Tampe Ruma Sani
Oleh
: Agnes Lidya
Alkisah pada zaman dulu, tinggallah seorang anak
perempuan bernama Tampe Ruma Sani. Semua orang di kampungnya mengenal dia,
sebab setiap hari ia menjajakan ikan
hasil tangkapan ayahnya. Ibunya sudah meninggal. Di rumahnya ia tinggal bersama
ayah dan adik laki-lakinya yang masih kecil. Ia memasak nasi untuk ayah dan
adiknya. Kasihan Tampe Ruma Sani yang masih kecil itu harus mengerjakan
pekerjaan rumah tangga yang seharusnya dikerjakan oleh orang dewasa.
Pada suatu hari, seorang janda menyapa Tampe
Rurna Sani, “Sudah habis ikanmu Nak? Tiap hari saya lihat ikanmu cepat habis,
apa rahasianya?”
“Saya menjual lebih murah dari yang lain,
agar cepat habis, karena saya harus segera pulang menanak nasi untuk ayah dan
adik saya. Juga pekerjaan rumah tangga yang lain harus saya kerjakan”, jawab
Tampe Rurna Sani sambil berjalan cepat.
“Siapa nama adikmu?”
“Mahama
Laga Ligo”, jawab Tampe Rurna Sani. “Mengapa bukan adikmu yang memasak?”
“Adikku
masih kecil, belum bisa memasak.” Bermacam-macam pertanyaan janda itu kepada
Tampe Ruma Sani.
“Sampaikan
salamku kepada ayahmu! Aku mau membantu kalian dan tinggal di rumah ayahmu. Aku
mau membuat tembe (sarung), sambolo (destar) dan ro sarowa (celana) untuk
ayahmu”, kata janda itu dengan manis.
“Baik
Bu, akan saya sampaikan kepada ayah.” Singkat cerita janda itu kini telah kawin
dengan ayah mereka, dan menjadi ibu tirinya.
Kini
Tampe Ruma Sani tidak lagi memasak. Pekerjaannya hanya menjajakan ikan saja.
Sekali-sekali ikut menumbuk padi. Setiap menumbuk padi, ibunya selalu berpesan
agar beras yang utuh dipisahkan dengan yang hancur.
Pada
mulanya, ibu tirinya sangat baik kepada Tampe Ruma Sani dan adiknya. Namun,
lama-kelamaan sikapnya berubah. Tampe Rurna Sani dan Mahama Laga Ligo mendapat
perlakuan yang kurang baik, lebih-lebih kalau ayahnya tidak berada di rumah.
Pada suatu hari, ayahnya baru pulang
menangkap ikan. Sang ibu tiri segera menyiapkan makanan yang enak-enak
untuknya. Sedang untuk anak tirinya disediakan nasi menir (nasi dari beras yang
hancur kecil-kecil). Melihat hal itu, Tampe Ruma Sani memberanikan diri lapor
kepada ayahnya, “Ayah dan ibu makan nasi yang bagus dan ikannya yang enak-enak,
sedang saya dan adik nasinya kecil-kecil dan tidak ada ikannya”. Mendengar hal
itu ayahnya bertanya, “Mengapa makanan anak-anak berbeda dengan makanan kita
Bu?”
“Oo tidak Pak, sebenarnya sama saja, lihatlah
sisa makanan yang ada di kepala Mahama Laga Ligo,” jawab istrinya.
Sebenarnya nasi yang ada di kepala Mahama
Laga Ligo sengaja ditaruh oleh ibu tirinya menjelang ayahnya datang. Hal yang
demikian telah dilakukan berkali-kali. Ibunya sangat marah kepada Tampe Ruma
Sani yang berani melaporkan kepada ayahnya. Setelah suaminya pergi, sang ibu
tiri menghajar Tarnpe Ruma Sani sampai babak belur. Tampe Ruma Sani menangis
sejadi-jadinya. Melihat kakaknya dihajar, Mahama Laga Ligo pun ikut menangis.
“Kalau kalian berani melapor kepada ayahmu
akan kubunuh kalian!” ancamnya.
Perlakuan kasar telah biasa diterima oleh
kedua anak itu. Mereka tidak berani melaporkan kejadian itu kepada ayahnya,
karena takut ancaman ibu tirinya.
Kini kedua anak itu sudah besar dan menginjak
dewasa. Kakak beradik itu bermaksud pergi meninggalkan orang tuanya untuk
mencari nafkah sendiri, karena tidak tahan lagi menerima siksaan ibu tirinya.
Maksud itu pun disampaikan kepada ayahnya, “Ayah, kami sekarang sudah besar,
ingin pergi mencari pengalaman. Oleh karena itu, izinkanlah saya dan Mahama
Laga Ligo pergi”.
“Mengapa engkau mau meninggalkan rumah ini?
Tetaplah di sini. Rumah ini nanti akan sepi.” kata ayahnya. Ibu tirinya segera
menyahut, “Benar kata Tampe Ruma Sani. Dia kini sudah besar. Bersama adiknya
tentu ingin mandiri. Maka sebaiknya ayah mengizinkan mereka pergi.” Ibu tirinya
memang sudah tidak senang dengan anak-anak tirinya yang dirasa sangat
mengganggu.
Akhirnya, ayahnya pun dengan berat
mengizinkan, berkat desakan istrinya yang terus-menerus.
Pagi hari sesudah sholat subuh, kedua anak
itu meninggalkan rumahnya. Ibu tirinya memberi bekal nasi dalam bungkusan.
Ayahnya mengantarkan sampai ke batas desa.
Alkisah, kedua anak itu berjalan menyusuri hutan
dan sungai.
Sesekali mereka membicarakan ibu tirinya yang kejam.
Sesekali juga membicarakan ayahnya yang kena pengaruh ibu tirinya. Setelah
seharian berjalan, Mahama Laga Ligo merasa capai.
“Kak, saya capai dan lapar. Istirahat dulu ya
Kak”, katanya dengan nada menghimbau.
“Bolehlah. Kita cari dulu tempat yang teduh,
lalu kita makan bekal yang diberikan ibu tadi,” kata kakaknya. Ketika mau duduk
dekat adiknya yang mulai membuka bekalnya, tercium bau kotoran.
“Pindah dulu, di sekitar sini ada kotoran,
kata Tampe Ruma Sani, sambil mengamati di mana kotoran itu berada. Namun, di
sekitar tempat itu bersih. Lalu ia duduk lagi dan meneruskan membuka bekal yang
dipegang adiknya. Ketika bekal itu dibuka bau itu tercium lebih keras. Akhinya,
tahulah sumber bau itu. Bau itu ternyata berasal dari bekal yang dibawanya.
Rupanya ibu tirinya sangat jahat,
sehingga sampai hati memberi bekal yang dicampuri kotoran manusia. Lalu,
bungkusan itu pun dibuang, dengan perasaan marah dan sedih.
Dengan mengikat perutnya kencang-kencang,
kedua kakak beradik itu pun melanjutkan perjalanan. Setelah beberapa lama berjalan,
dilihatnya sebuah rumah di tengah hutan. Kedua anak itu merasa senang.
Segeralah keduanya menaiki tangga dan mengetuk pintu. Namun, setelah beberapa
saat tidak terdengar jawaban. Diketuknya sekali lagi, tetap tiada jawaban.
Lalu, keduanya mendorong pintu rumah itu sedikit demi sedikit. Ternyata pintu
itu tidak dikunci. Dengan perlahan-lahan, ia memeriksa seluruh penjuru rumah,
temyata rumah itu tidak ada penghuninya. Di sebuah sudut rumah itu ada tiga
buah karung. Setelah diperiksa, ternyata karung itu berisi merica, cengkih, dan
pala. Di atas meja tersedia makanan. Di sekitar rumah ditumbuhi rumput yang
tinggi, yang tampak tidak pernah dijamah manusia maupun binatang.
“Mari kita duduk di dalam rumah menunggu
pemiliknya” kata Tampe Ruma Sani kepada adiknya.
Mereka duduk-duduk. Tak berapa lama, karena
kecapaian, mereka tertidur. Pada saat terbangun hari telah pagi. Penghuni rumah
itu belum juga muncul. Makanan di atas meja masih tetap utuh. Mereka heran,
makanan itu masih hangat. Karena kelaparan, makanan itu pun mereka makan sampai
habis.
Tiga hari sudah mereka berada di rumah itu.
Setiap mereka bangun pagi, makanan hangat telah tersedia. Mereka semakin
terheran-heran, namun tidak mampu berpikir dari mana semuanya itu.
Untuk menjaga kemungkinan makanan tidak
tersedia lagi, mereka bermaksud menjual rempah-rempah dalam karung itu. Pada
hari keempat, Maharna Laga Ligo berkata kepada kakak perempuannya, “Kak,
biarlah saya yang menjual rempah-rempah ini sedikit demi sedikit ke pasar.
Sementara saya pergi, kakak di dalam rumah saja. Kalau ada orang datang, jangan
sekali-sekali kakak membukakan pintu”.
“Baiklah, pergilah, tetapi jangan lama-lama”,
jawab kakaknya.
Tersebutlah hulubalang raja yang sedang
berburu di hutan. Setelah beberapa lama, mereka sangat heran di tengah hutan
itu ada sebuah rumah. Selama ini, di daerah itu tidak pernah ada seorang pun
berani tinggal. Maka salah seorang hulubalang itu menaiki tangga rumah itu dan
mengetuk pintunya. Tampe Ruma Sani tidak berani menjawab, apalagi membuka
pintu. Ia bersembunyi di bawah meja dengan sangat ketakutan. Dalam hati berdoa
semoga adiknya cepat datang.
-------------------
Namun ternyata yang mengetuk pintu bukan
adiknya. Kemudian, dengan terpaksa Hulubalang itu masuk ke dalam rumah dengan
cara mendobrak pintu itu sampai keras. Tampe Ruma sani pun merasa ketakutan. Hulubalang
itu berkata “siapa kamu? Jangan takut, saya adalah seorang Hulubalang di
kerajaan negeri ini”, Tampe Ruma Sani pun dengan perasaan senang mendengarnya.
Hulubalang menceritakan tentang rumah kosong yang
di tempati oleh Tampe Ruma Sani saat ini. Hulubalang berkata “ini adalah tempat
Raja datang untuk menyendiri, dan tempat
ini dipakai sebagai tempat penyimpanan rempah-rempah yang di simpan di dalam
karung yang di dapat dari kebun kerajaan yang sangat luas”.
Setelah Hulubalang bercerita tentang tempat
itu, kemudian terdengar suara orang yang sedang berjalan, sesampainya di depan
pintu orang tersebut mengetuk pintu “tokk..tokk..tokk” dengan pelan-pelan mengetuknya. ternyata itu Mahama
Laga Ligo adiknya Tampe Ruma Sani yang baru pulang dari pasar habis menjual
rempah-rempah. Mahama Laga Ligo pun sangat heran dan bertanya-tanya kepada kakaknya
“siapa orang ini kak?’’ kakaknya
menjawab “dia adalah seorang Hubulalang dari kerajaan yang ada di negeri ini”.
Mahama Laga Ligo pun hanya tersenyum setelah mendengar hal itu.
Tidak lama kemudian Hulubalang mengajak
mereka untuk tinggal di kerajaan. Mahama Laga Ligo menolak atas tawaran
Hulubalang, setelah kakaknya memberi penjelasan, akhirnya Mahama Laga Ligo
mengikuti perkataan kakaknya. Tampe Ruma Sani dan Mahama Laga Ligo sangat
menyayanginya.
Sesampainya di kerajaan Hulubalang
mempertemukan dengan Raja Sakti, ia Raja yang sangat tampan, baik hati dan
tidak mempunyai istri. Saat Raja Sakti bertemu dengan Tampe Ruma Sani, Raja
melihat mata dan rambut sangat indah yang di milikinya.
Keesokan harinya Tampe Ruma Sani di
tanya-tanya oleh Raja Sakti tentang tempat tinggal mereka. Lalu ia pun
menceritakan semuanya. Raja Sakti sangat terharu mendengar cerita kehidupan
Tampe Ruma Sani dan adiknya, Raja merasa kasihan kepada mereka.
Raja selalu memperhatikan Tampe Ruma Sani dan
bertanya” apakah kamu sudah makan? Ayo..makan bersama dan panggilkan adikmu”.
“Baik Raja, akan saya panggilkan” jawab Tampe
Ruma Sani.
Akhirnya mereka makan bersama-sama. Dengan
merasa nyaman Raja berada di samping mereka., karena mereka sangat baik di mata
Raja. Mereka ingin bertemu ayahnya, Raja pun mencarinya sampai ketemu. Setelah
bertemu, ayahnya tinggal bersama mereka di kerajaan.
Singkat cerita, ayahnya pun meninggalkan ibu tirinya
dan lebih memilih tinggal bersama anak-anaknya karena sudah lama mereka tidak
bertemu. Ibu tirinya sangat tidak senang melihat ini semua. Akhirnya rumah
tangga mereka tidak membaik, karena ayahnya sayang kepada anaknya karena ibu
tirinya sudah jahat kepada mereka.
Sudah lama mereka tinggal bersama, Raja Sakti
sedang mencari seorang istri dan Raja mempunyai perasaan suka kepada Tampe Ruma
Sani, karena ia seorang perempuan yang baik, cantik, ramah terhadap orang lain.
Raja sakti pun berkata” Tampe, setelah saya
memperhatikan kamu, saya mempunyai hati kepada kamu, apakah kamu ingin menjadi
istri saya?”
Tampe terdiam mendengar perkataan yang keluar
dari mulut Raja dan ia tidak percaya “ saya tidak pantas menjadi pendamping
hidup Raja, tidak mungkin Raja suka dengan saya” jawab Tampe Ruma Sani dengan
lembut.
Akhirnya tampe memutuskan semuanya, bahwa
Tampe Ruma Sani sebenarnya mempunyai perasaan seperti Raja Sakti, namun itu
semua tidak di ungkapkannya.
Kemudian Raja Sakti meminta izin kepada
ayanya, bahwa Tampe Rumah Sani akan di jadikannya sebagai istri dean akan
segera di pinang. Ayah dan Mahama Laga Ligo pun merasa senang mendengarnya dan
di restui utuk menikah. Keluarga dari kerajaan pun senang mendengar ini semua.
Ketika mereka melaksanakan pernikahannya,
para tamu undangan sangat terharu melihat pesta pernikahan Tampe Rumah Sani dan
Raja Sakti. Pesta pernikahan yang begitu meriah, tamu undangan yang datang
sangat banyak. Pada akhirnya keluarga mereka hidup bahagia menjadi keluarga
yang baik dan tinggal bersama di istana kerajaan.
Cerita asli Tampe Ruma Sani bisa dilihat di http://dongeng.org/cerita-rakyat/tampe-ruma-sani.html
1 komentar:
coba buat lebih variatif lagi, semangat ya!
Posting Komentar