Tampe Ruma Sani
Oleh : Neneng Khoirunnisha
Cerita
ini berasal dari Dompu, salah satu kabupaten di Nusa Tenggara Barat.
Alkisah
pada zaman dulu, tinggallah seorang anak perempuan bernama Tampe Ruma Sani.
Semua orang di kampungnya mengenal dia, sebab setiap hari ia menjajakan ikan
hasil tangkapan ayahnya. Ibunya sudah meninggal. Di rumahnya ia tinggal bersama
ayah dan adik laki-lakinya yang masih kecil. Ia memasak nasi untuk ayah dan
adiknya. Kasihan Tampe Ruma Sani yang masih kecil itu harus mengerjakan
pekerjaan rumah tangga yang seharusnya dikerjakan oleh orang dewasa.
Pada
suatu hari, seorang janda menyapa Tampe Rurna Sani, “Sudah habis ikanmu Nak?
Tiap hari saya lihat ikanmu cepat habis, apa rahasianya?”
“Saya
menjual lebih murah dari yang lain, agar cepat habis, karena saya harus segera
pulang menanak nasi untuk ayah dan adik saya. Juga pekerjaan rumah tangga yang
lain harus saya kerjakan”, jawab Tampe Rurna Sani sambil berjalan cepat.
“Siapa
nama adikmu?”
“Mahama
Laga Ligo”, jawab Tampe Rurna Sani. “Mengapa bukan adikmu yang memasak?”
“Adikku
masih kecil, belum bisa memasak.” Bermacam-macam pertanyaan janda itu kepada Tampe
Ruma Sani.
“Sampaikan
salamku kepada ayahmu! Aku mau membantu kalian dan tinggal di rumah ayahmu. Aku
mau membuat tembe (sarung), sambolo (destar) dan ro sarowa (celana) untuk
ayahmu”, kata janda itu dengan manis.
“Baik
Bu, akan saya sampaikan kepada ayah.” Singkat cerita janda itu kini telah kawin
dengan ayah mereka, dan menjadi ibu tirinya.
Kini
Tampe Ruma Sani lidak lagi memasak. Pekerjaannya hanya menjajakan ikan saja.
Sekali-sekali ikut menumbuk padi. Setiap menumbuk padi, ibunya selalu berpesan
agar beras yang utuh dipisahkan dengan yang hancur.
Pada
mulanya, ibu tirinya sangat baik kepada Tampe Ruma Sani dan adiknya. Namun,
lama-kelamaan sikapnya berubah. Tampe Rurna Sani dan Mahama Laga Ligo mendapat
perlakuan yang kurang baik, lebih-lebih kalau ayahnya tidak berada di rumah.
Pada
suatu hari, ayahnya baru pulang menangkap ikan. Sang ibu tiri segera menyiapkan
makanan yang enak-enak untuknya. Sedang untuk anak ttrinya disediakan nasi
menir (nasi dari beras yang hancur kecil-kecil). Melihat hal itu, Tampe Ruma
Sani memberanikan diri lapor kepada ayahnya, “Ayah dan ibu makan nasi yang
bagus dan ikannya yang enak-enak, sedang saya dan adik nasinya kecil-kecil dan
tidak ada ikannya”. Mendengar hal itu ayahnya bertanya, “Mengapa makanan
anak-anak berbeda dengan makanan kita Bu?”
“Oo
tidak Pak, sebenarnya sama saja, lihatlah sisa makanan yang ada di kepala
Mahama Laga Ligo,” jawab istrinya.
Sebenarnya
nasi yang ada di kepala Mahama Laga Ligo sengaja ditaruh oleh ibu tirinya
menjelang ayahnya datang. Hal yang demikian telah dilakukan berkali-kali.
Ibunya sangat marah kepada Tampe Ruma Sani yang berani melaporkan kepada
ayahnya. Setelah suaminya pergi, sang ibu tiri menghajar Tarnpe Ruma Sani
sampai babak belur. Tampe Ruma Sani menangis sejadi-jadinya. Melihat kakaknya
dihajar, Mahama Laga Ligo pun ikut menangis.
“Kalau
kalian berani melapor kepada ayahmu akan kubunuh kalian!” ancamnya.
Perlakuan
kasar telah biasa diterima oleh kedua anak itu. Mereka tidak berani melaporkan
kejadian itu kepada ayahnya, karena takut ancaman ibu tirinya.
Kini
kedua anak itu sudah besar dan menginjak dewasa. Kakak beradik itu bermaksud
pergi meninggalkan orang tuanya untuk mencari nafkah sendiri, karena tidak
tahan lagi menerima siksaan ibu tirinya. Maksud itu pun disampaikan kepada
ayahnya, “Ayah, kami sekarang sudah besar, ingin pergi mencari pengalaman. Oleh
karena itu, izinkanlah saya dan Mahama Laga Ligo pergi”.
“Mengapa
engkau mau meninggalkan rumah ini? Tetaplah di sini. Rumah ini nanti akan
sepi.” kafa ayahnya. Ibu tirinya segera menyahut, “Benar kata Tampe Ruma Sani.
Dia kini sudah besar. Bersama adiknya tentu ingin mandiri. Maka sebaiknya ayah
mengizinkan mereka pergi.” Ibu tirinya memang sudah tidak senang dengan
anak-anak tirinya yang dirasa sangat mengganggu.
Akhirnya,
ayahnya pun dengan berat mengizinkan, berkat desakan istrinya yang
terus-menerus.
Pagi
hari sesudah sholat subuh, kedua anak itu meninggalkan rumahnya. Ibu tirinya
memberi bekal nasi dalam bungkusan. Ayahnya mengantarkan sampai ke batas desa.
Alkisah,
kedua anak itu berjalan menyusuri hutan dan sungai. Sesekali mereka
membicarakan ibu tirinya yang kejam. Sesekali juga membicarakan ayahnya yang
kena pengaruh ibu tirinya. Setelah seharian berjalan, Mahama Laga Ligo merasa
capai.
“Kak,
saya capai dan lapar. Istirahat dulu ya Kak”, katanya dengan nada menghimbau.
“Bolehlah.
Kita cari dulu tempat yang teduh, lalu kita makan bekal yang diberikan ibu
tadi,” kata kakaknya. Ketika mau duduk dekat adiknya yang mulai membuka
bekalnya, tercium bau kotoran.
“Pindah
dulu, di sekitar sini ada kotoran, kata Tampe Ruma Sani, sambil mengamati di
mana kotoran itu berada. Namun, di sekitar tempat itu bersih. Lalu ia duduk
lagi dan meneruskan membuka bekal yang dipegang adiknya. Ketika bekal itu
dibuka bau itu tercium lebih keras. Akhinya, tahulah sumber bau itu. Bau itu
temyata berasal dari bekal yang dibawanya. Rupanya ibu tirinya sangat jahat,
sehingga sampai hati memberi bekal yang dicampuri kotoran manusia. Lalu,
bungkusan itu pun dibuang, dengan perasaan marah dan sedih.
Dengan
mengikat perutnya kencang-kencang, kedua kakak beradik itu pun melanjutkan
perjalanan. Setelah beberapa lama herjalan, dilihatnya sebuah rumah di tengah
hutan. Kedua anak itu merasa senang. Segeralah keduanya menaiki tangga dan
mengetuk pintu. Namun, setelah beberapa saat tidak terdengar jawaban.
Diketuknya sekali lagi, tetap tiada jawaban. Lalu, keduanya mendorong pintu
rumah itu sedikit demi sedikit. Ternyata pintu itu tidak dikunci. Dengan
perlahan-lahan, ia memeriksa seluruh penjuru rumah, temyata rumah itu tidak ada
penghuninya. Di sebuah sudut rumah itu ada tiga buah karung. Setelah diperiksa,
ternyata karung itu berisi merica, cengkih, dan pala. Di atas meja tersedia
makanan. Di sekitar rumah ditumbuhi rumput yang tinggi, yang tampak tidak pernah
dijamah manusia maupun binatang.
“Mari
kita duduk di dalam rumah menunggu pemiliknya” kata Tampe Ruma Sani kepada
adiknya.
Mereka
duduk-duduk. Tak berapa lama, karena kecapaian, mereka tertidur. Pada saat
terbangun hari telah pagi. Penghuni rumah itu belum juga muncul. Makanan di
atas meja masih tetap utuh. Mereka heran, makanan itu masih hangat. Karena
kelaparan, makanan itu pun mereka makan sampai habis.
Tiga
hari sudah mereka berada di rumah itu. Setiap mereka bangun pagi, makanan
hangat telah tersedia. Mereka semakin terheran-heran, namun tidak mampu
berpikir dari mana semuanya itu.
Untuk
menjaga kemungkinan makanan tidak tersedia lagi, mereka bermaksud menjual
rempah-rempah dalam karung itu. Pada hari keempat, Maharna Laga Ligo berkata
kepada kakak perempuannya, “Kak, biarlah saya yang menjual rempah-rempah ini
sedikit demi sedikit ke pasar. Sementara saya pergi, kakak di dalam rumah saja.
Kalau ada orang datang, jangan sekali-sekali kakak membukakan pintu”.
“Baiklah,
pergilah, tetapi jangan lama-lama”, jawab kakaknya.
Tersebutlah
hulubalang raja yang sedang berburu di hutan. Setelah beberapa lama, mereka
sangat heran di tengah hutan itu ada sebuah rumah. Selama ini, di daerah itu
tidak pernah ada seorang pun berani tinggal. Maka salah seorang hulubalang itu
menaiki tangga rumah itu dan mengetuk pintunya. Tampe Ruma Sani tidak berani
menjawab, apalagi membuka pintu. Ia bersembunyi di bawah meja dengan sangat
ketakutan. Dalam hati berdoa semoga adiknya cepat datang.
----
Semakin
kencang ketukan bunyi pintu itu, tapi
masih tetap tak ada jawaban dari rumah itu. Akhirnya hulubalang itu turun dari
tangga dan melihat ke kolong, ia melihat ada kaki seorang wanita yang memiliki
tanda kelahiran berbentuk bulan sabit, hulubalang raja melihat dari kolong
tangga celah-celah kayu rumah tua itu. Langsung saja hulubalang raja itu
menarik kaki Tampe Ruma Sani. Tampe Ruma Sani pun menjerit kesakitan.
Mengetahui
hal tersebut, hulubalang rajapun segera melaporkan hal tersebut kepada sang
pangeran di istana. Setelah melaporkan hal tersebut sang pangeran langsung
terkejut. “Hah, tanda kelahiran berbentuk bulan sabit di kakinya? ” Kata sang
pangeran.
“Ia
benar pangeran” Tegas hulubalang yang menarik kaki Tampe Ruma Sani.
“Kau
harus membawa wanita itu ke istana sekarang juga” Kata sang pangeran.
“Siap
pangeran!!” Tegas hulubalang itu.
Ayah
sang pangeran yaitu sang raja, sudah hampir delapan tahun mengalami sakit keras yang tak kunjung sembuh,
dikarenakan ada seorang penyihir jahat yang ingin menguasai kerajaannya dengan
cara memberi racun kepada ayah pangeran.
Tabib
yang selama delapan tahun mengobati ayah sang pangeran pernah berkata:
“Hanya ada satu cara untuk mengobati ayahmu,
kau harus mencari seorang wanita yang memiliki hati yang suci dan tulus, wanita
itu juga memiliki tanda kelahiran berbentuk bulan sabit di kakinya. Ia dapat
menyembuhkan ayahmu dengan cara mengusapkan tangannya di kepala ayahmu sampai
empat kali”
Teringat
perkataan dari tabib itu, sang pangeran pun merasa sangat bahagia. Karna ia
sudah menemukan wanita itu.
Karna
merasa tidak sabar ingin melihat kesembuhan ayahandanya, sang pangeran beserta
hulubalang yang lain pergi menyusuli hulubalang yang pertama pergi ke hutan dan
menemui Tampe Ruma Sani.
Setibanya
di depan rumah tua itu,
Sang
pangeran meminta agar pintu dibuka. Namun, Tampe Ruma Sani tetap tidak berani
membukanya. Karna tidak ada jawaban, sang pangeran menaiki tangga rumah itu dan
berdiri di depan pintu rumah itu. Sang pangeran pun menceritakan tentang penyakit
ayahnya dan cara untuk menyembuhkannya ayahnya kepada Tampe Ruma Sani. Karna merasa
kasihan kepada ayah dari sang pangeran, Akhirnya, Tampe Ruma Sani membuka pintu
itu secara perlahan.
“Kau tak perlu takut, kami semua orang baik” Sang
pangeran berkata, sambil memandang wajah Tampe Ruma Sani yang sangat kotor tapi
tidak menghilangkan aura dari wajahnya yang begitu anggun dan menawan.
Tak
lama kemudian, Mahama Laga Ligo datang, dan melihat kakaknya bersama
orang-orang yang berkuda dan berpakaian seperti prajurit. Mahama Laga Ligo pun memanggil kakaknya “kakaaaaaaaaaaaaaaak!!!”
“Siapa
dia?” kata sang pangeran,
“Dia
adikku” Tampe Ruma Sani menjawab.
Akhirnya
Tampe Ruma Sani beserta adiknya di bawa pergi ke istana sang Raja.
Ketika
dalam perjalanan menuju istana. Muncul wanita penyihir yang dulu mencoba
membunuh ayah sang pangeran.
Penyihir
itu berkata:
“Mau kalian bawa kemana wanita itu dan
adiknya? Dia adalah milikku, dia sudah tinggal di rumahku selama tiga hari, aku
selalu menyediakan makanan untuknya di pagi hari. Aku akan menghisap aura kecantikannya
nanti malam, agar aku bisa hidup abadiii. Hiiii......hiiii...hiiii”
Ternyata,
rumah tua itu adalah rumah penyihir jahat. Ia sengaja menjebak Tampe Ruma Sani
dengan adiknya agar ia bisa hidup abadi.
“Diaaaam
kau!!!!” jawab sang pangeran
Sang
pangeran dan para hulubalang pun menyerang penyihir jahat itu dengan pedang
yang berlapiskan baja.
Penyihir
itu akan mati, jika tertusuk di jantungnya. Sang pangeran berhasil menusukan
pedangnya kedalam jantung penyihir jahat itu, sang penyihirpun meninggal.
Sesampainya
disana, Tampe Ruma Sani menuju kamar sang raja dan di dampingi oleh sang
pangeran. Tampe Ruma Sani langsung mengusapkan tangannya sebanyak empat kali ke
kepala sang Raja. Sang Raja pun akhirnya sembuh.
Karna
sang pangeran, menyukai Tampe Ruma Sani dari pertama kali bertemu. Sang Raja pun
menikahkan mereka berdua. Pernikahan mereka di hadiri oleh ayah Tampe Ruma sani
dan ibu tirinya, ibu tirinya sekarang sudah berubah menjadi baik hati. Mahama laga
ligo juga ikut tinggal di istana raja bersama kakanya. Sang pangeran dan Tampe
Ruma Sani akhirnya hidup bahagia selamanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar