2013/06/01

NARASI


BAB TIGA


Alur : Kejadian, Tokoh, Konflik
            Narasi adalah cerita. Cerita ini didasarkan pada urut-urutan suatu kejadian atau peristiwa. Di dalam kejadian itu ada tokoh, dan tokoh ini mengalami suatu konflik atau tikaian. Ketiganya secara kesatuan biasa disebut plot, atau alur. Maka narasi adalah cerita berdasarkan alur.
            Narasi bisa berisi fakta dan fiksi, yang berisi fakta adalah biografi ( riwayat hidup seseorang ), Autobiografi ( riwayat hidup seseorang yang ditulisnya sendiri ) dan lainnya yang banyak ditemukan di media massa. Namun yang paling banyak peminatnya adalah yang fiksi atau rekaan. Inilah yang kita namakan novel, cerita pendek, serta cerita bersambung dan cerita bergambar. Di dalam narasi bisa terdapat sebuah alur utama dan beberapa buah alur tambahan, atau sub-plot.
Latar
            Latar itu tentulah tidak dapat terjadi di dalam suatu vacuum, kekosongan. Alur iru mempunyai laatar waktu dan latar tempat. Kita sering membaca cerita yang katanya terjadi di Indonesia, waktunya kira-kira masa kini.tapi kita temukan orang-orang yang terlibat di dalamnya tidak bertindak-tanduk seperti orang indonesia: sosial ekonominya tidak, budayanya tidak, politik pemerintahannya pun tidak. Cerita begini dapat dengan mudah diganti lokasinya dengan tempat lain, London, misalnya, atau chicago, dan waktunya dapat diganti menjadi sebelum perang dunia II, tanpa banyak mengubah jalan cerita.
            Ada yang salah pada cerita seperti itu, latarnya tidak tajam, tidak jelas. Di samping latar waktu dan tempat yang harus jelas, kita harus memberikan latar-latar yang lain yang membenarkan dan memberikan kesaksian bahwa disanalah terjadinya peristiwa itu.
Warna Lokal
Warna lokal yang tajam memberikan gambaran dan tempat terjadinya peristiwa, tetapi juga sosial budaya serta semua hal-hal yang kita bicarakan di atas. Sedemikian rupa sehingga cerita yang sama tidak bisa terjadi di tempat lain, atau pada waktu lain. Penulis memasukan dialek setempat, terutama di dalam percakapan atau dialog diantara tokoh-tokoh di dalam cerita itu. Warna lokal yang utuh, yang tajam. Biasanya dinilai para kritikus sastra sebagai faktor yang positif. Namun harus dijaga jangan sampai karena kebanyakan bahasa setempat, dialog cerita itu menjadi tidak lagi dimengerti oleh pembaca, atau menimbulkan salah pengertian.


Kisi-kisi
            Untuk sebuah novel yang melibatkan banyak tokoh, kisi-kisi ini dapat dibuat lebih besar dan lebih teliti lagi. Segala informasi mengenai latar belakang dapat pula disisipkan di dalam kisi-kisi ini serta disinggung-singgung di dalam cerita sehingga terasa ada kaitan cerita itu dengan perjalanan sejarah. Kaitan unsur-unsur sejarah dan unsur-unsur lain ke dalam sebuah narasi fiktif seperti ini kadang-kadang dinamakan pula referensi, acuan, atau di dalam bahasa inggris, reference atau kerangka acuan.
Posisi Narator
            Dalam sebuah narasi tentulah ada yang bercerita, yang menceritakan kepada kita apa saja yang terjadi. Dengan sendirinya apa yang kita dapatkan dari cerita itu adalah apa-apa yang dilihat, didengar, serta dialami oleh ‘aku’ itu. Jalan pikiran, pergolakan perasaan, dugaan dan kesimpulan yang di hidangkan pun berasal dari ‘aku; itu juga. Jadi narator dalam cerita ini adalah pelaku utama. Narasi seperti itu sering disebut sebagai narasi dengan posisi ‘orang pertama’ atau ‘aku-an’. Diantara ujung lain kita temukan cerita yang naratornya tidak kelihatan, tetapi juga dia mengetahui semua peristiwa. Semua perasaan dan pikiran semua tokoh di dalam cerita itu. Cerita seperti itu selalu memakai bentuk orang ketiga: ‘ dia ‘. posisi narator disini adalah seperti Tuhan yang serba tahu.
            Ada ‘aku-an’ yang bukan tokoh utama, adapula ‘akua-n’ yang hanya menceritakan kembali apa yang didengarnya dari orang lain. Ada ‘aku-an’ yang bergantian: pada satu bab si ‘A’ yang menjai ‘aku’, pada bab lain, cerita dilanjutkan oleh si ‘B’. Pada bab berikutnya bisa si’C’, atau mungkin kembali ke si ‘A’ mendapat giliran menjadi ‘aku’, yang melanjutkan cerita.
Gaya Kilas-balik
            Diantara gaya-gaya baru yang diciptakan para penulis sesudah Aristoteles, agaknya gaya kilas-balik merupakan yang cukup besdar jumlah penggemarnya. Gaya ini berusaha ‘menyeret’ pembacanya langsung memasuki inti permasalahan cerita. Biasanya cerita dimulai dekat menjalang klimaks, sesudah klimaks langsung tiba akhir cerita yang sebaiknya disingkat saja. Namun, pada jarak yang singkat antara saat “dekat menjelang klimaks” dan “akhir” itu, semuanya diceritakan dalam bentuk kilas-balik, sorot balik, atau flash-back. Sesudah berkilas balik baru kita ceritakan klimaks-nya kemudian diikuti dengan akhir cerita realisme dan romantisme.
            Kedua istilah itu biasanya lebih dikaitkan dengan isi narasi itu secara keseluruhan, alur atau plot, serta seluruh latar-latarnya. Sebuah narasi yang realistis akan mencoba melukiskan kehidupan sebagai mana adanya tanpa diusahakan agar terasa glamour, yang romantis tentu saja semua yang sebaliknya dari itu demi jalan cerita logika kehidupan sebagaimana adanya itu dibengkokan, dibumbui glamour, serta dititipi pesan moral.
           
            Romantisme itu memang sukar dibereikan definisinya. Banyak hal-hal yang kadang-kadang sangat bertantangan tetapi masih dikatakan sebagai bagian daraai romantisme. Romantis adalah yang banyak kenbetulan-kebetulannya ( yang jarang terjadi dalam kehidupan sebenarnya ) serta yang banyak mengorbankan logika.
            Namun, tidaklah dapat kita katakan bahwa semua yang romantis itu lebih jelek dari yang realistis. Sebalikya yang realistis terasa seperti, seolah-olah, kejadian yang sebenarnya. Kebetulan dihindari, hukum-hukum logika dipatuhi.
Dongeng
            Dongeng adalah narasi romantis, yang biasanya diawali frasa waktu semacam “pada zaman dahulu...”, atau frasa tempat semacam “di suatu Negri...”. Namun tanpa  frasa-frasa semacam itu pun kita sering dapat dengan mudah mengenal apakan cerita yang kita baca adalah sebuah narasi atau dongeng.
            Isyarat lain adalah adanya hal-hal yang mustahil didalam dongeng serta adanya intervensi faktor- faktor supra- natural seperti orang yang bisa berubah menjadi binatang, jin, atau peri, yang bisa terbang sebagai burung. Jika dalam cerita iytu ada binatangyang bisa berbicara seperti manusia, kita pun segera menerima cerita itu sebagai dongeng yang kita namakan fabel. Dongeng-dongeng kepahlawanan seorang tokoh di zaman dahulu pun kadang-kadang dinamakan legenda kadang-kadang saga.
            Adapula cerita=cerita mengenai kebodohan kecerdikan, atau peristiwa-peristiwa lucu yang muncul ketika manusia pertama kali berkenalan dengan benda modern. Cerita-cerita itu pun kita terima sebagai dongeng, dan biasanya kita namakan dongeng jenaka. Dongeng-dongeng ini tidak diketahui siapa penciptanya yang pertama sekali. Lagi pula ada banyak sekali dongeng yang sama ditemukan di berbagai daerah yang berjauhan. Kemungkinan dongeng-dongeng yang selama ini kita duga sebagai milik bangsa kita ternyata berasal dari sebrang lautan yang dibawa oleh para pendeta, saudagar, atau musyafir pada zaman dahulu.
            Nama Hans Christian Anderson terpatri didalam sejarah, karena dia menciptakan dongeng-dongeng yang sampai sekarang masih sangat populer di kalangan anak-anak di seluruh dunia
Cerpen dan Novel
            Cerpen adalah cerita rekaan yang pendek, sedangkan novel adalah yang panjang. Kedua bentuk cerita rekaan itu, cerita pendek dan novel, tidaklah dibedakan cuma berdasarkan ukuran panjang atu pendek saja.masing-masing adalah sebuah genre, yang mempunyai batasan dan kriteria yang berbeda-beda pula.
            Perlu ditegaskan bahwa cerpen bukan penggalan sebuah novel. Bukanpula sebuah novel yang disingkat. Cerpen itu adalah sebuah cerita rekaan yang lengkap, tidak ada, dan harus tidak ada tambahan lain. Novel sebaliknya menyediakan cukup ruang gerak bagi penulisnya untuk menggambarkan alur cerita.
            Perkembangan inilah satuu ciri penting sebuah novel. Peristiwanya berkembang, tokoh-tokohnya berkembang dan kepribadian merekaberubah sebagai akibat dari keseluruhan perkbangan itu.
Sastra dan POP
            Ada banyak kegaduhan mengenai mana tulisan yang bernilai sastra dan mana yang tidak, ysng sering disebut pop, ini terjadi di mana-mana, dan terasa bahwa cap pop itu diberikan sebagai semacam penghinaan walaupun maksudnya tidak demikian.
            Sebenarnya bagi seorang calon penulis tidaklah banyak gunanya membeda-bedakan sastra dan pop. Semua hasil tulisan adalah sastra bahkan jampi-jampi serta sumpah serapah yang berasal dari nenek moyang kita dahulupun dinamakan sastra. Jadi membesar-besarkan perbedaan cerita sastra dan cerita pop, adalah seperti pepatah tua kita, “ tak ada beban, batu digalas ”.
            Semuanya adalah sastra. Perbedaan yang dapat kita lihat, kita ukur dan kita buktikan adalah, ada sastra yang digarap dengan baik, ada yang tidak. Perbedaan ini dapat jelas terlihat dari masuk akal atau tidaknya alur ( peristiwa, penokohan, konflik ) cerita itu tajam-tidaknya latar-latar yang digunakan, serta ada-tidaknya anakronisme yang dapat diperiksa dengan membuatkan kisi-kisinya.

Tidak ada komentar: