POTRET 102
Tepat pukul 05.00 WIB aku bangun
pagi. Udara pagi itu sangat dingin menembus kulit, ku paksakan segera beranjak menuju
kamar mandi. Setelah itu aku langsung shalat dan bersiap untuk berangkat ke
kampus. Sekitar pukul 06.00 WIB ku langkahkan kaki menuju halte kodim untuk menunggu
bus 102 jurusan Tanah abang – Ciputat. Tak berapa lama bus yang kutunggupun
tiba, tanpa dikomando aku langsung menaiki bus tersebut.
Suasana pagi di jalan Pakubuwono itu
tampak lenggang, hanya ada beberapa kendaraan pribadi dan bus lain yang melintas.
Begitupun bus yang kutumpangi ini, hanya ada beberapa ibu-ibu dan mahasiswa,
dan tiga orang bapak-bapak di kursi belakang. Bus melaju sangat pelan, sang
supir seperti tak bersemangat. Berkali-kali kulirik jam tangan khawatir akan
terlambat tiba di kampus.Sesampainya di Gandaria, ada dua penumpang menaiki bus
dan bus pun kembali melaju, namun saat ini sedikit kencang.
Sesampainya di Pondok Indah ada
beberapa ibu-ibu dan bapak-bapak hendak turun berebut dan berdesakan lalu
terdengar teriakan dan kasak-kusuk mahasiswa “ copet...copet...” seketika
itupun aku dan penumpang lainnya celingukkan
mencari sumber suara. Tak berapa lama kemudian kondektur teriak-teriak “
pindah ke mobil belakang ya “. Kalimat itulah yang paling di benci para penumpang,
Tanpa disuruh dua kali aku dan penumpang lainnya langsung pindah ke mobil metro
mini jurusan blok M - lebak bulus. Sebuah kebiasaan buruk dan tidak disiplin
bus 102 jika pagi selalu overan mobil, suatu keegoisan demi kepentingan pribadi
untuk mencari sewa tambahan, karena tak jarang orang-orang yang hendak
berangkat kerja lebih banyak dari arah Pondok Indah menuju Senayan, Slipi,
ataupun Tanah abang.
Rupanya Bus Metro mini ini sangat
banyak penumpangnya hingga kami berdesakan dan berdiri. Ketika aku berhasil
mendapatkan tempat duduk di pinggir jendela, ingatanku kembali pada bus 102
tadi. Ya..sebuah bus yang jauh dari kesan nyaman, bersih, dan aman. Ironis
memang, bus rata-rata sudah tua sesekali di cat ulang agar terkesan baru, tak
jarang para supir memikirkan keamanan, keselamatan penumpang. Supir-sipir itu
sering kali ngebut dan ugal-ugalan memperebutkan penumpang. Entah
apa yang ada dibenak mereka, apakah hanya uang ?
Ongkos dua ribu rupiah yang murah
meriah tak dapat menjamin kenyamanan, dan keselamatan penumpang. Seringkali
para supir menerobos lampu merah dan melanggar lalu lintas. Entah sudah paham
atau hanya pasrah, kebanyakan penumpang lebih memilih diam dan duduk manis saat
bus yang mereka tumpangi berhenti di halte dengan waktu lumayan lama. Tidak
hanya keamanan dan keselamatan yang tidak di indahkan, kenyamanan penumpang
dari tempat duduk yang terus mengecil, sampai banyaknya sampah, pengamen, dan
pedagang yang bebas berkeliaran adalah potret sehari-hari bus 102.
Seringkali penumpang wanita
mengeluhkan asap rokok yang keluar dari mulut-mulut lelaki dan selalu merasakan ketakutan dari pencopet dan penodong,
atau pengamen-pengamen yang sering memalak karena tak diberi uang. Sehingga
berakibat para penumpang selalu curiga dengan penumpang lain untuk sebuah
kewaspadaan, tapi hal itu tidak lantas membuat para pengamen dan pencopet jera
karena lemahnya perlawanan. Apalagi setiap kali para supir tidak memakai baju
seragamnya, para polisi hanya menegur dan diam saat uang berbicara. “ Terminal
habis..terminal habis..”. pelan-pelan aku tersadar dari lamunan panjang barusan
dan segera turun untuk naik angkot jurusan Ciputat.
1 komentar:
Deskripsi yang menarik, tapi "waktu"-nya belum terlihat.
Posting Komentar