2013/06/08

modivikasi dongeng tampe ruma sani




Cerita ini berasal dari Dompu, salah satu kabupaten di Nusa Tenggara Barat.
Alkisah pada zaman dulu, tinggallah seorang anak perempuan bernama Tampe Ruma Sani. Semua orang di kampungnya mengenal dia, sebab setiap hari ia menjajakan ikan hasil tangkapan ayahnya. Ibunya sudah meninggal. Di rumahnya ia tinggal bersama ayah dan adik laki-lakinya yang masih kecil. Ia memasak nasi untuk ayah dan adiknya. Kasihan Tampe Ruma Sani yang masih kecil itu harus mengerjakan pekerjaan rumah tangga yang seharusnya dikerjakan oleh orang dewasa.
Pada suatu hari, seorang janda menyapa Tampe Rurna Sani, “Sudah habis ikanmu Nak? Tiap hari saya lihat ikanmu cepat habis, apa rahasianya?” “Saya menjual lebih murah dari yang lain, agar cepat habis, karena saya harus segera pulang menanak nasi untuk ayah dan adik saya. Juga pekerjaan rumah tangga yang lain harus saya kerjakan”, jawab Tampe Rurna Sani sambil berjalan cepat. “Siapa nama adikmu?” “Mahama Laga Ligo”, jawab Tampe Rurna Sani. “Mengapa bukan adikmu yang memasak?”
“Adikku masih kecil, belum bisa memasak.” Bermacam-macam pertanyaan janda itu kepada Tampe Ruma Sani.
“Sampaikan salamku kepada ayahmu! Aku mau membantu kalian dan tinggal di rumah ayahmu. Aku mau membuat tembe (sarung), sambolo (destar) dan ro sarowa (celana) untuk ayahmu”, kata janda itu dengan manis.
“Baik Bu, akan saya sampaikan kepada ayah.” Singkat cerita janda itu kini telah kawin dengan ayah mereka, dan menjadi ibu tirinya.
Kini Tampe Ruma Sani lidak lagi memasak. Pekerjaannya hanya menjajakan ikan saja. Sekali-sekali ikut menumbuk padi. Setiap menumbuk padi, ibunya selalu berpesan agar beras yang utuh dipisahkan dengan yang hancur. Pada mulanya, ibu tirinya sangat baik kepada Tampe Ruma Sani dan adiknya. Namun, lama-kelamaan sikapnya berubah. Tampe Rurna Sani dan Mahama Laga Ligo mendapat perlakuan yang kurang baik, lebih-lebih kalau ayahnya tidak berada di rumah.
Pada suatu hari, ayahnya baru pulang menangkap ikan. Sang ibu tiri segera menyiapkan makanan yang enak-enak untuknya. Sedang untuk anak ttrinya disediakan nasi menir (nasi dari beras yang hancur kecil-kecil). Melihat hal itu, Tampe Ruma Sani memberanikan diri lapor kepada ayahnya, “Ayah dan ibu makan nasi yang bagus dan ikannya yang enak-enak, sedang saya dan adik nasinya kecil-kecil dan tidak ada ikannya”. Mendengar hal itu ayahnya bertanya, “Mengapa makanan anak-anak berbeda dengan makanan kita Bu?”
“Oo tidak Pak, sebenarnya sama saja, lihatlah sisa makanan yang ada di kepala Mahama Laga Ligo,” jawab istrinya. Sebenarnya nasi yang ada di kepala Mahama Laga Ligo sengaja ditaruh oleh ibu tirinya menjelang ayahnya datang. Hal yang demikian telah dilakukan berkali-kali. Ibunya sangat marah kepada Tampe Ruma Sani yang berani melaporkan kepada ayahnya. Setelah suaminya pergi, sang ibu tiri menghajar Tarnpe Ruma Sani sampai babak belur. Tampe Ruma Sani menangis sejadi-jadinya. Melihat kakaknya dihajar, Mahama Laga Ligo pun ikut menangis.
“Kalau kalian berani melapor kepada ayahmu akan kubunuh kalian!” ancamnya.
Perlakuan kasar telah biasa diterima oleh kedua anak itu. Mereka tidak berani melaporkan kejadian itu kepada ayahnya, karena takut ancaman ibu tirinya. Kini kedua anak itu sudah besar dan menginjak dewasa. Kakak beradik itu bermaksud pergi meninggalkan orang tuanya untuk mencari nafkah sendiri, karena tidak tahan lagi menerima siksaan ibu tirinya. Maksud itu pun disampaikan kepada ayahnya, “Ayah, kami sekarang sudah besar, ingin pergi mencari pengalaman. Oleh karena itu, izinkanlah saya dan Mahama Laga Ligo pergi”.
“Mengapa engkau mau meninggalkan rumah ini? Tetaplah di sini. Rumah ini nanti akan sepi.” kafa ayahnya. Ibu tirinya segera menyahut, “Benar kata Tampe Ruma Sani. Dia kini sudah besar. Bersama adiknya tentu ingin mandiri. Maka sebaiknya ayah mengizinkan mereka pergi.” Ibu tirinya memang sudah tidak senang dengan anak-anak tirinya yang dirasa sangat mengganggu. Akhirnya, ayahnya pun dengan berat mengizinkan, berkat desakan istrinya yang terus-menerus.
Pagi hari sesudah sholat subuh, kedua anak itu meninggalkan rumahnya. Ibu tirinya memberi bekal nasi dalam bungkusan. Ayahnya mengantarkan sampai ke batas desa.
Alkisah, kedua anak itu berjalan menyusuri hutan dan sungai. Sesekali mereka membicarakan ibu tirinya yang kejam. Sesekali juga membicarakan ayahnya yang kena pengaruh ibu tirinya. Setelah seharian berjalan, Mahama Laga Ligo merasa capai.
“Kak, saya capai dan lapar. Istirahat dulu ya Kak”, katanya dengan nada menghimbau.
“Bolehlah. Kita cari dulu tempat yang teduh, lalu kita makan bekal yang diberikan ibu tadi,” kata kakaknya. Ketika mau duduk dekat adiknya yang mulai membuka bekalnya, tercium bau kotoran.
“Pindah dulu, di sekitar sini ada kotoran, kata Tampe Ruma Sani, sambil mengamati di mana kotoran itu berada. Namun, di sekitar tempat itu bersih. Lalu ia duduk lagi dan meneruskan membuka bekal yang dipegang adiknya. Ketika bekal itu dibuka bau itu tercium lebih keras. Akhinya, tahulah sumber bau itu. Bau itu temyata berasal dari bekal yang dibawanya. Rupanya ibu tirinya sangat jahat, sehingga sampai hati memberi bekal yang dicampuri kotoran manusia. Lalu, bungkusan itu pun dibuang, dengan perasaan marah dan sedih. Dengan mengikat perutnya kencang-kencang, kedua kakak beradik itu pun melanjutkan perjalanan. Setelah beberapa lama herjalan, dilihatnya sebuah rumah di tengah hutan. Kedua anak itu merasa senang. Segeralah keduanya menaiki tangga dan mengetuk pintu. Namun, setelah beberapa saat tidak terdengar jawaban. Diketuknya sekali lagi, tetap tiada jawaban. Lalu, keduanya mendorong pintu rumah itu sedikit demi sedikit. Ternyata pintu itu tidak dikunci. Dengan perlahan-lahan, melihat dari sudut kesudut barang-barang yang begitu rapih seperti habis dibersihkan oleh pemilik rumahnya dan masakan yang terlihat masih ada asap masakan yang seperti baru di angkat dan  begitu enak dilihat membuat  kedua anak itu semakin lapar dan ingn mencicipi masakan itu. Karena rasa malu, takut, maka mereka menunggu.  “Mari kita duduk di dalam rumah menunggu pemiliknya” kata Tampe Ruma Sani kepada adiknya. Dan mereka duduk di kusi meja makannya sambil melihat masakan itu. Tak berapa lama, karena kecapaian, mereka tertidur. Pada saat terbangun hari telah pagi. Penghuni rumah itu belum juga muncul. Masakan di depan pandangan mereka  masih tetap utuh tak sedikitpun yang mengacak-acak masakan tersebut. Mereka pun heran, masakan itu masih saja hangat. Hmmmm.......Karena kelaparan, masakan itu pun mereka makan sampai habis.
Tiga hari sudah mereka berada di rumah itu. Setiap mereka bangun pagi, pasti masakan hangat itu selalu telah tersedia. Mereka semakin terheran-heran, namun tidak mampu berpikir dari mana semuanya itu. Tetapi mahama laga ligo penasaran ingin mengetahui siapa yang selalu membuat masakan setiap ia dan kakaknya bangun pagi. Dan mahama laga ligo mempunyai ide untuk tidak tidur di malam hari sampai datangnya pagi hari. Ketika tampe ruma sani tertidur pules dan mahama laga ligo terbangun dari tidurnya yang Cuma bohongan karena untuk mempercayai kakaknya kalau adiknya itu terlelap tidur. Bangun secara pelan-pelan dan membuka pintu, berjalan ke arah dapur yang berdekatan dengan meja makan. Duduklah mahama laga ligo bersembunyi di kolong meja makan untuk mengetahui bagaimana bentuk manusia itu di setiap paginya selalu ia masakan untuk mahama laga ligo dan kakaknya. Waktu semakin menunjukan larutnya malam. Suara-suara serigala yang sedang mengadu-adukan nada-nada suaranya, angin yang tiba-tiba datang melewati tubuhnya ditambah mata yang sedikit demi sedikit meredupkan penglihatannya. Ketika tertutup matanya ada suara sihiran tongkat dari manusia. Dan mahama laga ligo pun kaget terbangun karena adanya suara sihiran dari manusia tersebut. Kepalanya pun terpukul oleh meja dan manusia yang tadi menyihir itu pun melihat  ke bawah meja tersebut. Dan ketika mereka bersamaan melihat, mahama laga ligo kaget dan yang menyihir itu malah tersenyum. Ternyata manusia yang tadi ia dengar sampai ia terpukul oleh meja karena kaget, seorang perempuan yang berambut panjang hitam lebat, memakai gaun panjang berwarna putih bergambar sedikit bunga, pita bunga di atas kepalanya dan sepatu kaca berwarna bening seperti tidak memakai alas sepatu serta tongkat kecil yang ia selalu pegang dan selalu ia sihir. Adalah seorang bidadari cantik yang selalu ia sihir setiap paginya, masakan yang hangat dan barang-barang yang selalu rapih dan cantik.
“kamu jangan takut, aku di utus oleh panglima raja, untuk menjaga kamu dan kakakmu yang sekarang sedang terlelap tidur” . kata bidadari samil memberikan senyuman kepada mahama laga ligo
“kenapa dengan kami? Dan apa salah kita? Apakah kita salah menempati rumah kosong ini?”. Kata mahama laga ligo dengan muka penasaran    
Bidadari pun menjawab “kamu tidak salah nak dan kakakmu juga tidak salah dan tidak kenapa-napa, Cuma panglima raja berbicara sebelum saya ditugaskan untuk menjaga kamu dan kakak kamu, panglima berbicara kalau kamu dan kakak kamu sangatlah baik, suka membantu ayahmu berdagang mencari uang untuk sesuap nasi tetapi kamu dan kakakmu mennjadi seperti ini karena ulah ibu tirimu yang kejam tidak seperti perlakuan bapakmu yang baik. Maka saya di sini ingin menjaga dan ingin membantu kamu dan kakakmu menyatu lagi bersama ayahmu itu dan hilang ibu tiri yang jahat itu. Kamu mau aku bantu?” tanya bidadari
Dan mahama laga ligo menjawab pula “ Oh.......gitu, ya sudah kalau begitu siang ini aku ingin pulang saja bersama kakakku, memang kami nyaman di sini tapi lebih nyaman lagi aku bisa tertawa di rumah bersama ayah dan kakakku, tolong dibantu yah bidadari”. Jawab mahama laga ligo sambil tersenyum. Tak terasa waktu begitu cepat, dan tampe ruma sani terbangun dari lelapnya tidur, dari mimpi-mimpi palsu. Mencari adiknya karena merasa semaleman ia itu sendiri dan ternyata ketika ia keluar dari kamarnya, melihat adiknya sedang bersama seorang perempuan cantik. Dan mahama laga ligo memperkenalkannya kepada kakaknya dan membicarakan rencana untuk siang ini. Tampe ruma sani percaya dari membicaraan adik dan bidadari itu. Mereka keduanya bersiap-siap untuk pulang, dan mereka pun berjalan sambil mencari bekal dari bekal si ibu tirinya, yang mereka buang saat mereka akan dimakannya. Dilihat-liat sambil berjalan pelan-pelan, mereka pun menemukannya ternyata masih ada, Cuma berantakan dan sedikit terbuang nasi tersebut dan bau kotoranyapun masih sedap sekali tercium. Dan dibawalah bungkus nasi dari ibu tirinya sambil melanjutkan perjalannya menuju pulang.
Setelah sesampainya dirumah ternyata tidak ada orang dan kata bidadari itu ayahnya sedang nelayan mencari ikan tetapi sekarang sedang diperjalanan menuju pulang. Mereka keduanya duduk di kursi depan rumah. Masih di perjalanan jauh, melihat si ayah begitu senang melihat aku dari jauh sampai berlari-lari mengejar anak kedua tersebut. Ketika sudah dekat si ayah berbicara “maafkan ayah nak, ayah sudah mentelantarkan kalian dan tidak memberi kesempatan untuk kalian berbicara, tadinya ayah sudah percaya dan sedikit curiga yang tidak-tidak kepada ibumu tetapi hati berkata benar ternyata ibumu jahat nak, dia selingkuh dan ayah ceraikan saja ibumu itu sudah mengkhianati dan menghabiskan uang penghasilan dagangan ayah.  Dan ayah sudah 2 minggu mencari kalian dihutan tetapi tidak melihat sedikitpun tanda bahwa ada kalian, kemudian ayah lelah lalu di lanjut saja mencari ikan, ehhh pas ayah pulang kalian ada dirumah, ayah senang sekali dan ayah menyesal sekali, maafkan ayah yah nak, ayah tak mau kalian pergi lagi, jangan pergi-pergi lagi yah nak”. Kata ayah sambi menangis karena menyesal.
 Jawab tampe ruma sani “ iya ayah dari kami berangkat pergi ke hutanpun sudah kami maafkan, sudah tidak apa-apa yah. Kami juga pulang karena kami juga ingin minta maaf karena egois sampai ingin pergi keluar dari rumah dan ingin juga berbicara sebenarnya dari sikap yang ibu lakukan terhadap kami berdua”. Dan sejak dibicarakannya perilaku ibu tirinya kepada kedua anak tersebut, ayahnya tiba-tiba mengeluarkan air mata terus mengalir deras sampai tak berhenti-henti dan ketika pemceritaan itu berhenti si ayah selalu saja meminta maaf kepada anak kedua itu tersebut. Dan kedua anak itu memaafkan sambil tersenyum melihat ayahnya tersadarkan diri. Lalu ketika itu Maham laga ligo memberitahu bahwa semua ini karena atas bantuan bidadari tanpa bidadari mungkin tidak akan seperti ini dan tak ada rasa ingat untuk ingin pulang.  Bidadari tersenyum dan berbisik meminta izin untuk pulang karena tugasnya sudah selesai dan kedua anak itu berdiri bersama ayahnya dan mengucapkan terima kasih kepada bidadari tersebut atas bantuannya. Maka ayah dan kedua anaknya   tersebut bersatu kembali, semakin kompak mencari uang dari ayahnya yang mencari ikan dan anak keduanya mendagangi ikan dari hasil tangkapan ayahnya tersebut, dan tak ada lagi cerita ibu tiri dan mereka anggap semua adalah cobaan dari tuhan.  

1 komentar:

Ruang Kata-kata mengatakan...

Sepatu kata si bidadari mengingatkan saya akan cinderlella :)sip variatif!