2013/10/14

cerpen bertema lingkungan

Mungkin Aku Lelah

Hemm. Lagi-lagi begini lagi. Iya ini sangat membuatku terganggu, aku bukan orang yang aneh. Aku juga bukan orang yang pemalu atau mudah depresi. Bukan sama sekali. kebiasaan yang buruk memang terkadang membawa pengaruh tidak baik, bahkan hal kecil sekalipun. Jadi lupa makan, sampai malas makan. Punya orang tua super perhatian dan super cuek pasti beda rasanya. Yang super perhatian hal terkecil pun diperhatikan sedangkan super cuek kalau sudah membahayakan baru deh ditegur. Aku bukan orang yang perhatian atau mungkin cuek, tapi setidaknya aku peduli, peduli terhadap diri sendiri, orang tua, keluarga, teman, orang lain dan sekitarnya, sekitar aku saja! Aku sudah berusaha untuk menunjukkan bahwa apa yang aku lakukan memang harus dilakukan. Duh, aku tidak boleh mengeluh seperti ini. Ada baiknya kalau aku meyakinkan mereka lagi bahwa apa yang aku lakukan ini memang untuk kebaikan. Bukan hanya untuk aku. Tetapi, hal ini aku lakukan untuk kita juga. Nah, inilah yang di anggap menjadi masalah oleh kedua orang tuaku.
Terkadang cita-cita hanya seperti mimpi, cita-cita menggapai bintang padahal maksudnya menjadi seperti bintang, yang selalu indah dipandang mata, yang menandakan cuaca yang cerah, dan menjadi pelengkap malam. Tapi malah dipandang sebelah mata, sama seperti halnya terang bintang dibanding terang bulan, jauh bintang kalah. Seperti cita-cita menjadi artis, penyanyi, dan sejajarnya itu dipandang lebih bersinar dibanding cita-cita yang hanya menjadi pengajar, pegawai, dan PNS.
Sulit memang memandang kenyataan, aku yang  punya cita-cita ingin seperti bintang hanya dipandang sebelah mata, hanya karna orang tua padahal prestasi juga membawa cita-cita. Tidak harus dari garis keturunan. Ibu cuma bilang jangan terlalu tinggi kalau menghayal, ayah bilang raih mimpi setinggi langit. Yaa begitulah!
Aku punya kebiasaan, tidur tengah malam dan jarang makan, padahal begadangnya aku bukan cuma begadang tidak jelas. ya seperti mengerjakan tugas aku lebih senang ketika malam datang karena lebih tenang bawaanya, kalau jarang makan sebenarnya bukan karena sengaja tapi dari apa yang aku kerjakan belum selesai, kalau sudah lapar juga nanti ditunda dulu, keseringan begitu. Aku punya cita-cita tapi ibu selalu mengingatkan wanita, "setinggi-tingginya wanita ya turunya akan ke dapur juga", begitu kata ibu. Pada hakikatnya memang sudah kodrat wanita tapi bukan berarti wanita harus diam di dapur itu menurutku. Kedengarannya ibu seperti tidak mendukung tapi aku selalu berusaha tidak hanya menjelaskan dengan kata-kata tapi apa yang kita kerjakan bisa menjadi bukti. Wanita, dapur, dan bekerja itu bisa manjadi satu pekerjaan, tanpa harus meninggal kodrat sebagai wanita.
Ayah selalu menjadi penyemangat dalam setiap langkah, langkah apa yang akan aku tempuh ayah pasti mendukung dan membatu agar aku bisa mencapainya. Saat ibu menolak keinginanku malah justru ayah mendukungku. Aku hanya ingin jadi contoh yang baik untuk adik-adikku agar supaya kakaknya saja berhasil sukses bagaimana adiknya bisa lebih sukses itu impianku.
Maklum keluarga besarku hanyalah keluarga sederhana, hidup penuh kesederhanan tapi, apa salah? Jika aku ingin menjadi lebih baik. Tidak mungkinkah? Jika aku membuat garis keturunan sendiri. Aku tidak ingin hanya sederhana, tidak ingin juga berlebihan. Apa salah? Jika ingin lebih baik. Menurutku itu manusiawi, sangat manusiawi sampai kapan kita bertahan di bawah berkecukupan?Kita hanya manusia yang tak pernah cukup puas, tapi kita juga harus cukup bersyukur dengan lebih berusaha agar menjadi lebih baik lagi.

Selain ayah, ibuku juga tak setuju dengan hal-hal yang aku lakukan. Meskipun kedua pasangan ini berasal dari dua pribadi yang berbeda, pola pikirnya tak jauh berbeda. Egois, egois, dan egois. Selagi ada kesempatan, mengapa kita tidak boleh mencoba untuk berusaha? Selagi masih ada waktu, mengapa kita tidak meluangkan seperempat waktu yang kita miliki untuk belajar

Tidak ada komentar: