2013/06/08

Modifikasi dongeng dengan akhir cerita yang di ubah





Tampe Ruma Sani
Hutan, Jahat, Keluarga, Nusa Tenggara Barat, Pangeran
Cerita ini berasal dari Dompu, salah satu kabupaten di Nusa Tenggara Barat.

Alkisah pada zaman dulu, tinggallah seorang anak perempuan bernama Tampe Ruma Sani. Semua orang di kampungnya mengenal dia, sebab setiap hari ia menjajakan ikan hasil tangkapan ayahnya. Ibunya sudah meninggal. Di rumahnya ia tinggal bersama ayah dan adik laki-lakinya yang masih kecil. Ia memasak nasi untuk ayah dan adiknya. Kasihan Tampe Ruma Sani yang masih kecil itu harus mengerjakan pekerjaan rumah tangga yang seharusnya dikerjakan oleh orang dewasa.

Pada suatu hari, seorang janda menyapa Tampe Ruma Sani, “Sudah habis ikanmu Nak ? Tiap hari saya lihat ikanmu cepat habis, apa rahasianya?”

“Saya menjual lebih murah dari yang lain, agar cepat habis, karena saya harus segera pulang menanak nasi untuk ayah dan adik saya. Juga pekerjaan rumah tangga yang lain harus saya kerjakan”, jawab Tampe Ruma Sani sambil berjalan cepat.

“Siapa nama adikmu?”

“Mahama Laga Ligo”, jawab Tampe Ruma Sani. “Mengapa bukan adikmu yang memasak?”

“Adikku masih kecil, belum bias memasak. “Bermacam-macam pertanyaan janda itu kepada Tampe Ruma Sani.

“Sampaikan salamku kepada ayahmu! Aku mau membantu kalian dan tinggal di rumah ayahmu. Aku mau membuat tembe (sarung), sambolo (destar) dan ro sarowa (celana) untuk ayahmu”, kata janda itu dengan manis.

“Baik Bu, akan saya sampaikan kepada ayah. “Singkat cerita janda itu kini telah kawin dengan ayah mereka, dan menjadi ibu tirinya.

Kini Tampe Ruma Sani tidak lagi memasak. Pekerjaannya hanya menjajakan ikan saja. Sekali-sekali ikut menumbuk padi, ibunya selalu berpesan agar beras yang utuh dipisahkan dengan yang hancur. Pada mulanya, ibu tirinya sangat baik kepada Tampe Ruma Sani dan adiknya. Namun, lama-kelamaan sikapnya berubah. Tampe Ruma Sani dan Mahama Laga Ligo mendapat perlakuan yang kurang baik, lebih-lebih kalau ayahnya tidak berada di rumah.

Pada suatu hari, ayahnya baru pulang menangkap ikan. Sang ibu tiri segera menyiapkan makanan yang enak-enak untuknya. Sedang untuk anak tirinya disediakan nasi menir (nasi dari beras yang hancur kecil-kecil). Melihat hal itu, Tampe Ruma Sani memberanikan diri lapor kepada ayahnya, “Ayah dan ibu makan nasi yang bagus dan ikannya yang enak-enak, sedang saya dan adik nasinya kecil-kecil dan tidak ada ikannya”. Mendengar hal itu ayahnya bertanya, “Mengapa  makanan anak-anak berbeda dengan makanan kita Bu?”
“Oo tidak Pa, sebenarnya sama saja, lihatlah sisa makanan yang ada di kepala Mahama Laga Ligo,” jawab istrinya.

Sebenarnya nasi yang ada di kepala Mahama Laga Ligo sengaja ditaruh oleh ibu tirinya menjelang ayahnya datang. Hal yang demikian telah dilakukan berkali-kali. Ibunya sangat marah kepada Tampe Ruma Sani yang berani melaporkan kepada ayahnya. Setelah suaminya pergi, sang ibu tiri menghajar Tampe Ruma Sani sampai babak belur. Tampe Ruma Sani menangis sejadi-jadinya. Melihat kakanya dihajar, Mahama Laga Ligo pun ikut menangis.

“Kalau kalian berani melapor kepada ayahmu akan kubunuh kalian!” ancamannya.

Perlakuan kasar telah biasa diterima oleh kedua anak itu. Mereka tidak berani melaporkan kejadian itu kepada ayahnya, karena takut ancaman ibu tirinya.

Kini kedua anak itu sudah besar dan menginjak dewasa. Kakak beradik itu bermaksud pergi meninggalkan orang tuanya untuk mencari nafkah sendiri, karena tidak tahan lagi menerima siksaan ibu tirinya. Maksud itu pun disampaikan kepada ayahnya, “Ayah, kami sekarang sudah besar, ingin mencari pengalaman. Oleh karena itu, izinkanlah saya dan Mahama Laga Ligo pergi”.

“Mengapa engkau mau meninggalkan rumah ini? Tetaplah di sini. Rumah ini nanti akan sepi, “kata ayahnya. Ibu tirinya segera menyaut, “Benar kata Tampe Ruma Sani. Dia kini sudah besar. Bersama adiknya tentu ingin mandiri. Maka sebaiknya ayah mengizinkan mereka pergi,”Ibu tirinya memang sudah tidak senang dengan anak-anak tirinya yang dirasa sangat mengganggu.

Akhirnya, ayahnya pun dengan berat mengizinkan, bekat desakan istrinya yang terus-menerus.
Pagi hari sesudah sholat subuh, kedua anak itu meninggalkan rumahnya. Ibu tirinya member bekal nasi dalam bungkusan. Ayahnya mengantarkan sampai ke batas desa.

Alkisah, kedua anak itu berjalan menyusuri hutan dan sungai. Sesekali mereka membicarakan ibu tirinya yang kejam. Sesekali juga membicarakan ayahnya yang kena pengaruh ibu tirinya setelah seharian berjalan, Mahama Laga Ligo merasa lelah.

“Kak, saya capai dan lapar. Istirahat dulu ya Kak”, katanya dengan nada menghimbau.
“Bolehlah. Kiata cari dulu tempat yang teduh, lalu kita makan bekal yang diberikan ibu tadi, “kata kakaknya. Ketika mau duduk dekat adiknya yang mulai membuka bekalnya, tercium bau kotoran.
“Pidah dulu, di sekitar sini ada kotoran, kata Tampe Ruma Sani, sambil mengamati di mana kotoran itu berada. Namun, di sekitar tempat itu bersih. Lalu ia duduk lagi dan meneruskan membuka bekal yang dipegang adiknya. Ketika bekal itu dibuka bau itu tercium lebih keras. Akihirnya, tahulah sumber bau itu. Bau itu ternyata berasal dari bekal yang dibawanya. Rupanya ibu tirinya sangat jahat, sehingga sampai hati member bekal yang dicampuri kotoran manusia. Lalu, bungkusan itu pun dibuang, dengan perasaan marah dan sedih.

Dengan mengikat perutnya kencang-kencang, kedua kakak beradik itu pun melanjutkan perjalanan. Setelah beberapa lama berjalan, dilihatnya sebuah rumah di tengah hutan. Kedua anak itu merasa senang. Segeralah keduanya menaiki tangga dan mengetuk pintu. Namun, setelah beberapa saat tidak terdengar jawaban. Diketuknya sekali lagi, tetap tiada jawaban. Lalu, keduanya mendorong pintu rumah itu sedikit demi sedikit. Ternyata pintu rumah itu tidak dikunci. Dengan perlahan-lahan, ia memeriksa seluruh penjuru rumah, ternyata rumah itu tidak ada penghuninya. Di sekitar rumah ditumbuhi rumput yang tinggi, yang tampak tidak pernah dijamah manusia maupun binatang.

“Mari kita duduk di dalam rumah menunggu pemiliknya”kata Tampe Ruma Sani kepada adiknya.
Mereka duduk-duduk. Tak berapa lama, karena kecapaian, mereka tertidur. Pada saat terbangun telah pagi. Penghuni rumah itu belum juga muncul.

Untuk mencari tahu apakah di sekitar sini ada rumah yang lain Mahama Laga Ligo keluar rumah untuk melihat-lihat di sekeliling wilayah ini, lalu Mahama Laga Ligo memberi saran kepada kakak nya. “Kakak Sementara saya pergi, kakak di dalam rumah saja. Kalau ada orang datang, jangan sekali-sekali kakak membukakan pintu”.
“Baiklah, pergilah, tetapi jangan lama-lama”, jawab kakanya.

Setelah adik nya meninggalkan rumah, Tampe Ruma Sani bergegas menutup semua jendela dan mengunci pintu dari dalam. Dan tanpa di sengaja Tampe Ruma Sani melihat ada foto yang sudah tidak jelas lagi karena sudah tertutup oleh debu dan sarang laba-laba, Tampe Ruma Sani pun langsung membersikan dengan kain, foto tersebut. Ternyata foto itu adalah foto keluarga dimana ada seorang ayah, ibu dan tiga orang anak diantaranya dua laki-laki dan satu perempuan. Tampe Ruma Sani pun terkejut dan memandang terus foto itu, tidak lama kemudian adiknya datang dan mengetuk pintu, kakak “aku sudah pulang”, teriakan Mahama Laga Ligo. Tampe Ruma Sani pun langsung membukakan pintu dan langsung menarik adiknya yang baru saja pulang dari pasar, “Lihat apa yang kakak temukan di rumah ini ? kakak menemukan foto keluarga yang menurut kakak ini adalah pemilik rumah yang kita tempati sekarang”, Mahama Laga Ligo pun terkejut dan memperhatikan foto tersebut terus-menerus.

Menjelang sore hari mereka ingin membersikan rumah yang di tempatinya agar terlihat nyaman dan rapi, mereka berdua pun berbagi tugas Tampe Ruma Sani membersihkan pekarangan sedangkan Mahama Laga Ligo membersihkan ruangan dalam rumah. Tidak lama kemudian Tampe Ruma Sani melihat ada seorang laki-laki bertubuh kekar dan membawa panah di tangan kirinya dan seekor burung di tangan kanannya. 

Tampe Ruma Sani pun memanggil orang itu, “siapa kamu di sana”, teriakannya dengan kencang, laki-laki itu langsung berbalik arah dan menghampiri Tampe Ruma Sani, laki-laki itu berkata “sedang apa kamu di rumah ini”. Tampe Ruma Sani pun menjelaskan “Aku dan adik ku sedang dalam perjalanan, tanpa disengaja kami berdua melihat rumah ini dan tidak tahu siapa pemiliknya dan akhirnya kami tempati ”. Laki-laki itu berkata “mana adik mu?”, Tampe Ruma Sani pun memanggil adiknya, dan si laki-laki itu pun memperkenalkan dirinya perkenalkan nama ku Laska, dan Tampe Ruma Sani pun bersalaman dan memperkenalkan dirinya dan adik nya. Mahama Laga Ligo pun berbisik ke kakanya “Kakak aku lapar belum makan dari kemarin” Laki-laki itu pun memberi hasil buruannya kepada Tampe Ruma Sani dan beberapa buah-buahan dari dalam kantong celananya “ini untuk mu nak” ucap laki-laki itu memberikan beberapa buah jambu kepada Mahama Laga Ligo dan kepada Tampe Ruma Sani mereka memaknnya dengan lahap. Lalu Laska pun menjelaskan bahwa ini adalah rumah keluarganya yang sudah di tinggalkan 10 tahun yang lalu. Ibu dan ayahnya meninggal di bunuh oleh para hulubalang kerajaan ujarnya.

Tampe Ruma Sani pun langsung bertanya “berarti kamu adalah laki-laki yang ada di dalam foto rumah ini”. Laska pun langsung menjelaskannya lagi,”iya benar itu saya kami tiga bersaudara di rumah ini, saya adalah anak pertama sedangkan adik laki-laki saya bernama Samka dan adik perempuan saya yang paling kecil bernama Lenka. Kami dari keluarga Dompu pemilik hutan ini, ayah saya lah yang selalu membanggakan keturunan Dompu adalah pemilik hutan ini begitu lah ucapan beliau yang selalu di lontarkan apabila bertemu orang asing. 10 tahun yang lalu di kawasan ini terdapat beberapa rumah dari keturunan keluarga Dompu, tetapi hanya tinggal rumah saya saja yang masih tersisah karena tidak bisa di hancurkan oleh para hulubalang kerajaan yang kejam itu.

Tampe Ruma Sani pun memperhatikan pembicaraan tersebut dengan kagum dan simpati terhadap Laska. Dan Mahama Laga Ligo pun bertanya “kemana adik-adik kakak yang lainnya?”, Laska pun menjawab dengan sedih “mereka semua tertangkap oleh para hulubalang dan di tahan di dalam penjara bawah tanah kerajaan”.

Matahari pun telah hampir terbenam dan perbincangan tersebut di akhiri dan Laska pun meninggalkan tempat itu dan memberi himbawan kepada Tampe Ruma Sani. “Pada saat malam nanti jangan kalian melakukan aktifitas tidurlah sampai pagi dengan begitu kalian akan aman di rumah ini”, Tampe Ruma Sani pun mendengarkan ucapan Laska tersebut. Laska pun melambaikan tangan dan berkata ”tetaplah kalian tinggal di sini kita akan bertemu lagi”.

Keesokan harinya tepat 2 hari mereka tinggal di rumah itu. Laska pun kembali ke rumah itu dan ingin bertemu Tampe Ruma Sani, dan mereka pun berbicara banyak tentang keluarga masing-masing bagaimana Tampe Ruma Sani yang mendapatkan perlakuan yang kejam dari ibu tirinya sampai ia pergi dari rumah, lalu kisah pembunuhan keluarga yang Laska alami yang membuat sedih Tampe Ruma Sani. Mereka berdua pun saling jatuh cinta. Cinta mereka belum diketahui oleh Mahama Laga Ligo. 

Mereka bahagia tinggal di rumah itu karena mereka dapat pengalaman yang baru hidup di hutan dan berburuh seperti yang di lakukan oleh Laska, kedekatan mereka lama-kelamaan akhirnya di ketahui oleh Mahama Laga Ligo. Dan Mahama Laga Ligo pun bertanya kepada Laska,” apakah kamu suka sama kakak saya?”. Laska pun menjawab dengan lantang “yah saya jatuh cinta dengan kakak kamu”. Mahama Laga Ligo pun tersenyum dan berkata. “Hebat sekali ini adalah awal kehidupan baru kami”

Di rumah itu mereka hidup dengan memakan hasil buruhan dan buah-buahan dari hutan, mereka pun meminum air sungai yang tidak jauh dari rumah itu.

Setelah beberapa waktu yang cukup lama Mahama Laga Ligo sudah terampil berburuh dia sudah tahu cara-cara memanah burung dan membuat jebakan untuk rusa atau babi liar, berkat ajaran dari Laska.

Pada saat berburuh di pagi hari Laska dengan Mahama Laga Ligo tetapi pagi itu Tampe Ruma Sani tidak ikut berburuh karena mengalami luka ringan akibat tergores bambu waktu berburuh kemarin. Jadi Tampe Ruma Sani pun hanya berdiam diri  di dalam rumah sambil mendoakan agar tangkapan mereka berhasil kali ini, karena beberapa hari terakhir ini mereka tidak mendapatkan hewan buruhan yang di dapat hanya buah-buahan hutan.

Tidak lama kemudian terdengar suara beberapa orang dari dalam rumah. Tampe Ruma Sani pun langsung bersembunyi dengan ketakutan karena di lihatnya dari jendela orang-orang itu membawa tombak, dan pakaian prajurit. Tampe Ruma Sani pun berpendapat bahwa orang-orang itu adalah para hulubalang kerajaan yang telah membunuh orang tua Laska. Para hulubalang itu pun berpencar di sekeliling rumah dan ada pula yang mendobrak pintu agar dapat masuk. Semua ruangan di periksa.

Dari kejauhan Laska melihat ada kerumunan orang yang memasuki bekas rumahnya itu yang sekarang di tinggali oleh Tampe Ruma Sani. Dengan rasa penasaran Laska pun mendekat dengan hati-hati bersama Mahama Laga Ligo, lalu Mahama Laga Ligo pun berbisik “mari kita bunuh para hulubalang itu dan kita selamatkan kakak saya”. Laska pun berfikir dengan cepat. Memberi perintah kepada Mahama Laga Ligo, “dengarkan saya kamu bersembunyi di rerumputan di samping rumah dan apabila ada dari mereka keluar langsung kamu panah bagaimana kamu siap !, sedangkan saya akan menjadi umpan agar mereka mengejar saya. Apa kamu mengerti”. Mahama Laga Ligo pun bersipa diri dan berkata “aku siap demi keselamatan kakak ku” 

Tak lama kemudian Laska berdiri dan membuat teriakan mengejek, lalu para hulubalang pun mengejarnya, dan beberapa dari mereka terjebak perangkap rusa, babi dan sesekali Laska memanah mereka dengan tepat di bagian perutnya. Laska memang penguasa hutan yang sesungguhnya dia lebih tahu perangkap-perangkap yang telah di siapkannya untuk hewan ataupun untuk orang-orang jahat yang masuk ke hutan nenek moyang keluarga Dompu.

Sedangkan di dalam rumah, Tampe Ruma Sani tertangkap oleh para hulubalang yang tidak mengejar Laska. Mahama Laga Ligo pun bersiap dengan posisi memanah apabila ada yang keluar dari pintu depan. Karena Mahama Laga Ligo bersembunyi di samping rumah yang terdapat rerumputan. Tak lama kemudian keluar dua orang hulubalang yang menyeret Tampe Ruma Sani, dengan teriakan meminta tolong Tampe Ruma Sani, membuat Mahama Laga Ligo adik nya merasa marah dan ingin membunuh kedua orang tersebut. Lalu salah satu dari hulubalang di panah oleh Mahama Laga Ligo tepat di bagian punggung belakang menembus ke perut. Lalu hulubalang yang menyeret Tampe Ruma Sani pun kaget melihat temannya terbunuh dan melepaskan pegangan tangan Tampe Ruma Sani. Tanpa memperhatikan Tampe Ruma Sani hulubalang itu langsung di pukul dengan kayu yang terdapat di depan pintu oleh Tampe Ruma Sani. Lalu Mahama Laga Ligo menghampiri dan membunuhnya dengan memanahnya hulubalang yang di pukul oleh Tampe Ruma Sani tersebut.

Tampe Ruma Sani pun bangga melihat adiknya telah menjadi pahlawan dan dapat membela kakaknya. Tidak lama kemudian Laska pun datang dan Mahama Laga Ligo pun berteriak, “Itu dia pahlawan yang sesungguhnya kakak”. Tampe Ruma Sani langsung menghampiri Laska dan memeluknya.

Laska pun langsung mengambil perintah kepada Tampe Ruma Sani dan Mahama Laga Ligo untuk menguburkan para mayat hulubalang yang jahat itu.Sedangkan Laska ingin memasang perangkap lagi di beberapa lokasi, karena Laska tahu bagaimana sikap raja apabila tahu peristiwa ini, pasti sang raja akan menghabisi kita semua ujar Laska kepada Tampe Ruma Sani dan Mahama Laga Ligo.

Akhirnya peristiwa ini pun terdengar sampai kerajaan bahwa pasukan hulubalang kerajaan telah di bunuh oleh para anak muda. Dan raja pun marah dan ingin mengetahui siapa pembunuhnya.

Untuk beberapa hari kedepan rumah yang biasanya di tempati oleh Tampe Ruma Sani dan Mahama Laga Ligo kini telah di penuhi oleh jebakan yang di buat Laska untuk menjebak para hulubalang kerajaan yang akan datang lagi. Sementara itu Tampe Ruma Sani dan Mahama Laga Ligo pun tinggal bersama Laska di rumah pohon yang di buat oleh Laska. Mereka pun berjaga-jaga dengan panah di atas rumah pohon itu. Setelah beberapa hari pasukan hulubalang kerajaan datang lagi kerumah hutan itu. Dan beberapa dari mereka telah terjebak dan terbunuh karena ingin memasuki rumah tersebut. Dengan cepat Laska mengambil posisi untuk memanah mereka dari atas pohon bersamaan dengan Mahama Laga Ligo dan Tampe Ruma Sani yang walaupun belum sehebat adiknya dan Laska, Tampe Ruma Sani pun tidak ingin diam saja dia juga ikut memanah.

Satu persatu pasukan hulubalang kerajaan terbunuh lagi Laska menang lagi dan dapat menghalau para hulubalang masuk kehutannya. Tampe Ruma Sani pun merasa kagum akan kehebatan dan kecerdikan yang di miliki Laska, Tampe Ruma Sani pun semakin jatuh cinta kepada Laska.

Akhirnya pasukan hulubalang kerajaan pun pergi sebagian, karena sebagian dari mereka telah terbunuh.
Raja pun marah mendengar apa yang di katakana para hulubalangnya dengan jebakan-jebakan dan panah-panah yang dapat membunuh para hulubalang kerajaan tersebut yang di lakukan oleh salah satu keturunan keluarga Dompu. Dan raja berinisiatif membawa keturunan dari keluarga Dompu, yang telah di penjara selama kurang lebih 10 tahun untuk keluar dan di bawa sebagai sandera ke hutan di mana rumah keluarga Dompu itu berada.

Tepat esok harinya. Dua sandera di bawa oleh hulubalang kerajaan dengan raja di depan sebagai pemimpin memasuki hutan dan sesampainya para hulubalang dan raja di tengah hutan di mana rumah keluarga Dompu itu berada. Sandera di lepaskan dan di cambuk oleh raja. Dengan berteriak- teriak dua sandear itu menangis kesakitan. Tak lama kemudian Laska turun dari atas pohon tempat dia memata-matai para hulubalang. Dan berteriak “Samka, Lenka, ini aku kakak mu Laska” Lalu Samka dengan badan yang kurus dan wajah yang kusam berbicara dengan nada lemas “Kakak tolong selamatkan kami dari Raja yang kejam ini”, sementara Lenka telah tak berdaya terbaring kesakitan di cambuk oleh sang raja.

Raja pun berkata “dua orang ini aku kira adalah keturunan terakhir keluarga Dompu, Ohh ternyata masih ada yang tersisah dan berkeliaran di hutan ku selama ini, sungguh karena aku tidak sudih bahwa ada keturunan Dompu di wilayah kerajaan ku, walaupun kalian tinggal di hutan tetap saja kalian pembawa bencaana di kerajaan ku”. ucap sang raja dengan lantangnya.

Pembicaraan itu membuat hati Tampe Ruma Sani dan Mahama Laga Ligo pun turun dari persembunyiannya di atas pohon, Raja pun terkejut dan berkata, “siapa mereka”. Tampe Ruma Sani pun memperkenalkan dirinya, “saya Tampe Ruma Sani dan ini adik saya Mahama Laga Ligo” kami berdua dari daerah utara hutan ini kami sedang melakukan perjalanan dan tanpa sengaja menemukan rumah di tengah hutan ini maka dengan begitu kami singgahi rumah ini” saya mohon bebaskan kedua orang tidak berdaya itu, dan apa mau mu sang raja yang agung dari kami ini” ucap Tampe Ruma Sani dengan nada memohon.

Sang raja pun terdiam dan memikirkan tawaran yang di berikan Tampe Ruma Sani. Sang raja lalu berkata “  baiklah saya lepaskan dua orang ini tetapi saya menginginkan kepala dari laki-laki perkasa itu”. Tampe Ruma Sani pun terkejut dan menengok ke arah Laska dan berkata “ ini tidak adil sama saja kalian membenuh keturunan keluarga Dompu lagi, sudah berapa keluarga yang kalian bunuh untuk mempercayai mitos kerajaan ini, bisa kah kita hidup berdampingan wahai sang raja yang agung”.

Raja pun masih terus mencambuk Samka dan Lenka dan terus bersikeras ingin membunuh Laska.
Laska pun berbicara “baiklah saya siap engkau bunuh dan engakau ambil kepala ku”. Tampe Ruma Sani pun sedih mendengarnya dan mencucurkan air mata. Dan memeluk Laska. Keharuan membaluti hutan tersebut.
Setelah semua selesai disiapkan oleh para hulubalang tempat pemenggalan (pemotongan kepala). Sang raja pun bersiap dengan pedang nya untuk memotong kepala Laska. Teriakan pun dan airmata bercucuran di pipi Tampe Ruma Sani, sedangkan Mahama Laga Ligo pun menangis dan membalikan kepalanya karena tidak berani untuk melihatnya.

Akhirnya sang raja memulai ancang-ancangnya dan siap memotong kepala Laska dan pada saat bersamaan Laska pun mengambil busur yang ada di pinggangnya dan menancapkan ke perut sang raja terlebih dahulu. Para hulubalang pun terkejut dan ketakutan melihat bahwa rajanya terbunuh terlebih dahulu oleh Laska. Dan pada saat itu Tampe Ruma Sani langsung membebaskan Laska dari ikatan. Laska pun langsung melawan para hulubalang dan sebagian lagi lari ketakutan karena melihat rajanya telah terbunuh. Mahama Laga Ligo pun langsung memanah tepat ke arah hulubalang yang berlarian.

Akhirnya mereka semua pun selamat dan mayat sang raja di kuburkan tepat di depan bawah rumah peninggalan keluarga Dompu tersebut. 

Setelah beberapa minggu peristiwa perlawanan terhadap sang raja. Samka dan Lenka telah cukup pulih meskipun luka cambuk nya masi berbekas di sekujur tubuhnya tetapi mereka sudah dapat berjalan dan berbicara.

Tidak terasa Tampe Rumah Sani telah lama meninggalkan rumah orang tuanya.
Dan pada suatu saat Tampe Ruma Sani ingin membicarakan atas hubungannya dengan Laska dan ingin agar Laska menikahinya. Lalu Laska pun menyetujui apa permintaan dari Tampe Ruma Sani dan permintaan Tampe Ruma Sani adalah agar Laska dapat menikahinya di rumah orang tua Tampe Ruma Sani. Laska pun dengan senang hati siap untuk tinggal di daerah yang berbeda di desa tempat rumah orang tua Tampe Ruma Sani tinggal.

Dan mereka pun akhirnya pindah dari hutan ke desa, yaitu ke desa tempat tinggal Tampe Ruma Sani. Samka dan Lenka pun ikut dalam perjalanan menuju rumah barunya itu.

Setelah sampai di desa warga desapun terheran atas kedatangan Tampe Ruma Sani dan Mahama Laga Ligo dan ketiga orang asing yang di bawanya. Mahama Laga Ligo lalu memperkenalkan kepada warga desa bahwa mereka adalah keturunan Dompu di tengah hutan sana.

Setelah sampai di rumah Tampe Ruma Sani ayahnya pun langsung memeluk Tampe Ruma Sani dan Mahama Laga Ligo. Ayahnya pun meminta maff dan menangis kepada kedua anaknya  maff “bahwa selama ini ayah telah salah memilih ibu baru untuk kalian. Sehinggah kalian ingin merasa pergi dari rumah”. Lalu Tampe Ruma Sani bingung “bagaimana ayah tahu atas kejadiaan itu kami ini bukan ingin mencari pekerjaan tetapi tidak tahan tinggal bersama ibu tiri”. “ Yah ayah tahu karena ayah bertengkar keras seminggu setelah kalian pergi dan dia membicarakan kalian, kenapa kalian pergi”. Lalu pada saat itu pula ayah menceraikan. Dan ayah terus mencari kalian setelah perceraian itu. “Maffkan ayah jangan tinggalkan ayah lagi yah anak-anak ku”. lalu Tampe Ruma Sani pun berbisik ke telinga ayahnya, “ayah lihat siapa yang aku bawa dia adalah pangeran ku calaon pendamping hidup ku aku ingin menikah dengannya namanya Laska dari keturunan keluarga Dompu. Ayahnya tersenyum melihatnya dan langsung memeluk Laska.

Ke esokannya Tampe Ruma Sani menikah dengan Laska dan mereka hidup bahagia.

 Oleh : Friyansyah

1 komentar:

Ruang Kata-kata mengatakan...

Menarik, akhirnya Tampe Ruma Sani tidak menikahi pangeran.Hanya saja, cerita terlalu panjang untuk sebuah dongeng.
Perhatikan penulisan di ya, banyak sekali yang salah. Lalu penggunaan kata baku.