2013/06/10

modifikasi dongeng "Tampe Ruma Sani"



                                      DEKONTRUKSI DONGENG “ TAMPE RUMA SANI”
                                                                     Oleh : Noviyanti
Alkisah pada zaman dulu, tinggallah seorang anak perempuan bernama Tampe Ruma Sani. Semua orang di kampungnya mengenal dia, sebab setiap hari ia menjajakan ikan hasil tangkapan ayahnya. Ibunya sudah meninggal. Di rumahnya ia tinggal bersama ayah dan adik laki-lakinya yang masih kecil. Ia memasak nasi untuk ayah dan adiknya. Kasihan Tampe Ruma Sani yang masih kecil itu harus mengerjakan pekerjaan rumah tangga yang seharusnya dikerjakan oleh orang dewasa.
Pada suatu hari, seorang janda menyapa Tampe Rurna Sani, “Sudah habis ikanmu Nak? Tiap hari saya lihat ikanmu cepat habis, apa rahasianya?”
“Saya menjual lebih murah dari yang lain, agar cepat habis, karena saya harus segera pulang menanak nasi untuk ayah dan adik saya. Juga pekerjaan rumah tangga yang lain harus saya kerjakan”, jawab Tampe Rurna Sani sambil berjalan cepat.
“Siapa nama adikmu?”
“Mahama Laga Ligo”, jawab Tampe Rurna Sani. “Mengapa bukan adikmu yang memasak?”
“Adikku masih kecil, belum bisa memasak.” Bermacam-macam pertanyaan janda itu kepada Tampe Ruma Sani.
“Sampaikan salamku kepada ayahmu! Aku mau membantu kalian dan tinggal di rumah ayahmu. Aku mau membuat tembe (sarung), sambolo (destar) dan ro sarowa (celana) untuk ayahmu”, kata janda itu dengan manis.
Baik Bu, akan saya sampaikan kepada ayah.” Singkat cerita janda itu kini telah kawin dengan ayah mereka, dan menjadi ibu tirinya.
Kini Tampe Ruma Sani lidak lagi memasak. Pekerjaannya hanya menjajakan ikan saja. Sekali-sekali ikut menumbuk padi. Setiap menumbuk padi, ibunya selalu berpesan agar beras yang utuh dipisahkan dengan yang hancur.
Pada mulanya, ibu tirinya sangat baik kepada Tampe Ruma Sani dan adiknya. Namun, lama-kelamaan sikapnya berubah. Tampe Rurna Sani dan Mahama Laga Ligo mendapat perlakuan yang kurang baik, lebih-lebih kalau ayahnya tidak berada di rumah.
Pada suatu hari, ayahnya baru pulang menangkap ikan. Sang ibu tiri segera menyiapkan makanan yang enak-enak untuknya. Sedang untuk anak ttrinya disediakan nasi menir (nasi dari beras yang hancur kecil-kecil). Melihat hal itu, Tampe Ruma Sani memberanikan diri lapor kepada ayahnya, “Ayah dan ibu makan nasi yang bagus dan ikannya yang enak-enak, sedang saya dan adik nasinya kecil-kecil dan tidak ada ikannya”. Mendengar hal itu ayahnya bertanya, “Mengapa makanan anak-anak berbeda dengan makanan kita Bu?”
“Oo tidak Pak, sebenarnya sama saja, lihatlah sisa makanan yang ada di kepala Mahama Laga Ligo,” jawab istrinya.
Sebenarnya nasi yang ada di kepala Mahama Laga Ligo sengaja ditaruh oleh ibu tirinya menjelang ayahnya datang. Hal yang demikian telah dilakukan berkali-kali. Ibunya sangat marah kepada Tampe Ruma Sani yang berani melaporkan kepada ayahnya. Setelah suaminya pergi, sang ibu tiri menghajar Tarnpe Ruma Sani sampai babak belur. Tampe Ruma Sani menangis sejadi-jadinya. Melihat kakaknya dihajar, Mahama Laga Ligo pun ikut menangis.
“Kalau kalian berani melapor kepada ayahmu akan kubunuh kalian!” ancamnya.
Perlakuan kasar telah biasa diterima oleh kedua anak itu. Mereka tidak berani melaporkan kejadian itu kepada ayahnya, karena takut ancaman ibu tirinya.
Kini kedua anak itu sudah besar dan menginjak dewasa. Kakak beradik itu bermaksud pergi meninggalkan orang tuanya untuk mencari nafkah sendiri, karena tidak tahan lagi menerima siksaan ibu tirinya. Maksud itu pun disampaikan kepada ayahnya, “Ayah, kami sekarang sudah besar, ingin pergi mencari pengalaman. Oleh karena itu, izinkanlah saya dan Mahama Laga Ligo pergi”.
“Mengapa engkau mau meninggalkan rumah ini? Tetaplah di sini. Rumah ini nanti akan sepi.” kafa ayahnya. Ibu tirinya segera menyahut, “Benar kata Tampe Ruma Sani. Dia kini sudah besar. Bersama adiknya tentu ingin mandiri. Maka sebaiknya ayah mengizinkan mereka pergi.” Ibu tirinya memang sudah tidak senang dengan anak-anak tirinya yang dirasa sangat mengganggu.
Akhirnya, ayahnya pun dengan berat mengizinkan, berkat desakan istrinya yang terus-menerus.
Pagi hari sesudah sholat subuh, kedua anak itu meninggalkan rumahnya. Ibu tirinya memberi bekal nasi dalam bungkusan. Ayahnya mengantarkan sampai ke batas desa.
Alkisah, kedua anak itu berjalan menyusuri hutan dan sungai. Sesekali mereka membicarakan ibu tirinya yang kejam. Sesekali juga membicarakan ayahnya yang kena pengaruh ibu tirinya. Setelah seharian berjalan, Mahama Laga Ligo merasa capai.
“Kak, saya capai dan lapar. Istirahat dulu ya Kak”, katanya dengan nada menghimbau.
“Bolehlah. Kita cari dulu tempat yang teduh, lalu kita makan bekal yang diberikan ibu tadi,” kata kakaknya. Ketika mau duduk dekat adiknya yang mulai membuka bekalnya, tercium bau kotoran.
“Pindah dulu, di sekitar sini ada kotoran, kata Tampe Ruma Sani, sambil mengamati di mana kotoran itu berada. Namun, di sekitar tempat itu bersih. Lalu ia duduk lagi dan meneruskan membuka bekal yang dipegang adiknya. Ketika bekal itu dibuka bau itu tercium lebih keras. Akhinya, tahulah sumber bau itu. Bau itu temyata berasal dari bekal yang dibawanya. Rupanya ibu tirinya sangat jahat, sehingga sampai hati memberi bekal yang dicampuri kotoran manusia. Lalu, bungkusan itu pun dibuang, dengan perasaan marah dan sedih.
Dengan mengikat perutnya kencang-kencang, kedua kakak beradik itu pun melanjutkan perjalanan. Setelah beberapa lama herjalan, dilihatnya sebuah rumah di tengah hutan. Kedua anak itu merasa senang. Segeralah keduanya menaiki tangga dan mengetuk pintu. Namun, setelah beberapa saat tidak terdengar jawaban. Diketuknya sekali lagi, tetap tiada jawaban. Lalu, keduanya mendorong pintu rumah itu sedikit demi sedikit. Ternyata pintu itu tidak dikunci. Dengan perlahan-lahan, ia memeriksa seluruh penjuru rumah, temyata rumah itu tidak ada penghuninya. Di sebuah sudut rumah itu ada tiga buah karung. Setelah diperiksa, ternyata karung itu berisi merica, cengkih, dan pala. Di atas meja tersedia makanan. Di sekitar rumah ditumbuhi rumput yang tinggi, yang tampak tidak pernah dijamah manusia maupun binatang.
“Mari kita duduk di dalam rumah menunggu pemiliknya” kata Tampe Ruma Sani kepada adiknya.
Mereka duduk-duduk. Tak berapa lama, karena kecapaian, mereka tertidur. Pada saat terbangun hari telah pagi. Penghuni rumah itu belum juga muncul. Makanan di atas meja masih tetap utuh. Mereka heran, makanan itu masih hangat. Karena kelaparan, makanan itu pun mereka makan sampai habis.
Tiga hari sudah mereka berada di rumah itu. Setiap mereka bangun pagi, makanan hangat telah tersedia. Mereka semakin terheran-heran, namun tidak mampu berpikir dari mana semuanya itu.
Untuk menjaga kemungkinan makanan tidak tersedia lagi, mereka bermaksud menjual rempah-rempah dalam karung itu. Pada hari keempat, Maharna Laga Ligo berkata kepada kakak perempuannya, “Kak, biarlah saya yang menjual rempah-rempah ini sedikit demi sedikit ke pasar. Sementara saya pergi, kakak di dalam rumah saja. Kalau ada orang datang, jangan sekali-sekali kakak membukakan pintu”.
“Baiklah, pergilah, tetapi jangan lama-lama”, jawab kakaknya.
    Tersebutlah hulubalang raja yang sedang berburu di hutan. Setelah beberapa lama, mereka sangat heran di tengah hutan itu ada sebuah rumah. Di ketuknya pintu tersebut oleh salah satu hulubalang kerajaan dengan rasa penasaran , ”permisi….apakah ada seseorang di dalam”? dengan raut wajah penuh keingintahuan, karena setahu hulubalang di hutan itu tak ada satu orang pun yang berani untuk tinggal di  tengah-tengah hutan belantara tersebut.
     Karena teringat pesan yang di katakan oleh Mahama laga ligo adiknya, bahwa ia tidak boleh membukakan pintu untuk siapapun, maka sampai satu jam waktu berlalu tampe ruma sani tak juga membukakan pintu untuk para hulubalang di luar rumah tersebut, tak ada satupun tanda yang di tunjukan oleh tampe sani yang terdengar oleh hulubalang di dalam rumah yang di huninya,
   Sampai pada akhirnya salah satu hulubalang berkata” sudahlah, tak ada tanda-tanda kehidupan di sini, sebaiknya kita tinggalkan saja tempat ini”,ujarnya
“Baiklah,, hulubalang lainnya menjawab.
Ketika tampe ruma sani melihat dari sela sela pintu bahwa beberapa hulubalang akan pergi meninggalkan tempat tinggalanya, ia mundur dari langkahnya perlahan demi perlahan, dengan tangan di dada, bahwa ia telah merasa aman, tetapi apa yang terjadi ? ia menginjak satu ekor ular dan seketika ular tersebut menggigit kaki indah tampe ruma sani.
 “AAww…dengan suara jeritan yang sangat kencang”.
ketika para hulubalang membalikan badan untuk kembali dan meninggalkan rumah yang yang mereka kira misterius tersebut, mereka mendengar suara jeritan tampe ruma sani seketika mereka segera mendobrak pintu tersebut dan bertanya kepada tampe ruma sani, “ada apa nona”? “kakiku, ia menjawab, “ular itu telah menggigit kakiku”ujarnya,
“tenang nona kami akan segera menolongmu”, tetapi dengan rasa penuh kebingungan salah satu hulubalang berkata “apa yang yang harus kita lakukan? bisa ular ini memang tak terlalu berbahaya, tetapi jika di biarkan terlalu lama maka akan membahayakan manusia”,ujarnya, salah satu hulubalang menugaskan kepada satu temannya melakukan pertolongan pertama dengan mencari reramuan dari berbagai dedaunan dan akar pepohonan, di tumbuknya berbagai macam jenis tumbuh-tumbuhan tersebut, dan di oleskan perlahan lahan pada bagian kaki tampe ruma sani yang tergigit ular,
    Tampe ruma sani tak juga sadar, sampai pada akhirnya salah satu hulubalang lainnya mempunyai ide yang sangat cemerlang, yaitu membawanya ke kerajaan, dimana kerajaan tersebut mempunyai salah seorang pembantu istana kerajaan, selain di percaya sebagai orang yang selalu menyiapkan makanan untuk keluarga kerajaan, ia juga di kenal bisa menyembuhkan berbagai macam penyakit, sebut saja mbok mariyem.
    Di angkatnya tubuh tampe ruma sani oleh beberapa hulubalang, tepat di depan pintu dalam melangkah keluar, mahama laga ligo terkejut, “apa yang mau kalian lakukan? mau di bawa kemana kakakku”?? dasar penjahat,lepaskan”!! dengan nada marah, tetapi mereka menjelaskan apa yang terjadi sesaat mahama laga ligo meninggalkan rumah mereka. Dan ia pun mengerti.
     Setiba para hulubalang di istana kerajaan, pangeran di kejutkan dengan keadaan wanita cantik yang tergolek lemas tak berdaya, “kenapa nona ini”?ujarnya, hulubalang menjelaskan kronologi kejadian yang menimpanya, di panggilnya mbok mariyem untuk menyembuhkan tampe ruma sani,
   Singkat cerita ketika tampe ruma sani sadar, ia terpikat oleh ketampanan pangeran yang di lihatnya, tampaknya mereka saling mengagumi dan kedua insan itupun nampaknya sama-sama menaru hati, mereka menjalin sebuah percintaan dan segera membina mahligai rumah tangga. kehidupan tampe ruma sani dan adiknya mahama laga ligo kini pun berubah, mereka merasakan kebahagiaaan yang amat luar biasa, pangeran memperlakukan mereka dengan sebaik-baiknya,
    Pada saat tampe ruma sani termenung di keheningan malam, ia teringat dengan ayah dan ibu tirinya, “bagaimana keadaan ayah dan ibu saat ini,  Apakah mereka hidup bahagia di sana, sementara hidupku dan mahama laga ligo penuh dengan kemewahan dan kebahagiaan di tempat ini”.  Keesokan  harinya tampe ruma sani menceritakan kepada suaminya bahwa ia mempunyai kedua orang tua di seberang desa dan ingin sekali bertemu dan mengajak tinggal bersama mereka, pangeran pun mengabulkan keinginan tampe ruma sani dan memerintahkan para hulubalang untuk mencari kedua orang tua dari tampe ruma sani dan adiknya di seberang desa.
    Pada saat mereka menemukan, keadaan orang tua mereka sungguh memperihatinkan, ibu tiri tampe ruma sani mengalami sakit keras, sedangkan ayahnya tidak mempunyai biaya untuk mengobati istrinya tersebut, karena pekerjaan ayahnya kini menjadi pedagang kayu bakar di pasar,  salah satu hulubalang bertanya “maaf bu, pak..tak ada maksud kedatangan kami untuk mengganggu, apakah benar bapak dan ibu ini adalah orang tua dari tampe ruma sani dan adiknya mahama laga ligo? “ iya benar , dimana kedua anakku sekarang, bagaimana keaadaan mereka, dan siapa kalian semua?”ujarnya, mereka menjawab“kami adalah hulubalang dari sebuah istana kerajaan”  dan para hulubalang menceritakan bahwa anak mereka tampe ruma sani kini telah menikah dengan seorang pangeran dan telah hidup bahagia, “tampe ruma sani ingin sekali mengajak bapak dan ibu untuk tinggal bersama mereka bersediakah bapak dan ibu ikut dengan kami ke istana kerajaan?”, ujar salah satu hulubalang.
     Terlihat ibu tirinya meratap sedih dan penuh penyesalan mengingat perbuatan jahat dan kejinya selama tampe ruma sani tinggal dahulu bersamanya, “ya tuhan…sungguh mulia hati tampe ruma sani dan adiknya, mereka tak mempunyai dendam sedikitpun kepadaku, ampuni aku tuhan…. Dengan suara hati dan ratapan penuh kesedihan,
   Tak lama mereka di bawa ke istana kerajaan dan bertemu dengan tampe ruma sani serta mahama laga ligo, orang tua mereka mendapat pelukan hangat dari tampe ruma sani dan adiknya dan berkata” ayah, ibu, maukah kalian tinggal bersamaku“? Tanya tampe ruma sani. ”Maafkan ibu, maafkan ibu, maafkan ibu nak” ….? Berkali kali ibu paru baya itu meminta maaf kepada mereka, ”sudahlah bu, aku sudah memaafkan ibu sedari dulu, tak ada sedikitpun niatku untuk dendam terhadap  ibu”,ujarnya.
   Akhirnya kini mereka tinggal bersama, kebahagiaan tampe ruma sani terasa begitu lengkap dengan keberadaan ayah dan ibu tirinya, apalagi ibu tirinya saat ini sudah berubah menjadi lebih baik, kehidupan keluarga mereka semakin harmonis dan begitu Nampak bahagia.

Tidak ada komentar: