Dayung ketika Banjir
Sore
itu sekitar pukul tiga, suasana mulai tak bersahabat. Matahari tiba-tiba mulai
redup, yang ada hanyalah awan gelap yang sudah mengeluarkan suara-suara halilintar
yang sangat mengganggu telinga. Hujan turun dengan derasnya, angin kencang
mulai menembus kulit dan membuat bulu kudukku berdiri seketika. Aku tidak
henti-hentinya mengusap kedua tanganku dan berharap aku akan mendapatkan rasa
hangat sejenak dan hujan pun akan berhenti.
Saat
ini aku sangat cemas, hujan tak kunjung reda melainkan turun dengan derasnya.
Jam tanganku sudah menunjukan pukul tiga lewat lima belas menit, TELAT gumamku
dalam hati. Aku memang harus pergi mengajar tepat di jam tiga tetapi hujan
benar-benar telah menghambat waktuku. Dengan sigap aku langsung mengeluarkan
mantel dalam jok motorku dan aku segera memakainya. Tak peduli hujan deras, tak
peduli percikannya dapat menghalangi pandanganku saat mengendarai motor, yang
aku pikirkan hanyalah sampai di tempat mengajar dan bertemu dengan
murid-muridku yang telah menungguku.
Motor
matic hitamku melaju dengan kencangnya, kupacu sampai kecepatan lima puluh
kilometer. Brakkk... aku tersentak kaget, motorku melewati jalan berlubang. Aku
sama sekali tak melihat lubang itu karena lubang itu telah tergenangi air yang
kedalamnya mencapai lima belas centimeter. Selain hujan yang menghalangi
waktuku, macet pun juga menjadi penghalang keduaku untuk sampai di tempat
mengajar. Kemacetan itu berada tepat di depan sekolah Kristen Penabur. Aku
melihat jam tanganku, pantas saja sekarang sudah tepat jam setengah empat.
Murid-murid sekolah Penabur itu memang baru pulang sekolah jadi banyak sekali
yang lalu lalang di jalan dan masuk ke dalam mobil-mobil mewahnya.
Pukul
tiga lebih empat puluh lima menit, aku sudah terbebas dari kemacetan itu dengan
berusaha menerobos dan mencari jalan keluar agar terbebas dari kerumunan
mobil-mobil mewah milik para koko dan cici. Sebenarnya jarak dari rumahku
dengan tempat mengajar tidaklah terlalu jauh kira-kira sekitar dua kilometer, tetapi
dikarenakan kemacetan itu yang terjadi setiap hari menjadikan perjalanan
seakan-akan menjadi sepuluh kilometer.
Aku
kembali menjalankan motorku dengan hati-hati. Ketika sampai di depan perumahan
tempat aku mengajar aku sangat kaget dan bingung sekali. Perumahan itu sudah
tergenang air dengan ketinggian mencapai dengkul orang dewasa. Lagi-lagi banjir
menjadi penghambat ketigaku dalam perjalananku mengajar Selasa itu. Aku
menghentikan laju kendaraanku dan mulai berpikir apakah motorku bisa menerobos
genangan air yang begitu tinggi sedangkan keadaan mesin motorku pada waktu itu
sedang tidak baik.
Aku
melihat lagi jam tanganku yang sudah mulai basah karena percikan air hujan. Pukul
empat kurang lima menit, gumamku. Aku sudah tidak berpikir banyak saat itu, aku
langsung melaju dan melewati banjir yang memang baru pertama kali ku alami
selama mengajar disana. Aku melihat rumah-rumah di sekelilingku yang sudah
tergenangi oleh air, sebagian dari mereka sedang sibuk mengangkut barang-barang
berharga miliknya untuk dibawa ke lantai atas rumah mereka. Aku baru sadar
perumahan tempatku mengajar memiliki nama-nama yang unik yaitu ada Dayung,
Sampan dan juga Layar. Aku mengajar di jalan Dayung, mungkin arti kata Dayung
diambil dari perumahan yang memang sering sekali tergenang air dan
mengakibatkan banjir ketika hujan. Aku tersenyum sambil memikirkan itu.
Aku
berdoa semoga tidak terjadi apa-apa dengan si hitamku ini. Untunglah aku sampai
di tempat mengajarku, sebuah rumah kecil yang menjadi tempat di mana aku
mengajar membaca, menulis, berhitung dan juga mengaji. Rumah tempat mengajarku
ini tidak tergenang oleh air, dikarenakan ada tanjakan kecil yang membuat air
tidak bisa untuk masuk kedalamnya. Aku langsung melepaskan mantel dan merapikan
kerudungku yang berantakan kesana-kemari. Waktu saat ini sudah menunjukan pukul
empat, aku langsung memasuki rumah dan mengetuk pintu, ternyata yang membukakan
pintu adalah si manis yang bernama Karimah. Karimah menyambut tanganku dan
mulai menyalaminya seraya sambil berkata “Tangan Bu Mala dingin”, aku hanya tersenyum.
Ternyata murid-muridku tidak ada yang datang dan hanya Karimahlah yang
menemaniku. Aku mulai membuka buku dan mengajari Karimah menulis huruf A-Z, dia
adalah muridku yang sangat pandai.
Waktu
sudah menunjukan pukul lima sore, keadaan di luar sudah tidak hujan, air pun
sudah mulai surut. Karimah pun sudah selesai menulis dan aku mulai membereskan
semua peralatan tulisku. Aku duduk sejenak di teras sambil menikmati udara
dingin yang memang sangat menyentuh kulitku, hembusan angin yang membuat
bunga-bunga di pot menjadi bergoyang dan seakan-akan melambaikan daunya di
hadapanku. Pemandangan itu seakan-akan membuat hatiku sejuk dan melupakan
sejenak kejadian yang menimpa diriku sekitar tiga puluh menit yang lalu. Aku lalu
berpamitan kepada Karimah dan bergegas untuk kembali pulang ke rumah.
2 komentar:
Kurang detail untuk disebut deskripsi tapi narasi yg menarik. Info nikahannya Hendri mana?
loh, kata ibu terserah mau apa ajah
selain nikahan abang hendri juga boleh
Posting Komentar