa si biru menuju Waled desa ke rumah pamanku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar