TAMPE RUMA SANI
oleh : Mala Nopita Sari
oleh : Mala Nopita Sari
cerita asli bisa dilihat di http://dongeng.org/cerita-rakyat/tampe-ruma-sani.html
Cerita ini
berasal dari Dompu, salah satu kabupaten di Nusa Tenggara Barat.
Alkisah pada zaman
dulu, tinggallah seorang anak perempuan
bernama Tampe Ruma Sani. Semua orang di kampungnya mengenal dia, sebab setiap
hari ia menjajakan ikan hasil
tangkapan ayahnya. Ibunya sudah meninggal. Di rumahnya ia tinggal bersama ayah
dan adik laki-lakinya yang masih kecil. Ia memasak nasi untuk ayah dan adiknya.
Kasihan Tampe Ruma Sani yang masih kecil itu harus mengerjakan pekerjaan rumah
tangga yang seharusnya dikerjakan oleh orang dewasa.
Pada suatu hari,
seorang janda menyapa Tampe Rurna Sani, “Sudah habis ikanmu Nak? Tiap hari saya
lihat ikanmu cepat habis, apa rahasianya?”
“Saya menjual lebih
murah dari yang lain, agar cepat habis, karena saya harus segera pulang menanak
nasi untuk ayah dan adik saya. Juga pekerjaan rumah tangga yang lain harus saya
kerjakan”, jawab Tampe Rurna Sani sambil berjalan cepat.
“Siapa nama adikmu?”
“Mahama Laga Ligo”, jawab Tampe
Rurna Sani. “Mengapa bukan adikmu yang memasak?”
“Adikku masih kecil, belum bisa
memasak.” Bermacam-macam pertanyaan janda itu kepada Tampe Ruma Sani.
“Sampaikan salamku kepada
ayahmu! Aku mau membantu kalian dan tinggal di rumah ayahmu. Aku mau membuat
tembe (sarung), sambolo (destar) dan ro sarowa (celana) untuk ayahmu”, kata
janda itu dengan manis.
“Baik Bu, akan saya
sampaikan kepada ayah.” Singkat cerita janda itu kini telah kawin dengan ayah
mereka, dan menjadi ibu tirinya.
Kini Tampe Ruma Sani lidak lagi
memasak. Pekerjaannya hanya menjajakan ikan saja. Sekali-sekali ikut menumbuk
padi. Setiap menumbuk padi, ibunya selalu berpesan agar beras yang utuh
dipisahkan dengan yang hancur.
Pada mulanya, ibu tirinya sangat
baik kepada Tampe Ruma Sani dan adiknya. Namun, lama-kelamaan sikapnya berubah.
Tampe Rurna Sani dan Mahama Laga Ligo mendapat perlakuan yang kurang baik,
lebih-lebih kalau ayahnya tidak berada di rumah.
Pada suatu hari,
ayahnya baru pulang menangkap ikan. Sang ibu tiri segera menyiapkan makanan
yang enak-enak untuknya. Sedang untuk anak ttrinya disediakan nasi menir (nasi
dari beras yang hancur kecil-kecil). Melihat hal itu, Tampe Ruma Sani
memberanikan diri lapor kepada ayahnya, “Ayah dan ibu makan nasi yang bagus dan
ikannya yang enak-enak, sedang saya dan adik nasinya kecil-kecil dan tidak ada
ikannya”. Mendengar hal itu ayahnya bertanya, “Mengapa makanan anak-anak
berbeda dengan makanan kita Bu?”
“Oo tidak Pak,
sebenarnya sama saja, lihatlah sisa makanan yang ada di kepala Mahama Laga
Ligo,” jawab istrinya.
Sebenarnya nasi yang
ada di kepala Mahama Laga Ligo sengaja ditaruh oleh ibu tirinya menjelang
ayahnya datang. Hal yang demikian telah dilakukan berkali-kali. Ibunya sangat
marah kepada Tampe Ruma Sani yang berani melaporkan kepada ayahnya. Setelah
suaminya pergi, sang ibu tiri menghajar Tarnpe Ruma Sani sampai babak belur.
Tampe Ruma Sani menangis sejadi-jadinya. Melihat kakaknya dihajar, Mahama Laga
Ligo pun ikut menangis.
“Kalau kalian berani
melapor kepada ayahmu akan kubunuh kalian!” ancamnya.
Perlakuan kasar telah
biasa diterima oleh kedua anak itu. Mereka tidak berani melaporkan kejadian itu
kepada ayahnya, karena takut ancaman ibu tirinya.
Kini kedua anak itu
sudah besar dan menginjak dewasa. Kakak beradik itu bermaksud pergi
meninggalkan orang tuanya untuk mencari nafkah sendiri, karena tidak tahan lagi
menerima siksaan ibu tirinya. Maksud itu pun disampaikan kepada ayahnya, “Ayah,
kami sekarang sudah besar, ingin pergi mencari pengalaman. Oleh karena itu,
izinkanlah saya dan Mahama Laga Ligo pergi”.
“Mengapa engkau mau
meninggalkan rumah ini? Tetaplah di sini. Rumah ini nanti akan sepi.” kafa
ayahnya. Ibu tirinya segera menyahut, “Benar kata Tampe Ruma Sani. Dia kini
sudah besar. Bersama adiknya tentu ingin mandiri. Maka sebaiknya ayah
mengizinkan mereka pergi.” Ibu tirinya memang sudah tidak senang dengan
anak-anak tirinya yang dirasa sangat mengganggu.
Akhirnya, ayahnya pun
dengan berat mengizinkan, berkat desakan istrinya yang terus-menerus.
Pagi hari sesudah
sholat subuh, kedua anak itu meninggalkan rumahnya. Ibu tirinya memberi bekal
nasi dalam bungkusan. Ayahnya mengantarkan sampai ke batas desa.
Alkisah, kedua anak
itu berjalan menyusuri hutan dan sungai.
Sesekali mereka membicarakan ibu tirinya yang kejam. Sesekali
juga membicarakan ayahnya yang kena pengaruh ibu tirinya. Setelah seharian
berjalan, Mahama Laga Ligo merasa capai.
“Kak, saya capai dan
lapar. Istirahat dulu ya Kak”, katanya dengan nada menghimbau.
“Bolehlah. Kita cari
dulu tempat yang teduh, lalu kita makan bekal yang diberikan ibu tadi,” kata
kakaknya. Ketika mau duduk dekat adiknya yang mulai membuka bekalnya, tercium
bau kotoran.
“Pindah dulu, di
sekitar sini ada kotoran, kata Tampe Ruma Sani, sambil mengamati di mana
kotoran itu berada. Namun, di sekitar tempat itu bersih. Lalu ia duduk lagi dan
meneruskan membuka bekal yang dipegang adiknya. Ketika bekal itu dibuka bau itu
tercium lebih keras. Akhinya, tahulah sumber bau itu. Bau itu temyata berasal
dari bekal yang dibawanya. Rupanya ibu tirinya sangat jahat, sehingga
sampai hati memberi bekal yang dicampuri kotoran manusia. Lalu, bungkusan itu
pun dibuang, dengan perasaan marah dan sedih.
Dengan mengikat
perutnya kencang-kencang, kedua kakak beradik itu pun melanjutkan perjalanan.
Setelah beberapa lama herjalan, dilihatnya sebuah rumah di tengah hutan. Kedua
anak itu merasa senang. Segeralah keduanya menaiki tangga dan mengetuk pintu.
Namun, setelah beberapa saat tidak terdengar jawaban. Diketuknya sekali lagi,
tetap tiada jawaban. Lalu, keduanya mendorong pintu rumah itu sedikit demi
sedikit. Ternyata pintu itu tidak dikunci. Dengan perlahan-lahan, ia memeriksa
seluruh penjuru rumah, temyata rumah itu tidak ada penghuninya. Di sebuah sudut
rumah itu ada tiga buah karung. Setelah diperiksa, ternyata karung itu berisi
merica, cengkih, dan pala. Di atas meja tersedia makanan. Di sekitar rumah
ditumbuhi rumput yang tinggi, yang tampak tidak pernah dijamah manusia maupun
binatang.
“Mari kita duduk di
dalam rumah menunggu pemiliknya” kata Tampe Ruma Sani kepada adiknya.
Mereka duduk-duduk.
Tak berapa lama, karena kecapaian, mereka tertidur. Pada saat terbangun hari
telah pagi. Penghuni rumah itu belum juga muncul. Makanan di atas meja masih
tetap utuh. Mereka heran, makanan itu masih hangat. Karena kelaparan, makanan
itu pun mereka makan sampai habis.
Tiga hari sudah
mereka berada di rumah itu. Setiap mereka bangun pagi, makanan hangat telah
tersedia. Mereka semakin terheran-heran, namun tidak mampu berpikir dari mana
semuanya itu.
Untuk menjaga
kemungkinan makanan tidak tersedia lagi, mereka bermaksud menjual rempah-rempah
dalam karung itu. Pada hari keempat, Maharna Laga Ligo berkata kepada kakak
perempuannya, “Kak, biarlah saya yang menjual rempah-rempah ini sedikit demi
sedikit ke pasar. Sementara saya pergi, kakak di dalam rumah saja. Kalau ada
orang datang, jangan sekali-sekali kakak membukakan pintu”.
“Baiklah, pergilah,
tetapi jangan lama-lama”, jawab kakaknya.
Tersebutlah
hulubalang raja yang sedang berburu di hutan. Setelah beberapa lama, mereka
sangat heran di tengah hutan itu ada sebuah rumah. Selama ini, di daerah itu
tidak pernah ada seorang pun berani tinggal. Maka salah seorang hulubalang itu
menaiki tangga rumah itu dan mengetuk pintunya. Tampe Ruma Sani tidak berani
menjawab, apalagi membuka pintu. Ia bersembunyi di bawah meja dengan sangat
ketakutan. Dalam hati berdoa semoga adiknya cepat datang.
.............
Hulubalang itu terus mengetuk pintu dengan keras,
tetapi Tampe Ruma Sani tetap tidak membukakan pintu itu, sampai akhirnya
hulubalang mendobrak pintu itu dengan sekuat tenaganya. Hulubalang itu terkejut
mendapati seorang gadis muda yang sedang duduk di pojok kasur sambil menundukan
kepalanya dengan penuh ketakutan, lalu hulubalang itu berkata dengan kasar “Hai
gadis muda yang kotor dan menjijikan, sedang apa kau berada di rumah ini, kau
sedang mencuri yah? tanya hulubalang tersebut. Tampe Ruma Sani menjawab dengan
terbata-bata. “Tiiidaakk aku tidakk mencuri, aku hanya menumpang saja di dalam
rumah ini” jawab Tampe Ruma Sani. “Bohong kau...? ” Tanya hulubalang tidak
percaya.
Belum sempat Tampe Ruma Sani menjawab, hulubalang itu
sudah berkata “Sudah kita bawa saja gadis ini ke istana, kita adukan masalah
ini kepada paduka raja”. Para hulubalang yang lain langsung menghampiri Tampe
Ruma Sani sambil membawa sebuah borgol besar untuk diikatkan ke tangan Tampe
Ruma Sani. Tampe Ruma Sani menolak dan dia berteriak “Lepaskan aku, aku bukan
pencuri.. lepaskaannn” ucapan Tampe Ruma Sani tidak dihiraukan oleh para
hulubalang, mereka langsung bergegas pergi meninggalkan rumah itu.
Mahama Laga Ligo yang sejak tadi pergi menjual
rempah-rempah di pasar datang dengan membawa uang yang banyak tetapi
sesampainya di rumah, Mahama Laga Ligo terkejut melihat pintu rumah yang sudah
terbuka lebar dan ketika Mahama Laga Ligo masuk ke dalam betapa terkejutnya lagi
dia mendapati kakak perempuannya sudah tidak ada. Mahama Laga Ligo mencari
kakaknya ke semua penjuru rumah tetapi dia tidak ada, Mahama Laga Ligo pun terus
mencari kakaknya ke luar rumah lalu dia mengitari seluruh hutan tetapi dia
benar-benar tidak menemukan kakaknya. Mahama Laga Ligo mulai kelelahan dan dia
duduk di atas sebuah batu besar sambil menangis dan menyesali kepergian
kakaknya, “Mengapa tadi aku meninggalkan kakak sendiri? seandainya aku tetap
berada di dalam rumah dan menjaga kakak, kakak tidak mungkin hilang seperti
ini. Aku harus kemana lagi mencari kakak?” Mahama Laga Ligo terus menangis
sambil mencari kakaknya yang hilang.
Sementara itu Tampe Ruma Sani sudah berada di dalam
sebuah istana yang begitu mewah dan megah. Hulubalang itu menurunkan Tampe Ruma
Sani dengan sangat kasar. Hulubalang itu berkata kepada Raja “Wahai paduka Raja
aku membawakan seorang gadis kotor dan kumuh yang kudapati dia sedang mencuri
di dalam rumah di tengah hutan.” Tampe Ruma Sani berkata “Aku bukanlah seorang
pencuri paduka Raja, aku hanya menumpang tidur di rumah itu karena aku bersama
adikku mengalami perjalanan yang cukup jauh, jadi kamu memutuskan untuk
beristirahat di rumah itu”.
Raja itu bernama Raja Burhan. Raja Burhan merupakan
raja yang terkenal dengan kesombongan dan juga keangkuhannya, bukan hanya itu
saja Raja Burhan pun sangat tidak suka dengan rakyat miskin, jika beliau sedang
jalan-jalan di sekitar negrinya dan dia melihat seorang pedagang kecil dia
langsung menendangi daganganya dan mengusir pedagang itu dari hadapannya.
“Hahahahahah....” Raja itu tertawa. Raja itu lalu
menghampiri Tampe Ruma Sani dan dia langsung menarik rambut Tampe Ruma Sani
dengan keras, Tampe Ruma Sani pun menjerit sejadi-jadinya “Auuwwww,, sakit”.
Raja itu lalu berkata “Aku tidak peduli apakah kau seorang pencuri apakah kau
itu gadis suci yang baik hati, yang aku butuhkan sekarang adalah seorang
pelayan yang bisa ku perintahkan sesuka hatiku”. Raja Burhan pun menjadikan
Tampe Ruma Sani pelayan kerajaan. Tampe Ruma Sani selalu diperlakukan kasar
oleh Raja Burhan, setiap harinya Tampe Ruma Sani selalu diperintahkan oleh Raja
Burhan mengerjakan perkerjaan istana seperti menyapu, mengepel, mencuci dan
juga merawat ternak-ternak yang dimiliki oleh Raja Burhan.
Tampe Ruma Sani hanya mendapatkan makanan sisa dari
piring sang Raja, sering sekali sisa makanan itu hanyalah tinggal tulang-tulang
saja dan tidak jarang pula Tampe Ruma Sani diberikan piring kosong dari makanan
Raja Burhan. Tampe Ruma Sani hanya bisa menangis dengan semua keadaan ini, dia
hanya berdoa agar dia bisa keluar dari istana ini dan dia bisa bertemu dengan adiknya.
Tampe Ruma Sani selalu memikirkan adiknya, dimanakah adiknya berada saat ini,
pasti adiknya sangat bingung mencari keberadaanya sekarang.
Suatu pagi Tampe Ruma Sani disuruh oleh Raja Burhan
membeli buah-buahan di pasar. “Hai kau gadis lusuh, pergilah kau ke pasar untuk
membelikan aku buah-buahan segar” kata Raja Burhan, “Baiikk paduka Raja, hamba
segera pergi ke pasar” jawab Tampe Ruma Sani.
Kesempatan seperti ini tidak disia-siakan oleh Tampe
Ruma Sani, dalam hatinya dia berkata “Ini adalah kesempatan ku untuk pergi dan
melarikan diri dari istana ini, aku sudah tidak tahan lagi berada di istana ini”.
Tampe Ruma Sani terus berlari dan melarikan diri dari
istana, tetapi ketika dia berlari dia bergumam dalam hatinya “Aku harus pergi
kemana? aku tidak tahu jalanan pasar ini. Bagaimana kalau aku tersesat? Bagaimana
jika aku bertemu orang jahat lagi seperti Raja Burhan?” Tampe Ruma Sani
bertanya-tanya dalam hatinya. Tampe Ruma Sani pun mulai menangis dan
benar-benar merasa sendiri, dia sangat rindu dengan adik dan juga ayahnya.
Tiba-tiba datanglah seorang pria berkuda dengan
menggunakan baju kerajaan yang sangat gagah dan juga tampan, pria itu
menghampiri Tampe Ruma Sani sambil berkata “Hai, nona sedang apa kau sendiri
disini? mengapa kau menangis?”. Tampe Ruma Sani kaget dan dia langsung pergi
menghindar dari pria itu, tetapi pria tampan itu mengejar Tampe Ruma Sani
sampai akhirnya Tampe Ruma Sani terjatuh dan tidak bisa berdiri karena kakinya
luka tersandung batu. “Nona, jangan takut. Aku adalah seorang Pangeran dari
negri sebrang, Namaku adalah Pangeran Adipati, aku tidak akan melukaimu.
Astaga.. kakimu terluka, sini biar ku bantu obati luka di kakimu”. Tampe Ruma
Sani sangat ketakutan dan dia mulai menatap pangeran itu “Kau bukan orang
Jahat? kau tidak akan menyakitiku bukan?” Tanya Tampe Ruma Sani. “Tenang nona,
aku bukanlah orang jahat”. mendengar perkataan itu Tampe Ruma Sani tersenyum
sambil terus menatap pangeran itu dengan malu-malu.
Di sisi lain Mahama Laga Ligo terus mencari keberadaan
kakaknya, dia terus berjalan sampai akhirnya dia merasa lelah, uang yang ia
bawa hasil dari menjual rempah-rempah lalu, kini semakin menipis dan mulai habis.
Dia sama sekali tidak tahu harus berjalan sampai sejauh apa lagi untuk
menemukan kakanya. Sampai suatu hari ketika perut Mahama Laga Ligo mulai
berbunyi karena ia merasa lapar dan uang di saku celananya sudah tidak ada,
Mahama Laga Ligo memutuskan untuk mencuri buah dari pedagang pasar. Mahama Laga
Ligo langsung mengambil buah sebanyak mungkin ketika pedagang buah itu sedang
asik mengobrol dengan pedagang lain, tetapi aksi dari Mahama Laga Ligo terlihat
oleh pedagang lain dan pedagang itu meneriaki Mahama Laga Ligo dengan “Pennccuuurriiiiii.....”.
Mahama Laga Ligo sangat panik dan dia langsung lari dengan kencang untuk
menghindari kemarahan dari para pedagang lain, tetapi sayangnya Mahama Laga
Ligo tertangkap oleh pedagang sayur yang sudah menghalau laju Mahama Laga Ligo.
Semua pedagang memukuli Mahama Laga Ligo tanpa hentinya.
Tampe Ruma Sani tidak menyadari kalau dia sedang
berada di pasar yang sama dengan adiknya Mahama Laga Ligo, tetapi ketika mendengar
suara gaduh yang terjadi akibat pencurian di pasar. Tampe Ruma Sani bersama Pengeran
Adipati langsung berlari melihat kejadian itu dan betapa terkejutnya dia,
ternyata yang sedang dipukuli oleh para pedagang pasar adalah adiknya sendiri,
Tampe Ruma Sani pun mencoba untuk menghentikan aksi dari para pedagang itu.
Tampe Ruma Sani menangis melihat keadaan adiknya yang penuh dengan luka.
Pangerang Adipati pun mengajak Tampe Ruma Sani dan
Mahama Laga Ligo ke istananya. Mahama Laga Ligo dirawat dengan baik oleh Pangeran
Adipati dan para pengawalnya. Setelah beberapa hari Tampe Ruma Sani dan Mahama
Laga Ligo tinggal di istana Pangerang Adipati. Pangeran pun mulai memiliki rasa
cinta terhadap Tampe Ruma Sani, akhirnya Pangeran Adipati memutuskan untuk
meminang Tampe Ruma Sani menjadi istrinya, Tampe Ruma Sani pun menerima
pinangan itu dan mereka menikah dengan pernikahan yang sangat megah. Mereka pun
akhirnya hidup bahagia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar