NOVEL DAN FILM
BAB 1
PENDAHULUAN
1.
Pengarang Tidak Puas
Pengarang
Amerika, Ernest Heminyway, sering dikutip orang berbagai pengarang yang sering
kecewa jika novel-novelnya diangkat ke layar putih. Malahan pemenang Hadiah
Nobel ini bersedia membayar biaya yang dikeluarkan produser film, asalkan salah
satu film yang didasarkan pada novelnya tidak diedarkan.
Nama
pengarang yang kurang puas atau kecewa pada film yang didasarkan pada novel
atau karyanya ini tentu masih bisa kita perpanjang. Misalnya dengan Hilman
Hariwijaya (pengarang serial Lupus), Saut Poltak Tambunan, dan lain-lain. Namun
nama-nama pengarang yang sudah disebut tadi agaknya sudah cukup untuk
menunjukkan adanya persoalan jika sebuah novel dipindahkan ke film.
2.
Penonton Kecewa
Penonton
film pun sering kecewa menonton film yang didasarkan pada novel-novel tertentu.
Seprang kawan penulis misalnya, menyatakan kekecewaannya atas film Doctor
Zhivago yang disutradarai David Lean. Ketika penulis tanyakan “mengapa kecewa”,
kawan itu menjawab: “Filmnya tidak seindah Dokter Zhivagonya Boris Pasternak.
Dalam novel kita dapat membaca bagian-bagian yang sangat halus, sedangkan dalam
film kita tidak jumpai hal itu.
3.
Tentang Buku Ini
Bab lll mencoba
membicarakan hal-hal yang menyangkut pemindahan novel ke film, yang dalam buku
ini disebut ekranisasi. Perubahan apa saja yang terjadi bila sebuah novel di
filmkan? Ini akan dijawab dalam bab ini.
Bab lV berisi
kesimpulan dan saran. Disamping itu, dilampirkan pula wawancara dengan Sjuman
Djaya, seorang sutradara film Indonesia terkemuka dan pernah memfilmkan novel
Atheis.
4.
Istilah dan Ejaan
Untuk
kepentingan buku ini, penulis tidak merasa perlu mempertentangkan istilah roman
dan novel. Oleh sebab itu, guna keseragaman istilah, dalam buku ini penulis
menggunakan istilah novel. Dengan demikian, atheis karangan Achdiat K. Mihardja
akan disebut novel dan bukan roman sebagaimana lazimnya. Meskipun
demikian, dalam hal-hal tertentu,
mungkin saja pemakaian istilah ini tidak konsekuen. Misalnya ada kutipan yang
memakai istilah roman, penulis akan tetap mempertahankannya. Dengan catatan:
penulis menafsirkannya sama dengan istilah novel dalam buku ini.
Pemindahan
atau pengankatan novel ke film dalam buku ini disebut ekranisasi. Istilah yang
berasal dari bahasa Prancis ini, menurut hemat penulis, lebih tajam daripada
istilah adaptasi. Sebab adaptasi bisa berarti hanya mengankat cerita atau
tokoh-tokoh novel, sedangkan ekranisasi berarti pemindahan novel ke layar putih
atau dengan kata lain: memfilmkan novel.
BAB
II
NOVEL
DAN FILM
1.
Cerita
Menurut
Forster, cerita adalah “pengisahan kejadian dalam waktu” dan “cerita adalah
basis sebuah novel”. Tanpa kehadiran cerita, sia-sialah usaha seorang pengarang
untuk berkomunikasi dengan orang lain (pembaca), sebab orang tidak menemukan apa-apa
dalam novel bersangkutan. Lebih jauh lagi, seseorang tak mungkin menulis novel
dengan mengabaikan unsure cerita: cerita adalah hakikat novel. Misalkan
Revolusi Oktober tidak meletus di Rusia.
Lazimnya,
cerita dalam novel berkonotasi pada “kelampauan”. Artinya, kejadian-kejadian
yang dikisahkan biasanya sudah lewat di belakang pembaca. Dengan demikian, orang
(pembaca) hanya bisa membayangkan apa yang dikisahkan pengarang, sebagai
sesuatu yang terjadi pada masa lampau. Revolusi Oktober yang dikisahkan dalam
novel Dokter Zhivago dibaca orang jauh setelah revolusi itu usai. Demikian pula
dengan penjajahan Jepang dalam novel-novel Pramoedya Ananta Toer (Perburuan),
Achdiat K. Mihardja (Atheis), Idrus (Hati Nurani Manusia), dan Harijadi S.
Hartowardojo (Perjanjian dengan Maut); dibaca orang setelah kejadian itu
berlaku.
Pada
hakikatnya, film juga merupakan pengisahan kejadian dalam waktu. Tetapi
kejadian dalam film tidak berkonotasi pada “kelampauan”, melainkan berkonotasi
pada “kekinian”, pada sesuatu yang “sedang” terjadi.
Film
merupakan medium audio-visual, suara pun ikut mengambil peranan di dalamnya.
Film juga merupakan gabungan dari berbagai ragam kesenian: music, seni rupa,
drama, sastra ditambah dengan unsure fotografi. Itulah yang menyebabkan film
menjadi kesenian yang kompleks, seperti tercermin dalam istilah total art
ataupun collective art.
2.
Alur
Cerita
adalah pengisahan kejadian dalam waktu. Alur pun merupakan pengisahan kejadian
dalam waktu. Hanya saja, pada yang belakangan ini harus ditambahkan unsur sebab
akibat. Dengan demikian, alur adalah pengisahan kejadian dengan tekanan pda
sebab musabab. Yang penting bukan kejadian itu sendiri, melainkan alasan
(motif) kejadian itu: Mengapa sampai terjadi? Apa sebabnya?.
Dari
segi kuantitatif, alur dalam novel dapat dibagi dua, ylakni alur tunggal hanya
terdapat satu jalinan cerita, sedangkan pada alur ganda terdapat lebih dari
satu jalinan cerita. Lazimnya alur mempunyai bagian-bagian yang secara
konvensional dikenal sebagai permulaan (beginning), pertikaian/perumitan
(rising action), puncak (climax), peleraian (falling action), dan akhir (end).
Pada
permulaan, biasanya pengarang memperkenalkan tokoh-tokohnya. Tokoh yang satu
dihuungkan dengan tokoh lainnya. Dari perhungan ini akan terjadi pelbagi persoalan,
yang makin lama makin memuncak. Kemudian cerita melaju pada pelarian.
Tokoh-tokoh dalam cerita menempuh jalan atau sikap-sikap sendiri-sendiri,
sampai pada suatu akhir cerita.
Satu
hal yang perlu diperhatikan seorang novelis adalah unsure tegangan (suspense).
Unsure ini penting untuk memancing rasa ingin tahu pembaca akan
kejadian-kejadian selanjutnya. Novelis yang baik tentu amat menyadari hal ini.
Sebab kalau tidak, novelnya akan ditinggalkan orang (pembaca) sebelum habis
dibaca.
Film
mempunyai keterbatasan ruang dan keterbatasan teknis. Jangka putar film
biasanya berkisar antara satu setengah hinggga dua jam. Oleh sebab itu, film
lebih sering memakai alur tunggal saja. Walau demikian, bukan berarti film
tidak bisa mengungkapkan persoalan-persoaln yang kompleks. Bisa saja, asal
kekompleksan itu diabdikan pada satu jalan cerita atau tema-plot sebagai
pusatnya.
Di
samping itu, sebuah cerita beralur ganda juga mungkin difilmkan, dengan
catatan: waktu putar film itu akan bertambah panjang. Meskipun begitu, hal ini
tidak selalu bisa dilaksanakan, mengingat daya tahan mata penonton yang amat
terbatas pula. Lebih dari dua jam duduk di kursi, biasanya penonton sudah mulai
jemu, teruta bila filmya buruk atau jelek.
3.
Penokohan
Biasanya
tokoh-tokoh dalam novel adalah manusia. Tetapi kadang-kadang ada juga yang
tokohnya binatang. Dalam novel Kappa (Ryunosuke Akutagawa) misalnya, tokohnya
adalah sejenis hewan bernama kappa. Sedangkan dalam novel Perjanjian dengan
Maut (Harijadi S. Hartowardojo) dijumpai adanya tokoh roh halus, yaitu Nyai
Roro Kidul.
Menurut
Rene Wellek dan Austin Werren, cara paling sederhana untuk mengenali
tokoh-tokoh novel adalah dengan pemberian nama. Melalui sifat atau watak yang
dimiliki tokoh-tokoh novel, pembaca dapat mengerti mengapa suatu tindakan atau
kejadian terjadi. Watak yang dipunyai seseorang, juga merupakan motivasi untuk
kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa selanjutnya yang terjalin dalam
cerita dan alur.
Penokohan
berfungsi untuk menunjang cerita dan alur. Atau dengan kata lain, “penokohan
bertugas menyiapkan atau menyediakan alasan bagi tindakan-tindakan tertentu”
yang terjadi dalam keseluruhan novel.
Filmpun
mempunyai tokoh-tokoh, sebagai pelaku dalam sebuah film. Berlainan dengan cara
penampilan tokoh-tokoh dalam novel, film menampilkan tokoh-tokohnya secara
langsung dan secara visual. Dengan demikian, penokohan cara analitik (langsung)
yang dikenal dalam novel, tidak dikenal dalam film. Sebab, tokoh-tokoh dalam
film tidaklah dibangun dengan kata-kata, melainkan tokoh itu langsung hadir di
hadapan penonton film, dengan pertolongan gambar-gambar yang bergerak
berkelanjutan di layar putih.
Dari
penampilan tokoh-tokoh film secara langsung (visual) itulah penonton mengetahui
sifat (watak), sikap-sikap, dan kecenderungan-kecenderungan sang tokoh.
4.
Latar
latar dalam film ditampilkan secara visual
melalui gambar-gambar yang bergerak berkelanjutan, sehingga apa yang kelihatan
di layar putih seolah-olah sedang terjadi dalam kehidupan sesungguhnya
(kehidupan nyata). Apabila dalam novel orang (pembaca) hanya bisa membayangkan
tempat tinggal seseorang, keadaan satu keluarga, keadaan masyarakat, dalam film
orang (penonton) menyaksikannya di depan mata.
Latar
dalam film juga mempunyai fungsi dramatik. Dalam film The Passenger misalnya,
sutradara Michelangelo Antonioni memperlihatkan sebuah adegan di gurun pasir,
ketika mobil yang dikendarai David Licke (Jack Nicholson) tiba-tiba mogok.
5.
Suasana
Sebuah
novel tentu mempunyai suasana tertentu. Tindakan tokoh-tokohnya akan memberikan
petunjuk bagaimana suasananya pada saat itu. Latar pun dapat menunjukkan
suasana tertentu, sehingga cerita terasa lebih hidup, perabotan rumah serba
sederhana member petunjuk, penghuninya keluarga miskin, perabotan serba lux
member petunjuk, penghuninya adalah keluarga kaya.
6.
Gaya
Gaya
seorang pengarang bisa diketahui melalui karyanya. Karena seperti dikatakan
Carlyle, “Gaya bukan hanya baju, melainkan kulit pengarang itu sendiri.
Pernyataan ini diperkuat lagi dengan pendapat Buffon: “Gaya adalah orangnya
sendiri”.
Ada
juga anggapan mengatakan, gaya seorang pengarang menyangkut pemilihan tema,
pemilihan tokoh-tokoh, pemilihan latar dan seterusnya. Akan tetapi, pengertian
gaya dalam buku ini penulis pakai dalam arti sempit. Yakni hanya menyangkut cara
khas seorang pengarang untuk mengutarakan/mengemukakan cerita, ide, maksud, dan
pesannya. Gaya ini tak lepas dari pemakaian bahasa dan lebih khusus lagi
menyangkut gaya bahasa dan cara pengisahan atau cara bercerita.
7.
Tema/Amanat
Amanat
adalah sesuatu yang menjadi pendirian, sikap atau pendapat pengarang mengenai
inti persoalan yang digarapnya. Dengan kata lain amanat adalah pesan pengarang
atas persoalan yang dikemukakan.
Film
pun mempunyai tema tertentu, yakni inti persoalan yang hendak diutarakan/disampaikan
pembuat film kepada penontonnya. Tema itulah yang harus dituangkan dalam
gambar-gambar, sehingga penonton dapat menangkap pesan atau ide pembuat film.
Seperti dalam novel, besar kecilnya tema film bukanlah jaminan berhasil
tidaknya sebuah film. Keberhasilan film tergantung pada beberapa factor:
sekenario, pengambilan gambar, permainan para pelaku, penyusunan gambar, dan
lain-lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar