2013/04/21

deskripsi pegembangan spasi dan waktu

POTRET 102


            Tepat pukul 05.00 WIB aku bangun pagi. Udara pagi itu sangat dingin menembus kulit, ku paksakan segera beranjak menuju kamar mandi. Setelah itu aku langsung shalat dan bersiap untuk berangkat ke kampus. Sekitar pukul 06.00 WIB ku langkahkan kaki menuju halte kodim untuk menunggu bus 102 jurusan Tanah abang – Ciputat. Tak berapa lama bus yang kutunggupun tiba, tanpa dikomando aku langsung menaiki bus tersebut.
            Suasana pagi di jalan Pakubuwono itu tampak lenggang, hanya ada beberapa kendaraan pribadi dan bus lain yang melintas. Begitupun bus yang kutumpangi ini, hanya ada beberapa ibu-ibu dan mahasiswa, dan tiga orang bapak-bapak di kursi belakang. Bus melaju sangat pelan, sang supir seperti tak bersemangat. Berkali-kali kulirik jam tangan khawatir akan terlambat tiba di kampus.Sesampainya di Gandaria, ada dua penumpang menaiki bus dan bus pun kembali melaju, namun saat ini sedikit kencang.
            Sesampainya di Pondok Indah ada beberapa ibu-ibu dan bapak-bapak hendak turun berebut dan berdesakan lalu terdengar teriakan dan kasak-kusuk mahasiswa “ copet...copet...” seketika itupun aku dan penumpang lainnya celingukkan mencari sumber suara. Tak berapa lama kemudian kondektur teriak-teriak “ pindah ke mobil belakang ya “. Kalimat itulah yang paling di benci para penumpang, Tanpa disuruh dua kali aku dan penumpang lainnya langsung pindah ke mobil metro mini jurusan blok M - lebak bulus. Sebuah kebiasaan buruk dan tidak disiplin bus 102 jika pagi selalu overan mobil, suatu keegoisan demi kepentingan pribadi untuk mencari sewa tambahan, karena tak jarang orang-orang yang hendak berangkat kerja lebih banyak dari arah Pondok Indah menuju Senayan, Slipi, ataupun Tanah abang.
            Rupanya Bus Metro mini ini sangat banyak penumpangnya hingga kami berdesakan dan berdiri. Ketika aku berhasil mendapatkan tempat duduk di pinggir jendela, ingatanku kembali pada bus 102 tadi. Ya..sebuah bus yang jauh dari kesan nyaman, bersih, dan aman. Ironis memang, bus rata-rata sudah tua sesekali di cat ulang agar terkesan baru, tak jarang para supir memikirkan keamanan, keselamatan penumpang. Supir-sipir itu sering kali ngebut dan ugal-ugalan memperebutkan penumpang. Entah apa yang ada dibenak mereka, apakah hanya uang ?
            Ongkos dua ribu rupiah yang murah meriah tak dapat menjamin kenyamanan, dan keselamatan penumpang. Seringkali para supir menerobos lampu merah dan melanggar lalu lintas. Entah sudah paham atau hanya pasrah, kebanyakan penumpang lebih memilih diam dan duduk manis saat bus yang mereka tumpangi berhenti di halte dengan waktu lumayan lama. Tidak hanya keamanan dan keselamatan yang tidak di indahkan, kenyamanan penumpang dari tempat duduk yang terus mengecil, sampai banyaknya sampah, pengamen, dan pedagang yang bebas berkeliaran adalah potret sehari-hari bus 102.
            Seringkali penumpang wanita mengeluhkan asap rokok yang keluar dari mulut-mulut lelaki dan selalu merasakan ketakutan dari pencopet dan penodong, atau pengamen-pengamen yang sering memalak karena tak diberi uang. Sehingga berakibat para penumpang selalu curiga dengan penumpang lain untuk sebuah kewaspadaan, tapi hal itu tidak lantas membuat para pengamen dan pencopet jera karena lemahnya perlawanan. Apalagi setiap kali para supir tidak memakai baju seragamnya, para polisi hanya menegur dan diam saat uang berbicara. “ Terminal habis..terminal habis..”. pelan-pelan aku tersadar dari lamunan panjang barusan dan segera turun untuk naik angkot jurusan Ciputat.


 

1 komentar:

Ruang Kata-kata mengatakan...

Deskripsi yang menarik, tapi "waktu"-nya belum terlihat.