2013/06/09

Modifikasi cerita " Tampe Ruma Sani"


                                                                 Tampe Ruma Sani

            Alkisah pada zaman dulu, tinggallah seorang anak perempuan bernama Tampe Ruma Sani. Semua orang di kampungnya mengenal dia, sebab setiap hari ia menjajakan ikan hasil tangkapan ayahnya. Ibunya sudah meninggal. Di rumahnya ia tinggal bersama ayah dan adik laki-lakinya yang masih kecil. Ia memasak nasi untuk ayah dan adiknya. Kasihan Tampe Ruma Sani yang masih kecil itu harus mengerjakan pekerjaan rumah tangga yang seharusnya dikerjakan oleh orang dewasa.
Pada suatu hari, seorang janda menyapa Tampe Rurna Sani, “Sudah habis ikanmu Nak? Tiap hari saya lihat ikanmu cepat habis, apa rahasianya?”
“Saya menjual lebih murah dari yang lain, agar cepat habis, karena saya harus segera pulang menanak nasi untuk ayah dan adik saya. Juga pekerjaan rumah tangga yang lain harus saya kerjakan”, jawab Tampe Rurna Sani sambil berjalan cepat.
“Siapa nama adikmu?”
“Mahama Laga Ligo”, jawab Tampe Rurna Sani. “Mengapa bukan adikmu yang memasak?”
“Adikku masih kecil, belum bisa memasak.” Bermacam-macam pertanyaan janda itu kepada Tampe Ruma Sani.
“Sampaikan salamku kepada ayahmu! Aku mau membantu kalian dan tinggal di rumah ayahmu. Aku mau membuat tembe (sarung), sambolo (destar) dan ro sarowa (celana) untuk ayahmu”, kata janda itu dengan manis.
Baik Bu, akan saya sampaikan kepada ayah.” Singkat cerita janda itu kini telah kawin dengan ayah mereka, dan menjadi ibu tirinya.
Kini Tampe Ruma Sani lidak lagi memasak. Pekerjaannya hanya menjajakan ikan saja. Sekali-sekali ikut menumbuk padi. Setiap menumbuk padi, ibunya selalu berpesan agar beras yang utuh dipisahkan dengan yang hancur.
Pada mulanya, ibu tirinya sangat baik kepada Tampe Ruma Sani dan adiknya. Namun, lama-kelamaan sikapnya berubah. Tampe Rurna Sani dan Mahama Laga Ligo mendapat perlakuan yang kurang baik, lebih-lebih kalau ayahnya tidak berada di rumah.
Pada suatu hari, ayahnya baru pulang menangkap ikan. Sang ibu tiri segera menyiapkan makanan yang enak-enak untuknya. Sedang untuk anak ttrinya disediakan nasi menir (nasi dari beras yang hancur kecil-kecil). Melihat hal itu, Tampe Ruma Sani memberanikan diri lapor kepada ayahnya, “Ayah dan ibu makan nasi yang bagus dan ikannya yang enak-enak, sedang saya dan adik nasinya kecil-kecil dan tidak ada ikannya”. Mendengar hal itu ayahnya bertanya, “Mengapa makanan anak-anak berbeda dengan makanan kita Bu?”
“Oo tidak Pak, sebenarnya sama saja, lihatlah sisa makanan yang ada di kepala Mahama Laga Ligo,” jawab istrinya.
Sebenarnya nasi yang ada di kepala Mahama Laga Ligo sengaja ditaruh oleh ibu tirinya menjelang ayahnya datang. Hal yang demikian telah dilakukan berkali-kali. Ibunya sangat marah kepada Tampe Ruma Sani yang berani melaporkan kepada ayahnya. Setelah suaminya pergi, sang ibu tiri menghajar Tarnpe Ruma Sani sampai babak belur. Tampe Ruma Sani menangis sejadi-jadinya. Melihat kakaknya dihajar, Mahama Laga Ligo pun ikut menangis.
“Kalau kalian berani melapor kepada ayahmu akan kubunuh kalian!” ancamnya.
Perlakuan kasar telah biasa diterima oleh kedua anak itu. Mereka tidak berani melaporkan kejadian itu kepada ayahnya, karena takut ancaman ibu tirinya.
Kini kedua anak itu sudah besar dan menginjak dewasa. Kakak beradik itu bermaksud pergi meninggalkan orang tuanya untuk mencari nafkah sendiri, karena tidak tahan lagi menerima siksaan ibu tirinya. Maksud itu pun disampaikan kepada ayahnya, “Ayah, kami sekarang sudah besar, ingin pergi mencari pengalaman. Oleh karena itu, izinkanlah saya dan Mahama Laga Ligo pergi”.
“Mengapa engkau mau meninggalkan rumah ini? Tetaplah di sini. Rumah ini nanti akan sepi.” kafa ayahnya. Ibu tirinya segera menyahut, “Benar kata Tampe Ruma Sani. Dia kini sudah besar. Bersama adiknya tentu ingin mandiri. Maka sebaiknya ayah mengizinkan mereka pergi.” Ibu tirinya memang sudah tidak senang dengan anak-anak tirinya yang dirasa sangat mengganggu.
Akhirnya, ayahnya pun dengan berat mengizinkan, berkat desakan istrinya yang terus-menerus.
Pagi hari sesudah sholat subuh, kedua anak itu meninggalkan rumahnya. Ibu tirinya memberi bekal nasi dalam bungkusan. Ayahnya mengantarkan sampai ke batas desa.
Alkisah, kedua anak itu berjalan menyusuri hutan dan sungai. Sesekali mereka membicarakan ibu tirinya yang kejam. Sesekali juga membicarakan ayahnya yang kena pengaruh ibu tirinya. Setelah seharian berjalan, Mahama Laga Ligo merasa capai.
“Kak, saya capai dan lapar. Istirahat dulu ya Kak”, katanya dengan nada menghimbau.
“Bolehlah. Kita cari dulu tempat yang teduh, lalu kita makan bekal yang diberikan ibu tadi,” kata kakaknya. Ketika mau duduk dekat adiknya yang mulai membuka bekalnya, tercium bau kotoran.
“Pindah dulu, di sekitar sini ada kotoran, kata Tampe Ruma Sani, sambil mengamati di mana kotoran itu berada. Namun, di sekitar tempat itu bersih. Lalu ia duduk lagi dan meneruskan membuka bekal yang dipegang adiknya. Ketika bekal itu dibuka bau itu tercium lebih keras. Akhinya, tahulah sumber bau itu. Bau itu temyata berasal dari bekal yang dibawanya. Rupanya ibu tirinya sangat jahat, sehingga sampai hati memberi bekal yang dicampuri kotoran manusia. Lalu, bungkusan itu pun dibuang, dengan perasaan marah dan sedih.
Dengan mengikat perutnya kencang-kencang, kedua kakak beradik itu pun melanjutkan perjalanan. Setelah beberapa lama herjalan, dilihatnya sebuah rumah di tengah hutan. Kedua anak itu merasa senang. Segeralah keduanya menaiki tangga dan mengetuk pintu. Namun, setelah beberapa saat tidak terdengar jawaban. Diketuknya sekali lagi, tetap tiada jawaban. Lalu, keduanya mendorong pintu rumah itu sedikit demi sedikit. Ternyata pintu itu tidak dikunci. Dengan perlahan-lahan, ia memeriksa seluruh penjuru rumah, temyata rumah itu tidak ada penghuninya. Di sebuah sudut rumah itu ada tiga buah karung. Setelah diperiksa, ternyata karung itu berisi merica, cengkih, dan pala. Di atas meja tersedia makanan. Di sekitar rumah ditumbuhi rumput yang tinggi, yang tampak tidak pernah dijamah manusia maupun binatang.
“Mari kita duduk di dalam rumah menunggu pemiliknya” kata Tampe Ruma Sani kepada adiknya.
Mereka duduk-duduk. Tak berapa lama, karena kecapaian, mereka tertidur. Pada saat terbangun hari telah pagi. Penghuni rumah itu belum juga muncul. Makanan di atas meja masih tetap utuh. Mereka heran, makanan itu masih hangat. Karena kelaparan, makanan itu pun mereka makan sampai habis.
Tiga hari sudah mereka berada di rumah itu. Setiap mereka bangun pagi, makanan hangat telah tersedia. Mereka semakin terheran-heran, namun tidak mampu berpikir dari mana semuanya itu.
Untuk menjaga kemungkinan makanan tidak tersedia lagi, mereka bermaksud menjual rempah-rempah dalam karung itu. Pada hari keempat, Maharna Laga Ligo berkata kepada kakak perempuannya, “Kak, biarlah saya yang menjual rempah-rempah ini sedikit demi sedikit ke pasar. Sementara saya pergi, kakak di dalam rumah saja. Kalau ada orang datang, jangan sekali-sekali kakak membukakan pintu”.
“Baiklah, pergilah, tetapi jangan lama-lama”, jawab kakaknya.
                                                                      BERSAMBUNG
       








          Sementara menunggu adiknya yang sedang pergi ke pasar menjual rempah-rempah, Tampe Ruma Sani memperhatikan keadaan sekitar rumah, sambil melihat-lihat keadaan di rumah, dilihatnya rumah itu sangat kolot dan berantakan. Lalu Tampe Ruma sani membereskan satu persatu dari setiap bagian rumah itu, debu yang sangat tebal menempel didinding, kaca jendela terlihat kusam, perabotan yang terpajang di lemari pajangan terlihat  tak jelas posisinya tergelatak tak tentu arah ditambah dengan debu yang melekat. Saking asiknya membereskan rumah yang sangat berantakan dan kotor, Tampe Ruma Sani tak menyadari bahwa hari sudah menjelang sore. Terdengarkan suara pintu diketuk diiringi dengan suara panggilan adiknya Maharna Laga Ligo yang memanggil-manggil kakaknya untuk membukakan pintu. Dibukakan  pintu itu oleh Tampe Ruma Sani, ketika Maharna Laga Ligo masuk dia terkejut melihat rumah yang sudah empat hari dia dan kakaknya tempati berubah.
“ Kau sulap dengan apa rumah ini kak, rumah ini jadi terlihat bersih dan rapi”

“ Tentu saja aku yang membersihkan rumah ini, sambil menunggu mu pulang”

“ its magic” Maharna Laga Ligo memuji kakanya.

Hari kelima Tampe Ruma Sani dan Maharna Laga Ligo berada di rumah itu, hal yang sama mereka lakukan,  menunggu pemilik rumah datang, tapi tak kunjung datang. Karena kemarin Maharna Laga Ligo yang menjual rempah-rempah ke pasar, sejrang giliran Tampe Ruma Sani yang pergi mejual rempah-rempah ke pasar, dan tentulah Maharna Laga Ligo yang giliran menunggu rumah.
Hari berganti Minggu, Minggu berganti Bulan, tak terasa Tampe Ruma Sani dan adiknya Maharna Laga Ligo, sudah satu bulan menempati rumah itu. Kini Rumah itu terlihat sangat bersih dan indah, Rumput-rumput tinggi yang menghiasi rumah  waktu pertama kali Tampe Ruma Sani dan Maharna Laga Ligo datang, kini berubah menjadi rumput taman yang hijau dihiasi bunga warna-warni yang ditanam. Tampe Ruma Sani kini bukan lagi gadis kecil penjual ikan, tapi Tampe Ruma Sani kini lebih dikenal sebagai Tuan Rempah-rempah. Tampe Ruma Sani dan adiknya Maharna Laga Ligo, kini mejadi tangkulak ( pengusaha rempah-rempah), hidup mereka berubah menjadi makmur, di rumahnya sekarang Tampe Ruma Sani mempunyai empat orang yang mengurus rumah dan satu orang tukang kebun, berkat keuletan dan kegigihan Tampe Ruma Sani dan Maharna Laga Ligo menjual dan mejadi penjual rempah-rempah, kini kehidupan mereka berubah drastis seperti magic.

Sudah sekitar waktu setengah tahun berjalan, Tampe Ruma Sani dan Maharna Laga Ligo kini tumbuh berubah mejadi remaja dewasa yang sukses dan banyak disukai oleh banyak kumbang dan di desa magic Tampe Ruma Sani dan Maharna Laga Ligo dikenal sebagai Putri yang Agung. Tapi dibalik semua harta yang menyelimuti kehidupan Tampe Ruma Sani dan Maharna Laga Ligo, hati kecil mereka masih merasa sedih, Tampe Rumah Sani dan Maharna Laga Ligo meridukan ayahnya.
Sambil berduduk santai di taman belakang rumah Tampe Ruma Sani memandangi awan yang begitu hitam tapi tak kunjung turun hujan.
“ Kau kenapa kak, kulihat dari tadi kau terlihat termenung melihat awan hitam itu”
“Aku rindu Ayah”
“ Aku juga kak, aku rindu dia” ( sambil memeluk Tampe Ruma Sani yang sedang duduk di kursi).
Suatu Hari, Tampe Ruma Sani dan Maharna Laga Ligo sedang berjalan-jalan di desa warga Magic, sore itu Tampe Ruma Sani dan Maharna Laga Ligo berniat melihat pameran yang ada di desa Magic, saat mereka melihat penjual ikan. Tampe Ruma Sani menghampiri si penjual ikan itu disusul oleh adiknya Maharna Laga Ligo.
“ Kau menjual ikan pa? “ tanya Tampe Ruma Sani
si penjual ikan itu mengarahkan mukanya kearah suara yang di dengarnya, sambil melepas topi lusuh yang sedari tadi menutupi wajahnya.
“ Ayaaaaahhhhhhh “.....
Alangkah terkejutnya Tampe Ruma Sani dan Maharna Laga Ligo ketika melihat wajah penjual ikan itu adalah ayahnya yang selama ini mereka cari. Tampe Ruma Sani dan Maharna Laga Ligo seketika memeluk badan kurus dan lusuh tukang ikan itu yang tak lain adalah Ayahnya.
Kini Tampe Ruma Sani dan Maharna Laga Ligo hidup bahagia di tengah-tengah kehidupan yang serba kecukupan dan seorang ayah yang dari dulu mereka rindukan.
Tampe Rumah Sani bertanya banyak hal kepada ayahnya, samapai-sampai ayahnya bisa berada di desa Magic, ayahnya menceritakan bahwa Istrinya yang tak lain ibu tiri Tmpe Ruma Sani dan Maharna Laga Ligo, terkena penyakit kudis bau sejenis penyakit borok yang tumpuh diseluruh tumbuh yang mengeluarkan bau busuk, sehingga Ayah dan Istrinya di usir oleh warga desa. Dan karena mempunyai penyakit kudis bau dan banyak orang yang mencaci istinya, istrinya menjadi gila dan pergi meninggalakan ayahnya. sehingga ayahnya harus berjualan ikan untuk menyambung hidup.
Tampe Ruma Sani dan Maharna Laga Ligo merasa ikut sedih mendengar cerita tentang ibu tirinya. Lalu dipeluknya tumbuh si ayah oleh Tampe Ruma Sani sambil berkata “ aku tak mau pisah dari ayah lagi, aku sayang ayah “, diikuiti oleh Maharna Laga Ligo yang ikut memeluk tubuh kakanya dari belakang “ iyaa kakak, ayah dan aku akan hidup selamanya bersama”.
Tersenyumlah mereka secara bersamaan.

1 komentar:

Ruang Kata-kata mengatakan...

Ayo buat lebih variatif lagi, meskipun akhirnya tidak menikah dengan pengeran tapi klimaksnya belum terasa.