Tampe Ruma Sani
Hutan, Jahat, Keluarga, Nusa Tenggara Barat, Pangeran
Cerita
ini berasal dari Dompu, salah satu kabupaten di Nusa Tenggara Barat.
Alkisah pada zaman
dulu, tinggallah seorang anak perempuan bernama Tampe Ruma Sani. Semua orang di
kampungnya mengenal dia, sebab setiap hari ia menjajakan ikan hasil tangkapan
ayahnya. Ibunya sudah meninggal. Di rumahnya ia tinggal bersama ayah dan adik
laki-lakinya yang masih kecil. Ia memasak nasi untuk ayah dan adiknya. Kasihan
Tampe Ruma Sani yang masih kecil itu harus mengerjakan pekerjaan rumah tangga
yang seharusnya dikerjakan oleh orang dewasa.
Pada suatu hari,
seorang janda menyapa Tampe Ruma Sani, “Sudah habis ikanmu Nak ? Tiap hari saya
lihat ikanmu cepat habis, apa rahasianya?”
“Saya menjual lebih
murah dari yang lain, agar cepat habis, karena saya harus segera pulang menanak
nasi untuk ayah dan adik saya. Juga pekerjaan rumah tangga yang lain harus saya
kerjakan”, jawab Tampe Ruma Sani sambil berjalan cepat.
“Siapa nama adikmu?”
“Mahama Laga Ligo”,
jawab Tampe Ruma Sani. “Mengapa bukan adikmu yang memasak?”
“Adikku masih kecil,
belum bias memasak. “Bermacam-macam pertanyaan janda itu kepada Tampe Ruma
Sani.
“Sampaikan salamku
kepada ayahmu! Aku mau membantu kalian dan tinggal di rumah ayahmu. Aku mau
membuat tembe (sarung), sambolo (destar) dan ro sarowa (celana) untuk ayahmu”,
kata janda itu dengan manis.
“Baik Bu, akan saya
sampaikan kepada ayah. “Singkat cerita janda itu kini telah kawin dengan ayah
mereka, dan menjadi ibu tirinya.
Kini Tampe Ruma Sani
tidak lagi memasak. Pekerjaannya hanya menjajakan ikan saja. Sekali-sekali ikut
menumbuk padi, ibunya selalu berpesan agar beras yang utuh dipisahkan dengan
yang hancur. Pada mulanya, ibu tirinya sangat baik kepada Tampe Ruma Sani dan
adiknya. Namun, lama-kelamaan sikapnya berubah. Tampe Ruma Sani dan Mahama Laga
Ligo mendapat perlakuan yang kurang baik, lebih-lebih kalau ayahnya tidak
berada di rumah.
Pada suatu hari,
ayahnya baru pulang menangkap ikan. Sang ibu tiri segera menyiapkan makanan
yang enak-enak untuknya. Sedang untuk anak tirinya disediakan nasi menir (nasi
dari beras yang hancur kecil-kecil). Melihat hal itu, Tampe Ruma Sani
memberanikan diri lapor kepada ayahnya, “Ayah dan ibu makan nasi yang bagus dan
ikannya yang enak-enak, sedang saya dan adik nasinya kecil-kecil dan tidak ada
ikannya”. Mendengar hal itu ayahnya bertanya, “Mengapa makanan anak-anak berbeda dengan makanan kita
Bu?”
“Oo tidak Pa,
sebenarnya sama saja, lihatlah sisa makanan yang ada di kepala Mahama Laga
Ligo,” jawab istrinya.
Sebenarnya nasi yang
ada di kepala Mahama Laga Ligo sengaja ditaruh oleh ibu tirinya menjelang
ayahnya datang. Hal yang demikian telah dilakukan berkali-kali. Ibunya sangat
marah kepada Tampe Ruma Sani yang berani melaporkan kepada ayahnya. Setelah
suaminya pergi, sang ibu tiri menghajar Tampe Ruma Sani sampai babak belur.
Tampe Ruma Sani menangis sejadi-jadinya. Melihat kakanya dihajar, Mahama Laga
Ligo pun ikut menangis.
“Kalau kalian berani
melapor kepada ayahmu akan kubunuh kalian!” ancamannya.
Perlakuan kasar telah
biasa diterima oleh kedua anak itu. Mereka tidak berani melaporkan kejadian itu
kepada ayahnya, karena takut ancaman ibu tirinya.
Kini kedua anak itu
sudah besar dan menginjak dewasa. Kakak beradik itu bermaksud pergi
meninggalkan orang tuanya untuk mencari nafkah sendiri, karena tidak tahan lagi
menerima siksaan ibu tirinya. Maksud itu pun disampaikan kepada ayahnya, “Ayah,
kami sekarang sudah besar, ingin mencari pengalaman. Oleh karena itu,
izinkanlah saya dan Mahama Laga Ligo pergi”.
“Mengapa engkau mau
meninggalkan rumah ini? Tetaplah di sini. Rumah ini nanti akan sepi, “kata
ayahnya. Ibu tirinya segera menyaut, “Benar kata Tampe Ruma Sani. Dia kini
sudah besar. Bersama adiknya tentu ingin mandiri. Maka sebaiknya ayah
mengizinkan mereka pergi,”Ibu tirinya memang sudah tidak senang dengan
anak-anak tirinya yang dirasa sangat mengganggu.
Akhirnya, ayahnya pun
dengan berat mengizinkan, bekat desakan istrinya yang terus-menerus.
Pagi hari sesudah
sholat subuh, kedua anak itu meninggalkan rumahnya. Ibu tirinya member bekal
nasi dalam bungkusan. Ayahnya mengantarkan sampai ke batas desa.
Alkisah, kedua anak itu
berjalan menyusuri hutan dan sungai. Sesekali mereka membicarakan ibu tirinya
yang kejam. Sesekali juga membicarakan ayahnya yang kena pengaruh ibu tirinya
setelah seharian berjalan, Mahama Laga Ligo merasa lelah.
“Kak, saya capai dan
lapar. Istirahat dulu ya Kak”, katanya dengan nada menghimbau.
“Bolehlah. Kiata cari
dulu tempat yang teduh, lalu kita makan bekal yang diberikan ibu tadi, “kata
kakaknya. Ketika mau duduk dekat adiknya yang mulai membuka bekalnya, tercium
bau kotoran.
“Pidah dulu, di sekitar
sini ada kotoran, kata Tampe Ruma Sani, sambil mengamati di mana kotoran itu
berada. Namun, di sekitar tempat itu bersih. Lalu ia duduk lagi dan meneruskan
membuka bekal yang dipegang adiknya. Ketika bekal itu dibuka bau itu tercium
lebih keras. Akihirnya, tahulah sumber bau itu. Bau itu ternyata berasal dari
bekal yang dibawanya. Rupanya ibu tirinya sangat jahat, sehingga sampai hati
member bekal yang dicampuri kotoran manusia. Lalu, bungkusan itu pun dibuang,
dengan perasaan marah dan sedih.
Dengan mengikat
perutnya kencang-kencang, kedua kakak beradik itu pun melanjutkan perjalanan.
Setelah beberapa lama berjalan, dilihatnya sebuah rumah di tengah hutan. Kedua
anak itu merasa senang. Segeralah keduanya menaiki tangga dan mengetuk pintu.
Namun, setelah beberapa saat tidak terdengar jawaban. Diketuknya sekali lagi,
tetap tiada jawaban. Lalu, keduanya mendorong pintu rumah itu sedikit demi
sedikit. Ternyata pintu rumah itu tidak dikunci. Dengan perlahan-lahan, ia
memeriksa seluruh penjuru rumah, ternyata rumah itu tidak ada penghuninya. Di
sekitar rumah ditumbuhi rumput yang tinggi, yang tampak tidak pernah dijamah
manusia maupun binatang.
“Mari kita duduk di
dalam rumah menunggu pemiliknya”kata Tampe Ruma Sani kepada adiknya.
Mereka duduk-duduk. Tak
berapa lama, karena kecapaian, mereka tertidur. Pada saat terbangun telah pagi.
Penghuni rumah itu belum juga muncul.
Untuk mencari tahu
apakah di sekitar sini ada rumah yang lain Mahama Laga Ligo keluar rumah untuk
melihat-lihat di sekeliling wilayah ini, lalu Mahama Laga Ligo memberi saran
kepada kakak nya. “Kakak Sementara saya pergi, kakak di dalam rumah saja. Kalau
ada orang datang, jangan sekali-sekali kakak membukakan pintu”.
“Baiklah, pergilah,
tetapi jangan lama-lama”, jawab kakanya.
Setelah adik nya
meninggalkan rumah, Tampe Ruma Sani bergegas menutup semua jendela dan mengunci
pintu dari dalam. Dan tanpa di sengaja Tampe Ruma Sani melihat ada foto yang
sudah tidak jelas lagi karena sudah tertutup oleh debu dan sarang laba-laba,
Tampe Ruma Sani pun langsung membersikan dengan kain, foto tersebut. Ternyata
foto itu adalah foto keluarga dimana ada seorang ayah, ibu dan tiga orang anak
diantaranya dua laki-laki dan satu perempuan. Tampe Ruma Sani pun terkejut dan
memandang terus foto itu, tidak lama kemudian adiknya datang dan mengetuk
pintu, kakak “aku sudah pulang”, teriakan Mahama Laga Ligo. Tampe Ruma Sani pun
langsung membukakan pintu dan langsung menarik adiknya yang baru saja pulang
dari pasar, “Lihat apa yang kakak temukan di rumah ini ? kakak menemukan foto
keluarga yang menurut kakak ini adalah pemilik rumah yang kita tempati
sekarang”, Mahama Laga Ligo pun terkejut dan memperhatikan foto tersebut
terus-menerus.
Menjelang sore hari
mereka ingin membersikan rumah yang di tempatinya agar terlihat nyaman dan
rapi, mereka berdua pun berbagi tugas Tampe Ruma Sani membersihkan pekarangan
sedangkan Mahama Laga Ligo membersihkan ruangan dalam rumah. Tidak lama
kemudian Tampe Ruma Sani melihat ada seorang laki-laki bertubuh kekar dan
membawa panah di tangan kirinya dan seekor burung di tangan kanannya.
Tampe Ruma Sani pun
memanggil orang itu, “siapa kamu di sana”, teriakannya dengan kencang,
laki-laki itu langsung berbalik arah dan menghampiri Tampe Ruma Sani, laki-laki
itu berkata “sedang apa kamu di rumah ini”. Tampe Ruma Sani pun menjelaskan “Aku
dan adik ku sedang dalam perjalanan, tanpa disengaja kami berdua melihat rumah
ini dan tidak tahu siapa pemiliknya dan akhirnya kami tempati ”. Laki-laki itu
berkata “mana adik mu?”, Tampe Ruma Sani pun memanggil adiknya, dan si
laki-laki itu pun memperkenalkan dirinya perkenalkan nama ku Laska, dan Tampe
Ruma Sani pun bersalaman dan memperkenalkan dirinya dan adik nya. Mahama Laga
Ligo pun berbisik ke kakanya “Kakak aku lapar belum makan dari kemarin”
Laki-laki itu pun memberi hasil buruannya kepada Tampe Ruma Sani dan beberapa
buah-buahan dari dalam kantong celananya “ini untuk mu nak” ucap laki-laki itu
memberikan beberapa buah jambu kepada Mahama Laga Ligo dan kepada Tampe Ruma
Sani mereka memaknnya dengan lahap. Lalu Laska pun menjelaskan bahwa ini adalah
rumah keluarganya yang sudah di tinggalkan 10 tahun yang lalu. Ibu dan ayahnya
meninggal di bunuh oleh para hulubalang kerajaan ujarnya.
Tampe Ruma Sani pun
langsung bertanya “berarti kamu adalah laki-laki yang ada di dalam foto rumah
ini”. Laska pun langsung menjelaskannya lagi,”iya benar itu saya kami tiga
bersaudara di rumah ini, saya adalah anak pertama sedangkan adik laki-laki saya
bernama Samka dan adik perempuan saya yang paling kecil bernama Lenka. Kami
dari keluarga Dompu pemilik hutan ini, ayah saya lah yang selalu membanggakan
keturunan Dompu adalah pemilik hutan ini begitu lah ucapan beliau yang selalu
di lontarkan apabila bertemu orang asing. 10 tahun yang lalu di kawasan ini
terdapat beberapa rumah dari keturunan keluarga Dompu, tetapi hanya tinggal
rumah saya saja yang masih tersisah karena tidak bisa di hancurkan oleh para
hulubalang kerajaan yang kejam itu.
Tampe Ruma Sani pun
memperhatikan pembicaraan tersebut dengan kagum dan simpati terhadap Laska. Dan
Mahama Laga Ligo pun bertanya “kemana adik-adik kakak yang lainnya?”, Laska pun
menjawab dengan sedih “mereka semua tertangkap oleh para hulubalang dan di
tahan di dalam penjara bawah tanah kerajaan”.
Matahari pun telah hampir terbenam dan
perbincangan tersebut di akhiri dan Laska pun meninggalkan tempat itu dan
memberi himbawan kepada Tampe Ruma Sani. “Pada saat malam nanti jangan kalian
melakukan aktifitas tidurlah sampai pagi dengan begitu kalian akan aman di
rumah ini”, Tampe Ruma Sani pun mendengarkan ucapan Laska tersebut. Laska pun
melambaikan tangan dan berkata ”tetaplah kalian tinggal di sini kita akan
bertemu lagi”.
Keesokan harinya tepat
2 hari mereka tinggal di rumah itu. Laska pun kembali ke rumah itu dan ingin
bertemu Tampe Ruma Sani, dan mereka pun berbicara banyak tentang keluarga
masing-masing bagaimana Tampe Ruma Sani yang mendapatkan perlakuan yang kejam
dari ibu tirinya sampai ia pergi dari rumah, lalu kisah pembunuhan keluarga
yang Laska alami yang membuat sedih Tampe Ruma Sani. Mereka berdua pun saling
jatuh cinta. Cinta mereka belum diketahui oleh Mahama Laga Ligo.
Mereka bahagia tinggal
di rumah itu karena mereka dapat pengalaman yang baru hidup di hutan dan
berburuh seperti yang di lakukan oleh Laska, kedekatan mereka lama-kelamaan
akhirnya di ketahui oleh Mahama Laga Ligo. Dan Mahama Laga Ligo pun bertanya
kepada Laska,” apakah kamu suka sama kakak saya?”. Laska pun menjawab dengan
lantang “yah saya jatuh cinta dengan kakak kamu”. Mahama Laga Ligo pun
tersenyum dan berkata. “Hebat sekali ini adalah awal kehidupan baru kami”
Di rumah itu mereka hidup
dengan memakan hasil buruhan dan buah-buahan dari hutan, mereka pun meminum air
sungai yang tidak jauh dari rumah itu.
Setelah beberapa waktu
yang cukup lama Mahama Laga Ligo sudah terampil berburuh dia sudah tahu
cara-cara memanah burung dan membuat jebakan untuk rusa atau babi liar, berkat
ajaran dari Laska.
Pada saat berburuh di
pagi hari Laska dengan Mahama Laga Ligo tetapi pagi itu Tampe Ruma Sani tidak
ikut berburuh karena mengalami luka ringan akibat tergores bambu waktu berburuh
kemarin. Jadi Tampe Ruma Sani pun hanya berdiam diri di dalam rumah sambil mendoakan agar
tangkapan mereka berhasil kali ini, karena beberapa hari terakhir ini mereka
tidak mendapatkan hewan buruhan yang di dapat hanya buah-buahan hutan.
Tidak lama kemudian
terdengar suara beberapa orang dari dalam rumah. Tampe Ruma Sani pun langsung
bersembunyi dengan ketakutan karena di lihatnya dari jendela orang-orang itu
membawa tombak, dan pakaian prajurit. Tampe Ruma Sani pun berpendapat bahwa
orang-orang itu adalah para hulubalang kerajaan yang telah membunuh orang tua
Laska. Para hulubalang itu pun berpencar di sekeliling rumah dan ada pula yang
mendobrak pintu agar dapat masuk. Semua ruangan di periksa.
Dari kejauhan Laska
melihat ada kerumunan orang yang memasuki bekas rumahnya itu yang sekarang di
tinggali oleh Tampe Ruma Sani. Dengan rasa penasaran Laska pun mendekat dengan
hati-hati bersama Mahama Laga Ligo, lalu Mahama Laga Ligo pun berbisik “mari
kita bunuh para hulubalang itu dan kita selamatkan kakak saya”. Laska pun
berfikir dengan cepat. Memberi perintah kepada Mahama Laga Ligo, “dengarkan
saya kamu bersembunyi di rerumputan di samping rumah dan apabila ada dari
mereka keluar langsung kamu panah bagaimana kamu siap !, sedangkan saya akan
menjadi umpan agar mereka mengejar saya. Apa kamu mengerti”. Mahama Laga Ligo
pun bersipa diri dan berkata “aku siap demi keselamatan kakak ku”
Tak lama kemudian Laska
berdiri dan membuat teriakan mengejek, lalu para hulubalang pun mengejarnya,
dan beberapa dari mereka terjebak perangkap rusa, babi dan sesekali Laska
memanah mereka dengan tepat di bagian perutnya. Laska memang penguasa hutan
yang sesungguhnya dia lebih tahu perangkap-perangkap yang telah di siapkannya untuk
hewan ataupun untuk orang-orang jahat yang masuk ke hutan nenek moyang keluarga
Dompu.
Sedangkan di dalam
rumah, Tampe Ruma Sani tertangkap oleh para hulubalang yang tidak mengejar
Laska. Mahama Laga Ligo pun bersiap dengan posisi memanah apabila ada yang
keluar dari pintu depan. Karena Mahama Laga Ligo bersembunyi di samping rumah
yang terdapat rerumputan. Tak lama kemudian keluar dua orang hulubalang yang
menyeret Tampe Ruma Sani, dengan teriakan meminta tolong Tampe Ruma Sani,
membuat Mahama Laga Ligo adik nya merasa marah dan ingin membunuh kedua orang
tersebut. Lalu salah satu dari hulubalang di panah oleh Mahama Laga Ligo tepat
di bagian punggung belakang menembus ke perut. Lalu hulubalang yang menyeret
Tampe Ruma Sani pun kaget melihat temannya terbunuh dan melepaskan pegangan
tangan Tampe Ruma Sani. Tanpa memperhatikan Tampe Ruma Sani hulubalang itu
langsung di pukul dengan kayu yang terdapat di depan pintu oleh Tampe Ruma
Sani. Lalu Mahama Laga Ligo menghampiri dan membunuhnya dengan memanahnya
hulubalang yang di pukul oleh Tampe Ruma Sani tersebut.
Tampe Ruma Sani pun
bangga melihat adiknya telah menjadi pahlawan dan dapat membela kakaknya. Tidak
lama kemudian Laska pun datang dan Mahama Laga Ligo pun berteriak, “Itu dia
pahlawan yang sesungguhnya kakak”. Tampe Ruma Sani langsung menghampiri Laska
dan memeluknya.
Laska pun langsung
mengambil perintah kepada Tampe Ruma Sani dan Mahama Laga Ligo untuk
menguburkan para mayat hulubalang yang jahat itu.Sedangkan Laska ingin
memasang perangkap lagi di beberapa lokasi, karena Laska tahu bagaimana sikap
raja apabila tahu peristiwa ini, pasti sang raja akan menghabisi kita semua
ujar Laska kepada Tampe Ruma Sani dan Mahama Laga Ligo.
Akhirnya peristiwa ini pun terdengar sampai kerajaan bahwa pasukan hulubalang kerajaan telah di bunuh oleh para anak muda. Dan raja pun marah dan ingin mengetahui siapa pembunuhnya.
Untuk beberapa hari
kedepan rumah yang biasanya di tempati oleh Tampe Ruma Sani dan Mahama Laga
Ligo kini telah di penuhi oleh jebakan yang di buat Laska untuk menjebak para
hulubalang kerajaan yang akan datang lagi. Sementara itu Tampe Ruma Sani dan
Mahama Laga Ligo pun tinggal bersama Laska di rumah pohon yang di buat oleh
Laska. Mereka pun berjaga-jaga dengan panah di atas rumah pohon itu. Setelah
beberapa hari pasukan hulubalang kerajaan datang lagi kerumah hutan itu. Dan
beberapa dari mereka telah terjebak dan terbunuh karena ingin memasuki rumah
tersebut. Dengan cepat Laska
mengambil posisi untuk memanah mereka dari atas pohon bersamaan dengan Mahama
Laga Ligo dan Tampe Ruma Sani yang walaupun belum sehebat adiknya dan Laska,
Tampe Ruma Sani pun tidak ingin diam saja dia juga ikut memanah.
Satu persatu pasukan hulubalang
kerajaan terbunuh lagi Laska menang lagi dan dapat menghalau para hulubalang
masuk kehutannya. Tampe Ruma Sani pun
merasa kagum akan kehebatan dan kecerdikan yang di miliki Laska, Tampe Ruma
Sani pun semakin jatuh cinta kepada Laska.
Akhirnya pasukan hulubalang kerajaan pun pergi sebagian, karena sebagian dari mereka telah terbunuh.
Raja pun marah
mendengar apa yang di katakana para hulubalangnya dengan jebakan-jebakan dan
panah-panah yang dapat membunuh para hulubalang kerajaan tersebut yang di
lakukan oleh salah satu keturunan keluarga Dompu. Dan raja berinisiatif membawa
keturunan dari keluarga Dompu, yang telah di penjara selama kurang lebih 10
tahun untuk keluar dan di bawa sebagai sandera ke hutan di mana rumah keluarga
Dompu itu berada.
Tepat esok harinya. Dua
sandera di bawa oleh hulubalang kerajaan dengan raja di depan sebagai pemimpin
memasuki hutan dan sesampainya para hulubalang dan raja di tengah hutan di mana
rumah keluarga Dompu itu berada. Sandera di lepaskan dan di cambuk oleh raja.
Dengan berteriak- teriak dua sandear itu menangis kesakitan. Tak lama kemudian
Laska turun dari atas pohon tempat dia memata-matai para hulubalang. Dan
berteriak “Samka, Lenka, ini aku kakak mu Laska” Lalu Samka dengan badan yang
kurus dan wajah yang kusam berbicara dengan nada lemas “Kakak tolong selamatkan
kami dari Raja yang kejam ini”, sementara Lenka telah tak berdaya terbaring
kesakitan di cambuk oleh sang raja.
Raja pun berkata “dua
orang ini aku kira adalah keturunan terakhir keluarga Dompu, Ohh ternyata masih
ada yang tersisah dan berkeliaran di hutan ku selama ini, sungguh karena aku
tidak sudih bahwa ada keturunan Dompu di wilayah kerajaan ku, walaupun kalian
tinggal di hutan tetap saja kalian pembawa bencaana di kerajaan ku”. ucap sang
raja dengan lantangnya.
Pembicaraan itu membuat
hati Tampe Ruma Sani dan Mahama Laga Ligo pun turun dari persembunyiannya di
atas pohon, Raja pun terkejut dan berkata, “siapa mereka”. Tampe Ruma Sani pun
memperkenalkan dirinya, “saya Tampe Ruma Sani dan ini adik saya Mahama Laga
Ligo” kami berdua dari daerah utara hutan ini kami sedang melakukan perjalanan
dan tanpa sengaja menemukan rumah di tengah hutan ini maka dengan begitu kami
singgahi rumah ini” saya mohon bebaskan kedua orang tidak berdaya itu, dan apa
mau mu sang raja yang agung dari kami ini” ucap Tampe Ruma Sani dengan nada memohon.
Sang raja pun terdiam
dan memikirkan tawaran yang di berikan Tampe Ruma Sani. Sang raja lalu berkata
“ baiklah saya lepaskan dua orang ini
tetapi saya menginginkan kepala dari laki-laki perkasa itu”. Tampe Ruma Sani
pun terkejut dan menengok ke arah Laska dan berkata “ ini tidak adil sama saja
kalian membenuh keturunan keluarga Dompu lagi, sudah berapa keluarga yang
kalian bunuh untuk mempercayai mitos kerajaan ini, bisa kah kita hidup
berdampingan wahai sang raja yang agung”.
Raja pun masih terus mencambuk
Samka dan Lenka dan terus bersikeras ingin membunuh Laska.
Laska pun berbicara
“baiklah saya siap engkau bunuh dan engakau ambil kepala ku”. Tampe Ruma Sani
pun sedih mendengarnya dan mencucurkan air mata. Dan memeluk Laska. Keharuan
membaluti hutan tersebut.
Setelah semua selesai
disiapkan oleh para hulubalang tempat pemenggalan (pemotongan kepala). Sang
raja pun bersiap dengan pedang nya untuk memotong kepala Laska. Teriakan pun
dan airmata bercucuran di pipi Tampe Ruma Sani, sedangkan Mahama Laga Ligo pun
menangis dan membalikan kepalanya karena tidak berani untuk melihatnya.
Akhirnya sang raja
memulai ancang-ancangnya dan siap memotong kepala Laska dan pada saat bersamaan
Laska pun mengambil busur yang ada di pinggangnya dan menancapkan ke perut sang
raja terlebih dahulu. Para hulubalang pun terkejut dan ketakutan melihat bahwa
rajanya terbunuh terlebih dahulu oleh Laska. Dan pada saat itu Tampe Ruma Sani
langsung membebaskan Laska dari ikatan. Laska pun langsung melawan para
hulubalang dan sebagian lagi lari ketakutan karena melihat rajanya telah
terbunuh. Mahama Laga Ligo pun langsung memanah tepat ke arah hulubalang yang
berlarian.
Akhirnya mereka semua
pun selamat dan mayat sang raja di kuburkan tepat di depan bawah rumah
peninggalan keluarga Dompu tersebut.
Setelah beberapa minggu
peristiwa perlawanan terhadap sang raja. Samka dan Lenka telah cukup pulih
meskipun luka cambuk nya masi berbekas di sekujur tubuhnya tetapi mereka sudah
dapat berjalan dan berbicara.
Tidak terasa Tampe
Rumah Sani telah lama meninggalkan rumah orang tuanya.
Dan pada suatu saat
Tampe Ruma Sani ingin membicarakan atas hubungannya dengan Laska dan ingin agar
Laska menikahinya. Lalu Laska pun menyetujui apa permintaan dari Tampe Ruma
Sani dan permintaan Tampe Ruma Sani adalah agar Laska dapat menikahinya di
rumah orang tua Tampe Ruma Sani. Laska pun dengan senang hati siap untuk
tinggal di daerah yang berbeda di desa tempat rumah orang tua Tampe Ruma Sani
tinggal.
Dan mereka pun akhirnya
pindah dari hutan ke desa, yaitu ke desa tempat tinggal Tampe Ruma Sani. Samka
dan Lenka pun ikut dalam perjalanan menuju rumah barunya itu.
Setelah sampai di desa
warga desapun terheran atas kedatangan Tampe Ruma Sani dan Mahama Laga Ligo dan
ketiga orang asing yang di bawanya. Mahama Laga Ligo lalu memperkenalkan kepada
warga desa bahwa mereka adalah keturunan Dompu di tengah hutan sana.
Setelah sampai di rumah
Tampe Ruma Sani ayahnya pun langsung memeluk Tampe Ruma Sani dan Mahama Laga
Ligo. Ayahnya pun meminta maff dan menangis kepada kedua anaknya maff “bahwa selama ini ayah telah salah
memilih ibu baru untuk kalian. Sehinggah kalian ingin merasa pergi dari rumah”.
Lalu Tampe Ruma Sani bingung “bagaimana ayah tahu atas kejadiaan itu kami ini
bukan ingin mencari pekerjaan tetapi tidak tahan tinggal bersama ibu tiri”. “
Yah ayah tahu karena ayah bertengkar keras seminggu setelah kalian pergi dan
dia membicarakan kalian, kenapa kalian pergi”. Lalu pada saat itu pula ayah
menceraikan. Dan ayah terus mencari kalian setelah perceraian itu. “Maffkan
ayah jangan tinggalkan ayah lagi yah anak-anak ku”. lalu Tampe Ruma Sani pun
berbisik ke telinga ayahnya, “ayah lihat siapa yang aku bawa dia adalah
pangeran ku calaon pendamping hidup ku aku ingin menikah dengannya namanya
Laska dari keturunan keluarga Dompu. Ayahnya tersenyum melihatnya dan langsung
memeluk Laska.
Ke esokannya Tampe Ruma
Sani menikah dengan Laska dan mereka hidup bahagia.
Oleh : Friyansyah
1 komentar:
Menarik, akhirnya Tampe Ruma Sani tidak menikahi pangeran.Hanya saja, cerita terlalu panjang untuk sebuah dongeng.
Perhatikan penulisan di ya, banyak sekali yang salah. Lalu penggunaan kata baku.
Posting Komentar