2013/06/07

Modifikasi dongeng "Tampe Ruma Sani"


Tampe Ruma Sani
Oleh   : Novia Indriyani


Cerita ini berasal dari Dompu, salah satu kabupaten di Nusa Tenggara Barat.

Alkisah pada zaman dulu, tinggallah seorang anak perempuan bernama Tampe Ruma Sani. Semua orang di kampungnya mengenal dia, sebab setiap hari ia menjajakan ikan hasil tangkapan ayahnya. Ibunya sudah meninggal. Di rumahnya ia tinggal bersama ayah dan adik laki-lakinya yang masih kecil. Ia memasak nasi untuk ayah dan adiknya. Kasihan Tampe Ruma Sani yang masih kecil itu harus mengerjakan pekerjaan rumah tangga yang seharusnya dikerjakan oleh orang dewasa.
Pada suatu hari, seorang janda menyapa Tampe Rurna Sani, “Sudah habis ikanmu Nak? Tiap hari saya lihat ikanmu cepat habis, apa rahasianya?”

“Saya menjual lebih murah dari yang lain, agar cepat habis, karena saya harus segera pulang menanak nasi untuk ayah dan adik saya. Juga pekerjaan rumah tangga yang lain harus saya kerjakan”, jawab Tampe Rurna Sani sambil berjalan cepat.

“Siapa nama adikmu?”

Pada suatu hari, ayahnya baru pulang menangkap ikan. Sang ibu tiri segera menyiapkan makanan yang enak-enak untuknya. Sedang untuk anak ttrinya disediakan nasi menir (nasi dari beras yang hancur kecil-kecil). Melihat hal itu, Tampe Ruma Sani memberanikan diri lapor kepada ayahnya, “Ayah dan ibu makan nasi yang bagus dan ikannya yang enak-enak, sedang saya dan adik nasinya kecil-kecil dan tidak ada ikannya”. Mendengar hal itu ayahnya bertanya, “Mengapa makanan anak-anak berbeda dengan makanan kita Bu?” 

“Oo tidak Pak, sebenarnya sama saja, lihatlah sisa makanan yang ada di kepala Mahama Laga Ligo,” jawab istrinya.

Sebenarnya nasi yang ada di kepala Mahama Laga Ligo sengaja ditaruh oleh ibu tirinya menjelang ayahnya datang. Hal yang demikian telah dilakukan berkali-kali. Ibunya sangat marah kepada Tampe Ruma Sani yang berani melaporkan kepada ayahnya. Setelah suaminya pergi, sang ibu tiri menghajar Tarnpe Ruma Sani sampai babak belur. Tampe Ruma Sani menangis sejadi-jadinya. Melihat kakaknya dihajar, Mahama Laga Ligo pun ikut menangis.

“Kalau kalian berani melapor kepada ayahmu akan kubunuh kalian!” ancamnya.
Perlakuan kasar telah biasa diterima oleh kedua anak itu. Mereka tidak berani melaporkan kejadian itu kepada ayahnya, karena takut ancaman ibu tirinya.

Kini kedua anak itu sudah besar dan menginjak dewasa. Kakak beradik itu bermaksud pergi meninggalkan orang tuanya untuk mencari nafkah sendiri, karena tidak tahan lagi menerima siksaan ibu tirinya. Maksud itu pun disampaikan kepada ayahnya, “Ayah, kami sekarang sudah besar, ingin pergi mencari pengalaman. Oleh karena itu, izinkanlah saya dan Mahama Laga Ligo pergi”. 

“Mengapa engkau mau meninggalkan rumah ini? Tetaplah di sini. Rumah ini nanti akan sepi.” kafa ayahnya. Ibu tirinya segera menyahut, “Benar kata Tampe Ruma Sani. Dia kini sudah besar. Bersama adiknya tentu ingin mandiri. Maka sebaiknya ayah mengizinkan mereka pergi.” Ibu tirinya memang sudah tidak senang dengan anak-anak tirinya yang dirasa sangat mengganggu.

Akhirnya, ayahnya pun dengan berat mengizinkan, berkat desakan istrinya yang terus-menerus.
Pagi hari sesudah sholat subuh, kedua anak itu meninggalkan rumahnya. Ibu tirinya memberi bekal nasi dalam bungkusan. Ayahnya mengantarkan sampai ke batas desa.

Alkisah, kedua anak itu berjalan menyusuri hutan dan sungai. Sesekali mereka membicarakan ibu tirinya yang kejam. Sesekali juga membicarakan ayahnya yang kena pengaruh ibu tirinya. Setelah seharian berjalan, Mahama Laga Ligo merasa capai.

“Kak, saya capai dan lapar. Istirahat dulu ya Kak”, katanya dengan nada menghimbau.
“Bolehlah. Kita cari dulu tempat yang teduh, lalu kita makan bekal yang diberikan ibu tadi,” kata kakaknya. Ketika mau duduk dekat adiknya yang mulai membuka bekalnya, tercium bau kotoran.

“Pindah dulu, di sekitar sini ada kotoran, kata Tampe Ruma Sani, sambil mengamati di mana kotoran itu berada. Namun, di sekitar tempat itu bersih. Lalu ia duduk lagi dan meneruskan membuka bekal yang dipegang adiknya. Ketika bekal itu dibuka bau itu tercium lebih keras. Akhinya, tahulah sumber bau itu. Bau itu temyata berasal dari bekal yang dibawanya. Rupanya ibu tirinya sangat jahat, sehingga sampai hati memberi bekal yang dicampuri kotoran manusia. Lalu, bungkusan itu pun dibuang, dengan perasaan marah dan sedih.

Dengan mengikat perutnya kencang-kencang, kedua kakak beradik itu pun melanjutkan perjalanan. Setelah beberapa lama herjalan, dilihatnya sebuah rumah di tengah hutan. Kedua anak itu merasa senang. Segeralah keduanya menaiki tangga dan mengetuk pintu. Namun, setelah beberapa saat tidak terdengar jawaban. Diketuknya sekali lagi, tetap tiada jawaban. Lalu, keduanya mendorong pintu rumah itu sedikit demi sedikit. Ternyata pintu itu tidak dikunci. Dengan perlahan-lahan, ia memeriksa seluruh penjuru rumah, temyata rumah itu tidak ada penghuninya. Di sebuah sudut rumah itu ada tiga buah karung. Setelah diperiksa, ternyata karung itu berisi merica, cengkih, dan pala. Di atas meja tersedia makanan. Di sekitar rumah ditumbuhi rumput yang tinggi, yang tampak tidak pernah dijamah manusia maupun binatang.

“Mari kita duduk di dalam rumah menunggu pemiliknya” kata Tampe Ruma Sani kepada adiknya.
Mereka duduk-duduk. Tak berapa lama, karena kecapaian, mereka tertidur. Pada saat terbangun hari telah pagi. Penghuni rumah itu belum juga muncul. Makanan di atas meja masih tetap utuh. Mereka heran, makanan itu masih hangat. Karena kelaparan, makanan itu pun mereka makan sampai habis.
Tiga hari sudah mereka berada di rumah itu. Setiap mereka bangun pagi, makanan hangat telah tersedia. Mereka semakin terheran-heran, namun tidak mampu berpikir dari mana semuanya itu.
Untuk menjaga kemungkinan makanan tidak tersedia lagi, mereka bermaksud menjual rempah-rempah dalam karung itu. Pada hari keempat, Maharna Laga Ligo berkata kepada kakak perempuannya, “Kak, biarlah saya yang menjual rempah-rempah ini sedikit demi sedikit ke pasar. Sementara saya pergi, kakak di dalam rumah saja. Kalau ada orang datang, jangan sekali-sekali kakak membukakan pintu”.

“Baiklah, pergilah, tetapi jangan lama-lama”, jawab kakaknya.
Tersebutlah hulubalang raja yang sedang berburu di hutan. Setelah beberapa lama, mereka sangat heran di tengah hutan itu ada sebuah rumah. Selama ini, di daerah itu tidak pernah ada seorang pun berani tinggal. Maka salah seorang hulubalang itu menaiki tangga rumah itu dan mengetuk pintunya. Tampe Ruma Sani tidak berani menjawab, apalagi membuka pintu. Ia bersembunyi di bawah meja dengan sangat ketakutan. Dalam hati berdoa semoga adiknya cepat datang.

-----

Namun ternyata sang adik tak kunjung datang. Kemudian, dengan terpaksa Hulubalang itu masuk ke dalam rumah dengan cara mendobrak pintu itu. Tampe Ruma sani pun ketakutan. Akan tetapi Hulubalang itu berkata “tidak usah takut, saya ini hanyalah seorang hulubalang di kerajaan negeri ini”, Tampe Ruma Sani pun sedikit lega mendengarnya.

Kemudian Hulubalang menceritakan tentang rumah yang di tempati oleh Tampe Ruma Sani saat ini. Hulubalang berkata “ini adalah rumah gubuk tempat raja menyendiri bila sedang merindukan anaknya, tempat ini juga dipakai sebagai tempat penyimpanan rempah-rempah yang didapat dari kebun kerajaan, dan makanan itu yang selalu ada di meja adalah buatan istri pertama raja yang telah lama meninggal dunia”.   

Setelah lumayan lama Hulubalang bercerita tentang tempat itu, kemudian terdengar suara tangan yang mengetok pintu took,,took,,took,, ternyata itu Mahama Laga Ligo yang baru pulang dari pasar. Mahama Laga Ligo pun kaget dan bertanya kepada kakaknya “siapa dia ka ?’’ lalu kakanya menjawab “dia adalah seorang Hubulalang dari kerajaan yang ada di negeri ini”. Mahama Laga Ligo pun hanya terdiam dan tersenyum kecil saja mendengar hal itu.

Lalu Hulubalang pun mengajak mereka untuk tinggal di kerajaan. Awalnya Mahama Laga Ligo menolak, namun setelah kakaknya memberi penjelasan, akhirnya Mahama Laga Ligo pun mau mengikutinya. Mahama Laga Ligo itu sangat menyayangi kakaknya, demikian pula sebaliknya. Namun sepertinya Mahama Laga Ligo merasakan rasa sayang yang berbeda yakni melebihi seorang kakak.

Dan tanpa sepengetahuan kakaknya, ternyata Mahama Laga Ligo itu jatuh cinta kepada kakaknya sendiri. Lalu, mereka bertiga bergegas meninggalkan rumah itu dan pergi menuju kerajaan. Sepanjang perjalanan entah mengapa sepertinya Mahama Laga Ligo memiliki ikatan batin dengan suasana jalan tersebut. Namun, Mahama Laga Ligo hanya terdiam saja dan melupakan perasaan tentang jalan dan suasana itu.

Sesampainya di kerajaan Hulubalang mempertemukan mereka dengan Raja Galileo. Raja yang beristrikan dua, namun istri pertamanya meninggal dunia pada saat melahirkan anak pertamanya. Saat Raja Galileo bertemu dengan Mahama Laga Ligo, Raja melihat ada tanda lahir di pelipis mata Mahama Laga Ligo yang mengingatkannya pada anak pertamanya yang di buang di tengah hutan oleh istri keduanya.

Kemudian raja pun langsung menghampiri dan memeluk Mahama Laga Ligo sambil berkata “anakku yaa kau adalah anakku” Mahama Laga Ligo dan Tampe Ruma Sani pun hanya tercengang mendengar hal itu. Kemudian raja Galileo menceritakan peristiwa yang selama ini tidak diketahui oleh banyak orang, bahwa Mahama Laga Ligo dibuang oleh istri keduanya ke hutan itu karena istrinya berpikir bahwa seluruh harta kerajaan akan jatuh ke tangan Mahama Laga Ligo.

Mahama Laga Ligo tidak langsung menerima kenyataan itu, begitu pun dengan Tampe Ruma Sani yang ternyata bukan kakak kandungnya. Pantas saja, Mahama Laga Ligo memiliki persaan yang berbeda terhadap Tampe Ruma Sani. Hari demi hari dan minggu demi minggu mereka lalui bersama di kerajaan. Sampai pada akhirnya istri kedua raja pun meminta maaf kepada Mahama Laga Ligo. Lalu, Tampe Ruma Sani pun tiba-tiba merindukan ayahnya dan meminta untuk pulang ke rumah. Raja pun langsung menyambut permintaan Tampe Ruma Sani, namun dengan satu syarat, raja harus ikut bersamanya pulang ke rumah.

Tampe Ruma Sani pun menyetujui syarat yang diberikan oleh raja. Sesampainya di rumah, ayah pun langsung terheran-heran melihat kedatangan mereka. Dan pada akhirnya sama dengan raja ayah pun menceritakan bahwa Mahama Laga Ligo itu bukan anak kandungnya, dia ditemukan di tengah hutan pada saat ayah hendak pergi ke pasar untuk menjual ikan. Kemudian pada hari itu Mahama Laga Ligo pun mengutarakan semua isi hatinya bahwa ia mencintai Tampe Ruma Sani dan ingin menjadikannya seorang istri. Karena memiliki perasaan yang sama akhirnya Tampe Ruma Sani pun menerima pinangan Mahama Laga Ligo. Dan ibu tiri Tampe Ruma Sani pun kini sudah berubah menjadi baik semenjak Mahama Laga Ligo meninggalkan rumah karena ia menyadari betapa sepinya bila tidak ada mereka berdua, dan dia pun meminta maaf kepada Mahama Laga Ligo juga Tampe Ruma Sani. Pada akhirnya kedua keluarga tersebut pun hidup bahagia di istana kerajaan.

Cerita asli Tampe Ruma Sani bisa dilihat di http://dongeng.org/cerita-rakyat/tampe-ruma-sani.html



1 komentar:

Ruang Kata-kata mengatakan...

Ada kejutan, cukup variatif, semangat ya!