BAB TIGA
Alur : Kejadian, Tokoh,
Konflik
Narasi adalah cerita. Cerita ini didasarkan pada
urut-urutan suatu kejadian atau peristiwa. Di dalam kejadian itu ada tokoh, dan
tokoh ini mengalami suatu konflik atau tikaian. Ketiganya secara kesatuan biasa
disebut plot, atau alur. Maka narasi adalah cerita berdasarkan alur.
Narasi bisa berisi fakta dan fiksi, yang berisi fakta
adalah biografi ( riwayat hidup seseorang ), Autobiografi ( riwayat hidup
seseorang yang ditulisnya sendiri ) dan lainnya yang banyak ditemukan di media
massa. Namun yang paling banyak peminatnya adalah yang fiksi atau rekaan. Inilah
yang kita namakan novel, cerita pendek, serta cerita bersambung dan cerita
bergambar. Di dalam narasi bisa terdapat sebuah alur utama dan beberapa buah
alur tambahan, atau sub-plot.
Latar
Latar itu tentulah tidak dapat terjadi di dalam suatu
vacuum, kekosongan. Alur iru mempunyai laatar waktu dan latar tempat. Kita sering
membaca cerita yang katanya terjadi di Indonesia, waktunya kira-kira masa
kini.tapi kita temukan orang-orang yang terlibat di dalamnya tidak
bertindak-tanduk seperti orang indonesia: sosial ekonominya tidak, budayanya tidak,
politik pemerintahannya pun tidak. Cerita begini dapat dengan mudah diganti lokasinya
dengan tempat lain, London, misalnya, atau chicago, dan waktunya dapat diganti
menjadi sebelum perang dunia II, tanpa banyak mengubah jalan cerita.
Ada yang salah pada cerita seperti itu, latarnya tidak
tajam, tidak jelas. Di samping latar waktu dan tempat yang harus jelas, kita
harus memberikan latar-latar yang lain yang membenarkan dan memberikan
kesaksian bahwa disanalah terjadinya peristiwa itu.
Warna Lokal
Warna lokal yang tajam memberikan
gambaran dan tempat terjadinya peristiwa, tetapi juga sosial budaya serta semua
hal-hal yang kita bicarakan di atas. Sedemikian rupa sehingga cerita yang sama
tidak bisa terjadi di tempat lain, atau pada waktu lain. Penulis memasukan dialek
setempat, terutama di dalam percakapan atau dialog diantara tokoh-tokoh di
dalam cerita itu. Warna lokal yang utuh, yang tajam. Biasanya dinilai para
kritikus sastra sebagai faktor yang positif. Namun harus dijaga jangan sampai
karena kebanyakan bahasa setempat, dialog cerita itu menjadi tidak lagi
dimengerti oleh pembaca, atau menimbulkan salah pengertian.
Kisi-kisi
Untuk sebuah novel yang melibatkan banyak tokoh,
kisi-kisi ini dapat dibuat lebih besar dan lebih teliti lagi. Segala informasi
mengenai latar belakang dapat pula disisipkan di dalam kisi-kisi ini serta
disinggung-singgung di dalam cerita sehingga terasa ada kaitan cerita itu
dengan perjalanan sejarah. Kaitan unsur-unsur sejarah dan unsur-unsur lain ke
dalam sebuah narasi fiktif seperti ini kadang-kadang dinamakan pula referensi,
acuan, atau di dalam bahasa inggris, reference atau kerangka acuan.
Posisi Narator
Dalam sebuah narasi tentulah ada yang bercerita, yang
menceritakan kepada kita apa saja yang terjadi. Dengan sendirinya apa yang kita
dapatkan dari cerita itu adalah apa-apa yang dilihat, didengar, serta dialami
oleh ‘aku’ itu. Jalan pikiran, pergolakan perasaan, dugaan dan kesimpulan yang
di hidangkan pun berasal dari ‘aku; itu juga. Jadi narator dalam cerita ini
adalah pelaku utama. Narasi seperti itu sering disebut sebagai narasi dengan posisi
‘orang pertama’ atau ‘aku-an’. Diantara ujung lain kita temukan cerita yang
naratornya tidak kelihatan, tetapi juga dia mengetahui semua peristiwa. Semua perasaan
dan pikiran semua tokoh di dalam cerita itu. Cerita seperti itu selalu memakai
bentuk orang ketiga: ‘ dia ‘. posisi narator disini adalah seperti Tuhan yang
serba tahu.
Ada ‘aku-an’ yang bukan tokoh utama, adapula ‘akua-n’
yang hanya menceritakan kembali apa yang didengarnya dari orang lain. Ada ‘aku-an’
yang bergantian: pada satu bab si ‘A’ yang menjai ‘aku’, pada bab lain, cerita
dilanjutkan oleh si ‘B’. Pada bab berikutnya bisa si’C’, atau mungkin kembali
ke si ‘A’ mendapat giliran menjadi ‘aku’, yang melanjutkan cerita.
Gaya Kilas-balik
Diantara gaya-gaya baru yang diciptakan para penulis
sesudah Aristoteles, agaknya gaya kilas-balik merupakan yang cukup besdar
jumlah penggemarnya. Gaya ini berusaha ‘menyeret’ pembacanya langsung memasuki
inti permasalahan cerita. Biasanya cerita dimulai dekat menjalang klimaks,
sesudah klimaks langsung tiba akhir cerita yang sebaiknya disingkat saja. Namun,
pada jarak yang singkat antara saat “dekat menjelang klimaks” dan “akhir” itu,
semuanya diceritakan dalam bentuk kilas-balik, sorot balik, atau flash-back. Sesudah
berkilas balik baru kita ceritakan klimaks-nya kemudian diikuti dengan akhir
cerita realisme dan romantisme.
Kedua istilah itu biasanya lebih dikaitkan dengan isi
narasi itu secara keseluruhan, alur atau plot, serta seluruh latar-latarnya. Sebuah
narasi yang realistis akan mencoba melukiskan kehidupan sebagai mana adanya
tanpa diusahakan agar terasa glamour, yang romantis tentu saja semua yang
sebaliknya dari itu demi jalan cerita logika kehidupan sebagaimana adanya itu
dibengkokan, dibumbui glamour, serta dititipi pesan moral.
Romantisme itu memang sukar dibereikan definisinya. Banyak
hal-hal yang kadang-kadang sangat bertantangan tetapi masih dikatakan sebagai
bagian daraai romantisme. Romantis adalah yang banyak kenbetulan-kebetulannya (
yang jarang terjadi dalam kehidupan sebenarnya ) serta yang banyak mengorbankan
logika.
Namun, tidaklah dapat kita katakan bahwa semua yang romantis
itu lebih jelek dari yang realistis. Sebalikya yang realistis terasa seperti, seolah-olah,
kejadian yang sebenarnya. Kebetulan dihindari, hukum-hukum logika dipatuhi.
Dongeng
Dongeng adalah narasi romantis, yang biasanya diawali
frasa waktu semacam “pada zaman dahulu...”, atau frasa tempat semacam “di suatu
Negri...”. Namun tanpa frasa-frasa
semacam itu pun kita sering dapat dengan mudah mengenal apakan cerita yang kita
baca adalah sebuah narasi atau dongeng.
Isyarat lain adalah adanya hal-hal yang mustahil didalam
dongeng serta adanya intervensi faktor- faktor supra- natural seperti orang
yang bisa berubah menjadi binatang, jin, atau peri, yang bisa terbang sebagai
burung. Jika dalam cerita iytu ada binatangyang bisa berbicara seperti manusia,
kita pun segera menerima cerita itu sebagai dongeng yang kita namakan fabel. Dongeng-dongeng
kepahlawanan seorang tokoh di zaman dahulu pun kadang-kadang dinamakan legenda
kadang-kadang saga.
Adapula cerita=cerita mengenai kebodohan kecerdikan, atau
peristiwa-peristiwa lucu yang muncul ketika manusia pertama kali berkenalan
dengan benda modern. Cerita-cerita itu pun kita terima sebagai dongeng, dan
biasanya kita namakan dongeng jenaka. Dongeng-dongeng ini tidak diketahui siapa
penciptanya yang pertama sekali. Lagi pula ada banyak sekali dongeng yang sama
ditemukan di berbagai daerah yang berjauhan. Kemungkinan dongeng-dongeng yang
selama ini kita duga sebagai milik bangsa kita ternyata berasal dari sebrang
lautan yang dibawa oleh para pendeta, saudagar, atau musyafir pada zaman
dahulu.
Nama Hans Christian Anderson terpatri didalam sejarah,
karena dia menciptakan dongeng-dongeng yang sampai sekarang masih sangat
populer di kalangan anak-anak di seluruh dunia
Cerpen dan Novel
Cerpen adalah cerita rekaan yang pendek, sedangkan novel
adalah yang panjang. Kedua bentuk cerita rekaan itu, cerita pendek dan novel,
tidaklah dibedakan cuma berdasarkan ukuran panjang atu pendek
saja.masing-masing adalah sebuah genre, yang mempunyai batasan dan kriteria
yang berbeda-beda pula.
Perlu ditegaskan bahwa cerpen bukan penggalan sebuah
novel. Bukanpula sebuah novel yang disingkat. Cerpen itu adalah sebuah cerita
rekaan yang lengkap, tidak ada, dan harus tidak ada tambahan lain. Novel sebaliknya
menyediakan cukup ruang gerak bagi penulisnya untuk menggambarkan alur cerita.
Perkembangan inilah satuu ciri penting sebuah novel. Peristiwanya
berkembang, tokoh-tokohnya berkembang dan kepribadian merekaberubah sebagai
akibat dari keseluruhan perkbangan itu.
Sastra dan POP
Ada banyak kegaduhan mengenai mana tulisan yang bernilai
sastra dan mana yang tidak, ysng sering disebut pop, ini terjadi di mana-mana,
dan terasa bahwa cap pop itu diberikan sebagai semacam penghinaan walaupun
maksudnya tidak demikian.
Sebenarnya bagi seorang calon penulis tidaklah banyak gunanya
membeda-bedakan sastra dan pop. Semua hasil tulisan adalah sastra bahkan
jampi-jampi serta sumpah serapah yang berasal dari nenek moyang kita dahulupun
dinamakan sastra. Jadi membesar-besarkan perbedaan cerita sastra dan cerita
pop, adalah seperti pepatah tua kita, “ tak ada beban, batu digalas ”.
Semuanya adalah sastra. Perbedaan yang dapat kita lihat,
kita ukur dan kita buktikan adalah, ada sastra yang digarap dengan baik, ada
yang tidak. Perbedaan ini dapat jelas terlihat dari masuk akal atau tidaknya alur
( peristiwa, penokohan, konflik ) cerita itu tajam-tidaknya latar-latar yang
digunakan, serta ada-tidaknya anakronisme yang dapat diperiksa dengan
membuatkan kisi-kisinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar